A. PENGERTIAN JUAL BELI
Jual beli (al-bai’, al-tijarah, al-mubadalah)
menurut bahasa adalah saling menukar (pertukaran). Dalam perkataan lain yaitu
mengambil sesuatu dan memberikan sesuatu.[1]
Menurut Istilah artinya pemberian harta karena menerima
harta dengan ikrar penyerahan dan jawab penerimaan (ijab-qabul) dengan cara
yang diizinkan[2].
Dalam konteks yang lain, yaitu menukar suatu barang dengan barang yang lain
dengan cara yang tertentu (akad).[3]
Adapun Hendi Suhendi menyimpulkan bahwa jual beli adalah
suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara
sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak
lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan
syara’ dan disepakati (2002).
Pada dasarnya jual beli adalah muamalah perdagangan yang
dilakukan oleh sesama manusia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
yang mendesak antara sesama manusia dan tercapainya keinginan-keinginan serta
maslahat-maslahat mereka.[4]
B. DASAR HUKUM JUAL BELI
1. Al-Qur’an
و أحلّ الله البيع و حرّم الربا (البقرة: ٢٧٥)
“Dan Allah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah:
275)
“Janganlah kamu makan harta yang ada di antara
kamu dengan jalan batil melainkan dengan jalan jual-beli suka sama suka”. (An-Nisa: 29)
2.
As-Sunnah
أفضل الكسب عمل الرجل بيده و كلّ بيع مبرور.
“Perolehan yang
paling afdhal adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”.
3.
Dalil Ijma’
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi
jual beli sangat urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk
memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat.
Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa
Rasulullah SAW hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat akan
disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).
4. Dalil Qiyas
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli,
karena seseorang sangat membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain, baik itu
berupa barang atau uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal
balik berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam pensyari’atan
jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi tercapainya suatu keinginan
yang diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).
C.
RUKUN DAN
SYARAT JUAL BELI
Rukun
Jual beli menurut Jumhur Ulama Fiqh sebagai berikut:
1.
Bai’ (penjual)
dan Musyatari (Pembeli)
2.
Benda-benda
atau barang yang Diperjualbelikan (Ma’kud Alaih)
3.
Lafaz/Sigat
(Ijab Qabul)[5]
Adapun persyaratan
dari masing-masing rukun adalah sebagai berikut:
1.
Bai’ (penjual)
dan Musyatari (Pembeli)
Syarat
keduanya:
a.
Berakal
b.
Dengan
kehendaknya sendiri (bukan dipaksa). Firman Allah swt.:
“Janganlah
kamu makan harta yang ada di antara kamu
dengan jalan batil melainkan dengan jalan jual-beli suka sama suka”.
c.
Keadaan tidak mubazir (pemboros).
Firman Allah swt.:
“Janganlah kamu
serahkan harta orang-orang yang bodoh itu kepadanya, yang Allah menjadikan kamu
pemeliharaannya, berilah mereka belanja dari hartanya itu (yang ada di tangan
kamu)” (An-Nisa:5)
d. Baligh/dewasa.
Anak kecil tidak sah jual-belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi
belum sampai umur dewasa, menurut pendapat setengah ulama, mereka dibolehkan
berjual-beli barang yang kecil-kecil, karena kalau tidak dibolehkan, sudah
tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama Islam sekali-kali tidak
akan mengadakan aturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.
2.
Benda-benda
atau barang yang Diperjualbelikan (Ma’kud Alaih)
Syaratnya:
a.
Suci
b.
Bermanfaat
c.
Bisa
diserahkan
d.
Milik
Penjual (dikuasainya)
e.
Diketahui
keadaannya.
Selanjutnya akan
dijelaskan pengertian dari masing-masing syarat tersebut.
a.
