Senin, 7 Oktober 2019, pukul 01.30 WIB.
Sesekali kukecup kening istriku. Tangannya memeluk erat tubuhku.
Mencengkeram jaketku kuat sekali. Mukanya terbenam di dadaku, seperti tidak
mempedulikan sekitarnya. Hanya aku dan dia. Terasa kesedihan yang sangat luar
biasa. Seolah-olah ia membayangkan pertemuan ini bakal menjadi penghujung
cerita. Namun, usapan tanganku di kepalanya meyakinkan bahwa ini hanya
berlangsung sementara.
Kadang aku merasa ia terlalu cengeng. Tapi mungkin ini adalah sikap
yang paling wajar untuk seorang wanita, setidaknya untuk istriku. Dan Aku sendiri
pun harus berdamai dengan keegoan laki-lakiku. Mataku mungkin bisa berbohong,
namun hatiku terisak.
Tak selang beberapa lama kemudian, perlahan-perlahan ia mulai mengangkat
mukanya. Matanya sembab membasahi jaket di dadakku. Sangat jelas jika wajah
terkasih ini mencoba untuk memaksakan diri tersenyum, meskipun aku tahu itu
hanya guratan palsu. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa ia kuat menjalaninya. Mungkin.
Aku memberikan isyarat kepadanya untuk memberikanku waktu menjenguk
anakku yang sudah ketiduran dengan nyenyaknya. Ia pun perlahan melepaskan
pelukannya. Kudatangi anak gadisku yang sebentar lagi akan memiliki seorang
adik. Kupandangi wajahnya dengan syahdu. Kuelus-elus rambutnya yang berantakan.
Kurapikan bajunya yang tak karuan. Kuangkat selimut yang ditendangnya entah
kemana. Kupeluk pelan-pelan badannya.
“Jaga bunda ya nak”,
ucapku pelan di telinganya sembari mengecup keningnya mesra. Meskipun aku tahu
ia tak mungkin mendengarnya.
Selanjutnya, aku merapikan barang-barangku. Istriku memperhatikanku
dengan pandangan nanar sembari mengusap perutnya yang sudah membesar. Aku
tersenyum. Aku paham jika ia ingin aku mengucapkan dua patah kata untuk sang
janin. Aku pun duduk. Mukaku tepat di depan perutnya. Kucium perutnya dengan
lembut.
“Jangan buat bunda repot ya Nak. Ayah pasti ke sini lagi. Tunggu
Ayah ya,” ucapku kepada sang janin sekaligus
memberikan doa terbaik untuk sang janin dan istriku.
Aku melihat jam tanganku. Aku harus segera beranjak pergi. Jika
tidak, aku bisa ketinggalan pesawat. Aku mendatangi mertuaku. Aku pamit kembali
ke Kalimantan untuk melanjutkan pekerjaanku di sana. Hanya doa yang mereka
berikan kepadaku. Terakhir, istriku mencium tanganku sebagai bentuk baktinya
kepada suami. Aku segera berjalan ke mobil travel yang sedari tadi menungguku.
Sang sopir hanya bisa tersenyum sedih melihat suasana tersebut. Mungkin ia juga
ingat dengan keluarganya nan jauh di sana.
Di dalam mobil, kupandangi mereka yang berdiri melepas kepergianku.
Sekali lagi air mata istriku mengalir. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku
kepadaku. kuangkat kedua jari telunjukku ke mulut dan mendorongnya hingga
membentuk sebuah senyuman. Aku ingin ia tetap tersenyum dalam keadaan ini. Hingga
pada akhirnya mobil itu pun berjalan menjauh, menghilangkan sosok-sosok yang
sangat kucintai. Aku menghempaskan badanku, berpikir bahwa ini hanya tinggal menunggu
waktu, dan aku pasti akan kembali lagi ke sini. Aku mencoba untuk memejamkan
mataku, menikmati perjalanan yang mungkin akan dihabiskan selama 4 jam. Allahumma
yassir wa la tu’assir.
