Selasa, 10 Juli 2012

JUAL BELI DALAM ISLAM



A.    PENGERTIAN JUAL BELI
            Jual beli (al-bai’, al-tijarah, al-mubadalah) menurut bahasa adalah saling menukar (pertukaran). Dalam perkataan lain yaitu mengambil sesuatu dan memberikan sesuatu.[1]
            Menurut Istilah artinya pemberian harta karena menerima harta dengan ikrar penyerahan dan jawab penerimaan (ijab-qabul) dengan cara yang diizinkan[2]. Dalam konteks yang lain, yaitu menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad).[3]

            Adapun Hendi Suhendi menyimpulkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati (2002).
            Pada dasarnya jual beli adalah muamalah perdagangan yang dilakukan oleh sesama manusia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak antara sesama manusia dan tercapainya keinginan-keinginan serta maslahat-maslahat mereka.[4]


B.     DASAR HUKUM JUAL BELI
1.      Al-Qur’an
و أحلّ الله البيع و حرّم الربا (البقرة: ٢٧٥)
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah: 275)


 “Janganlah kamu makan harta yang ada di antara kamu dengan jalan batil melainkan dengan jalan jual-beli suka sama suka”. (An-Nisa: 29)

2.      As-Sunnah
أفضل الكسب عمل  الرجل بيده و كلّ بيع مبرور.
“Perolehan yang paling afdhal adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”.

3.      Dalil Ijma’
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah SAW hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).

4.      Dalil Qiyas
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain, baik itu berupa barang atau uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam pensyari’atan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi tercapainya suatu keinginan yang diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).



C.    RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
            Rukun Jual beli menurut Jumhur Ulama Fiqh sebagai berikut:
1.      Bai’ (penjual) dan Musyatari (Pembeli)
2.      Benda-benda atau barang yang Diperjualbelikan (Ma’kud Alaih)
3.      Lafaz/Sigat (Ijab Qabul)[5]
Adapun persyaratan dari masing-masing rukun adalah sebagai berikut:


1.      Bai’ (penjual) dan Musyatari (Pembeli)
Syarat keduanya:
a.       Berakal
b.      Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa). Firman Allah swt.:

Janganlah kamu makan harta yang ada  di antara kamu dengan jalan batil melainkan dengan jalan jual-beli suka sama suka.
c.       Keadaan tidak mubazir (pemboros). Firman Allah swt.:


“Janganlah kamu serahkan harta orang-orang yang bodoh itu kepadanya, yang Allah menjadikan kamu pemeliharaannya, berilah mereka belanja dari hartanya itu (yang ada di tangan kamu)” (An-Nisa:5)
d.      Baligh/dewasa. Anak kecil tidak sah jual-belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pendapat setengah ulama, mereka dibolehkan berjual-beli barang yang kecil-kecil, karena kalau tidak dibolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama Islam sekali-kali tidak akan mengadakan aturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.

2.      Benda-benda atau barang yang Diperjualbelikan (Ma’kud Alaih)
Syaratnya:
a.       Suci
b.      Bermanfaat
c.       Bisa diserahkan
d.      Milik Penjual (dikuasainya)
e.       Diketahui keadaannya.

Selanjutnya akan dijelaskan pengertian dari masing-masing syarat tersebut.

a.       Suci
Sabda Rasulullah SAW:
عن جابر بن عبد الله  قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إنّ الله و رسوله حرّم بيع الخمر و الميتة و الخنزير و الأصنام فقيل يا رسول الله أرأيت شحوم الميتة فإنها تطلى السفن و تدهن بها الجلود و يستصبح بها الناس قال لا هو حرام قاتل الله اليهود إن الله لما حرّم عليهم شحومها ثمّ باعوه فأكلوا ثمنه. متفق عليه
Dari Jabir bin ‘Abdullah: “Berkata  Rasulullah saw. sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan berhala. Pendengar bertanya: Bagaimana gemuk bangkai ya Rasulullah, karena gemuk itu berguna buat cat perahu, buat minyak kulit, dan minyak lampu? Jawab beliau: Tidak boleh, semua itu haram, celakalah orang Yahudi tatkala Allah mengharamkan akan gemuk bangkai, mereka hancurkan gemuk itu sampai menjadi minyak, kemudian mereka jual minyaknya, lalu mereka makan uangnya.(Muttafaqun ‘alaih)

