By: Muhammad Qamaruddin
Saya adalah seorang pekerja kantor yang ‘nyambi’ menyelesaikan
master di Yogyakarta. Setiap hari senin sampai jum’at, saya masuk kantor dari
pukul 08.00 s.d. 16.00 WIB. Bahkan tidak jarang saya lembur untuk menyelesaikan
pekerjaan kantor. Artinya jam kerja tersebut bisa saya katakan tidak mutlak. Begitu
pula untuk hari sabtu dan minggu. Saya mengambil kuliah akhir pekan (jum’at,
sabtu, minggu) untuk menyelesaikan master saya. Walhasil, saya (seperti) tidak
mempunyai libur. mungkin betul adanya, “libur adalah mitos”.
Selanjutnya, semenjak teori kuliah saya sudah habis, apakah saya
kemudian dapat menikmati libur di akhir pekan saya? Ternyata tidak selalu hari
libur dapat dinikmati dengan berlibur. Ada kalanya kegiatan di luar jam kantor
yang mengharuskan saya masuk kantor. Entah workshop, pelatihan, acara
mahasiswa, dan yang lainnya. Begitulah rutinitas saya setiap hari. Walhasil,
sekali lagi, saya (seperti) tidak mempunyai waktu lagi untuk melakukan hal
lain.
Kadang saya berpikir, untuk apa saya melakukan rutinitas tersebut? Masuk
pagi, pulang sore, bahkan saat malam tiba hanya terpikir untuk beristirahat, karena
tenaga sudah habis terkuras. Jujur, ada beberapa hal yang membuat saya termotivasi
untuk melakukan rutinitas ini. Pertama, adanya tuntutan hidup di masa
depan, kedua, demi anak istri, ketiga, saya tidak mau disebut
pengangguran.
Saya tidak akan membahas motivasi saya melakukan rutinitas
tersebut, toh setiap orang mempunyai motivasinya sendiri dalam melakukan suatu
rutinitasnya. Satu hal yang menjadi beban pikiran saya, apakah saya melakukan
semua itu hanya untuk diri sendiri? Apakah saya hanya hidup dalam rutinitas
tersebut, tanpa mengindahkan orang-orang di sekitar saya? bahkan lebih jauh
lagi, apakah benar yang saya lakukan sekarang ini bermanfaat untuk orang lain? Masih
banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang terngiang-ngiang dalam pikiran saya.
Semuanya selalu bermuara pada kesadaran diri saya akan keegoisan dan kenaifan
dalam menjalani kehidupan. Apakah yang saya jalani ini adalah sebuah kebermanfaatan
bagi sekitar, atau ‘naasnya’ saya tidak menyadari bahwa saya sebenarnya menempatkan
diri dalam dunia yang dihuni oleh diri saya sendiri?
Wahai pekerja kantoran, tidakkah kalian merasakan apa yang saya
rasakan? Jika iya, bisa jadi kalian sudah terlalu ‘cuek’ dengan dunia. Bisa jadi
kalian sudah tidak terlalu peduli lagi dengan kehidupan manusia. Bisa jadi
kalian sudah menjadi robot-robot spesialis yang sengaja menghilangkan rasa
peduli. Atau bisa jadi kalian sudah merasakannya, namun sudah menyerah dengan keadaan dengan
mengatakan “ah, biarlah, yang penting aku dapat menjalani hidup ini dengan
nyaman, peduli apa dengan orang lain!” Mohon maaf atas tulisan ini yang dengan
gamblang menyebutkan suatu profesi. Namun inilah keresahan yang saya alami.
Saya berterima kasih dengan kawan-kawan yang sudah menyadarkan saya
akan hal ini. Mereka yang menyibukkan diri untuk membantu orang lain, mereka
yang rela mengorbankan waktu untuk menolong sesama, mereka yang sudi ikhlas
mengabdikan dirinya untuk orang banyak. Mereka inilah sebenar-benarnya manusia
yang bermanfaat untuk orang lain. Salah satu sahabat yang merelakan dirinya
sepenuhnya untuk kegiatan sosial, membacakan salah satu sajak WS. Rendra untuk saya.
Di kemudian hari saya mengetahui jika sajak itu bertajuk “Sajak Sebatang Lisong”.
Kalimat terakhir yang menusuk tajam ke dalam hati saya berbunyi seperti ini, “apakah
artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan, kepadamu aku bertanya”.
Kalimat ini memberikan teguran keras bagi saya (dan juga seharusnya bagi kalian
semua).
Betapa banyak orang yang setiap hari berangkat ke kantor, tetapi
lupa ada tetangganya yang kelaparan. Betapa banyak orang yang setiap hari duduk
di depan komputer, tetapi lupa ada anak-anak di tempat tinggalnya yang belum
bisa membaca dan menulis. Betapa banyak orang yang sibuk keluar masuk
perpustakaan untuk keperluan akademiknya, tetapi lupa ada pemuda-pemudi di
kampungnya yang menganggur. Betapa banyak orang yang sibuk dengan pelatihan,
workshop, talkshow, dan lain sebagainya, tetapi lupa ada banyak masalah yang
terjadi di masyarakat yang sama sekali tidak kita pedulikan. Inikah realita
yang terjadi saat ini? Orang semakin tidak peduli dengan orang lain, dan hanya
memikirkan diri sendiri. Seperti sajak WS. Rendra, “apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan, kepadamu aku bertanya”. Apakah berpikirmu
saat ini hanya bermanfaat untuk dirimu sendiri? Atau ternyata terpisah jauh dari
masalah yang terjadi di sekitar hidupmu? Kepadamu aku bertanya, ya, kepadamu
wahai kawan.
Tulisan ini tidak bermaksud apa-apa. Hanya ingin menasehati diri
sendiri yang rasa pedulinya mulai terkikis karena rutinitas sehari-hari. Syukur-syukur
jika ada yang merasa tulisan ini bisa memberikan pesan yang positif. Jika ada
yang merasa tersinggung, saya minta maaf. Anggap saja ini masalah pribadi saya,
meskipun sebenarnya saya merasa, bahwa ini adalah masalah kita semua. Wallahu
‘alam bisshawab.
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?