Suci
Sabda Rasulullah SAW:
عن
جابر بن عبد الله قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم إنّ الله و رسوله حرّم بيع الخمر و الميتة و الخنزير و الأصنام فقيل يا
رسول الله أرأيت شحوم الميتة فإنها تطلى السفن و تدهن بها الجلود و يستصبح بها
الناس قال لا هو حرام قاتل الله اليهود إن الله لما حرّم عليهم شحومها ثمّ باعوه
فأكلوا ثمنه. متفق
عليه
Dari Jabir
bin ‘Abdullah: “Berkata Rasulullah saw.
sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak dan bangkai,
begitu juga babi dan berhala. Pendengar bertanya: Bagaimana gemuk bangkai ya
Rasulullah, karena gemuk itu berguna buat cat perahu, buat minyak kulit, dan
minyak lampu? Jawab beliau: Tidak boleh, semua itu haram, celakalah orang
Yahudi tatkala Allah mengharamkan akan gemuk bangkai, mereka hancurkan gemuk
itu sampai menjadi minyak, kemudian mereka jual minyaknya, lalu mereka makan
uangnya.(Muttafaqun ‘alaih)
Menurut Jumhur ulama, barang tersebut
diharamkan karena dianggap najis. Hanafiyan dan Zahiriyah mengatakan bahwa
menjual barang yang ada manfaatnya halal menurut Syara’. Oleh karena itu,
menurut mereka, boleh menjual kotoran najis yang benar-benar diperlukan untuk
digunakan sebagai pupuk di lahan pertanian, bukan untuk dimakan dan diminum.
Barang yang dijual harus halal dan suci juga harus jelas manfaatnya.[6]
b.
Bermanfaat
Maka jual beli serangga, ular, tikus, tidak boleh kecuali
untuk dimanfaatkan. Juga boleh jual beli kucing, lebah, beruang, singa dan
binatang lain yang berguna untuk berburu atau dapat dimanfaatkan kulitnya.
Demikian pula memperjualbelikan gajah untuk mengangkut
barang, burung beo, burung merak dan burung-burung lain yang bentuknya indah
sekalipun tidak untuk dimakan, tetapi dengan tujuan menikmati suara dan
bentuknya.
Jual beli anjing yang bukan anjing terdidik tidak boleh,
karena Rasulullah mencegahnya. Anjing-anjing yang dapat dijinakkan seperti
untuk penjagaan, anjing penjaga tanaman, menurut Abu Hanifah boleh diperjualbelikan.
Menurut An Nakha’i: yang diperbolehkan hanya
memperjualbelikan anjing berburu, dengan berdalil kepada ucapan Rasulullah yang
melarang memperjualbelikan anjing kecuali anjing untuk berburu. Hadits ini
diriwayatkan An Nasa’i dari Jabir dan Al Hafizh mengatakan: sanadnya dapat
dipercaya (tsiqat).[7]
c.
Bisa
Diserahkan
Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat
diserahkan kepada yang membeli, seperti ikan dalam laut, barang rampasan yang
masih di tangan yang merampasnya, burung yang di udara, anak binatang yang
masih di dalam perut, munta
atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan
lain-lain.
عن
أبى هريرة نهى النبي صلى الله عليه و سلـّم: عن بيع الغرر (رواه مسلم و غيره)
“dari Abu Hurairah, katanya: “Telah melarang Nabi saw.
Memperjual-belikan barang yang mengandung tipu daya.” (HR.
Muslim dan lain-lainnya)
d.
Milik
Penjual (Dikuasainya)
Jual
beli harus milik sendiri atau yang dikuasakan kepadanya. Jadi miliknya sendiri
atau milik orang lain yang dikuasakan, dan untuk dirinya sendiri atau untuk
orang lain yang telah menguasakannya.
Jika jual beli berlangsung
sebelum ada izin dari pihak pemilik barang, maka jual beli seperti ini
dinamakan bai’ul fudhul, yaitu jual beli yang akadnya dilakukan oleh
orang lain sebelum ada izin pemilik. [8]
Sabda Nabi
saw.:
لا
طلاق إلا فيما يملك, ولا عتاق إلا فيما يملك, ولا بيع إلا فيما يملك, ولا وفاء
بنذرإلا فيما يملك (رواه
الترميذى و أبو داود)
“Tidak ada talak (cerai) kecuali apa yang dimilikinya, tidak
membebaskan (budak) kecuali miliknya, tidak menjual kecualinya miliknya, dan
tidak ada pemenuhan nazar kecuali dengan miliknya”. (HR. At Tirmidzi dan Abu Dawud)
e.