            Menurut Jumhur ulama, barang tersebut diharamkan karena dianggap najis. Hanafiyan dan Zahiriyah mengatakan bahwa menjual barang yang ada manfaatnya halal menurut Syara’. Oleh karena itu, menurut mereka, boleh menjual kotoran najis yang benar-benar diperlukan untuk digunakan sebagai pupuk di lahan pertanian, bukan untuk dimakan dan diminum. Barang yang dijual harus halal dan suci juga harus jelas manfaatnya.[6]

b.      Bermanfaat
Maka jual beli serangga, ular, tikus, tidak boleh kecuali untuk dimanfaatkan. Juga boleh jual beli kucing, lebah, beruang, singa dan binatang lain yang berguna untuk berburu atau dapat dimanfaatkan kulitnya.
Demikian pula memperjualbelikan gajah untuk mengangkut barang, burung beo, burung merak dan burung-burung lain yang bentuknya indah sekalipun tidak untuk dimakan, tetapi dengan tujuan menikmati suara dan bentuknya.
Jual beli anjing yang bukan anjing terdidik tidak boleh, karena Rasulullah mencegahnya. Anjing-anjing yang dapat dijinakkan seperti untuk penjagaan, anjing penjaga tanaman, menurut Abu Hanifah boleh diperjualbelikan.
Menurut An Nakha’i: yang diperbolehkan hanya memperjualbelikan anjing berburu, dengan berdalil kepada ucapan Rasulullah yang melarang memperjualbelikan anjing kecuali anjing untuk berburu. Hadits ini diriwayatkan An Nasa’i dari Jabir dan Al Hafizh mengatakan: sanadnya dapat dipercaya (tsiqat).[7]


c.       Bisa Diserahkan
Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, seperti ikan dalam laut, barang rampasan yang masih di tangan yang merampasnya, burung yang di udara, anak binatang yang masih di dalam perut, munta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan lain-lain.
عن أبى هريرة نهى النبي صلى الله عليه و سلـّم: عن بيع الغرر (رواه مسلم و غيره)
“dari Abu Hurairah, katanya: “Telah melarang Nabi saw. Memperjual-belikan barang yang mengandung tipu daya.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)

d.      Milik Penjual (Dikuasainya)
Jual beli harus milik sendiri atau yang dikuasakan kepadanya. Jadi miliknya sendiri atau milik orang lain yang dikuasakan, dan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain yang telah menguasakannya.
                  Jika jual beli berlangsung sebelum ada izin dari pihak pemilik barang, maka jual beli seperti ini dinamakan bai’ul fudhul, yaitu jual beli yang akadnya dilakukan oleh orang lain sebelum ada izin pemilik. [8]
Sabda Nabi saw.:
لا طلاق إلا فيما يملك, ولا عتاق إلا فيما يملك, ولا بيع إلا فيما يملك, ولا وفاء بنذرإلا فيما يملك (رواه الترميذى و أبو داود)
“Tidak ada talak (cerai) kecuali apa yang dimilikinya, tidak membebaskan (budak) kecuali miliknya, tidak menjual kecualinya miliknya, dan tidak ada pemenuhan nazar kecuali dengan miliknya”. (HR. At Tirmidzi dan Abu Dawud)


