Oleh: Muhammad Qamaruddin
Beberapa waktu
yang lalu aku mendapat amanat untuk memoderatori sebuah acara. Ketika itu sang
pemateri membawakan sebuah tema tentang jurnalistik dakwah. Namanya Yuli
Afriyandi, SEI. Ia masih berstatus mahasiswa S2 di MSI UII. Satu hal yang
menjadi alasan kenapa ia menjadi pilihan pemateri adalah hobi menulisnya. Dari
CV yang ada, beberapa tulisan (opini)-nya telah mewarnai beberapa media cetak
di Indonesia, baik lokal maupun nasional.
Sebelum acara
dimulai, aku sempat berbincang-bincang dengannya. Aku menanyakan beberapa hal
tentang dirinya, termasuk perihal tema yang akan disampaikannya nanti. Dari
penyampaiannya, ia mengaku berasal dari Riau. Percakapan basa-basi terus
berlanjut hingga aku mengatakan asal diriku. ‘Kamu orang Banjar?’ Tanyanya
nampak terkejut. Aku bingung sendiri, apa ada yang aneh dari asalku itu. Kemudian
itu juga ia mengatakan bahwa ia juga orang Banjar. Hah?
Aku terus
menyelidik, hijrah ke Riau? Ia jawab tidak. Atau ikut orang tua? Tidak juga. Kakek
nenek? Lahir di Riau juga. Aku lebih terkejut ketika ia mengatakan bahwa
dirinya bahkan tidak pernah ke Banjar. Aku semakin bingung. Anehnya, bahasa
Banjarnya sangat sangat lancar.
Setelah melihat kebingunganku, ia akhirnya
sedikit menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. “Pedatuan kami dari suku
Banjar”, ujarnya. Aku menangguk-anggukkan kepala. “di Tembilahan itu semua
orang pakai bahasa Banjar. Karena memang suku Banjar di sana mendominasi jumlah
masyarakat”. Ini yang menarik.
DINGSANAK PIAN HIBAK DI SUMATERA
Dari kisah di
atas, aku jadi ingat cerita penduduk Jawa yang ada di Suriname, Belanda.
Di
sana tinggal sekitar 75.000 orang Jawa dan dibawa ke sana dari Hindia-Belanda
antara tahun 1890-1939. Atau Kaledonia Baru (bahasa Perancis:
Nouvelle-Calédonie) adalah sebuah negeri seberang laut milik Perancis terletak
di Samudra Pasifik bagian selatan. Suku Jawa juga menghuni daerah ini.
Kaledonia Baru memiliki cerita yang sama dengan kedatangan suku Jawa, dimana
mereka dahulu menjadi kuli kontrak dan mencari kehidupan yang lebih baik di
negeri orang.
Itu hanya
sekelumit cerita dari para leluhur kita. orang-orang Indonesia (orang Jawa)
yang berada di luar sana. Tapi jangan dikira hanya orang Jawa yang mempunyai
cerita migrasi. Ternyata suku Banjar pun mempunyai cerita yang serupa, meskipun
masih berada di dalam negara sendiri.
Salah satu daerah
yang kini menjadi rumah bagi orang Banjar (tentunya selain Bumi Lambung
Mangkurat, Kalsel) adalah Tembilahan, kota Ibukota Kabupaten Indragiri Hilir
(Inhil), Kepulauan Riau. Memang pada dasarnya masih banyak daerah-daerah lain
yang berpenghuni orang Banjar. Di antaranya seperti di Kuala Tungkal (Kab.
Tanjung Jabung, Jambi), Kab. Deli Serdang (Sumut), Kab. Serdang Bedagai (Sumut), Kab. Langkat (Sumut). Atau di daerah
lain seperti Manado, Makassar, Mataram, Pontianak, Bukittinggi, dan masih
banyak lagi. Di Singapura dan Malaysia (khususnya Batu Pahat) pun juga ada.
Pedatuan kita banyak menyebar di berbagai daerah.
