A.
GIRO
Giro adalah suatu istilah perbankan untuk suatu
cara pembayaran yang hampir merupakan kebalikan dari
sistem cek. Suatu cek
diberikan kepada pihak penerima pembayaran (payee) yang menyimpannya di bank mereka,
sedangkan giro diberikan oleh pihak pembayar (payer) ke banknya, yang
selanjutnya akan mentransfer dana kepada bank pihak penerima, langsung ke akun
mereka. Secara umum yang dimaksud dengan giro adalah
simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek
atau bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau pemindahbukuan.
Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan
berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional
telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang dibenarkan syariah
adalah giro berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah. Akadnya:
- Wadiah
Transaksi penitipan dana atau barang dari pemilik kepada penyimpan dana
atau barang dengan kewajiban bagi pihak yang menyimpan untuk mengembalikan
dana atau barang titipan sewaktu-waktu. Wadiah terdiri dari dua jenis,
yaitu: wadiah yad al amanah dan Wadiah yad al Dhamanah.
- Mudharabah
Transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada
pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang
sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Landasan Syariah :
- Firman Allah QS Annnisa (4):29
Hai orang yang beriman ! janganlah kalian saling memakan
(mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu ..
- Firman Allah QS Annnisa (4):29
Hai orang yang beriman ! janganlah kalian saling memakan
(mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu ..
- Kaidah fiqh “Pada dasarnya,
semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”
- Ijma. Diriwayatkan,
sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharid) harta anak
yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorangpun mengingkari
mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Zuhaily, AlFiqh
Alislami wa Adilatuhu, 1989, 4/838)
B.
TABUNGAN
Jenis simpanan yang kedua
adalah tabungan (saving deposit). Tabungan adalah simpanan yang penarikannya
hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak
dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan
dengan itu. Nasabah jika hendak mengambil simpanannya dapat datang langsung ke
bank dengan membawa buku tabungan, slip penarikan, atau melalui fasilitas ATM.
Dalam hal ini terdapat
dua prinsip perjanjian Islam yang sesuai diimplementasikan dalam produk
perbankan berupa tabungan, yaitu wadiah dan mudharabah. Tabungan wadiah merupakan tabungan yang
dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan
dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Berkaitan dengan
produk tabungan wadiah, Bank Syariah menggunakan akad wadiah yad adh-dhamanah.
Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada
Bank Syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya,
sedangkan Bank Syariah bertindak sebagai pihak dititipi dana atau barang yang
disertai hak untuk menggunakan atau memanfaatkan dana atau barang tersebut.
Sebagai konsekuensinya, bank bertanggung jawab terhadap keutuhan harta titipan
tersebut serta mengembalikannya kapan saja pemiliknya menghendaki. Disisi lain,
bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil penggunaan atau
pemanfaatan dana atau barang tersebut.
Mengingat wadiah yad
dhamanah ini mempunyai implikasi hokum yang sama dengan qardh, maka nasabah
penitip dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk membagihasilkan
keuntungan harta tersebut. Namun demikian, bank diperkenankan memberikan bonus
kepada pemilik harta titipan selama tidak disyaratkan di muka. Dengan kata
lain, pemberian bonus merupakan kebijakan Bank Syariah semata yang bersifat
sukarela.
Dari pembahasan diatas,
dapat disarikan beberapa ketentuan umum tabungan berdasarkan prinsip wadiah
sebagai berikut:
a)
Tabungan
wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yanga haris dijaga dan
dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
b)
Keuntungan
atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau
tanggungan bank, sedangakan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan tidak
menanggung kerugian.
c)
Bank
dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif
selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.
Landasan hokum Tabungan Wadiah dan Tabungan Mudharabah dalam
Praktik Perbankan Syariah
Dasar hokum terhadap produk bank syariah berupa tabungan ini
dapat kita jumpai dalam Islam maupun dalam hokum positif. Penjelasannya adalah
sebagai berikut:
a)
Landasan Syariah
Dasar
hokum dari akad wadiah sudah dikemukakan di atas, sedangkan dasar hokum dari
akad mudharabah dapat kita jumpai dalam Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’
o
Al-Qur’an
Ketentuan
hokum tentang mudharabah dalam Al-Qur’an tertuang dalam surat al-Muzzamil ayat
20 yang artinya:
“…dan
dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT..”
