This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 17 Januari 2017

BARBER PESANTREN (Ilustrasi Kehidupan Para Pemangkas Rambut di Pondok Pesantren Darul Hijrah)

                                         oleh: Muhammad Qamaruddin
                Suatu kewajiban santri saat masih berada di Pesantren adalah menjaga rambutnya agar selalu terpotong pendek dan rapi. Jangan berani-berani buat model yang macam-macam jika berada di Pesantren. Ketemu sama ustadz (apalagi ustadz penegak disiplin!), kelar rambut antum diacak-acak sama mereka. Hukum tertulisnya, “santri wajib mempunyai rambut pendek dan rapi”. Hukum rimbanya, “yang punya rambut aneh, siap-siap merasakan model rambut yang penuh jalur-jalur sawah”.
                Kemudian cobalah sekali lagi tengok para santri, di antara mereka pasti ada yang berkepala plontos, yang kalau tiba malam hari, kepala ini seakan-akan bersinar terkena pantulan cahaya bulan. Tidak usah terpana dengan mereka. Karena mereka adalah santri-santri yang mendapatkan hukuman. Salah satu disiplin yang diterapkan untuk menghukum santri dengan pelanggaran berat adalah menggunduli kepalanya. Hukuman ini diberikan dengan harapan adanya efek jera karena malu digundul. Tapi anehnya, bukannya malu, tidak sedikit yang malah bangga dengan model rambut tersebut. Mungkin mereka bangga disebut pelanggar disiplin
                 Memotong (baca: merapikan) rambut merupakan jadwal rutin yang wajib dilakukan oleh santri. Pada saat jadwal yang telah ditentukan, santri senior yang menjadi pengurus akan memeriksa rambut santri juniornya. Begitu pula para santri senior yang rambutnya juga diperiksa oleh para ustadz. Biasanya jika tiba musim potong rambut, maka ini menjadi berita surga yang sangat menggembirakan bagi para pemotong rambut seantero jagat pesantren. Mereka akan berubah menjadi artis yang dicari di mana-mana. Bahkan sampai harus membuat perjanjian terlebih dahulu jika ingin bertemu dengan mereka. Jika tidak, maka dengan muka sok sibuk mereka akan menjawab, “maaf, tidak bisa hari ini”.
Para barber santri pondok ini memang sangat luar biasa. Mereka biasanya akan sibuk di pagi dan sore hari. Ironisnya, bahkan ada beberapa santri yang memaksa mereka memotong rambut di malam hari, dengan penerangan cahaya yang sangat minim, karena batas maksimal pelaporan potong rambut sudah di ujung tanduk. Maka jangan heran jika di siang hari, ada santri yang rambutnya sudah rapi, tetapi di ujung daun telinganya ada goresan luka. Sudah tahu kira-kira darimana luka itu berasal kan?
 Pada pagi dan sore hari, para barber santri pondok ini biasanya akan siap duduk di samping irigasi, pemandian umum santri (Pesantren Darul Hijrah) yang konon merupakan pemandian santri terpanjang se Indonesia. Jangan membayangkan barber ini mempunyai alat yang lengkap. Yang mereka perlukan hanyalah gunting dan sisir serta tempat yang teduh untuk memotong rambut. Tidak ada kursi, yang ada hanyalah hamparan tanah yang kadang harus berdesakan dengan tumpukan baju-baju jemuran. Para pelanggan hanya perlu memakai celana pendek tanpa baju, maka para barber ini sudah siap bekerja. Setelah rambut tertata rapi, pelanggan hanya perlu berlari menuju irigasi untuk membersihkan diri. Seperti itulah kiranya kegiatan pangkas memangkas di pesantren.