e.       Diketahui Keadaannya
Jika barang dan harga tidak diketahui atau salah satu keduanya tidak diketahui, jual beli tidak sah, karena mengandung unsur penipuan. Mengenai syarat mengetahui barang yang dijual, cukup dengan penyaksian barang sekalipun tidak ia ketahui jumlahnya, seperti pada jual beli barang yang kadarnya tidak dapat diketahui (jazaf). Untuk barang zimmah (barang yang dapat dihitung, ditakar dan ditimbang), maka kadar kuantitas dan sifat-sifatnya harus diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Demikian pula harganya harus diketahui, baik itu sifat, (jenis pembayaran), jumlah maupun masanya.[9]
      Kalau barang itu bercampur dengan yang lain, umpamanya segantang beras atau sekilo gula, cukup melihat sebagian barang, asal yang lainnya sama dengan contoh yang dilihat itu. begitu pula cukup melihat kulitnya kalau sekirannya dipecah kulit itu bakal rusak, misalnya tempurung.
      Sesuatu yang maklum menurut kebiasaaan, seperti bawang yang masih dalam tanah. Walaupun keadaan barang boleh jadi ada lebih-kurangnya serta bakal merugikan salah satu pembeli atau penjual, tetapi hanya sedikit. Keadaan yang sedikit itu dimaafkan karena kemaslahatan untuk memudahkan langsungnya pekerjaan.[10]
           
           
3.      Lafaz/Sigat (Ijab Qabul)[11]
            Ijab adalah perkataan penjual, umpamanya: saya jual barang ini sekian.  Qabul adalah seperti kata si pembeli: saya terima (saya beli) dengan harga sekian. Keterangan ayat yang telah lalu yang mengatakan jual-beli itu suka sama suka, dan:
            Sabda Rasulullah saw.:
إنـّما البيع عن تراض ٍ .رواه ابن حبان.
Sesungguhnya jual-beli itu hanya sah jika suka sama suka. (Riwayat Ibnu Hibban).
           
            Sedangkan suka sama suka itu tidak dapat terang diketahui kecuali dengan perkataan yang menunjukkan akan suka seorang dengan seorang, karena suka itu dalam hati masing-masing. Ini pendapat kebanyakan ulama. Tetapi Nawawi, Baghawi, dan beberapa ulama yang lain berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut adat telah belaku hal yang seperti itu sudah dipandang jual-beli, itu saja sudah cukup karena tidak ada suatu dalil yang terang untuk mewajibkan lafaz.
            Imam Hanafi mengatakan bahwa untuk terlaksananya ijab dan qabul tidak diharuskan mengucapkan kata-kata tertentu, sebab dalam hokum perikatan yang dijadikan ukuran adalah tujuan dan makna yang dihasilkannya. Ukuran ijab dan qabul adalah kerelaan kedua belah pihak melakukan transaksi dan adanya tindakan memberi dan menerima atau indikasi dalam bentuk apapun yang menunjukkan kerelaan mereka dalam memindahkan kepemilikan.[12]            
            Menurut ulama yang mewajibkan lafaz, diwajibkan keadaan lafaz itu memenuhi beberapa syarat:
a.       Keadaan ijab dan qabul berhubungan. Artinya salah satu dari keduanya pantas menjadi jawab dari yang lain dan belum berselang lama.
b.      Hendaklah mupakat (sama) makna keduanya walaupun lafaz keduanya berlainan.
c.       Keadaan keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya, kalau saya jadi pergi, saya jual barang ini sekian.
d.      Tidak berwaktu, sebab jual-beli berwaktu seperti bulanan atau setahun, tidak sah.



D.    MACAM-MACAM JUAL BELI
1.      Ditinjau dari segi hukum (baik objek ataupun pelaku):
a.       Sah menurut hukum
b.      Batal menurut hukum
2.      Ditinjau dari segi benda:
a.       Jual beli benda yang kelihatan; yaitu jual beli yang pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli.
b.      Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian; yaitu jual beli salam (pesanan). Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya ialah :
·         Ketika melakukan akad salam disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang maupun diukur.
·         Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bias mempertinggi dan memperendah harga barang itu.
·         Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang biasa didapat dipasar.
·        Harga hendakya dipegang ditempat akad berlangsung.
c.       Jual beli benda tidak ada (tidak dapat dilihat); ialah jual beli yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu atau masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.
3.      Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek)
a.       Lisan; yaitu akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang.
b.      Perantara; yaitu jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli yang tidak berada dalam satu majelis akad.
c.       Perbuatan; yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dan Kabul (muathah).