Diketahui
Keadaannya
Jika barang dan harga tidak diketahui atau salah satu
keduanya tidak diketahui, jual beli tidak sah, karena mengandung unsur
penipuan. Mengenai syarat mengetahui barang yang dijual, cukup dengan
penyaksian barang sekalipun tidak ia ketahui jumlahnya, seperti pada jual beli
barang yang kadarnya tidak dapat diketahui (jazaf). Untuk barang zimmah (barang
yang dapat dihitung, ditakar dan ditimbang), maka kadar kuantitas dan
sifat-sifatnya harus diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad.
Demikian pula harganya harus diketahui, baik itu sifat, (jenis pembayaran),
jumlah maupun masanya.[9]
Kalau barang
itu bercampur dengan yang lain, umpamanya segantang beras atau sekilo gula,
cukup melihat sebagian barang, asal yang lainnya sama dengan contoh yang
dilihat itu. begitu pula cukup melihat kulitnya kalau sekirannya dipecah kulit
itu bakal rusak, misalnya tempurung.
Sesuatu yang
maklum menurut kebiasaaan, seperti bawang yang masih dalam tanah. Walaupun
keadaan barang boleh jadi ada lebih-kurangnya serta bakal merugikan salah satu
pembeli atau penjual, tetapi hanya sedikit. Keadaan yang sedikit itu dimaafkan
karena kemaslahatan untuk memudahkan langsungnya pekerjaan.[10]
Ijab adalah perkataan
penjual, umpamanya: saya jual barang ini sekian. Qabul adalah seperti kata si pembeli: saya
terima (saya beli) dengan harga sekian. Keterangan ayat yang telah lalu yang
mengatakan jual-beli itu suka sama suka, dan:
Sabda Rasulullah saw.:
إنـّما
البيع عن تراض ٍ .رواه
ابن حبان.
“Sesungguhnya
jual-beli itu hanya sah jika suka sama suka.” (Riwayat Ibnu Hibban).
Sedangkan
suka sama suka itu tidak dapat terang diketahui kecuali dengan perkataan yang
menunjukkan akan suka seorang dengan seorang, karena suka itu dalam hati
masing-masing. Ini pendapat kebanyakan ulama. Tetapi Nawawi, Baghawi, dan
beberapa ulama yang lain berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya
menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut adat telah belaku hal yang seperti
itu sudah dipandang jual-beli, itu saja sudah cukup karena tidak ada suatu
dalil yang terang untuk mewajibkan lafaz.
Imam Hanafi mengatakan bahwa untuk
terlaksananya ijab dan qabul tidak diharuskan mengucapkan kata-kata tertentu,
sebab dalam hokum perikatan yang dijadikan ukuran adalah tujuan dan makna yang
dihasilkannya. Ukuran ijab dan qabul adalah kerelaan kedua belah pihak
melakukan transaksi dan adanya tindakan memberi dan menerima atau indikasi
dalam bentuk apapun yang menunjukkan kerelaan mereka dalam memindahkan
kepemilikan.[12]
Menurut ulama yang mewajibkan lafaz,
diwajibkan keadaan lafaz itu memenuhi beberapa syarat:
a. Keadaan ijab dan qabul berhubungan. Artinya salah satu
dari keduanya pantas menjadi jawab dari yang lain dan belum berselang lama.
b. Hendaklah mupakat (sama) makna keduanya walaupun lafaz
keduanya berlainan.
c. Keadaan keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang
lain, seperti katanya, “kalau
saya jadi pergi, saya jual barang ini sekian.”
d. Tidak berwaktu, sebab jual-beli berwaktu seperti bulanan
atau setahun, tidak sah.
D. MACAM-MACAM JUAL BELI
1. Ditinjau dari segi hukum (baik objek ataupun pelaku):
a. Sah menurut hukum
b. Batal menurut hukum
2. Ditinjau dari segi benda:
a. Jual beli benda yang kelihatan; yaitu jual beli yang pada
waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di
depan penjual dan pembeli.
b. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam
perjanjian; yaitu jual beli salam (pesanan). Dalam
salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya ialah :
·
Ketika
melakukan akad salam disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh
pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang maupun diukur.
