Oleh: Muhammad Qamaruddin
"Ya Allah,
jadikan diriku lebih baik dari sangkaan mereka. Janganlah Engkau hukum aku
karena ucapan mereka dan ampunilah aku lantaran ketidaktahuan mereka."
(Doa Sahabat
Abu Bakar Ash Siddiq RA)
Tidak ada
manusia di dunia ini yang luput dari kesalahan dan kekhilafan. Mari kita
mengingat kembali kisah Nabi Adam beserta Siti Hawa yang memakan buah khuldi,
padahal Allah telah melarangnya. Nabi Yunus sengaja meninggalkan kaumnya karena
setelah 33 tahun lamanya berdakwah, tetapi hanya 2 orang saja yang mendengarkan
seruannya. Nabi Musa yang tidak sengaja membunuh orang karena pukulannya. Tentu
saja para nabi yang mulia ini bersegera meminta ampunan kepada Allah SAW. Taubat
Nabi Adam dan Siti Hawa terekam pada ayat 23 surah al-‘Araf, taubat Nabi Yunus
pada ayat 87 surah al-Anbiya, dan taubat nabi Musa pada ayat 15-16 surah
al-Qashash.
Lain daripada
itu, kemaksuman Nabi Muhammad SAW adalah bentuk keistimewaan Rasulullah dari
Allah SWT. Keistimewaan tersebut diwujudkan Allah SWT dengan langsung menegur
dan memperbaiki kekhilafan yang dialami oleh Rasulullah SAW. Lebih dari itu, apa
yang disebut "kesalahan" itu pun tak lebih dari kelembutan hati
beliau SAW terhadap suatu kejadian. Semisalnya saja saat Nabi Muhammad SAW, menurut
riwayat Bukhari dan Muslim, pernah mengharamkan dirinya meminum madu untuk
menyenangkan hati istri-istrinya. Lalu turunlah ayat 1 Surah at-Tahrim, sebuah
teguran Allah kepada nabi SAW.
Mari kita
cermati salah satu hadits Rasulullah yang berbunyi, “Setiap anak adam
(manusia) berbuat kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang
bertaubat.” (HR At Tirmidzi). Hadits ini menjelaskan kepada kita, bahwa
sebaiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat, yaitu orang yang
berjanji pada Allah dan dirinya sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan
tersebut.
Suatu ketika penulis
pernah berbincang-bincang dengan seorang kawan. Ia menceritakan betapa
orang-orang memandangnya sangat baik. Ia sangat dihormati dan seringkali dimintai
pendapat. Padahal ia menyadari bahwa ia pun tidak luput dari kesalahan.
Kesalahan-kesalahan ini merupakan aib baginya. Sesungguhnya, jika mereka tahu
semua aib-aib tersebut, niscaya mereka akan membencinya dan merendahkannya.
Lalu kemudian ia bertanya kepada penulis, apakah sebenarnya kita baik karena
kita telah berbuat baik, ataukah karena Allah sampai detik ini masih menutupi
aib-aib kita? Berkaca dari percakapan di atas, tentu saja kita sepatutnya
bersyukur, karena sampai detik ini Allah masih menutupi seluruh
kesalahan-kesalahan kita dari orang-orang. Akan sangat mudah bagi Allah untuk
membongkar segala aib yang kita miliki, jika Allah berkehendak. Lalu akan
sangat mudah bagi Allah membalikkan posisi seseorang yang awalnya dipuja-puja,
akan tetapi karena aib tersebut ia pun menjadi orang yang direndahkan dan
dihinakan.
Pengertian aib
Menurut
al-Fairuz Abadzi dalam Al-Qomus al-Muhith, secara bahasa, aib العيب))
dapat didefinisikan sebagai cacat atau kekurangan. Bentuk jama’nya adalah uyub.
Adapun sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa arab di sebut ma’ib.