Selain yang di atas, jual beli ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang. Jual beli yang dilarang pun dibagi lagi menjadi yang batal dan tetap sah.
Adapun jual beli yang dilarang dan batal hukumnya, di antaranya:
a.       Barang yang dihukumkan najis dan yang terkena najis. Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis, seperti khamar. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang barang yang terkena najis (al-mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan, seperti minyak yang terkena bangkai tikus. Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan.
b.      Jual beli dengan muhaqallah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah. Pada model ini terkumpul dua hal yang terlarang, yaitu:
·         Adanya ketidakjelasan kadar pada barang yang diperjual belikan.
·         Padanya terdapat unsure riba karena tidak diketahui secara pasti adanya kesamaan antara dua barang yang diperjual belikan.
Ketidakjelasan di sini karena biji-bijian yang masih di tangkainya tidak diketahui kadarnya (beratnya) secara pasti dan tidak diketahui baik dan buruknya barang tersebut.
Adapun adanya unsur riba di sini karena jual beli biji-bijian dengan biji-bijian yang sejenis dengannya tanpa adanya takaran syar'i yang sudah diketahui akan menyebabkan ketidakjelasan pada sesuatu.[13]
c.       Jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum masak (matang). Boleh menjual buah-buahan sebelum masak dengan syarat harus dipetik untuk orang yang ingin mengambil manfaat darinya.
Kemudian, apabila seseorang membeli kurma (yang belum masak) dan sebelum dipanen tiba-tiba kurma tersebut tertimpa musibah sehingga memberi mudharat baginya, maka hukumnya si pembeli wajib untuk tidak menerima kurma tersebut dan boleh meminta uangnya kembali dari si penjual.
Ibnu Qayyim ra. berkata dalam kitab I'laamul Muwaqqi'iin, "maksud dilarangnya jual beli buah-buahan yang belum masak, yaitu agar tidak terjadi kasus memakan harta si pembeli tanpa hak yang dibenarkan, karena buah-buahan tersebut kemungkian bisa rusak. Allah telah melarangnya dan Allah pun menguatkan tujuan dari larangan ini dengan memberi pembelaan kepada si pembeli yang barangnya rusak karena terkena musibah setelah terjadinya jual beli yang dibolehkan. Semuanya ini dimaksudkan agar si pembeli tidak merasa dizhalimi dan hartanya tidak dimakan tanpa adanya hak yang dibenarkan.[14]
d.      Jual beli dengan mulasamah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh. Yaitu apabila seorang pedagang berkata, Kain mana saja yang engkau sentuh, maka kain tersebut menjadi milikmu dengan harga sekian.
Jual beli ini tidak layak dengan dua sebab:
·         Adanya jahalah (ketidakjelasan barang).
·         Masih tergantung dengan syarat.
Syaratnya ialah seorang pedagang berkata, "Aku jual pakaian yang engkau sentuh dari pakaian-pakaian ini."
Masuk dalam larangan ini semua barang, maka tidak boleh membeli sesuatu dengan cara mulasamah karena adanya dua sebab yang sudah disebutkan tadi, baik barang tersebut berupa pakaian atau yang lainnya.[15]
e.       Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli secara lempar-melempar. Apabila seseorang berkata, "kain mana saja yang kamu lemparkan kepadaku, maka aku membayarnya dengan harga sekian," tanpa ia melihat kepada barang tersebut.
Jual beli ini tidak sah disebabkan dua 'illat (alasan), yaitu:
·         Adanya ketidakjelasan barang.