·
Dalam
akad harus disebutkan segala sesuatu yang bias mempertinggi dan memperendah
harga barang itu.
·
Barang
yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang biasa didapat dipasar.
·
Harga
hendakya dipegang ditempat akad berlangsung.
c. Jual beli benda tidak ada (tidak dapat dilihat); ialah
jual beli yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu atau
masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau
barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.
3. Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek)
a. Lisan; yaitu akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang.
b. Perantara; yaitu jual beli yang dilakukan antara penjual
dan pembeli yang tidak berada dalam satu majelis akad.
c. Perbuatan; yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa
ijab dan Kabul (mu’athah).
Selain
yang di atas, jual beli ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang. Jual beli
yang dilarang pun dibagi lagi menjadi yang batal dan tetap sah.
Adapun
jual beli yang dilarang dan batal hukumnya, di antaranya:
a.
Barang yang dihukumkan najis dan
yang terkena najis. Ulama
sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis, seperti khamar. Akan
tetapi, mereka berbeda pendapat tentang barang yang terkena najis
(al-mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan, seperti minyak yang terkena
bangkai tikus. Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak untuk
dimakan, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan.
b. Jual beli dengan muhaqallah, yaitu menjual
tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah. Pada model ini terkumpul dua
hal yang terlarang, yaitu:
·
Adanya
ketidakjelasan kadar pada barang yang diperjual belikan.
·
Padanya
terdapat unsure riba karena tidak diketahui secara pasti adanya kesamaan antara
dua barang yang diperjual belikan.
Ketidakjelasan di sini karena
biji-bijian yang masih di tangkainya tidak diketahui kadarnya (beratnya) secara
pasti dan tidak diketahui baik dan buruknya barang tersebut.
Adapun adanya unsur riba di sini
karena jual beli biji-bijian dengan biji-bijian yang sejenis dengannya tanpa
adanya takaran syar'i yang sudah diketahui akan menyebabkan ketidakjelasan pada
sesuatu.[13]
c. Jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual
buah-buahan yang belum masak (matang). Boleh menjual buah-buahan sebelum masak
dengan syarat harus dipetik untuk orang yang ingin mengambil manfaat darinya.
Kemudian, apabila seseorang membeli
kurma (yang belum masak) dan sebelum dipanen tiba-tiba kurma tersebut tertimpa
musibah sehingga memberi mudharat baginya, maka hukumnya si pembeli wajib untuk
tidak menerima kurma tersebut dan boleh meminta uangnya kembali dari si
penjual.
Ibnu Qayyim ra. berkata dalam kitab I'laamul
Muwaqqi'iin, "maksud dilarangnya jual beli buah-buahan yang belum
masak, yaitu agar tidak terjadi kasus memakan harta si pembeli tanpa hak yang
dibenarkan, karena buah-buahan tersebut kemungkian bisa rusak. Allah telah
melarangnya dan Allah pun menguatkan tujuan dari larangan ini dengan memberi
pembelaan kepada si pembeli yang barangnya rusak karena terkena musibah setelah
terjadinya jual beli yang dibolehkan. Semuanya ini dimaksudkan agar si pembeli
tidak merasa dizhalimi dan hartanya tidak dimakan tanpa adanya hak yang
dibenarkan.”[14]
d. Jual beli dengan mulasamah, yaitu jual beli secara
sentuh menyentuh. Yaitu apabila seorang pedagang berkata, “Kain mana
saja yang engkau sentuh, maka kain tersebut menjadi milikmu dengan harga
sekian.”
Jual beli ini tidak layak dengan dua
sebab:
·
Adanya jahalah
(ketidakjelasan barang).
·
Masih
tergantung dengan syarat.
Syaratnya ialah seorang pedagang
berkata, "Aku jual pakaian yang engkau sentuh dari pakaian-pakaian
ini."
Masuk dalam larangan ini semua
barang, maka tidak boleh membeli sesuatu dengan cara mulasamah karena
adanya dua sebab yang sudah disebutkan tadi, baik barang tersebut berupa
pakaian atau yang lainnya.[15]
e. Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli
secara lempar-melempar. Apabila seseorang berkata, "kain mana saja yang
kamu lemparkan kepadaku, maka aku membayarnya dengan harga sekian," tanpa
ia melihat kepada barang tersebut.
