Oleh: Muhammad Qamaruddin
Aku kadang merasa bingung, kenapa aku
harus dibubuhi dengan tulisan yang aneh. Bentuknya tidak beraturan, dengan
garis-garis lurus, bengkok, dan kadang tumpah tindih bak tulisan yang
kekurangan tempat. Aku merasa berbeda dengan saudara-saudaraku yang berada di
sini. Kita memang mempunyai ukuran yang tidak jauh beda, paling hanya berbeda
beberapa centimeter pada diameternya. Tapi lihatlah penampakanku. Sangat aneh.
Aku jadi bertanya-tanya, kenapa hanya aku yang dibuat seperti ini?
“Aku tahu model-model seperti kamu,”
suara itu terdengar jelas di tengah keresahanku. Aku melirik kepadanya. Ia
mempunyai bentuk yang sangat besar. Mungkin tiga kali lipat lebih besar dari
bentukku. Ia terlihat sangat gagah. “Dulu pernah ada yang seperti kamu. Ia juga dipenuhi
tulisan aneh.” Aku risih dengan kata “aneh” yang diucapkannya. “Aku yakin kamu
juga akan dibawa ke tempat yang sama seperti dia,” sambungnya lagi.
“Ke manakah nanti aku akan di bawa,
Saudara Besar?” Tanyaku penasaran. Aku memanggilnya “Saudara Besar” karena
ukurannya yang jauh lebih besar daripada aku.
“Aku kurang tahu persis. Tapi mereka
sering memanggilnya dengan sebutan tempat ibadah.” Tempat Ibadah? Tempat apakah
itu? Aku bertanya-tanya pada diri sendiri.
***
Siang
itu aku telah diserahkan ke tangan pemilik baru. Mereka memanggilnya dengan
sebutan “Pak Haji”. Beberapa hari sebelumnya, Saudara besar yang sempat
menjelaskan tentang “tempat ibadah” itu telah pergi lebih dulu. Saking besarnya
ia, perlu dua orang untuk mengangkatnya. Saat itulah Saudara Besar mengucapkan
selamat tinggal pada kami. Dengan bentuk sebegitu besarnya, aku masih
menebak-nebak, di manakah nantinya ia akan ditempatkan. Kini aku yang harus
berpisah dengan saudara-saudaraku.
Setelah
setengah jam perjalanan, Pak Haji menghentikan laju motornya. Aku mengintip
dari balik kotak. Ia berjalan menuju ke sebuah tempat yang bentuknya berbeda
dengan yang lain. Inikah tempat ibadah yang dimaksud oleh saudara besar dulu?
Pak
Haji masuk ke dalam tempat tersebut. Ruangannya tidak terlalu luas. Bentuknya
Segi empat. Di tengah rungan terdapat selembar kain yang dibentangkan,
memisahkan tempat ini menjadi dua bagian. Di depannya, terdapat satu ruangan
kecil yang menjorok memisah dari ruangan. Ruangan tersebut hanya cukup berdiri
satu orang. Pak Haji mengeluarkanku dari kotak. Ia berjalan menuju ke ruangan
yang menjorok tersebut. Tepat di dinding terdepan itulah aku dipasang. Dia
tersenyum puas setelah memasangku di sana.
“Alhamdulillah.
Dengan adanya kamu di sini, semua jama’ah akan mengetahui kapan waktu shalat,”
ujar Pak Haji seakan berbicara kepadaku. Ia mengucapkan beberapa kata yang terdengar
asing bagiku. Seasing tulisan yang ada padaku. Aku masih tak karuan rasa. Aku
masih bertanya-tanya. Bagaimanakah nasibku selanjutnya di sini?
***
Bertahun-tahun sudah aku berada di
sini. Sedikit banyaknya aku mengetahui tentang segala sesuatu mengenai tempat ini.
Orang-orang yang datang ke sini lebih sering menyebutnya dengan “Mushalla”. Ada
juga tempat-tempat ibadah lainnya. Bentuknya pun macam-macam. Aku kira mungkin
salah satu saudaraku juga diletakkan di sana.
Aku bertugas menjadi pengingat
orang-orang yang ingin melaksanakan ritual ibadah yang mereka sebut shalat. Aku
hafal sekali, lima kali sehari, sebanyak itulah mereka melakukan shalat dalam
sehari. Tanpa bosan mereka terus melakukan shalat. “Ini perintah Allah SWT
kepada kita,” nasehat salah satu penceramah suatu ketika.
Seiring
berjalannya waktu, ketakutanku hilang. Aku merasa keberadaanku di sini
sangatlah penting. Tanpa aku, mereka tidak dapat mengetahui waktu shalat.
Apalagi aku sangat menyukai wajah-wajah teduh yang selalu datang ke mushalla
ini.
Kadang
aku merasa merinding jika mereka melakanakan shalat. Mereka tunduk syahdu
menghadap Allah SWT. Biasanya Pak Haji yang berdiri tegak di depan. Mereka
memanggil Pak Haji dengan kata imam. Pak Haji membaca alunan kalimat yang
sangat indah. Aku selalu terbuai oleh alunan kalimat tersebut. Bahkan setiap
sekali mereka shalat, ingin sekali rasanya mengehentikan bunyi “tik tok” yang
berasal dariku, agar tidak mengganggu semua orang yang ada di sana. Sayang
sekali, itu sangat tidak mungkin.