·         Barang yang dijual masih bergantung pada syarat, yaitu apabila kain tersebut dilemparkan kepadanya.
Dan masuk dalam kategori ini semua jenis barang, berdasarkan perkataan, "barang apa saja yang engkau lemparkan kepada saya, maka saya wajib membayarnya dengan harga sekian." Jual seperti ini tidak boleh.[16]
f.       Jual beli dengan muzabanah, yaitu menjaul anggur dengan anggur atau menjual kurma dengan kurma yang masih berada di pohon atau menjual ruthab (kurma yang masih basah) dengan kurma yang sudah kering. Dalam jual beli ni  terdapat dua 'illat (sebab) yang mengharuskan syariat untuk melarangnya:
·         Adanya ketidakjelasan pada barang (karena masih berada di pohon). Juga adanya bahaya yang akan mengancam salah satu pihak dengan kerugian.
·         Adanya unsur riba karena kurma yang masih berada di pohon belum jelas (kadarnya, serta baik dan buruknya), maka menjual kurma dengan kurma yang sejenis, tentu belum memastikan adanya tamatsul (samanya kadar antara dua barang yang dijualbelikan), sehingga hal tersebut akan menyebabkan terjadinya riba fadhl.[17]
g.      Dua transaksi dalam satu transaksi jual beli. Yaitu seseorang berkata, "Aku menjual barang ini kepadamu dengan harga 20 tapi dibayar kontan atau dengan harga 30 tapi ditangguhkan pembayarannya (dihutang)." Lalu kedua belah pihak berpisah sebelum menentukan barang (yang disepakati).
Atau seseorang berkata, "saya jual barang ini kepadamu tapi dengan syarat engkau juga menjual barang ini kepadaku atau engkau membeli barang tersebut dariku dan begitu seterusnya."
Al-Ahnaf (pengikut madzhab Imam Hanafi) berkata, "jual beli seperti ini fasid (dinyatakan rusak) karena harganya masih majhul (belum diketahui)."
Para pengikut Madzhab Imam asy-syafi'i dan Ahmad bin Hanbal berkata, "Akad jual beli seperti ini bathil karena jual beli ini mengandung unsur penipuan dengan sebab adanya jahalah (ketidakjelasan)."
Imam Malik ra. berpendapat tentang sahnya jual beli ini, namun beliau mensyaratkan adanya khiyar (hak untuk menentukan pilihan).[18]
h.      Jual beli gharar. Para fuqaha' (ahli fiqih) ra. menyebutkan definisi yang sangat banyak tentang jual beli gharar ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra. berkata, "jual beli gharar yaitu (jual beli) yang akibatnya belum diketahui secara pasti.
Ibnu Qayyim ra. menuturkan, "jual beli gharar yaitu jual beli sesuatu yang tidak mampu untuk diserahkan (kepada si pembeli), baik barang itu ada ataupun memang barang itu tidak ada, seperti menjual budak yang melarikan diri dan menjual hewan yang kabu walaupun ada.
Ibnu Hazm azh-Zhahiri ra. berkata dalam kitab al-Muhalla, Jual beli gharar, yaitu si pembeli tidak mengetahui apa yang ia beli dan si penjual sendiri tidak mengetahui apa yang ia jual."[19]
Imam as-Sarakhsi ra. berkata,"jual beli gharari yaitu jual beli yang akibatnya masih tertutup (belum jelas).
i.        Jual beli Hashaat, yaitu jual beli dengan cara melempar kerikil. Apabila seorang penjual berkata pada pembeli, "lemparkan kerikil ini, di mana saja kerikil ini jatuh, maka itulah batas akhir tanah yang engkau beli.
Jual beli seperti ini hukumnya haram dan termasuk jual beli Jahiliyyah. Dan menurut mereka (para ulama) jual beli dengan cara ini tidak hanya berlaku untuk barang berupa tanah saja, namun bisa juga semua barang yang bisa dilempar dengan kerikil, baik berupa jual beli kambing, pakaian, makanan ataupun yang lainnya.[20]

