Oleh: Muhammad Qamaruddin
“Puasa hari ‘Asyura, sungguh saya
berharap kepada Allah supaya menghapuskan dosa setahun sebelumnya.” (HR.
Muslim)
Setiap tahun,
seluruh umat Islam di dunia memperingati tahun baru Hijriah. Inilah momen yang
mengingatkan kita pada sejarah besar. Sejarah itulah yang akhirnya merombak
tatanan dunia secara keseluruhan ke arah yang lebih baik. Perubahan yang lahir
dari seorang anak yatim piatu. Dia adalah yang sangat dimuliakan oleh Allah
SWT. Orang yang sejak berumur enam tahun telah berjuang menghadapi kerasnya
kehidupan di bawah asuhan pamannya. Bermodalkan akhalaqul karimah dan uswah
hasanah, ia mampu mengubah imej kaumnya, dari sebutan kaum jahiliyah
menjadi kaum yang bahkan menjadi contoh peradaban dunia (masyarakat madani).
Ia memperbaiki kehidupan kaumnya secara menyeluruh dari semua sektor. Perubahan
inilah yang diproklamirkan dengan peristiwa Hijrah. Dialah sang proklamator
dunia, Baginda Rasulullah SAW. Mengingat betapa penting momen hijrah ini, maka
pantaslah Khalifah kedua, Umar bin Khattab menetapkan awal tahun baru Islam
dengan mengacu pada momentum hijrah tersebut.
Muharram adalah
awal bulan dari tahun baru Hijriah. Sejarah mencatat ada banyak sekali
peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada bulan ini, khususnya pada tanggal
10 Muharram yang biasanya disebut hari ‘Asyura. Hari ‘Asyura adalah hari
kesepuluh pada bulan Muharram pada kalender Islam. ‘Asyura sendiri berarti
sepuluh. Pada hari ‘Asyura inilah, umat muslim disunnahkan untuk berpuasa. Ada
banyak sekali kelebihan berpuasa pada hari tersebut. Oleh karena itu, penulis
ingin sedikit berbagi tentang keutamaan berpuasa pada hari ‘Asyura.
Umat Sebelum Islam pun Mengagungkan Hari ‘Asyura
Sesungguhya tidak
hanya umat Islam yang mengenal hari ‘Asyura. Umat-umat sebelum datangnya Islam
telah mengenalnya terlebih dahulu. Mereka juga mengagungkan hari tersebut. Dari
Ibnu Abbas RA, berkata: “Nabi SAW tiba di Madinah dan melihat orang Yahudi
berpuasa pada hari ‘Asyura. Beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini
adalah hari baik. Pada hari ini Allah telah menyelamatkan Bani Israil dari
musuh mereka, maka Musa berpuasa padanya” Beliau menjawab, “Maka saya lebih
berhak terhadap Musa daripada kalian.” Lalu beliau berpuasa dan memerintahkan
agar berpusa padanya.” (HR. Al-Bukhari). Dalam riwayat Muslim, “Ini hari
yang agung, di mana pada hari itu Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya
serta menenggelamkan Fir’an dan kaumnya.” Sedangkankan kalimat “Maka
Musa berpuasa padanya,” dalam riwayat muslim dengan redaksi lain, “Sebagai
bentuk syukur kepada Allah Ta’ala, maka kami berpuasa padanya.”
Dalam riwayat
al-Bukhari, “Dan kami berpuasa padanya untuk mengagungkannya.” Sedangkan
dalam riwayat Ahmad dengan tambahan, “Hari itu adalah hari mendaratnya
perahu Nuh di atas bukit al-Judiy, maka Nuh AS berpuasa padanya.” Sedangkan
sabda beliau, “Dan memerintahkan berpuasa padanya,” pada riwayat lain
dalam shahih al-Bukhari, “Maka beliau bersabda kepada para sahabatnya,
‘Kalian lebih berhak terhadap Musa daripada mereka, maka berpuasalah’.”
Cara Berpuasa Umat Muslim di Hari ‘Asyura
Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas RA, beliau berkata, “Ketika Rasulullah SAW berpuasa pada hari ‘Asyura
dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa padanya, mereka menyampaikan,
‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang
Yahudi dan Nashrani.’ Lalu beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
‘Kalau begitu, pada tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari
kesembilan’. Dan belum tiba tahun yang akan datang, namun Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam sudah wafat.” (HR. Muslim)
Umat Islam
disunnahkan untuk berpuasa pada hari ‘Asyura. Namun puasa yang dimaksud bukan
seperti puasa yang dikerjakan oleh orang-orang Yahudi. Mereka berpuasa pada
hari Asyura sebagai wujud rasa syukur ata Nabi Musa yang telah terselamatkan
dari kejaran Fir’aun. Oleh karena itu, ini merupakan kenikmatan yang sangat besar
bagi orang-orang Yahudi. Melihat hal tersebut, maka Rasulullah pun menyuruh
umatnya untuk menambah hari berpuasa, baik sebelum hari ‘Asyura, ataupun
setelahnya. Rasulullah memerintahkan umat Islam untuk menyelisihi Yahudi yang
hanya berpuasa pada hari ‘Asyura. Caranya dengan berpuasa pada hari kesembilan
atau hari kesebelas secara beriringan dengan hari kesepuluh (‘Asyura), atau
ketiga-tiganya.
