oleh: Muhammad Qamaruddin
Suatu
kewajiban santri saat masih berada di Pesantren adalah menjaga rambutnya agar
selalu terpotong pendek dan rapi. Jangan berani-berani buat model yang
macam-macam jika berada di Pesantren. Ketemu sama ustadz (apalagi ustadz
penegak disiplin!), kelar rambut antum diacak-acak sama mereka. Hukum
tertulisnya, “santri wajib mempunyai rambut pendek dan rapi”. Hukum rimbanya,
“yang punya rambut aneh, siap-siap merasakan model rambut yang penuh
jalur-jalur sawah”.
Kemudian
cobalah sekali lagi tengok para santri, di antara mereka pasti ada yang berkepala
plontos, yang kalau tiba malam hari, kepala ini seakan-akan bersinar terkena
pantulan cahaya bulan. Tidak usah terpana dengan mereka. Karena mereka adalah
santri-santri yang mendapatkan hukuman. Salah satu disiplin yang diterapkan
untuk menghukum santri dengan pelanggaran berat adalah menggunduli kepalanya.
Hukuman ini diberikan dengan harapan adanya efek jera karena malu digundul.
Tapi anehnya, bukannya malu, tidak sedikit yang malah bangga dengan model
rambut tersebut. Mungkin mereka bangga disebut pelanggar disiplin
Memotong (baca: merapikan) rambut merupakan
jadwal rutin yang wajib dilakukan oleh santri. Pada saat jadwal yang telah
ditentukan, santri senior yang menjadi pengurus akan memeriksa rambut santri
juniornya. Begitu pula para santri senior yang rambutnya juga diperiksa oleh
para ustadz. Biasanya jika tiba musim potong rambut, maka ini menjadi berita surga
yang sangat menggembirakan bagi para pemotong rambut seantero jagat pesantren. Mereka
akan berubah menjadi artis yang dicari di mana-mana. Bahkan sampai harus
membuat perjanjian terlebih dahulu jika ingin bertemu dengan mereka. Jika
tidak, maka dengan muka sok sibuk mereka akan menjawab, “maaf, tidak bisa hari
ini”.
Para barber
santri pondok ini memang sangat luar biasa. Mereka biasanya akan sibuk di pagi
dan sore hari. Ironisnya, bahkan ada beberapa santri yang memaksa mereka memotong
rambut di malam hari, dengan penerangan cahaya yang sangat minim, karena batas
maksimal pelaporan potong rambut sudah di ujung tanduk. Maka jangan heran jika
di siang hari, ada santri yang rambutnya sudah rapi, tetapi di ujung daun
telinganya ada goresan luka. Sudah tahu kira-kira darimana luka itu berasal
kan?
Pada pagi dan sore hari, para barber santri
pondok ini biasanya akan siap duduk di samping irigasi, pemandian umum santri
(Pesantren Darul Hijrah) yang konon merupakan pemandian santri terpanjang se
Indonesia. Jangan membayangkan barber ini mempunyai alat yang lengkap. Yang
mereka perlukan hanyalah gunting dan sisir serta tempat yang teduh untuk
memotong rambut. Tidak ada kursi, yang ada hanyalah hamparan tanah yang kadang
harus berdesakan dengan tumpukan baju-baju jemuran. Para pelanggan hanya perlu
memakai celana pendek tanpa baju, maka para barber ini sudah siap bekerja.
Setelah rambut tertata rapi, pelanggan hanya perlu berlari menuju irigasi untuk
membersihkan diri. Seperti itulah kiranya kegiatan pangkas memangkas di
pesantren.
Saya
dulu juga merupakan anggota dari komunitas barber ini, yang selalu berharap
otoritas penegak disiplin pesantren semakin sering melakukan pemeriksaan
rambut. Jika perlu satu minggu sekali ustadz! (Haha!) Karena semakin banyak yang meminta potong
rambut, maka semakin besar harapan adanya penggemukan badan dan penambahan gizi
bagi saua. Anehnya, setelah selesai periode pemotongan rambut, teman-teman saya
yang dulunya acuh tak acuh, pada SKSD (sok kenal sok dekat) semua. Mungkin
mereka berharap bisa dapat jatah traktiran dari saya yang habis gajian.
