Oleh: Muhammad Qamaruddin
Ketika masih
kecil, Abah pernah bercerita bahwa Pedatuan kami banyak yang madam. Awalnya
aku tidak terlalu paham apa artinya. Namun saat aku bertambah dewasa, aku akhirnya
mengerti jika itu adalah istilah yang dipakai oleh urang Banjar yang
memutuskan untuk pergi merantau. Adalah moyang kami yang bernama haji Ahmad, atau sering dipanggil Haji
Ahmad Alabio karena berasal dari salah satu daerah Bernama Alabio di Kalimantan
Selatan. Dari Haji Ahmad
ini lahirlah tujuh orang anak. Dari ketujuh orang tersebut, hanya dua yang
bermukim di Indonesia (Banjar). Sisanya madam ke Malaysia pada awal
tahun 1900-an. Belakangan hari data ini diperbaharui, ternyata saat Kembali lagi
ke Banjarmasin, Datu’ Haji Ahmad Alabio menikah lagi dan memiliki garis
keturunan baru di Kalimantan Selatan. Dari sini aku dihadapkan pada sebuah fakta jika garis
keturunan keluargaku lebih banyak tinggal di Malaysia daripada di Banjar
sendiri. Jika dihitung-hitung, aku sendiri merupakan generasi kelima dari Haji
Ahmad Alabio.
Melihat kamus
Bahasa Banjar, istilah madam diartikan dengan merantau. Namun merantau-nya
urang Banjar mempunyai maksud yang berbeda dengan merantau pada umumnya.
Hal ini dituturkan oleh Profesor Dr. Mohamed Saleh bin Lamry, urang Banjar
yang lama bermukim di Malaysia, bagi suku-suku lain di Nusantara, merantau yang
dimaksud ialah pergi atau pindah dan masih mempunyai niat untuk pulang atau menjalin
hubungan komunikasi dengan daerah asal muasalnya. Madam bagi urang
Banjar lebih cenderung pada pengertian migrasi hilang atau pindah dengan
adanya kemungkinan untuk tidak kembali lagi. Menurut salah satu budayawan
Banjar, Zulfaisal (2014), bisa jadi istilah ’madam’ mempunyai kemiripan
dengan istilah merantau di Minangkabau, yang berarti pergi dan menetap di suatu
tempat yang baru dan tidak pulang.
Awal bulan Desember 2023 lalu, aku ditugaskan untuk melaksanakan sebuah kegiatan pengabdian Masyarakat skala Internasional. Kegiatan ini berhubungan erat dengan pencapaian akreditasi unggul jurusan yang mengharuskan pelaksanaan tridharma tidak hanya pada lingkup nasional, tetapi internasional. Setelah berdiskusi panjang dan berdialog dengan berbagai pihak di luar negeri, maka Negara Malaysia terpilih sebagai tempat untuk melaksanakan Kegiatan ini. Ini bukan tanpa alasan. Keputusan ini diambil karena adanya sebuhan fakta hubungan Banjarmasin dengan lokasi yang dipilih, yaitu Kampung Bagan Serai, Kerian, Perak. Ya, tempat ini dihuni oleh mayoritas masyarakat keturunan Banjar!
Homestay di Jalan Banjar, Kerian Perak |
Abah sering
berpesan jika suatu saat aku mempunyai kesempatan ke Malaysia, maka jangan lupa
untuk menjenguk keluarga yang ada di sana. Memang ini bukan kali pertama aku ke Malaysia.
Negeri Jiran ini telah kudatangi beberapa kali. Namun
kebanyakan hanya singgah sebentar. Itupun dengan tugas dan pekerjaan yang harus
diselesaikan dengan waktu yang sangat singkat. Satu minggu! Ya, itulah waktu yang diberikan
untuk pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat. Meskipun aku sudah membayangkan
betapa padatnya jadwal yang akan kujalani, tapi aku sudah berkomitmen, aku
harus ’mendatangi kulaan yang madam’ di Malaysia. Bagaimanapun caranya!
Pada dasarnya, suku
Banjar di Malaysia mayoritas berasal dari Banjar Pahuluan. Berdasarkan sensus
1911 penduduk Malaya Britania (sekarang Malaysia), setidaknya suku Banjar
berjumlah 21.227 jiwa. Pada tahun 1947, jumlah ini bertambah menjadi 62.400
jiwa. Kebanyakan Suku Banjar menghuni negara bagian Perak, Johor, dan Selangor,
dan negara bagian lainnya dalam jumlah yang kecil. Jumlah ini belum termasuk suku
Banjar yang menghuni Sabah dan Serawak. Dari informasi yang kudapat, Daerah
Kerian, Selangor merupakan wilayah yang paling banyak dihuni oleh suku Banjar. Aku
kira ini juga yang menjadi alasan utama, kenapa daerah ini dipilih untuk menjalankan
program.