Jual beli ini tidak sah disebabkan
dua 'illat (alasan), yaitu:
·
Adanya ketidakjelasan
barang.
·
Barang yang
dijual masih bergantung pada syarat, yaitu apabila kain tersebut dilemparkan
kepadanya.
Dan masuk dalam kategori ini semua
jenis barang, berdasarkan perkataan, "barang apa saja yang engkau
lemparkan kepada saya, maka saya wajib membayarnya dengan harga sekian."
Jual seperti ini tidak boleh.[16]
f. Jual beli dengan muzabanah, yaitu menjaul anggur
dengan anggur atau menjual kurma dengan kurma yang masih berada di pohon atau
menjual ruthab (kurma yang masih basah) dengan kurma yang sudah kering.
Dalam jual beli ni terdapat dua 'illat
(sebab) yang mengharuskan syariat untuk melarangnya:
·
Adanya
ketidakjelasan pada barang (karena masih berada di pohon). Juga adanya bahaya
yang akan mengancam salah satu pihak dengan kerugian.
·
Adanya unsur
riba karena kurma yang masih berada di pohon belum jelas (kadarnya, serta baik
dan buruknya), maka menjual kurma dengan kurma yang sejenis, tentu belum
memastikan adanya tamatsul (samanya kadar antara dua barang yang
dijualbelikan), sehingga hal tersebut akan menyebabkan terjadinya riba fadhl.[17]
g. Dua transaksi dalam satu transaksi jual beli. Yaitu
seseorang berkata, "Aku menjual barang ini kepadamu dengan harga 20 tapi
dibayar kontan atau dengan harga 30 tapi ditangguhkan pembayarannya
(dihutang)." Lalu kedua belah pihak berpisah sebelum menentukan barang
(yang disepakati).
Atau seseorang berkata, "saya
jual barang ini kepadamu tapi dengan syarat engkau juga menjual barang ini
kepadaku atau engkau membeli barang tersebut dariku dan begitu
seterusnya."
Al-Ahnaf (pengikut
madzhab Imam Hanafi) berkata, "jual beli seperti ini fasid (dinyatakan
rusak) karena harganya masih majhul (belum diketahui)."
Para pengikut Madzhab Imam
asy-syafi'i dan Ahmad bin Hanbal berkata, "Akad jual beli seperti ini
bathil karena jual beli ini mengandung unsur penipuan dengan sebab adanya jahalah
(ketidakjelasan)."
Imam Malik ra. berpendapat tentang
sahnya jual beli ini, namun beliau mensyaratkan adanya khiyar (hak untuk
menentukan pilihan).[18]
h. Jual beli gharar. Para fuqaha' (ahli fiqih)
ra. menyebutkan definisi yang sangat banyak tentang jual beli gharar ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra.
berkata, "jual beli gharar yaitu (jual beli) yang akibatnya belum
diketahui secara pasti.
Ibnu Qayyim ra. menuturkan,
"jual beli gharar yaitu jual beli sesuatu yang tidak mampu untuk
diserahkan (kepada si pembeli), baik barang itu ada ataupun memang barang itu
tidak ada, seperti menjual budak yang melarikan diri dan menjual hewan yang
kabu walaupun ada.”
Ibnu Hazm azh-Zhahiri ra. berkata
dalam kitab al-Muhalla, Jual beli gharar, yaitu si pembeli tidak
mengetahui apa yang ia beli dan si penjual sendiri tidak mengetahui apa yang ia
jual."[19]
Imam as-Sarakhsi ra.
berkata,"jual beli gharari yaitu jual beli yang akibatnya masih
tertutup (belum jelas).
i.
Jual beli Hashaat,
yaitu jual beli dengan cara melempar kerikil. Apabila seorang penjual berkata
pada pembeli, "lemparkan kerikil ini, di mana saja kerikil ini jatuh, maka
itulah batas akhir tanah yang engkau beli.”