Selalunya,
setiap angkatan di pesantren mempunyai pemangkas rambutnya masing-masing. Jika
tidak salah ingat, saya sudah bisa memotong rambut sejak duduk di kelas 2 atau
3 MTs. Semakin tahun, skil ini semakin
terasah. Terbukti dengan bertambahnya pelanggan saya saat masih berada di
Pesantren. Pada awal-awal tahun, di angkatan saya masih ada beberapa pemangkas
rambut. Namun pada saat akhir-akhir kelulusan, hanya tersisa 2 orang pemangkas
rambut, Syarif Asebda dan saya (mohon maaf jika ada yang terlupa).
Berbicara
tentang kegiatan pangkas rambut, saya jadi ingat film “Barbershop: The Next Cut
(2016)” yang pernah saya tonton beberapa waktu silam. Film tersebut mengisahkan
tentang segala permasalahan pribadi yang dimiliki oleh para pemangkas rambut
serta para pelanggan yang datang. Masalah itu kemudian mereka diskusikan di
barbershop kepada pemangkas rambut lainnya. Curhatan-curhatan inilah yang
menarik perhatian saya. Bagaimana kemudian hal-hal yang terjadi dalam
keseharian, bisa diselesaikan dengan diskusi hangat yang juga seringkali
terjadi di warung-warung kopi.
Entah kenapa
saya seolah-olah kembali ke masa lalu, saat dulu masih sering memangkas rambut
santri di pesantren. Ternyata secara tidak sadar, saat itu saya juga sering
mendengarkan curahan hati para pelanggan, khususnya teman-teman satu angkatan. Masalahnya
pun beragam. Ada yang bercerita tentang masalah sekolah, masalah disiplin dan
pelanggaran, masalah keluarga, masalah keuangan, masalah cinta, dan masih
banyak masalah yang lain. Cerita seperti ini mengalir begitu saja sambil memangkas
rambut. Kadang mereka hanya ingin didengarkan bercerita, hanya perlu dibalas
“owh gitu”, “hmmm”, “iya”, dan kata sejenisnya. Kadang ada pula yang meminta
pendapat. Pendapat itu pun kadang tidak sesuai dengan cerita karena terlalu
fokus dengan rambut. Cerita itu pun terhenti saat rambut selesai dipotong.
Hingga saat
ini saya masih diminta memangkas rambut, meskipun tidak sesering dulu. Bahkan
ada kawan saya yang sampai saat ini masih berlangganan dengan saya (kebetulan
sama-sama merantau ke Jogja). Dia berkata bahwa sulit mencari orang yang bisa
memotong rambutnya sesuai dengan keinginannya. Tapi memang saya akui, hanya
sebagian barber yang bisa memotong rambut ikalnya karena tingkat kesulitan yang
terlalu tinggi. Untungnya tidak perlu sampai menggunakan gunting khusus.
Kehidupan
santri di pesantren yang unik, membuat segala sesuatunya menjadi berbeda dengan
apa yang terjadi pada umumnya. Lihat saja barbershop ala pesantren-an-nya. Saya
kira hal ini hanya akan berlaku di pesantren. Lalu, coba tanyalah santri-santri
yang dulu pernah menjadi barber pondok, mereka pasti mempunyai cerita yang unik
dengan para pelanggannya. Mungkin anda ingin bercerita karena pernah menjadi
barber pesantren? Atau mungkin anda malah tertarik untuk bercerita dengannya
seraya memotong rambut ala barbershop pesantren?
Yogyakarta, 12 Januari
2017
Di sela-sela kesibukan
kerja di Kantor
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?