Lambat
laun, aku tersadar oleh suatu hal. Tahun demi tahun terlewati, bulan demi
bulan, hari demi hari, aku merasa orang-orang yang datang ke sini bukan
bertambah banyak, namun semakin sedikit. Aku masih ingat sewaktu aku baru saja
datang. Bahkan Pak Haji sibuk menghamparkan beberapa buat tikar saking
banyaknya orang yang ingin ikut shalat di mushalla ini. Sekarang, orang-orang
itu menghilang satu persatu. Aku sedih. Kemanakah orang-orang yang dulunya
begitu gembira dengan kehadiran mushalla ini?
***
Tiada hari tanpa Pak Haji. Dialah
orang yang selalu datang paling awal ke mushalla. Dia juga yang memanggil
orang-orang untuk datang menyusulnya. Tentu saja untuk melaksanakan shalat.
Sayangnya, hanya beberapa orang yang mau datang. Kadang salah satu waktu shalat
pun tampak sangat sepi, karena hanya ada satu dua orang yang mengikuti Pak Haji
di belakang.
Aku mulai resah lagi dengan keadaan
ini. Aku tahu dengan betapa pentingnya keberadaanku di sini. Namun, apakah aku
hanya akan bertemu dengan orang yang sama setiap hari? Saudara-saudaraku di
luar sana pasti bertemu dengan orang banyak. Mereka pasti menyaksikan
bermacam-macam aktivitas. Tidak seperti aku. Sepi, sendiri, dan hanya melihat
hal yang sama setiap hari. Di tengah keresahanku, tiba-tiba pada suatu hari Pak
Haji menaiki kursi dan menggapaiku. Pak Haji? Apa yang ingin kau lakukan
terhadapku?
“Sebenarnya sudah lama aku ingin
memindahkanmu,” ia berbicara kepadaku. Aku tidak lagi diletakkan di depan imam,
tetapi diletakkan di atas dinding tepat di depan ma’mun. Ada nuansa berbeda
ketika aku diletakkan di sini. Aku dapat melihat sekeliling lebih luas dari
sebelumnya. Aku bahkan dapat melihat lingkungan di luar mushalla lewat jendela.
Sesuatu yang tidak mungkin aku lakukan sebelumnya.
“Nah, di sinilah kamu sekarang. Aku
yakin mereka pasti dapat melihatmu dari luar mushalla sana. Semoga dengan ini,
mereka dapat mengingat waktu shalat dan mau datang ke mushalla lagi,” ujar Pak
Haji seraya tersenyum bangga menatapku. “Semoga dengan melihatmu, mereka sadar
bahwa waktu akan terus berjalan. Ia tidak akan pernah berhenti.” Pak Haji menatap
pilu. Ia menghembuskan nafasnya sambil tertunduk lesu. Aku memahami
kesedihannya. Ia merasa kasihan dengan mushalla ini. Mushalla yang dulunya
dibangun dengan penuh suka cita. Kini hanya sebuah tempat yang sepi dan sangat
terasing.
Tapi tunggu dulu. Hei! Aku
melihatnya lewat jendela mushalla. Aku mengenal bentuk itu, meskipun berada
sangat jauh dariku. Aku sudah lama mendambakan untuk bertemu dengannya.
***
“Aku langsung dipasang di sini sejak
dibawa dulu,” kata saudara besar. Ia berada di atas sebuah tugu. Sangat gagah.
Sekelilingnya adalah persimpangan jalan yang ramai dilewati orang-orang.
Beberapa orang berjalan di sana. Mereka menikmati pemandangan tugu. Aku rasa,
keberadaan saudara besar merupakan salah satu daya tarik bagi mereka. “Aku
tidak tahu ternyata kau berada tidak jauh dariku,” lanjutnya lagi. Kami
berbicara dengan bahasa yang tidak akan pernah dimengerti oleh orang-orang.
Hanya kami dan saudara-saudara kami yang memahaminya.
“Baru kemarin aku dipindahkan ke
tempat ini. Dulunya aku berada di dinding yang berbeda,” jawabku singkat.
Tiba-tiba saja aku merasa malu ia mengetahui keberadaanku di sini. Betapa
eloknya ia berada di sana. Semua mata memandangnya pada saat melewati tugu. Ia selalu
bertemu dengan orang yang berbeda di setiap harinya. Tidak hanya itu, keramaian
yang ada di sampingnya itu, tidak akan membuatnya kesepian. Sedangkan aku?
Meskipun aku menjawab sekenanya, ia
terus menceritakan pengalamannya berada di sana semenjak pertama kali dipasang.
Aku hanya mendengarkannya. Hingga tiba-tiba saja ia bertanya denganku.