                Saya dulu juga merupakan anggota dari komunitas barber ini, yang selalu berharap otoritas penegak disiplin pesantren semakin sering melakukan pemeriksaan rambut. Jika perlu satu minggu sekali ustadz! (Haha!)  Karena semakin banyak yang meminta potong rambut, maka semakin besar harapan adanya penggemukan badan dan penambahan gizi bagi saua. Anehnya, setelah selesai periode pemotongan rambut, teman-teman saya yang dulunya acuh tak acuh, pada SKSD (sok kenal sok dekat) semua. Mungkin mereka berharap bisa dapat jatah traktiran dari saya yang habis gajian.
                Selalunya, setiap angkatan di pesantren mempunyai pemangkas rambutnya masing-masing. Jika tidak salah ingat, saya sudah bisa memotong rambut sejak duduk di kelas 2 atau 3 MTs.  Semakin tahun, skil ini semakin terasah. Terbukti dengan bertambahnya pelanggan saya saat masih berada di Pesantren. Pada awal-awal tahun, di angkatan saya masih ada beberapa pemangkas rambut. Namun pada saat akhir-akhir kelulusan, hanya tersisa 2 orang pemangkas rambut, Syarif Asebda dan saya (mohon maaf jika ada yang terlupa).
Berbicara tentang kegiatan pangkas rambut, saya jadi ingat film “Barbershop: The Next Cut (2016)” yang pernah saya tonton beberapa waktu silam. Film tersebut mengisahkan tentang segala permasalahan pribadi yang dimiliki oleh para pemangkas rambut serta para pelanggan yang datang. Masalah itu kemudian mereka diskusikan di barbershop kepada pemangkas rambut lainnya. Curhatan-curhatan inilah yang menarik perhatian saya. Bagaimana kemudian hal-hal yang terjadi dalam keseharian, bisa diselesaikan dengan diskusi hangat yang juga seringkali terjadi di warung-warung kopi.
Entah kenapa saya seolah-olah kembali ke masa lalu, saat dulu masih sering memangkas rambut santri di pesantren. Ternyata secara tidak sadar, saat itu saya juga sering mendengarkan curahan hati para pelanggan, khususnya teman-teman satu angkatan. Masalahnya pun beragam. Ada yang bercerita tentang masalah sekolah, masalah disiplin dan pelanggaran, masalah keluarga, masalah keuangan, masalah cinta, dan masih banyak masalah yang lain. Cerita seperti ini mengalir begitu saja sambil memangkas rambut. Kadang mereka hanya ingin didengarkan bercerita, hanya perlu dibalas “owh gitu”, “hmmm”, “iya”, dan kata sejenisnya. Kadang ada pula yang meminta pendapat. Pendapat itu pun kadang tidak sesuai dengan cerita karena terlalu fokus dengan rambut. Cerita itu pun terhenti saat rambut selesai dipotong.
Hingga saat ini saya masih diminta memangkas rambut, meskipun tidak sesering dulu. Bahkan ada kawan saya yang sampai saat ini masih berlangganan dengan saya (kebetulan sama-sama merantau ke Jogja). Dia berkata bahwa sulit mencari orang yang bisa memotong rambutnya sesuai dengan keinginannya. Tapi memang saya akui, hanya sebagian barber yang bisa memotong rambut ikalnya karena tingkat kesulitan yang terlalu tinggi. Untungnya tidak perlu sampai menggunakan gunting khusus.
Kehidupan santri di pesantren yang unik, membuat segala sesuatunya menjadi berbeda dengan apa yang terjadi pada umumnya. Lihat saja barbershop ala pesantren-an-nya. Saya kira hal ini hanya akan berlaku di pesantren. Lalu, coba tanyalah santri-santri yang dulu pernah menjadi barber pondok, mereka pasti mempunyai cerita yang unik dengan para pelanggannya. Mungkin anda ingin bercerita karena pernah menjadi barber pesantren? Atau mungkin anda malah tertarik untuk bercerita dengannya seraya memotong rambut ala barbershop pesantren?  

Yogyakarta, 12 Januari 2017
Di sela-sela kesibukan kerja di Kantor