Desa
Selo (1.560 m dpl) merupakan jalur pendakian ke Puncak Merapi dari
sebelah utara. Jalur ini dinilai paling aman dan terpendek dibanding
yang lainnya. Dapat dikatakan bahwa saat ini, Selo menjadi gerbang utama
pendakian. Tidak hanya bagi pendaki lokal, bahkan banyak juga yang
datang dari luar negara. Menurut informasi,
dari sekitar jumlah pendaki 600-700 orang per bulan, sekitar 10
persennya adalah wisatawan asing. Gunung Merapi selalu memberikan
pengalaman baru bagi para pengunjungnya.
Pukul
21.45 WIB (5/5), rombongan pendaki PPUII mulai menapakkan kaki menuju
Gunung Merapi. Suasana malam gelap gulita dengan gerimis tak kunjung
berhenti. Desiran angin terus menerpa tubuh delapan belas orang santri
yang dipenuhi rasa was-was. Semakin jauh dari base camp,
semakin hilang sumber cahaya yang ada. Bulan-bintang pun seakan tak
berani menampakkan diri dari gulungan awan hitam. Pandangan mata sangat
terbatas. Tak ayal lagi, senter di tanganlah yang berfungsi sebagai
penuntun arah.
Belum
sepuluh menit melangkah, butir-butir air yang turun semakin membesar.
Gerimis berganti hujan. Suara air jatuh semakin jelas. Rombongan
menghentikan langkah sejenak. Tak ada pilihan lain kecuali mengeluarkan
perlengkapan jas mantel. Satu per satu para peserta pun memakai ‘baju
penahan air’-nya.
“Keluarkan
tali rafia. Semuanya berpegangan di tali itu. Jangan ada yang
terpisah,” ucap Mas Yassir, salah satu peserta paling senior. Akhirnya
terbentuklah barisan panjang sambil memegang tali rafia. Perjalanan
semakin berat.
Tak
berapa lama kemudian, sampailah rombongan di sebuah tempat. Di sana
banyak orang berkumpul. Setelah dilihat seksama, itu ternyata adalah
rumah Joglo yang di atasnya terdapat tulisan besar. Sayangnya karena
gelapnya malam, penulis tidak dapat membaca apa isi tulisan tersebut.
Belakangan diketahui bahwa itu adalah barisan huruf bertuliskan “NEW
SELO”. Setelah bertanya-tanya kepada orang-orang yang ada disana, akhirnya rombongan mengambil jalan tepat di sebelah kiri rumah Joglo. Inilah jalur masuk pendakian puncak Gunung Merapi.
Jalan
beraspal berganti dengan jalan setapak kecil berlapis tanah basah.
Jalan bertambah sempit. Semakin ke atas, semakin terasa berat untuk
mengangkat langkah. Tanjakan demi tanjakan silih berganti, seakan bumi
tidak lagi mempedulikan engahan nafas para peserta. Becek tanah basah
melengketkan alas kaki. Rumput-rumput kecil sekitar jalan merunduk
karena tiada kuasa menahan derasnya hujan. Rombongan terus berjalan ke
depan. Tetesan air hujan membasahi sekujur tubuh, sangat menguras
tenaga.
Alam
gelap gulita. Hanya tali rafia sebagai penghubung satu sama lain.
Terlihat sekilas perkebunan penduduk di sekitar para rombongan. Sepi dan
senyap, hanya berteman dalam keheningan. Teringat omongan para pendaki
yang pernah menyusuri jalan menuju puncak Merapi.
bagi para pendaki yang sudah berpengalaman, mungkin hanya memerlukan
empat sampai lima jam. Namun bagi pendaki pemula, bisa jadi memerlukan
waktu lima sampai tujuh jam. Rombongan tentunya mengetahui, pada posisi
apakah mereka, berpengalaman atau hanya serombongan pemula yang nekad
melakukan perjalanan.
“Mas,
berhenti dulu! Minta Istirahat!” Tiba-tiba teriakan itu memecah
kesunyian malam. Suara dari peserta yang lain pun bersahut-sahutan
meneriakkan kata ‘istirahat’. Pukul 22.50 WIB, hanya berselang satu jam
lebih, sudah ada yang kelelahan. Sepertinya Qamaruddin, salah satu
peserta, tampak sangat keletihan. Oleh karena itu, ia minta untuk
istirahat sebentar. Dengan sigap Ahmad Muflihin yang membawa obat segera
menghampirinya dan memberikan pertolongan pertama. Husein yang
sepertinya paham dengan ilmu pengobatan pun ikut menolong dengan cara
menguruti punggungnya.
Perjalanan
dilanjutkan dengan lebih hati-hati. Tak ada yang saling mendahului.
Satu sama lain harus saling menolong. Apalagi dengan keadaan sangat
mencekam. Perjalanan semakin sulit. Tanjakan muncul dengan variasi yang
bermacam-macam. Kegelapan malam masih beriring guyuran hujan. Cuaca yang
mengerikan. Para peserta mulai menggigil. Dingin menyergap
perlahan-lahan. Tambah lagi, tak ada yang tahu medan yang akan dilalui.
Tak ayal lagi, para peserta hanya mengandalkan ‘feeling’ untuk menebak
arah. Kadang rombongan mencari-cari tanda yang ada di sekitar jalan.
Misalnya, bungkus permen, sampah, tali yang diikatkan di pohon, dan lain
sebagainya.
