Selasa, 10 Juli 2012

GIRO, TABUNGAN, DAN DEPOSITO


A.    GIRO
Giro adalah suatu istilah perbankan untuk suatu cara pembayaran yang hampir merupakan kebalikan dari sistem cek. Suatu cek diberikan kepada pihak penerima pembayaran (payee) yang menyimpannya di bank mereka, sedangkan giro diberikan oleh pihak pembayar (payer) ke banknya, yang selanjutnya akan mentransfer dana kepada bank pihak penerima, langsung ke akun mereka. Secara umum yang dimaksud dengan giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek atau bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau pemindahbukuan. Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang dibenarkan syariah adalah giro berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah. Akadnya:

  • Wadiah Transaksi penitipan dana atau barang dari pemilik kepada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban bagi pihak yang menyimpan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu. Wadiah terdiri dari dua jenis, yaitu: wadiah yad al amanah dan Wadiah yad al Dhamanah.
  • Mudharabah Transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.

Landasan Syariah :
  1. Firman Allah QS Annnisa (4):29
Hai orang yang beriman ! janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu ..
  1. Firman Allah QS Annnisa (4):29
Hai orang yang beriman ! janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu ..
  1. Kaidah fiqh “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
  2. Ijma.  Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharid) harta anak yatim  sebagai mudharabah dan tak ada seorangpun  mengingkari mereka.  Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Zuhaily, AlFiqh Alislami wa Adilatuhu, 1989, 4/838)

B.     TABUNGAN
Jenis simpanan yang kedua adalah tabungan (saving deposit). Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Nasabah jika hendak mengambil simpanannya dapat datang langsung ke bank dengan membawa buku tabungan, slip penarikan, atau melalui fasilitas ATM.
Dalam hal ini terdapat dua prinsip perjanjian Islam yang sesuai diimplementasikan dalam produk perbankan berupa tabungan, yaitu wadiah dan mudharabah.  Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Berkaitan dengan produk tabungan wadiah, Bank Syariah menggunakan akad wadiah yad adh-dhamanah. Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada Bank Syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan Bank Syariah bertindak sebagai pihak dititipi dana atau barang yang disertai hak untuk menggunakan atau memanfaatkan dana atau barang tersebut. Sebagai konsekuensinya, bank bertanggung jawab terhadap keutuhan harta titipan tersebut serta mengembalikannya kapan saja pemiliknya menghendaki. Disisi lain, bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang tersebut.
Mengingat wadiah yad dhamanah ini mempunyai implikasi hokum yang sama dengan qardh, maka nasabah penitip dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk membagihasilkan keuntungan harta tersebut. Namun demikian, bank diperkenankan memberikan bonus kepada pemilik harta titipan selama tidak disyaratkan di muka. Dengan kata lain, pemberian bonus merupakan kebijakan Bank Syariah semata yang bersifat sukarela.
Dari pembahasan diatas, dapat disarikan beberapa ketentuan umum tabungan berdasarkan prinsip wadiah sebagai berikut:
a)      Tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yanga haris dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
b)      Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau tanggungan bank, sedangakan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
c)      Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.

Landasan hokum Tabungan Wadiah dan Tabungan Mudharabah dalam Praktik Perbankan Syariah
Dasar hokum terhadap produk bank syariah berupa tabungan ini dapat kita jumpai dalam Islam maupun dalam hokum positif. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a) Landasan Syariah
Dasar hokum dari akad wadiah sudah dikemukakan di atas, sedangkan dasar hokum dari akad mudharabah dapat kita jumpai dalam Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’
o Al-Qur’an
Ketentuan hokum tentang mudharabah dalam Al-Qur’an tertuang dalam surat al-Muzzamil ayat 20 yang artinya:
“…dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT..”
Di samping itu juga dapat kit abaca dalam Surat al-Jumu’ah ayat 10 yang artinya:
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT..”
Dari kedua ayat Al-Qur’an di atas pada intinya adalah berisi dorongan bagi setiap manusia untuk melakukan perjalanan usaha. Dalam dunia modern seperti sekarang ini siapa saja, akan menjadi lebih mudah untuk melakukan investasi yang benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, antara lain melalui mekanisme tabungan mudharabah ini.
o Hadits
Ketentuan hokum dalam hadits dapat kita jumpai dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani yang artinya:
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullahpun membolehkannya”

b) Landasan Hukum Positif
Dasar hokum atas produk perbankan syariah berupa tabungan dalam hokum positif Indonesia adalah UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Di samping itu juga dapat kita temukan dalam pasal 36 huruf a poin 2 PBI Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Intinya menyebutkan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usahanya melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi antara lain berupa tabungan berdasarkan prinsip wadiah dan atau mudharabah.
Disamping itu juga telah mendapatkan pengaturan dalam fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 12 Mei 2000 yang intinya menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dan dalam menyimpan kekayaan, memerlukan jasa perbankan. Salah satu produk perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat adalah tabungan, yaitu simpanan dana yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnyha yang dipersamakan dengan itu.


C.    DEPOSITO
Berdasarkan undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankkan, yang dimaksud deposito berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya bias dilakukan pada waktu-waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank yang bersangkutan.[4] Sedangkan yang dimaksud dengan deposito syari’ah adalah deposito yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah. Dalam hal ini dewan syari’ah nasional MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah.
Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah penyimpan dengan bank. Dalam deposito mudharabah, simpanan berupa investasi tidak terikat oleh pihak ketiga yang berhubungan dengan bank syari’ah. Penarikan deposito hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah pemilik dana (Shahibil Maal) dengan bank (Mudharib) sebagai pengelola dana. Pembagian hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati bersama, namun bank sebagai mudharib tidak menjamin dana nasabah kecuali diatur lain dalam perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank syari’ah dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak ketiga. Dengan demikian, bank syari’ah dalam kapasitasnya sebagai mudharib memiliki sifat sebagai seorang wali amanah (trustee), yakni harus berhati-hati atau bijaksana serta beri’tikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya. Disamping itu, bank syari’ah juga bertindak sebagai kuasa dari usaha bisnis pemilik dana yang diharapkan dapat memperoleh keuntungan seoptimal mungkin tanpa melanggar berbagai aturan syari’ah.
Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, bank syari’ah akan membagi hasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut bank tidak bertanggungjawab terhadap kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah mismanagement (salah urus), bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian tersebut.

Dasar Hukum Deposito Syari’ah
      Al-Qur’an
 “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S. an-Nisaa’:9)

 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. an-Nisaa’ : 58 )

 “Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, Kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (Q.S. al-Baqarah : 266)

 “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang  (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah : 283)

Hadits
 “Abu hurairah meriwayatkan bahwa Rasulluh SAW. Bersabda, “sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” ( HR Abu Dawud dan menurut Tirmidzi hadits ini hasan, sedangkan Imam Hakim mengategorikannya sahih)[3]


(MUHAMMAD QAMARUDDIN)



0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?