Senin, 18 November 2019, pukul 10.00 WIB
Preeklampsia? kata itu diucapkan istriku di telepon. Sangat asing. Aku
mencoba mengingat-ingat, apakah aku pernah mendengar istilah itu sebelumnya.
Sayangnya, otakku menyatakan jika aku memang tak pernah mendengarnya. Aku
mencoba bertanya kepadanya, apa maksud dari istilah itu. Akan tetapi, ia hanya
menyuruhku untuk menceknya di google karena ia pun tidak terlalu paham.
Aku juga bertanya, apakah itu berbahaya. Sekali lagi ia Cuma menjawab jika ia
tidak tahu. Sang bidan yang memeriksanya tadi pagi Cuma mengatakan untuk tidak
usah terlalu gusar. Cukup lebih banyak minum air dan jaga kesehatan.
Walaupun ia menyuruhku untuk tenang, tapi tetap saja cemas itu
datang. Setelah telepon ditutup, langsung saja aku mengecek di google
arti dari istilah tersebut. Beberapa detik kemudian, kecemasanku memang
terbukti. Aku terduduk lunglai. Aku menemukan banyak kata-kata yang tidak
kuharapkan. Gejala, risiko, komplikasi, kerusakan, sakit, tekanan darah, dan
kata-kata lainnya yang membuatku badanku merinding. Kubaca beberapa artikel
tentang preeklampsia. Keringat dinginku bercucuran. Jantungku berdetak lebih
cepat. Perasaanku campur aduk. Ini adalah nama sebuah penyakit bagi ibu yang
sedang hamil. Lebih jauh lagi, aku justru singgah pada sebuah artikel yang
menceritakan tentang salah seorang artis yang kehilangan 2 bayi kembarnya saat
masih di dalam perutnya. Dan 1 penyakit yang menjadi penyebab utamanya adalah
istilah yang diberikan oleh istriku tadi, Preeklampsia. Ya Allah. Kenapa hal
ini harus terjadi?
Perlu diketahui, preeklampsia adalah kondisi yang terjadi pada saat
kehamilan. Umumnya gejalanya terjadi setelah minggu ke 20 kehamilan. Hal ini
terjadi karena ada gangguan pada pertumbuhan serta perkembangan plasenta,
sehingga mengganggu aliran darah ke bayi maupun ibu. Padahal Plasenta merupakan
organ yang khusus dibentuk saat kehamilan. Ibarat pemasok makanan, minuman, dan
juga oksigen, jelas jika kinerjanya terganggu, maka juga akan mempengaruhi
perkembangan janin.
Aku terus mendalami semua artikel yang kubaca. Khususnya tentang
pengobatan, pencegahan, menimilisir, mengurangi, pokoknya semua hal yang dapat
membuat istri dan anakku sembuh dari penyakit tersebut. Setelah yakin dengan
apa yang kudapat, segera saja kutelepon istriku. Kuceritakan tentang apa yang
sudah kubaca tentang preeklampsia dengan sangat hati-hati. Aku takut membuat ia
tidak tenang. Ia hanya mendengarkan tanpa banyak menjawab. Sesekali ia Cuma
menjawab sekenanya saja. Jelas dan singkat.
Aku menyuruhnya untuk istirahat lebih banyak, tidur lebih banyak,
makan lebih banyak, minum air putih lebih banyak, minum vitamin, suplemen dan
susu ibu hamil secara teratur, sesekali jalan-jalan ringan, dan perbanyak
doa-doa agar terus diberikan kesehatan, baik untuk sang ibu atau pun janin.
“Iya Yah, terimakasih atas infonya. Doain Bunda sama si kecil yang
dalam perut ya, biar sehat terus,” jawab
istriku.
