Minggu, 13 Mei 2012

Road To 'Puncak Merapi' (Part II)

Desa Selo (1.560 m dpl) merupakan jalur pendakian ke Puncak Merapi dari sebelah utara. Jalur ini dinilai paling aman dan terpendek dibanding yang lainnya. Dapat dikatakan bahwa saat ini, Selo menjadi gerbang utama pendakian. Tidak hanya bagi pendaki lokal, bahkan banyak juga yang datang dari luar negara. Menurut informasi, dari sekitar jumlah pendaki 600-700 orang per bulan, sekitar 10 persennya adalah wisatawan asing. Gunung Merapi selalu memberikan pengalaman baru bagi para pengunjungnya.

Pukul 21.45 WIB (5/5), rombongan pendaki PPUII mulai menapakkan kaki menuju Gunung Merapi. Suasana malam gelap gulita dengan gerimis tak kunjung berhenti. Desiran angin terus menerpa tubuh delapan belas orang santri yang dipenuhi rasa was-was. Semakin jauh dari base camp, semakin hilang sumber cahaya yang ada. Bulan-bintang pun seakan tak berani menampakkan diri dari gulungan awan hitam. Pandangan mata sangat terbatas. Tak ayal lagi, senter di tanganlah yang berfungsi sebagai penuntun arah.