pelaksanaan pengabdian Masyarakat |
Tibalah pada
Hari H, saat pelaksanaan kegiatan. Seperti yang sudah kuduga, jadwal kegiatanku
di Malaysia sangatlah padat. Bahkan terlalu padat. Bayangkan, untuk
menyempatkan diri berbelanja keperluan pribadi dan oleh-oleh pun hampir tidak
ada, jika tidak disempat-sempatin. Meskipun demikian, sebenarnya bisa jadi adalah
hal yang positif, karena menandakan respon yang sangat positif dari pihak tuan
rumah. Bahkan ketua rombongan pun mengistilahkan kegiatan 1 minggu tersebut kurang
lebih mirip Kuliah Kerja Nyata (KKN), saking padatnya kegiatan. Oleh karena
itulah, aku perlu pintar-pintar memanfaatkan waktu luang yang sangat sedikit
untuk meluluskan hajatku mendatangi kulaan. Walaupun ada kendala, akhirnya aku berhasil
melakukannya.
Pelaksanaan Pengabdian Masyarakat |
Program
Pengabdian Masyarakat Internasional berlokasi di Bagan Serai, Kerian, Perak,
Malaysia yang dihuni oleh mayoritas masyarakat keturunan Banjar.Sedangkan kulaanku
kebanyakan bermukim di negara bagian lain yaitu di daerah Sungai Besar, Selangor,
Malaysia. Untungnya pamanku (sepupu Abah 3 kali) yang menetap di sana sudi
menjemputku dan mengajak aku menemui kulaan. Meskipun aku bukanlah kulaan
Banjarmasin pertama yang datang ke sana, tetap saja ini menjadi kegembiraan
tersendiri bagi mereka, karena mereka merasa dijenguk kembali, sehingga
tercipta sebuah hubungan emosional antara satu dengan lainnya.
Dari pengamatanku
dan hasil bincang-bincang santai dengan kulaan di Malaysia, generasi tua masih
pandai berbincang dengan bahasa Banjar. Bahkan ada beberapa kosakata lama
bahasa Banjar yang tidak kumengerti, tapi masih dipakai di sana. Ada logat yang
sedikit berbeda dengan bahasa Banjar asli. Jika boleh menamainya, aku
menyebutnya dengan bahasa Banjar versi Melayu Malaysia, yaitu bahasa Banjar
yang telah terasimilasi dengan bahasa setempat.
Mereka juga
masih memegang tata cara hidup dan tradisi adat istiadat dari nenek moyangnya,
walaupun tidak lagi mirip dengan aslinya, karena sudah ada unsur modifikasi menyesuaikan
dengan tanah perantauan. Walaupun begitu, ketika datang ke sana, aku masih
merasa berada di kampung sendiri di Banua. Bahkan aku masih bisa mendengar
urang Banjar Mahalabio di sana, istilah yang sering dipakai untuk bercandanya
ala urang Banjar.
Selain itu,
kehidupan kulaan di sana cukup sejahtera. Hal ini tidak lepas dari bukti
sejarah yang menyatakan bahwa orang Banjar itu cangkal bagawi. Keahlian
dan keuletan urang Banjar pada bidang lahan pertanian mendapatkan penerimaan yang
positif oleh Malaysia, sehingga sangat berpengaruh pada pembangunan negara. Dalam
perkembangannya, urang Banjar di negeri Jiran dapat menduduki posisi-posisi
penting dalam berbagai bidang, seperti ulama, politisi, pendidik, polisi,
pejabat, pegawai, dan profesi-profesi lainnya. Ini merupakan suatu kebanggaan
bagi kita!
Mendatangi Kulaan di Malaysia |
Dari semua itu,
ada beberapa hal yang kusayangkan. Di antaranya Bahasa Banjar yang mulai kurang
dikuasai lagi oleh generasi baru penerus keturunan Banjar. Kebanyakan mereka masih
paham, tapi tidak dapat mempraktikkan secara lisan. Aku juga agak cemas dengan adat-istiadat
Suku Banjar yang akan hilang jika tidak diwariskan ke generasi selanjutnya. Selain
itu pula ada yang mengatakan jika sebagian keturunan Banjar cenderung malu
mengakui jati dirinya. Lambat laun hal ini akan menyebabkan hilangnya jati diri
dan tidak akan tahu asal muasal leluhur. Terlepas dari sedikit permasalahan
itu, aku senang dapat berkunjung ke kulaan di Negeri Jiran. Aku berharap bahwa
silaturrahmi ini tidak akan terputus dan dapat terus dijaga dari generasi ke
genarasi selanjutnya. Salam Banjar!
Ziarah ke makam Datuk Nini, Istri dari Datuk Haji Ahmad Halabio di Selangor |
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?