Siang itu hatiku benar-benar tidak bisa tenang. pikiranku
kemana-mana. Kalimat-kalimat berawalan ‘jangan-jangan…’ ‘jangan-jangan…’ terus
berseliweran di otakku. Ya Allah, yakinkanlah aku bahwa semuanya akan baik-baik
saja. Sampai hari itu tiba. Amin.
Kamis, 21 Nopember 2019, Pukul 05.30 WITA
“Ayah….Bunda deg-deg kan. Cuma Bunda Takut salah, soalnya gak
diiringi sakit perut kaya sebelumnya.” Chat
itulah yang pertama kali kulihat saat membuka HP, persis setelah menyelesaikan
wirid Shalat subuh. Jantungku berdebar. Apakah sudah waktunya? Tanpa berpikir
panjang, aku langsung menelepon istriku yang jauh di sana. Dua kali panggilan,
namun tak ada respon. Ya Allah! Aku semakin cemas, khawatir jika terjadi
apa-apa terhadap istriku.
Beberapa saat aku mondar-mandir sendiri di kamar. Beberapa kali
juga mencoba menghubungi, namun belum ada jawaban. Aku semakin cemas. Pikiranku
kemana-mana. Perasaanku tak karuan.
Tiba-tiba saja, teleponku berbunyi. Telepon dari istriku! Tanpa
berpikir panjang, langsung saja kuangkat panggilan tersebut.
“Maaf Bun, Ayah baru lihat HP. Gimana keadaan Bunda sekarang?” Tanyaku dengan perasaan khawatir.
“Pipis Bunda tadi ada darahnya. Ini sesekali sudah mulai ada
sakitnya di perut. Apa sudah waktunya ya Yah?” Jawabnya. Aku diam sejenak. Mencoba untuk menenangkan pikiran. Jika
pertanda itu benar adanya, maka aku harus bertindak cepat.
“Ayah pesan tiket sekarang?” Tanyaku.
Ia tak langsung menjawab. Lama sekali. “Bun?” Panggilku lagi, berharap
ia tersadar dari lamunan.
“Bismillah. Iya Yah. Jika memang ini adalah waktunya, semoga Ayah
bisa datang ke sini secepatnya.” Ucapnya
lirih.
Setelah sedikit berbasa-basi, aku langsung menyudahi percakapan itu
dan mengecek seluruh aplikasi tiket yang ada di HP ku. Ironisnya, penerbangan
dengan rute Banjarmasin-Surabaya yang seharusnya ada di pagi dan siang hari,
ternyata sudah ludes habis terjual. Penerbangan yang masih tersedia Cuma ada di
jam 6 sore. Artinya, paling cepat aku bisa bertemu istriku pada tengah malam
nanti. Waktu yang sangat lama! Tentu saja keadaan ini membuatku semakin
gelisah. Apa yang harus kulakukan?
Akhirnya aku mencoba menelepon call center salah satu maskapai
pesawat, meminta solusi atas permasalahanku saat ini. Kesimpulan yang kudapat
dari percakapan tersebut, aku harus pergi ke Bandara sebelum keberangkatan pagi
atau siang dan bertanya langsung kepada pihak maskapai, apakah masih ada seat
yang bisa kumasuki. Tentu saja tindakan ini termasuk untung-untungan. Aku bisa
mendapatkan tiket pesawat, aku juga pulang dengan hasil yang nihil. Tapi ini
jalan adalah satu-satunya, setidaknya untuk saat ini. Sisanya kuserahkan kepada
yang di Atas.
Kamis, 21 Nopember 2019, pukul 10.00 WITA
Setelah meminta izin kepada atasan, menyelesaikan seluruh
pekerjaan, dan membuat jadwal ulang perkuliahan untuk mahasiswa, aku segera
pergi ke Bandara. Hanya membawa sebuah tas, tanpa tahu apakah bisa mendapatkan
tiket atau tidak, tanpa tahu apakah bisa naik pesawat atau tidak, tanpa tahu apakah
bisa terbang ke pulau seberang sana atau tidak. Ini merupakan cerita tentang
perjuangan seorang suami yang sedang berusaha keras bisa mendampingi istrinya
yang akan melahirkan.