Di
samping itu juga dapat kit abaca dalam Surat al-Jumu’ah ayat 10 yang artinya:
“Apabila
telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah
karunia Allah SWT..”
Dari kedua ayat Al-Qur’an di atas
pada intinya adalah berisi dorongan bagi setiap manusia untuk melakukan perjalanan
usaha. Dalam dunia modern seperti sekarang ini siapa saja, akan menjadi lebih
mudah untuk melakukan investasi yang benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah, antara lain melalui mekanisme tabungan mudharabah ini.
o
Hadits
Ketentuan
hokum dalam hadits dapat kita jumpai dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Thabrani yang artinya:
“Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana
ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi
lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi
peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut.
Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullahpun
membolehkannya”
b)
Landasan Hukum Positif
Dasar hokum atas produk perbankan syariah berupa tabungan
dalam hokum positif Indonesia adalah UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan
atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Di samping itu juga
dapat kita temukan dalam pasal 36 huruf a poin 2 PBI Nomor 6/24/PBI/2004
tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Intinya menyebutkan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip
kehati-hatian dalam kegiatan usahanya melakukan penghimpunan dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi antara lain berupa tabungan
berdasarkan prinsip wadiah dan atau mudharabah.
Disamping itu juga telah mendapatkan pengaturan dalam fatwa
DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 12 Mei 2000 yang intinya menyatakan bahwa
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dan dalam
menyimpan kekayaan, memerlukan jasa perbankan. Salah satu produk perbankan di
bidang penghimpunan dana dari masyarakat adalah tabungan, yaitu simpanan dana
yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang
telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau
alat lainnyha yang dipersamakan dengan itu.
C.
DEPOSITO
Berdasarkan undang-undang nomor 10 tahun
1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang
perbankkan, yang dimaksud deposito berjangka adalah simpanan yang penarikannya
hanya bias dilakukan pada waktu-waktu tertentu menurut perjanjian antara
penyimpan dengan bank yang bersangkutan.[4] Sedangkan yang dimaksud dengan deposito
syari’ah adalah deposito yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah. Dalam
hal ini dewan syari’ah nasional MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan
bahwa deposito yang dibenarkan adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah.
Deposito adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian
antara nasabah penyimpan dengan bank. Dalam deposito mudharabah,
simpanan berupa investasi tidak terikat oleh pihak ketiga yang berhubungan
dengan bank syari’ah. Penarikan deposito hanya dapat dilakukan pada waktu
tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah pemilik dana (Shahibil Maal)
dengan bank (Mudharib) sebagai pengelola dana. Pembagian hasil sesuai
dengan nisbah yang telah disepakati bersama, namun bank sebagai mudharib
tidak menjamin dana nasabah kecuali diatur lain dalam perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam kapasitasnya sebagai mudharib,
bank syari’ah dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan
dengan prinsip syari’ah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah
dengan pihak ketiga. Dengan demikian, bank syari’ah dalam kapasitasnya sebagai mudharib
memiliki sifat sebagai seorang wali amanah (trustee), yakni harus
berhati-hati atau bijaksana serta beri’tikad baik dan bertanggung jawab atas
segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya. Disamping itu,
bank syari’ah juga bertindak sebagai kuasa dari usaha bisnis pemilik dana yang
diharapkan dapat memperoleh keuntungan seoptimal mungkin tanpa melanggar
berbagai aturan syari’ah.
Dari hasil pengelolaan dana mudharabah,
bank syari’ah akan membagi hasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan
nisbah yang telah disepakati dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
Dalam mengelola dana tersebut bank tidak bertanggungjawab terhadap kerugian
yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah mismanagement
(salah urus), bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian tersebut.
Dasar Hukum Deposito Syari’ah
Al-Qur’an
“Dan hendaklah
takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S. an-Nisaa’:9)
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
Melihat.” (Q.S. an-Nisaa’ : 58 )
“Apakah ada salah
seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan,
Kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang
masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu
terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya
kamu memikirkannya.” (Q.S. al-Baqarah : 266)
“Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya
ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah : 283)
Hadits
“Abu hurairah
meriwayatkan bahwa Rasulluh SAW. Bersabda, “sampaikanlah (tunaikanlah) amanat
kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang
telah mengkhianatimu.” ( HR Abu Dawud dan menurut Tirmidzi hadits ini hasan,
sedangkan Imam Hakim mengategorikannya sahih)[3]
(MUHAMMAD QAMARUDDIN)
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?