Belum sepuluh menit melangkah, butir-butir air yang turun semakin membesar. Gerimis berganti hujan. Suara air jatuh semakin jelas. Rombongan menghentikan langkah sejenak. Tak ada pilihan lain kecuali mengeluarkan perlengkapan jas mantel. Satu per satu para peserta pun memakai ‘baju penahan air’-nya.
“Keluarkan tali rafia. Semuanya berpegangan di tali itu. Jangan ada yang terpisah,” ucap Mas Yassir, salah satu peserta paling senior. Akhirnya terbentuklah barisan panjang sambil memegang tali rafia. Perjalanan semakin berat.
Tak berapa lama kemudian, sampailah rombongan di sebuah tempat. Di sana banyak orang berkumpul. Setelah dilihat seksama, itu ternyata adalah rumah Joglo yang di atasnya terdapat tulisan besar. Sayangnya karena gelapnya malam, penulis tidak dapat membaca apa isi tulisan tersebut. Belakangan diketahui bahwa itu adalah barisan huruf bertuliskan “NEW SELO”. Setelah bertanya-tanya kepada orang-orang yang ada disana, akhirnya rombongan mengambil jalan tepat di sebelah kiri rumah Joglo. Inilah jalur masuk pendakian puncak Gunung Merapi.
Jalan beraspal berganti dengan jalan setapak kecil berlapis tanah basah. Jalan bertambah sempit. Semakin ke atas, semakin terasa berat untuk mengangkat langkah. Tanjakan demi tanjakan silih berganti, seakan bumi tidak lagi mempedulikan engahan nafas para peserta. Becek tanah basah melengketkan alas kaki. Rumput-rumput kecil sekitar jalan merunduk karena tiada kuasa menahan derasnya hujan. Rombongan terus berjalan ke depan. Tetesan air hujan membasahi sekujur tubuh, sangat menguras tenaga.
Alam gelap gulita. Hanya tali rafia sebagai penghubung satu sama lain. Terlihat sekilas perkebunan penduduk di sekitar para rombongan. Sepi dan senyap, hanya berteman dalam keheningan. Teringat omongan para pendaki yang pernah menyusuri jalan menuju puncak Merapi. bagi para pendaki yang sudah berpengalaman, mungkin hanya memerlukan empat sampai lima jam. Namun bagi pendaki pemula, bisa jadi memerlukan waktu lima sampai tujuh jam. Rombongan tentunya mengetahui, pada posisi apakah mereka, berpengalaman atau hanya serombongan pemula yang nekad melakukan perjalanan.
“Mas, berhenti dulu! Minta Istirahat!” Tiba-tiba teriakan itu memecah kesunyian malam. Suara dari peserta yang lain pun bersahut-sahutan meneriakkan kata ‘istirahat’. Pukul 22.50 WIB, hanya berselang satu jam lebih, sudah ada yang kelelahan. Sepertinya Qamaruddin, salah satu peserta, tampak sangat keletihan. Oleh karena itu, ia minta untuk istirahat sebentar. Dengan sigap Ahmad Muflihin yang membawa obat segera menghampirinya dan memberikan pertolongan pertama. Husein yang sepertinya paham dengan ilmu pengobatan pun ikut menolong dengan cara menguruti punggungnya.
Perjalanan dilanjutkan dengan lebih hati-hati. Tak ada yang saling mendahului. Satu sama lain harus saling menolong. Apalagi dengan keadaan sangat mencekam. Perjalanan semakin sulit. Tanjakan muncul dengan variasi yang bermacam-macam. Kegelapan malam masih beriring guyuran hujan. Cuaca yang mengerikan. Para peserta mulai menggigil. Dingin menyergap perlahan-lahan. Tambah lagi, tak ada yang tahu medan yang akan dilalui. Tak ayal lagi, para peserta hanya mengandalkan ‘feeling’ untuk menebak arah. Kadang rombongan mencari-cari tanda yang ada di sekitar jalan. Misalnya, bungkus permen, sampah, tali yang diikatkan di pohon, dan lain sebagainya.
Lagi-lagi teriakan memecah kesunyian. Kali ini dengan kata yang berbeda. “Kram! Kram!” ucap salah satu peserta dan langsung merebahkan diri di tanah. Peserta yang lain bersegera memberikan relaksasi pada kakinya, mengendorkan, dan mengencangkannya. Belakangan diketahui, peserta yang sering ‘kram’ pada pendakian kali ini, tidak memiliki persiapan ‘badan’ yang matang alias kurang fit.
Pukul 01.30 WIB. Pergantian malam di tengah pendakian menuju puncak Merapi. Hujan belum enggan pergi dari alam. Artinya, sudah lebih tiga jam air mengguyur medan pendakian. Karena sering berhenti, beberapa kali rombongan bertemu dengan pendaki lainnya yang ‘numpang lewat’. Rombongan membiarkan pendaki lainnya mendahului mereka. Ini tak jadi masalah, apalagi melihat status mereka sebagai ‘pemula’. Tentunya memperlambat pergerakan adalah pilihan tepat daripada memaksakan diri untuk menjadi yang pertama sampai di puncak Merapi. kadang kala rombongan bertemu dengan pendaki lainnya yang mendirikan tenda di beberapa titik tempat aman dan datar.
Pukul 02.00 WIB, para peserta benar-benar merasa kelelahan. Akhirnya di tengah perjalanan, rombongan mengambil keputusan untuk beristirahat terlebih dahulu. Semuanya duduk selonjoran, sebagian merebahkan diri. Untungnya hujan mulai reda. Hanya titik-titik air kecil yang jatuh dari daun bergoyang oleh tiupan angin malam. Beberapa peserta mulai menyalakan api sekedar untuk menghangatkan badan. Muflihin yang membawa perbekalan menurunkan tas ranselnya, kemudian membagikan roti kepada para peserta.
Di sela-sela masa istirahat, rombongan berbincang-bincang tentang adanya pos I, II, dan III di sepanjang perjalanan menuju puncak. Disebabkan kurangnya pengalaman, tidak ada satu pun peserta yang mengetahui di mana letak ketiga pos tersebut. Namun menurut informasi yang didapat dari pendaki lainnya, sekitar satu jam lagi rombongan akan sampai di sebuah tempat yang dinamakan Pasar Bubrah.
Setelah hampir setengah jam lebih beristirahat, rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Tidak ada lagi hujan. Walaupun begitu, pendakian malah semakin berat. Medan pendakian berganti dengan tanjakan yang dipenuhi batu-batu cadas yang besar. Belum lagi kemiringannya yang sangat berbeda dengan perjalanan pada jam-jam sebelumnya. Sebagai gantinya, lambat laun pemandangan alam mulai terlihat cerah. Di seberang sana nampak gunung Merbabu yang tegak berdiri. Keindahan itu diiringi daya magis yang sangat kuat. Ucapan rasa kagum tak henti lahir dari mulut para peserta. Perjalanan masih terus berlanjut. “Ini belum puncak,” ucap salah satu peserta mengingatkan yang lain.
Semakin ke atas, semakin banyak pendaki yang ditemui oleh rombongan. Senyum sapa adalah hal yang wajar. Semuanya saling menyemangati satu sama lain. Rombongan terus saja melangkah. Tinggal sebentar lagi, maka semuanya akan berakhir. Tidak ada rasa kepuasan yang berarti kecuali mencapai puncak kejayaan.
Pukul 03.30 WIB, rombongan tiba di sebuah tempat dengan luas kurang lebih tiga hektar. Di beberapa titik, terdapat tenda-tenda kecil dan nyala api yang cukup menggoda. Rombongan menghampiri sekumpulan pendaki yang sedang menghangatkan badan. Seraya bertanya, di manakah arah untuk menuju puncak merapi, rombongan juga mengetahui bahwa mereka sudah sampai di tempat yang dinamai Pasar Bubrah. Sedangkan Puncak Gunung Merapi dapat dicapai setelah satu jam lagi berjalan. Para peserta pun terduduk lesu, masih satu jam lagi, baru mereka akan sampai ke puncak yang dituju. Para pendaki yang berada di sana memberitahukan bahwa apabila ingin menuju ke puncak, maka haruslah menunggu agak terang. Hal ini disebabkan medan yang sangat terjal dan berbahaya apabila dilalui dengan keadaan gelap gulita. Para pendaki memang menggunakan Pasar Bubrah sebagai tempat peristirahatan menjelang pendakian menuju puncak Merapi.
Akhirnya rombongan beristirahat di sana. Karena keterbatasan persiapan matang rombongan hanya dapat ‘numpang’ api, untuk sekedar menghangatkan badan. Atau inisiatif yang lain, karena tidak membawa tenda, maka salah satu peserta membangun tenda dengan mantel hujan yang dibawa. Lumayan dapat melindungi badan dari terpaan angin.
Kabut mulai menghilang. Lambat laun terlihatlah puncak gunung Merapi melintang ke atas langit. Semua takjub akan pemandangan itu. Memang badan capek, tapi hati terpuaskan. Tinggal menunggu agak terang, maka siapa pun boleh untuk melanjutkan pendakian ke puncak Merapi. Subhanallah! Inilah keindahan nyata. Semua peserta rombongan berdoa, semoga sunrise tidak terganggu oleh tebalnya kabut yang lalu-lalang menghalangi pandangan mata. Ini adalah momen yang tak akan pernah terlupakan. Really!

To be continued

(di posting juga di website Pondok Pesantren UII http://pesantren.uii.ac.id/)

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?