Dalam Kitab ad-Dur al-Mukhtar, Al-Hasfaki menyampaikan bahwa sebagian
ulama mazhab Hanafi menjelaskan aib dengan pengertian:
مَا يَخْلُو عَنْهُ
أَصْل الْفِطْرَةِ السَّلِيمَةِ مِمَّا يُعَدُّ بِهِ نَاقِصًا
“Suatu bagian yang tidak ada dari asal penciptaanya dan hal itu
dianggap sebagai bentuk kekurangan”
Maka aib dapat
diartikan sebuah cela atau kondisi seseorang dilihat dari sisi keburukannya,
atau hal yang tidak baik tentangnya. Seringkali kita mendengar suatu informasi
dari orang lain lalu menjadikan hati kita merasa tidak enak, maka hal ini dapat
disebut aib. Aib dapat berupa peristiwa, keadaan, atau suatu deskripsi.
Acapkali aib –sendiri maupun orang lain– tersebut secara tidak sadar kita
sebarkan. Lebih parahnya lagi jika aib tersebut disebarkan secara sadar.
Memang pada
dasarnya terdapat orang-orang yang diketahui tidak pernah sekalipun berbuat
maksiat. Jika didapati ia tergelincir dalam kesalahan, maka dengan rahmat dan
kasih sayang Allah SWT, kesalahan tersebut tidak diungkapkan seketika itu juga.
Bahkan Allah pun memberikan anjuran kepada orang-orang yang mengetahuinya untuk
tidak menyingkap dan menceritakannya. Inilah cara Allah menjaga kehormatan
hamba-Nya! Entah kesalahan itu disengaja maupun tidak disengaja. Adapun
orang-orang yang menceritakan hal yang tidak baik dari saudaranya termasuk pada
kategori ghibah. Perbuatan ini sangat dibenci oleh Allah SWT. Dalam
firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ
يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ…
“Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan
keji di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh azab yang pedih di
dunia dan di akhirat….” (An-Nur: 19)
Aib merupakan
sesuatu yang diasosiasikan buruk, tidak terpuji, dan negatif. Aib adalah suatu cela atau kondisi yang tidak baik tentang
seseorang jika diketahui oleh orang lain akan membuat rasa malu, rasa malu ini
membawa kepada efek psikologi yang negatif jika tersebar. Manusia
tidak bisa lari dengan menutup diri terhadap kekurangannya. Manusia harus
berintrospeksi dan menghisab diri sendiri untuk memperbaikinya. Umar bin
Khattab berpesan, "Hisablah dirimu sebelum diri kamu sendiri dihisab,
dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum perbuatanmu ditimbang."
Muliamu (Mungkin) Bukan karena Kebaikanmu
Seringkali kita
meyakini bahwa segala kemuliaan yang kita miliki ini berasal dari usaha kita
sendiri. Kita lupa bahwa ada Allah SWT yang terus menutupi segala aib kita di
hadapan manusia. Kita tak sadar akan tersebut, sehingga membuat kita menjadi
lupa diri. Ingatlah wahai saudaraku! Mulia yang kau punya ini bisa jadi bukan
karena kebaikanmu. Kebaikan yang kita lakukan adalah sesuatu yang memang
senyatanya harus diamalkan selama hidup kita. Allah menjanjikan surgaNya kelak
bagi orang-orang yang selalu melakukan kebajikan selama hidupnya.
Wahai
saudaraku, ingatlah bahwa diri kita ini penuh dengan kekurangan, aib, cacat,
dan cela. Tentu saja jika mau dibandingkan dengan para nabi yang juga pernah
melakukan kesalahan, maka posisi kita mungkin jauh dari kemuliaan mereka. Maka
jangan pernah terbesit di hati kita kata sombong dengan segala kemuliaan ini,
baik harta, jabatan, tahta, dan yang lainnya. Muhamad bin Waasi' rahimahullah
berkata ;
لو كان للذنوب ريح
ما جلس إلي أحد
"Seandainya dosa-dosa itu ada baunya maka tdk seorangpun yang
mau duduk bersamaku"
Oleh karena
itulah, jangan pernah ujub dengan amalan kita. Jangan pernah terpedaya dengan
pujian yang diberikan. Jangan pernah riya dengan kebajikan yang dipebuat.
Karena semua itu tidak akan berguna, jika satu aib saja diungkap oleh Allah
SWT. Yakinlah, semua pujian tersebut akan berubah menjadi celaan. Kita akan terpuruk, seterpuruk-terpuruknya.