Oleh karena itu,
terkait cara berpuasa pada hari Asyura, sebagian ulama seperti Ibnu Qayim
membaginya pada tiga keadaan, 1) Berpuasa pada hari ‘Asyura dan Tasu’ah (9 Muharram),
ini yang paling afdhal; 2) Berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram,
ini kurang pahalanya daripada yang pertama. 3) Berpuasa pada hari ‘Asyura saja,
sebagian ulama memakruhkannya karena Nabi SAW memerintahkan untuk menyelisihi
Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya
makhruh).
Lain halnya Ibnu
Hajar di dalam kitab Fathul Baari yang mengisyaratkan untuk berpuasa
selama tiga hari (9, 10 dan 11 Muharram). Selain itu, Asy-Syaukani dalam Nailul
Authar dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan menganjurkan cara berpuasa seperti ini. Mayoritas
ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati. Ibnul
Qudamah di dalam Al-Mughni menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara
seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal
bulan.
Agungkanlah Hari Asyura, Bukan Merusaknya
Rasulullah SAW begitu menghormati
hari ‘Asyura. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam untuk
berpuasa pada hari tersebut. Meskipun begitu, Rasulullah SAW telah mengatur
tata caranya dalam berpuasa. Cara berpuasa ini dibuat sedemikian rupa agar
tidak sama atau menyelisihi puasa orang-ornag Yahudi.
Sayangnya,
bentuk penghormatan ini telah melampaui batas kewajaran. Ada banyak sekali
ritual-ritual yang dikerjakan pada hari ‘Asyura, sedangkan hal tersebut tidak
terdapat dalam tuntunan agama. Seperti mengerjakan shalat dan dzikir-dzikir
khusus; mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir
rambut; membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya; membakar kemenyan;
bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu; membaca doa
awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun; dan
masih banyak lagi.
Sesungguhnya
secara khusus tidak ada dalil yg menunjukkan keutamaan amal-amal itu untuk
dikerjakan pada hari ‘Asyura. Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh
syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka
hukumnya adalah bid’ah.
Ibnu
Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif) : “Hadits anjuran memberikan uang
belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak
ada satupun yang shahih. Di antara ulama yang mengatakan demikian adalah
Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Uqaili berkata :”(Hadits itu tidak
dikenal)”. Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan,
semacam haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam rangka mengenang
kematian Husain bin Ali RA maka itu adalah perbuatan orang-orang yang tersesat
di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya
tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir atau wafat para
nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka.
Adapun
shalat ‘Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali berkata : “Maudhu’ (hadits palsu)”.
Ucapan beliau ini diambil Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah. Hal
senada juga diucapkan oleh Al-Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah dan Ibnul
Jauzi dalam Al-Maudlu’ah. Ibnu Rajab berkata, “Setiap riwayat yang
menerangkan keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura adalah
maudlu (palsu) tidak sah.”
Epilog
Ada banyak keutamaan berpuasa dalam
hari ‘Asyura. Hari dimana telah banyak peristiwa-peristiwa penting terjadi di
dalamnya. Hari dimana umat-umat sebelum Islam juga sangat mengagungkannya. Oleh
karena itulah, Rasulullah pun memerintahkan umat Islam untuk berpuasa. Meskipun
begitu, Rasulullah memberikan tata cara berpuasa yang berbeda dengan umat-umat
terdahulu, misalnya orang Yahudi.
Hanya saja sekarang ini ada banyak
ritual-ritual yang dikerjakan pada hari ‘Asyura sangat bertentangan dengan
agama. Ritual-ritual tersebut telah menyalahi aturan agama Islam. Padahal
Rasulullah pun menyuruh umat Islam untuk menyelisihi cara berpuasa orang Yahudi
pada hari ‘Asyura agar tidak sama sepenuhnya.
Semoga pada momen tahun Baru Islam
ini, kita dapat memperbaiki segala sikap buruk kita pada tahun lalu. Kita dapat
memperbaharui sikap tersebut, dan menggantinya dengan sikap yang lebih baik.
Semoga kita selalu dapat menjalankan segala perintah Allah SWT sesuai dengan
tuntunan yang benar dalam agama Islam. Wallahu ‘alam bish-sawab.
Muhammad
Qamaruddin
Santri
Pondok Pesantren UII
&
Mahasiswa Ekonomi Islam ‘10
Diterbitkan pada Buletin Al-Lu'lu Edisi 15/11/2013
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?