“Bagaimana dengan kamu di sana?” Aku terkejut dengan pertanyaan tersebut. Apa
yang harus aku ceritakan kepadanya? Akhirnya aku putuskan untuk bercerita
seadanya. Meskipun aku masih malu-malu, aku menceritakan tentang Pak Haji,
mushalla, shalat, jumlah orang yang semakin sedikit datang, sampai pada
kesedihan Pak Haji karena mushalla yang semakin sepi. Saudara besar
mendengarkanku dengan seksama. Tiba-tiba ia berdenting sangat nyaring. Dua
belas kali.
“Aku sengaja dibuat dengan suara
yang sangat nyaring, karena memang nantinya aku akan diletakkan di tempat ramai
seperti ini,” jelasnya kepadaku. Aku memikirkan diriku sendiri. Aku tidak pernah
berbunyi. Hanya ada suara tik tok. Betapa jauhnya aku dengan Saudara Besar. Tiba-tiba
Pak Haji datang tergopoh-gopoh. Ia langsung melihat kepadaku. Aku baru sadar
bahwa ia terlambat memanggil orang-orang untuk datang ke mushalla.
“Mudah-mudahan shalat zhuhur kali
ini banyak yang datang,” ucapku lirih.
“Semoga,” sambung saudara besar.
Rupanya ia mendengar selorohanku tersebut.
Pada
akhirnya ia mengiyakan apa yang telah kuceritakan sebelumnya. Seusai shalat ia
melihat betapa sedikitnya orang yang datang pada hari itu.
***
“Beberapa hari lagi tahun baru!”
Saudara besar berteriak kepadaku.
“Tahun baru? Apa itu?” Tanyaku
penasaran. Aku masih belum paham dengan apa yang ia maksud.
“Semua orang akan bergembira
menyambutnya. Semua orang akan meniup terompet, menyalakan kembang api, dan
meneriakkan ‘Selamat Tahun Baru!’ Sebagian besar mereka akan berkumpul di
sekelilingku,” jelas Saudara Besar bersemangat.
Memang
ini adalah pertama kalinya aku dapat melihat luar mushalla lebih jelas. Aku
mencoba mengingat-ingat saat keberadaanku masih di bagian depan imam. Dulu aku
sepertinya pernah beberapa kali mendengar suara ledakan-ledakan dari langit
diiringi suara sorak-sorak dari orang-orang. Mereka juga meneriakkan hal yang
sama seperti yang diucapkan oleh saudara besar, yaitu “selamat Tahun
baru!” Bagiku mau kapanpun, tugasku
tetap sama, yaitu mengingatkan waktu shalat. Rasanya tidak ada perbedaan di
setiap harinya.
“Kau
nanti akan melihatnya,” sambung saudara besar. Iya, aku akan melihatnya, tapi
apakah aku akan menikmatinya? Tanyaku pada diri sendiri. Aku kembali tersadar,
aku ingat akan suatu hal. Beberapa tahun ini, Pak Haji selalu menangis setiap
kali melewati malam dengan penuh bunyi-bunyian itu. Aku menemuinya duduk
sendiri di waktu subuh. Ia menunggu orang-orang berdatangan. Nihil. Sampai
terbit fajar, ia masih seorang diri di mushalla.
“Mereka
rela menunggu waktu menunjukkan angka dua belas, tetapi mereka lupa shalat.
Mereka rela menghabiskan waktu malam dengan bersuka cita, tetapi saat panggilan
itu tiba, mereka malah pulang dan tertidur pulas. Sampai kapan hal ini akan
terus terjadi?” Pak Haji duduk bersimpuh. Matanya sembab oleh tangisannya. Aku
terpaku menatapnya.
***
Malam Tahun baru. Saudara besar
berdenting sangat nyaring dua belas kali. Suara kembang api bersahut-sahutan di
atas langit. Semua orang bersuka cita. Bunyi terompet di mana-mana. Aku hanya
menatap pemandangan itu dari kegelapan mushalla. Meskipun begitu, aku menikmati
pemandangan tersebut. Sejak aku dipindahkan di sini, inilah pertama kalinya aku
melihatnya.
“Nikmatilah,” teriak saudara besar
di tengah-tengah ramainya orang-orang bergembira. Sepertinya ia sangat
menikmati malam itu. Sedangkan aku? Gelapnya ruangan mushalla ini menjadi saksi
betapa aku sangat kesepian.
Tiba-tiba saja aku merindukan
suasana ketika aku datang pertama kali ke tempat ini. Saat orang-orang
bersegera pergi ke mushalla tatkala Pak Haji memanggil mereka. Saat ruangan ini
penuh dengan orang yang melaksanakan shalat. Saat mereka mencintai tempat ini.
Aku ragu akan hal itu. Bahkan aku
masih bertanya-tanya. Apakah subuh besok, mereka akan tetap datang ke mushalla?
Atau untuk kesekian kalinya, Pak Haji kembali duduk sendiri menangisi
orang-orang yang ingat dengan waktu tahun baru, tetapi lupa akan waktunya
shalat.
***
Muhammad
Qamaruddin
Kawah
Condrodimuko Ashabul Kahfi
Di Akhir Tahun
2013
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?