Pertama kali aku datang ke bandara,
aku langsung menuju counter costumer service salah satu maskapai. Aku
ceritakan kepada ‘mba penjaga’ perihal keperluanku saat itu. Sayangnya, ia
justru menyuruhku langsung saja masuk ke dalam dan langsung bertanya di kantor
maskapai tersebut. Sebenarnya aku agak kecewa. Akan tetapi, jika memang itulah
prosedur yang harus kujalani, maka mau tidak mau aku harus melakukannya.
Aku segera berjalan dengan cepat menuju tempat yang dimaksud. Yang sangat
tidak mengenakkan saat itu adalah para calo yang mengelilingku dan mencoba menawarkanku
tiket pesawat. Sebenarnya aku sempat tertarik, akan tetapi hati kecilku
berkata, mungkin lebih baik aku bertanya dulu ke kantor yang dimaksud oleh
‘mba’nya tadi.
Sesampainya di sana, aku sempat agak bersitegang, karena mas-mas
yang ada di ruangan mengatakan bahwa justru semua tiket pada hari ini sudah
tidak ada, termasuk tiket yang di jam 6 sore. Semuanya sudah habis terjual.
Jelas saja aku tidak bisa menerimanya. Kuceritakan kepadanya jika aku harus
sampai ke Surabaya, bagaimana pun caranya. Bahkan aku mencoba mengajak Mas
tersebut berandai-andai, jika kejadian ini menimpanya. Akankah ia bisa tenang? Mas
itu memandangku dalam. Kurasa ia bisa menangkap apa yang ada di dalam hatiku, ‘aku
mau terbang dan mendatangi istriku yang akan melahirkan sekarang juga! Titik!’
Setelah beberapa saat, Akhirnya ia berdiskusi lagi dengan temannya,
dan beberapa kali mencoba calling patnernya di tempat lain. Dari yang
kudengar, mereka sedang membicarakan tentang apakah ada seat untuk satu
orang lagi. very important. Ya Allah, cukup satu orang ya Allah!
Dan doaku terkabul! Mas yang duduk di depanku mengatakan, InsyaAllah
masih bisa Pak. Masih ada satu seat yang bisa kumasuki di jam setengah
12. Alhamdulillah! Saat itu aku
menyalaminya dengan perasaan suka cita. Kugoyangkan tangannya tiada henti
sambil mengucapkan terimakasih berkali-kali. Ia seperti sosok malaikat penolong
yang diutus oleh Tuhan. Aku kegirangan.
Aku duduk di waiting room setelah menyelesaikan seluruh
pembayaran dan administrasi. Kukabari istriku nan jauh di sana jika beberapa
saat lagi aku akan menyusulnya di sana. Aku tahu ia sangat senang, namun ia
tidak bisa menutupi bahwa ia sedang menahan rasa sakit.
Beberapa kali aku menyuruhnya untuk langsung ke rumah sakit. Namun
ia mengatakan, ia masih bisa bertahan. Yang pastinya, saat ini aku memang
sangat ingin mendampinginya segera. Namun, jika memang persalinan itu bisa
lebih cepat dari yang kubayangkan, mungkin itu lebih baik. Daripada harus
menungguku yang masih lama datang. Entahlah. Tuhan lebih tahu.
Proses melahirkan merupakan pertaruhan antara hidup dan mati, baik
bagi sang ibu ataupun sang janin. Karena ini tentang istri dan calon anakku,
aku tidak bisa bersantai di sini. Aku harus sampai di sana secepatnya, dengan
cara apapun itu. Apalagi jika aku ingat
tentang penyakit yang disampaikan oleh bidan beberapa hari yang lalu.