Jual beli seperti ini hukumnya haram
dan termasuk jual beli Jahiliyyah. Dan menurut mereka (para ulama) jual beli
dengan cara ini tidak hanya berlaku untuk barang berupa tanah saja, namun bisa
juga semua barang yang bisa dilempar dengan kerikil, baik berupa jual beli
kambing, pakaian, makanan ataupun yang lainnya.[20]
Jual beli
dilarang yang disebutkan hanya sebagian contoh. Masih banyak jenis jual beli
yang lain seperti jual beli 'urudh, jual beli ajil, jual beli muqayyadhah,
jual beli muratahlah, jual beli 'inah, jual beli habalah,
jual beli 'urbun, jual beli taji-ah, dan lain sebagainya.
Beberapa
macam jual beli yang dilarang oleh agama, tetapi sah hukumnya:
a. Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk ke pasar
untuk membeli benda-bendanya dengan harga yang semurah-murahnya, sebelum mereka
tahu harga pasaran, kemudian ia jual dengan harga yang setinggi-tingginya.
b. Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain.
c. Jual beli dengan najasyi, ialah seseorang menambah atau
melebihi harga temannya dengan maksud memancing-mancing orang agar orang itu
mau membeli barang kawannya.
d. Menjual di atas penjualan orang lain.[21]
E.
CONTOH
PERSOALAN YANG BERKAITAN DENGAN JUAL BELI YANG UMUM DI MASYARAKAT
Persoalan lain, tentang jual beli kredit. Jual
Beli Kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut
Bai’ bit Taqsith.
Dalam Jual-beli kredit yang menurut syara itu
memiliki tiga rukun: (1) Al-‘Aqidân, yaitu dua orang yang berakad jual beli.
Dalam hal ini keduanya harus orang yang layak melakukan tasharruf, yakni
berakal dan minimal mumayyiz. (2). Shighât (ijab-qabul). (3) Mahal al-’aqd
(obyek akad), yaitu al-mabi’ (barang dagangan) dan ats-tsaman (harga).
Jadi, kalau jual beli kredit yang benar menurut
syara adalah terpenuhinya ketiga rukun tersebut, kalau kurang dari salah satu
rukun tersebut maka jual beli secara kredit tersebut tidak sah menurut syara
seperti yang dilakukan oleh orang membeli rumah ke bank konvensional karena
akadnya dengan sistem bunga yang mana tidak pasti disebutkan berapa sebenarnya
harga jual kredit rumah tersebut, sehinga sewaktu-waktu pihak bank bisa merubah
nominal angsurannya rumah tersebut mengikuti tingkat suku bunga pasar yang
fluktuatif.
Berbeda dengan jual beli secara kredit yang
sesuai dengan syara si penjual tidak diperbolehkan untuk merubah harga jual
semaunya yang akhirnya merubah angsuran per bulan harga barang tersebut.
Di samping ketiga rukun tsb juga terdapat
syarat-syarat terkait dengan al-mabî’ (barang dagangan) dan harga. Al-Mabî’ itu
harus sesuatu yang suci, tidak najis; halal dimanfaatkan; adanya kemampuan
penjual untuk menyerahkannya; harus ma‘lûm (jelas), tidak majhul.
Jika barang dagangannya berupa tamar (kurma),
sa’îr (barley), burr (gandum), dzahab (emas), fidhah (perak), atau uang, dan
milh (garam) maka tidak boleh diperjualbelikan (dipertukarkan) secara kredit.
Rasulullah SAW. bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, barley dg barley kurma dengan kurma dan garam dengan garam
(harus) semisal, sama dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka perjualbelikanlah
sesuka kalian selama dilakukan secara tunai.” (HR Muslim)
Artinya, tidak boleh menjual emas, perak,
garam, kurma, gandum atau barley, secara kredit.
Di samping itu al-mabî’ (barang dagangan)
tersebut haruslah milik penjual atau si penjual memang memiliki hak untuk
menjualnya, misal sebagai wakil dari pemiliknya. Rasul saw. bersabda:
“Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan
milikmu”. (HR Abu
Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi) (Dikutip dari Alihozi http://alihozi77.blogspot.com)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Jual beli (al-bai’, al-tijarah,
al-mubadalah) menurut bahasa adalah saling menukar (pertukaran). Menurut Istilah artinya pemberian harta
karena menerima harta dengan ikrar penyerahan dan jawab penerimaan (ijab-qabul)
dengan cara yang diizinkan.