Lagi-lagi teriakan memecah kesunyian. Kali ini dengan kata yang berbeda. “Kram! Kram!” ucap
salah satu peserta dan langsung merebahkan diri di tanah. Peserta yang
lain bersegera memberikan relaksasi pada kakinya, mengendorkan, dan mengencangkannya. Belakangan
diketahui, peserta yang sering ‘kram’ pada pendakian kali ini, tidak
memiliki persiapan ‘badan’ yang matang alias kurang fit.
Pukul
01.30 WIB. Pergantian malam di tengah pendakian menuju puncak Merapi.
Hujan belum enggan pergi dari alam. Artinya, sudah lebih tiga jam air
mengguyur medan pendakian. Karena sering berhenti, beberapa kali
rombongan bertemu dengan pendaki lainnya yang ‘numpang lewat’. Rombongan
membiarkan pendaki lainnya mendahului mereka. Ini tak jadi masalah,
apalagi melihat status mereka sebagai ‘pemula’. Tentunya memperlambat
pergerakan adalah pilihan tepat daripada
memaksakan diri untuk menjadi yang pertama sampai di puncak Merapi.
kadang kala rombongan bertemu dengan pendaki lainnya yang mendirikan
tenda di beberapa titik tempat aman dan datar.
Pukul
02.00 WIB, para peserta benar-benar merasa kelelahan. Akhirnya di
tengah perjalanan, rombongan mengambil keputusan untuk beristirahat
terlebih dahulu. Semuanya duduk selonjoran,
sebagian merebahkan diri. Untungnya hujan mulai reda. Hanya titik-titik
air kecil yang jatuh dari daun bergoyang oleh tiupan angin malam.
Beberapa peserta mulai menyalakan api sekedar untuk menghangatkan badan.
Muflihin yang membawa perbekalan menurunkan tas ranselnya, kemudian
membagikan roti kepada para peserta.
Di
sela-sela masa istirahat, rombongan berbincang-bincang tentang adanya
pos I, II, dan III di sepanjang perjalanan menuju puncak. Disebabkan
kurangnya pengalaman, tidak ada satu pun peserta yang mengetahui di mana
letak ketiga pos tersebut. Namun menurut
informasi yang didapat dari pendaki lainnya, sekitar satu jam lagi
rombongan akan sampai di sebuah tempat yang dinamakan Pasar Bubrah.
Setelah hampir setengah jam lebih beristirahat, rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Tidak
ada lagi hujan. Walaupun begitu, pendakian malah semakin berat. Medan
pendakian berganti dengan tanjakan yang dipenuhi batu-batu cadas yang
besar. Belum lagi kemiringannya yang sangat berbeda dengan perjalanan
pada jam-jam sebelumnya. Sebagai gantinya, lambat laun pemandangan alam
mulai terlihat cerah. Di seberang sana nampak gunung Merbabu yang tegak
berdiri. Keindahan itu diiringi daya magis yang sangat kuat. Ucapan rasa
kagum tak henti lahir dari mulut para peserta. Perjalanan masih terus
berlanjut. “Ini belum puncak,” ucap salah satu peserta mengingatkan yang lain.
Semakin
ke atas, semakin banyak pendaki yang ditemui oleh rombongan. Senyum
sapa adalah hal yang wajar. Semuanya saling menyemangati satu sama lain.
Rombongan terus saja melangkah. Tinggal sebentar lagi, maka semuanya
akan berakhir. Tidak ada rasa kepuasan yang berarti kecuali mencapai
puncak kejayaan.
Pukul 03.30
WIB, rombongan tiba di sebuah tempat dengan luas kurang lebih tiga
hektar. Di beberapa titik, terdapat tenda-tenda kecil dan nyala api yang
cukup menggoda. Rombongan menghampiri sekumpulan pendaki yang sedang
menghangatkan badan. Seraya bertanya, di manakah arah untuk menuju
puncak merapi, rombongan juga mengetahui bahwa mereka sudah sampai di
tempat yang dinamai Pasar Bubrah. Sedangkan Puncak Gunung Merapi dapat
dicapai setelah satu jam lagi berjalan. Para peserta pun terduduk lesu,
masih satu jam lagi, baru mereka akan sampai ke puncak yang dituju. Para
pendaki yang berada di sana memberitahukan bahwa apabila ingin menuju
ke puncak, maka haruslah menunggu agak terang. Hal ini disebabkan medan
yang sangat terjal dan berbahaya apabila dilalui dengan keadaan gelap
gulita. Para pendaki memang menggunakan Pasar Bubrah sebagai tempat
peristirahatan menjelang pendakian menuju puncak Merapi.
Akhirnya
rombongan beristirahat di sana. Karena keterbatasan persiapan matang
rombongan hanya dapat ‘numpang’ api, untuk sekedar menghangatkan badan.
Atau inisiatif yang lain, karena tidak membawa tenda, maka salah satu
peserta membangun tenda dengan mantel hujan yang dibawa. Lumayan dapat
melindungi badan dari terpaan angin.
Kabut
mulai menghilang. Lambat laun terlihatlah puncak gunung Merapi
melintang ke atas langit. Semua takjub akan pemandangan itu. Memang
badan capek, tapi hati terpuaskan. Tinggal menunggu agak terang, maka
siapa pun boleh untuk melanjutkan pendakian ke puncak Merapi. Subhanallah! Inilah keindahan nyata. Semua peserta rombongan berdoa, semoga sunrise tidak terganggu oleh tebalnya kabut yang lalu-lalang menghalangi pandangan mata. Ini adalah momen yang tak akan pernah terlupakan. Really!
To be continued…
(di posting juga di website Pondok Pesantren UII http://pesantren.uii.ac.id/)
(di posting juga di website Pondok Pesantren UII http://pesantren.uii.ac.id/)
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?