Kita juga akan malu, semalu-malunya. Kita juga akan hina, sehina-hinanya.
Seperti tak ada lagi tempat tersedia untuk menerima kita. Bukankah kita sering
mendengar sebuah peribahasa “Hujan sehari menghapus kemarau setahun”,
atau peribahasa yang lain, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”.
Penulis yakin bahwa pembaca yang budiman paham maksud dan arti dari kedua
peribahasa tersebut.
Sehubungan
dengan tema di atas, penulis teringat dengan salah satu ceramah dari Ustadz
Salim A. Fillah, yang bercerita mengenai Nabi Yusuf AS. Saat itu beliau
bertanya kepada jamaah, “Siapa nama perempuan yang menggoda Nabi Yusuf?” “Zulaikha,” jawab jamaah serempak. Lalu Ustadz kembali
bertanya, “Dari mana kalian tahu bahwa nama perempuan itu adalah Zulaikha?
Sedangkan Allah tidak ada sama sekali menyebutnya dalam al-Qur’an?” Seketika
itu juga bergemuruhlah ruangan oleh suara para jamaah yang bertanya satu sama
lain. Hingga sebagian menjawab pertanyaan tersebut, “Dari hadits, Ustadz.”
Lagi-lagi Ustadz kembali bertanya, “Coba anda pikirkan, mengapa Allah tidak
menyebut nama Zulaikha di dalam Al-Qur’an?” Kali ini semua jamaah diam. Maka
Ustadz Salim A. Fillah tersenyum dan melanjutkan penjelasannya, “Karena
perempuan ini (Zulaikha) MASIH MEMILIKI RASA MALU. Apa buktinya ia masih
memiliki rasa malu? Ia menutup tirai sebelum menggoda Yusuf. Ia malu dan tidak
ingin ada orang lain yang tahu tentang perbuatannya.”
Lihatlah!
Allah menutupi aib orang-orang yang masih memiliki rasa malu di hatinya, dengan
tidak menyebut namanya di dalam Al-Qur’an. Subhanallah! Maka perhatikanlah diri kita, mungkin karena masih memiliki
rasa malu, maka Allah tidak membuka identitas kita. Mungkin tidak hanya sekali,
namun berulang-ulang kali Allah telah menutup dosa-dosa kita.
Maka,
pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya kita tanyakan pada diri kita sendiri.
Apakah kita Nampak baik di hadapan orang lain? Apakah semua itu karena begitu
banyaknya kebaikan yang kita lakukan? Atau karena Allah telah menutupi aib
kita?
Epilog
Pembaca
yang dirahmati oleh Allah SWT.
Sebelum
menutup tulisan ini, penulis akan menyampaikan doa yang biasanya dibaca
Rasulullah SAW pada pagi dan petang, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu
‘Umar Rodhiyallahu ‘anhuma:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ
الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ
وَالْعَافِيَةَ فِى دِينِى وَدُنْيَاىَ وَأَهْلِى وَمَالِى اللَّهُمَّ اسْتُرْ
عَوْرَتِى
“Yaa Allah
sesungguhnya aku meminta kepada Mu ‘Afiyah di dunia dan akhirat. Yaa Allah aku
memohon kepada Mu ‘‘Afwaa dan ‘Afiyah pada urusan agamaku, duniaku, keluargaku
dan hartaku. Yaa Allah tutupi auratku (aib-aibku)”
Atau dengan riwayat Ibnu Majah dengan tambahan,
yaitu:
اللَّهُمَّ استُر عَوْرَاتي ، وآمِنْ رَوْعَاتي ، اللَّهمَّ احفظني من بَينِ يَدَيَّ ومِن خَلْفي ، وَعن يَميني ، وعن شِمالي ، ومِن فَوقي، وأعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحتي
“Yaa Allah
tutupi auratku (aib-aibku), tenangkanlah aku dari rasa takutku. Yaa Allah
jagalah aku dari arah depan dan belakangku, arah kanan dan kiriku, serta dari
arah bawahku. Aku belindung dengan kebesaran Mu agar aku tidak dihancurkan dari
arah bawahku”
Semoga
Allah mengampuni dosa-dosa kita semua. Allahumma Amin. Wallahu ‘Alamu
bishshawab.
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?