Dasar hukum jual beli yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma,
dan Qiyas.
Rukun
Jual beli menurut Jumhur Ulama Fiqh yaitu Bai’ (penjual) dan Musyatari
(Pembeli), Uang dan Benda yang Dibeli, Lafaz/Sigat (Ijab Qabul) dengan
persyaratannya masing-masing.
Macam-macam
jual beli beli dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain:
·
ditinjau
dari segi hukum baik objek ataupun pelaku, yaitu sah menurut hukum dan batal
menurut hukum;
·
ditinjau
dari segi benda, yaitu Jual beli benda yang kelihatan, Jual
beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian,Jual beli benda tidak ada
(tidak dapat dilihat), Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek).
·
jual beli
ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang. Jual beli yang dilarang pun dibagi
lagi menjadi yang batal dan tetap sah.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Ad-Duwaisy,
Syaikh ‘Isa bin Ibrahim. Jual Beli yang Dibolehkan dan yang dilarang; Penerjemah,
Ruslan Nurhadi; Muraja’ah; Tim Pustaka Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir.
·
Drs. Moh. Rifa’I, dkk. Terjamah Khulashah Kifayatul Akhyar. Semarang: CV. Toha Putera, 1978.
·
Hasbiyallah, Fiqh. Bandung: Grafindo media Pratama, 2008
·
Sabiq, Sayyid; alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki dkk. Fiqh
Sunnah (Jil. 12). Bandung: Alma’arif, 1996.
·
Sulaiman,
H. Rasjid. Fiqh Islam. Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1987.
·
Suhendi, Hendi, Haji. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005.
[1]
Ad-Duwaisy, Syaikh ‘Isa bin Ibrahim. Jual Beli yang Dibolehkan dan yang
dilarang; Penerjemah, Ruslan Nurhadi; Muraja’ah; Tim Pustaka Ibnu Katsir.
Bogor: Pustaka Ibnu Katsir. Hal. 7
[2]
Drs. Moh. Rifa’I, dkk. Terjamah Khulashah Kifayatul Akhyar. Semarang: CV. Toha Putera, 1978. Hal. 183
[3]
Sulaiman, H. Rasjid. Fiqh Islam. Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1987.
Hal. 297
[4]
Ad-Duwaisy, Syaikh ‘Isa bin Ibrahim. Jual Beli yang Dibolehkan dan yang
dilarang; Penerjemah, Ruslan Nurhadi; Muraja’ah; Tim Pustaka Ibnu Katsir.
Bogor: Pustaka Ibnu Katsir. Hal. 7
[5]
Suhendi, Hendi, Haji. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2005. Hal. 70
[6]
Hasbiyallah, Fiqh. Bandung: Grafindo media Pratama, 2008. Hal. 29-30.
[7]
Sabiq, Sayyid; alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki dkk. Fiqh Sunnah (Jil.
12). Bandung: Alma’arif, 1996. Hal. 55
[8] Ibid,
Hal. 57
[9] Ibid.
Hal.61
[10]
Sulaiman, H. Rasjid. Fiqh Islam. Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1987.
Hal. 300
[11]
Sabiq, Sayyid; alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki dkk. Fiqh Sunnah (Jil.
12). Bandung: Alma’arif, 1996. Hal. 101-103
[12]
Hasbiyallah, Fiqh. Bandung: Grafindo media Pratama, 2008. Hal. 28
[13]
Ad-Duwaisy, Syaikh ‘Isa bin Ibrahim. Jual Beli yang Dibolehkan dan yang
dilarang; Penerjemah, Ruslan Nurhadi; Muraja’ah; Tim Pustaka Ibnu Katsir.
Bogor: Pustaka Ibnu Katsir. Hal. 57-58
[14] Ibid.
Hal.70-72
[15] Ibid.
Hal. 53-54
[16] Ibid.
Hal. 55
[17] Ibid.
hal.63-64
[18] Ibid.
hal. 45-47
[19] Ibid.
hal. 75-76
[20] Ibid.
hal. 56
[21] Ibid.
Hal 82-83
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?