Kecemasanku benar-benar memuncak. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku
hanya bisa berdoa dari jauh Allah akan memudahkan segalanya. Hanya itu yang
bisa kulakukan.
Kamis, 21 Nopember 2019, pukul 20.30 WIB
Aku berdiri gelisah di depan terminal Arya Wiraraja Sumenep.
Beberapa kali aku melirik jam tanganku. Aku mendengus sedikit kesal. Perjalanan
dari Surabaya ke sini telah menyita waktu yang lumayan panjang. ‘Seharusnya
tidak selama ini’, batinku. Kuperkirakan perjalanan tadi telah menghabiskan hampir
7 jam lebih. Biasanya perjalanan ini bisa ditempuh sekitar 5-6 jam di siang
hari. Salah satu penyebabnya adalah kemacetan yang terjadi di daerah Sampang.
Tepat pada hari itu sedang dilaksanakan Pemilihan Kepala Desa secara serempak
di daerah Sampang. Ok. It’s fine. Yang penting aku sudah sampai di
kampung halaman istriku. Tak beberapa lama kemudian, Bapak mertuaku datang
menjemputku.
Pertemuan pertamaku dengan anak dan istriku saat itu adalah
pertemuan yang sangat mengharukan. Betapa tidak. hampir 1,5 bulan lebih kami
tidak bersama. Kuberikan salam yang hangat di depan rumah. Sontak saja, anakku
yang sedang duduk di dalam langsung berlari ke arahku. Ya Allah! betapa
rindunya diriku kepada anak gadisku ini. kugendong ia dengan penuh mesra. Kugendong
badannya segera. Kupeluk ia erat-erat. Kucium pipinya berkali-kali. Ia pun
membalas pelukku dengan sangat manja. Kukeluarkan oleh-oleh yang kubeli
untuknya, sembari menanyakan keberadaan Bundanya.
Sosok perempuan itu sedang duduk di dalam rumah. Ia tersenyum
melihatku. Subhanallah! Senyuman yang lama tak kulihat langsung. Segera saja
aku mendatanginya. Kucium keningnya dengan romantis. Ia pun menyalami tanganku.
Kupeluk tubuh terkasihku. Owh, betapa aku sangat merindukanmu, Bunda!
Kemesraan itu hanya berlangsung sebentar. Karena beberapa detik
kemudian, tiba-tiba saja senyumnya hilang. Berganti dengan muka tegang yang
teramat sangat. Segera saja aku melempar tasku yang masih kutenteng sekenanya.
Kupegang pundaknya seraya menatap teduh matanya.
“Sakit lagi, Yah…,”
ujarnya lirih sambil memegang perutnya. Aku tersadar. Sakit yang ia rasakan
sudah ia tahan sejak pagi tadi. Aku hanya bisa memegang erat tangannya. Tak
terasa mataku berlinang. Bukan apa-apa. Aku sudah memaksanya untuk langsung ke
rumah sakit selama di perjalanan. Akan tetapi ia bersikeras tetap menungguku
datang. Ia ingin aku yang mengantarkanku langsung ke rumah sakit. Padahal aku
tahu sakitnya itu sudah sangat memuncak. Terlebih saat memasuki waktu senja.
Hal itu aku rasakan pada saat ia meneleponku di perjalanan, dan ia tidak bisa
berbicara sepatah katapun karena sakit yang ia rasakan.
”Kita ke rumah sakit sekarang yuk Bun,” ajakku lembut sambil menggotongnya berdiri. Matanya mengisyaratkan
rasa sakit yang ia tahan sejak tadi.
“Ayah belum shalat kan? Sana shalat dulu,” suruhnya.