Tembilahan
adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi
Riau. Selain itu ada kecamatan-kecamatan yang lain, seperti Batang Tuaka,
Concong, Enok, Gaung, Gaung Anak Serka, Kateman, Kemuning, Keritang, Kuala
Indragiri, Mandah, Pelangiran, Pulau Burung, Reteh, sungai Batang, Tanah Merah,
Teluk Balengkong, Tembilahan Hulu, dan Tempuling (semuanya berjumlah 20).
Tembilahan
berbatasan dengan kecamatan Batang Tuaka (sebelah utara), Kuala Indragiri dan
Tanah Merah (sebelah timur), Enok (sebelah selatan), dan Tembilahan Hulu dan
Batang Tuaka (barat). Luas wilayah Tembilahan adalah 297,62 km², terdiri dari 6
kelurahan. Adapun jumlah penduduknya 69.505 jiwa (tahun 2010) dengan kepadatan
penduduk adalah 352/km (tahun 2008 adalah 61.603 jiwa).
Penduduk
Kecamatan Tembilahan terdiri dari berbagai suku bangsa yaitu suku Banjar, suku
Bugis, suku Melayu, suku Minang, suku Jawa, suku Batak serta warga negara
keturunan Tionghoa. Dalam hal ini, aku akan banyak bercerita tentang dingsanak
–baca suku Banjar- yang ada di sana.
Dari sumber
yang ada, terdapat tiga teori bermigrasinya bubuhan Banjar ke Tanah
Melayu, 1) Permintaan Sultan Deli untuk bercocok tanam di rawa yang hanya bisa
urang Banjar melakukannya, 2) Prahara di Kerajaan Banjar yang menyebabkan
hijrahnya beberapa keluarga Kerajaan Banjar ke Tanah Melayu, 3) Penyebaran
agama Islam, buktinya menjadi Mufti di Kerajaan Indragiri. Sementara itu ada
teori lain (cirita turun-temurun) yang mengatakan bahwa migrasi Banjar dengan
maksud merantau ke Tanah Malaka kemudian dihadang badai dan akhirnya terdampar
di Tembilahan (Ibnu Sina, 2008)
Budayawan
Kalsel, Drs.Syamsiar Seman ketika ditanya ANTARA, di Banjarmasin, Senin
mengakui bahwa keberadaan komunitas suku Banjar di Inhil sudah begitu lama, diperkirakan
gelombang transmigrasi suku Banjar ke pesisir Sumatera itu sebagian besar
terjadi sebelum perang dunia kedua. Sebagian besar warga suku Banjar Inhil
sekrang ini, tidak tahu dan tidak pernah mengenal tanah leluluhur mereka di
Kalsel yang merupakan wilayah komunitas terbesar suku Banjar. Yang membuktikan
mereka sekarang adalah anak cucu dari keturunan orang Banjar perantau dulu.
Apabila dirunut
ke belakang, maka bisa jadi masyarakat Tembilahan saat ini adalah generasi ke-5
dari migrasi pertama yang datang ke sana. Seiring dengan waktu, hampir 60-70%
daerah ini adalah keturunan Orang Banjar. Bahasa Banjar juga dijadikan bahasa pengantar
di sana. Tidak peduli ia bukan dari suku Banjar atau tidak. Dialek yang
digunakan adalah bahasa Banjar daerah Pahuluan. Maka jangan heran apabila
berkunjung ke pasar, seluruh aktivitas di sana menggunakan bahasa Banjar. Kita
akan merasa seperti di banua sorang. Begitulah sedikit cerita tentang dingsanak
kita yang ada di seberang sana. Aku berharap suatu saat aku bisa berkunjung
ke sana.
bubuhan banjar jua sekalinya..hehehehe....saya juga pernah ketemu dengan seorang ibu, saya lupa namanya tapi klo ga salah dia salah satu pejabat di BPS di pangkal pinang, bangka belitung ternyata juga orang banjar....jadilah ramai saya berbahasa banjar sama beliau hehehe.....sampe2 istri saya dan keluarga saya yg orang bangka bingung dengan obrolan kami wkwkwkwk...ok salam dari urang banjar samarinda....
BalasHapus