“Tapi Bun…,”
“Sudah, tidak apa Yah. Sekalian Bunda beres-beres dulu sebentar.” Aku menatapnya dengan kasih sayang. Ia menyuruhku untuk segera
shalat. Anak gadisku yang sedari tadi kegirangan karena kedatanganku, masih
sibuk memamerkan seluruh mainan-mainan dan barang-barang barunya. Sayangnya,
aku tidak bisa terlalu meladeninya. Aku masih fokus dengan istriku. Maafkan
Ayah, Nak.
Aku khusuk dalam shalat, mengharapkan kepada Sang Khaliq agar
persalinan istriku dimudahkan dan dilancarkan. Amin.
Kamis, 21 Nopember 2019, Pukul 22.30 WIB
Anak gadisku sudah tertidur pulas di luar ruangan ditemani oleh Ayah
mertuaku yang terus terjaga. Sang perawat memintaku untuk terus menemani
istriku sudah sedari tadi berbaring tak berdaya di atas kasur. Sesekali ia
memejamkan matanya, menahan sakit yang terus datang silih berganti. Kupegang
erat tangannya. Kuelus rambutnya. kubisikkan kata-kata motivasi di telinganya.
kulantunkan dzikir-dzikir yang kuhapal untuk persalinan. Ibu mertua dan saudara
perempuannya juga ikut menemani di dalam. Mata mereka sudah basah karena
melihat keadaan istriku yang merintih sangat kesakitan.
“Mungkin bisa dibelikan teh hangat manis dulu Pak untuk Ibunya. Ini
kasian Ibunya ternyata belum makan. Biar Mbaknya yang di sini nyuapin makan. Supaya
ada tenaga saat mau lahiran,” terang
sang perawat ketika memeriksa tali infus. Aku sedih mendengarnya. Ternyata
istriku belum makan. Tapi mau bagaimana lagi. Segera saja aku pergi keluar
sembari berpesan kepada iparku untuk menyuapinya makan yang sudah disediakan.
Tak selang beberapa lama kemudian, saat aku mau kembali ke ruangan,
rupanya ibu mertuaku sudah menungguku di jalan. Ia menyuruhku untuk berjalan
lebih cepat.
“Ayo Nak, dicari perawatnya. Sepertinya sudah mendekati waktu
lahiran, bidannya juga sudah di dalam,” ujar
Ibu mertuaku dengan nyaring. Segera saja aku mempercepat langkahku. Bahkan teh
hangat yang ada di tanganku beberapa kali tertumpah karena cepatnya jalanku. Di
dalam ruangan, aku melihat istriku yang napasnya agak terengah-engah.
“Ayo Mas sini. Temenin istrinya,” kata bidannya yang sudah memakai sarung tangan dan mengambil
beberapa alat medis. Dengan langkah cepat, kudatangi istriku yang masih
mengatur napasnya. Sang perawat memintaku untuk memberikan teh hangat manis
yang sudah kubeli tadi.
“Beritahu kalau sudah siap ya Mbak…,” ujar bidannya kepada istriku. Jantungku berdetak cepat! Memang
sudah waktunya! Aku memegang erat tangan istriku. Kupandangi mata istriku agar
ia bisa bertahan dengan keadaan ini. Kudekatkan mulutku ke telinganya.
“Bunda pasti bisa…,”
ucapku lembut sambil mengelus rambutnya. Pada akhirnya, ia menatap sang bidan
dan menganggukkan kepalanya, pertanda ia sudah siap.
Proses persalinan itu pun dimulai. Istriku mulai mengejan. Napasnya
tergopoh-gopoh. Sesekali ia berhenti untuk kembali mengatur napas. Jantungnya
berdetak cepat. Perasaanku campur aduk. Seandainya aku bisa menggantikannya,
maka akan kulakukan. Ya Allah! Mudahkanlah…mudahkanlah!
Istriku menggenggam tanganku sangat erat. Pegangan tangan paling
kuat yang pernah kurasakan. Mulutku terus berdzikir. Kudekatkan mulutku ke
telinganya. sesekali kuucapkan kalimat-kalimat motivasi untuk menenangkannya.
‘Ayo Bunda pasti bisa’, ‘Bunda kuat kok’, ‘Ayah ada di sini’, bentar lagi Bun’,
‘terus Bun’, dan kalimat-kalimat lainnya agar ia bisa setenang mungkin saat menjalani
proses persalinan ini.
Entah berapa menit aku berada pada posisi tersebut. Hingga suara
bayi sayup-sayup terdengar. Aku memandangi istriku lembut. Airmataku
menggenang. Kucium keningnya dengan mesra.
“Sudah Bun,” ucapku agak
terisak. Kupeluk ia yang nampak sangat kelelahan.
“Anaknya laki-laki. Ganteng. Selamat Bapak Ibu,”kata sang bidan sambil tersenyum kepada kami. Aku kembali memeluk
istriku sembari mengucapkan selamat kepadanya. Ia berhasil menjalani semua proses
ini dengan baik. Di dalam suasana syahdu tersebut, samar-samar aku mendengar
pembicaraan serius antara sang bidan dengan perawat.
“Pak, mohon maaf,” sang
bidan memanggilku. Aku mendekatinya. “Istri bapak mengalami robekan. Mau tidak
mau, harus dijahit,” jelasnya kepadaku. “dan karena letak lukanya, ada bagian-bagian
yang tidak bisa kami bius saat dijahit. Mohon maaf Pak ya.” Aku diam
mematung. Masih lagi?? Aku meminta penjelasan sang bidan, kenapa hal ini bisa
terjadi. Bukan apa-apa. Aku masih ingat jika hal ini tidak terjadi pada saat
kelahiran anak pertamaku. Aku kasihan melihat istriku yang saat itu masih
terbaring sangat lemah. Aku mendatanginya agak gontai.
”Bun, ada beberapa bagian yang harus dijahit. InsyaAllah tidak akan
lama. Biar Bunda cepat sembuh. Nanti agak ditahan ya,” jelasku kepada istriku. Mukanya lelah berubah menjadi sangat
ketakutan. Ditariknya tanganku segera.
“Bunda takut Yah,” ucapnya.
Aku menganggukkan kepalaku pelan, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik
saja.
Demi Allah, teriakan istriku pada saat itu adalah teriakan paling
memilukan yang pernah kudengar. Bagaimana tidak, ia harus menahan sakit yang
tiada tara saat bagian dari tubuhnya dijahit, khususnya pada bagian-bagian yang
memang tanpa dibius. Dan itu sangat sakit! Sakit sekali! Membayangkannya saja
aku tidak sanggup. Hatiku pilu.
Ia mulai menangis sembari berteriak kepada sang bidan, ‘sudah bu,
sakit bu, sudah bu’. Ya Allah! Betapa menderitanya istriku. Betapa tersiksanya
harus melalui semuanya. Namun sang bidan terus menyelesaikan tugasnya. Ia
menjelaskan bahwa akan lebih parah jika dibiarkan.
Setelah semuanya terlewati, istriku mulai bisa menenangkan diri.
Entah aku bisa menahan sakit yang dideritanya atau tidak. Membayangkannya saja
aku tidak berani. Dari sini aku menyadari bahwa seluruh wanita yang ada di
dunia adalah sosok-sosok yang hebat.
Lambat laun suasana mencekam itu pun berganti dengan kehadiran
sosok seorang bayi mungil yang digendong oleh sang perawat.
“Diazanin ya Pak,” ucapnya
sambil tersenyum
Aku menggendong buah hatiku yang kedua. Sang penyejuk hati. Kupandangi
ia dengan penuh kelembutan. Kupandangi juga istriku yang mulai menyunggingkan
senyum, meskipun dalam keadaan sangat lemah.
Hanya satu kalimat yang ada di pikiranku saat itu, ‘Bunda, kamu
luar biasa.’
Banjarmasin, 28 November 2019
Muhammad Qamaruddin
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?