Jual beli dilarang yang disebutkan hanya sebagian contoh. Masih banyak jenis jual beli yang lain seperti jual beli 'urudh, jual beli ajil, jual beli muqayyadhah, jual beli muratahlah, jual beli 'inah, jual beli habalah, jual beli 'urbun, jual beli taji-ah, dan lain sebagainya.

Beberapa macam jual beli yang dilarang oleh agama, tetapi sah hukumnya:
a.       Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk ke pasar untuk membeli benda-bendanya dengan harga yang semurah-murahnya, sebelum mereka tahu harga pasaran, kemudian ia jual dengan harga yang setinggi-tingginya.
b.      Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain.
c.       Jual beli dengan najasyi, ialah seseorang menambah atau melebihi harga temannya dengan maksud memancing-mancing orang agar orang itu mau membeli barang kawannya.
d.      Menjual di atas penjualan orang lain.[21]



E.     CONTOH PERSOALAN YANG BERKAITAN DENGAN JUAL BELI YANG UMUM DI MASYARAKAT
Persoalan lain, tentang jual beli kredit. Jual Beli Kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith.
Dalam Jual-beli kredit yang menurut syara itu memiliki tiga rukun: (1) Al-‘Aqidân, yaitu dua orang yang berakad jual beli. Dalam hal ini keduanya harus orang yang layak melakukan tasharruf, yakni berakal dan minimal mumayyiz. (2). Shighât (ijab-qabul). (3) Mahal al-’aqd (obyek akad), yaitu al-mabi’ (barang dagangan) dan ats-tsaman (harga).
Jadi, kalau jual beli kredit yang benar menurut syara adalah terpenuhinya ketiga rukun tersebut, kalau kurang dari salah satu rukun tersebut maka jual beli secara kredit tersebut tidak sah menurut syara seperti yang dilakukan oleh orang membeli rumah ke bank konvensional karena akadnya dengan sistem bunga yang mana tidak pasti disebutkan berapa sebenarnya harga jual kredit rumah tersebut, sehinga sewaktu-waktu pihak bank bisa merubah nominal angsurannya rumah tersebut mengikuti tingkat suku bunga pasar yang fluktuatif.
Berbeda dengan jual beli secara kredit yang sesuai dengan syara si penjual tidak diperbolehkan untuk merubah harga jual semaunya yang akhirnya merubah angsuran per bulan harga barang tersebut.
Di samping ketiga rukun tsb juga terdapat syarat-syarat terkait dengan al-mabî’ (barang dagangan) dan harga. Al-Mabî’ itu harus sesuatu yang suci, tidak najis; halal dimanfaatkan; adanya kemampuan penjual untuk menyerahkannya; harus ma‘lûm (jelas), tidak majhul.
Jika barang dagangannya berupa tamar (kurma), sa’îr (barley), burr (gandum), dzahab (emas), fidhah (perak), atau uang, dan milh (garam) maka tidak boleh diperjualbelikan (dipertukarkan) secara kredit.
Rasulullah SAW. bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dg barley kurma dengan kurma dan garam dengan garam (harus) semisal, sama dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka perjualbelikanlah sesuka kalian selama dilakukan secara tunai.” (HR Muslim)
Artinya, tidak boleh menjual emas, perak, garam, kurma, gandum atau barley, secara kredit.
Di samping itu al-mabî’ (barang dagangan) tersebut haruslah milik penjual atau si penjual memang memiliki hak untuk menjualnya, misal sebagai wakil dari pemiliknya. Rasul saw. bersabda:
“Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu”. (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi) (Dikutip dari Alihozi http://alihozi77.blogspot.com)


















BAB III
PENUTUP



KESIMPULAN
            Jual beli (al-bai’, al-tijarah, al-mubadalah) menurut bahasa adalah saling menukar (pertukaran).    Menurut Istilah artinya pemberian harta karena menerima harta dengan ikrar penyerahan dan jawab penerimaan (ijab-qabul) dengan cara yang diizinkan.
            Dasar hukum jual beli yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma, dan Qiyas.
            Rukun Jual beli menurut Jumhur Ulama Fiqh yaitu Bai’ (penjual) dan Musyatari (Pembeli), Uang dan Benda yang Dibeli, Lafaz/Sigat (Ijab Qabul) dengan persyaratannya masing-masing.
            Macam-macam jual beli beli dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain:
·         ditinjau dari segi hukum baik objek ataupun pelaku, yaitu sah menurut hukum dan batal menurut hukum;
·         ditinjau dari segi benda, yaitu Jual beli benda yang kelihatan, Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian,Jual beli benda tidak ada (tidak dapat dilihat), Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek).
·         jual beli ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang. Jual beli yang dilarang pun dibagi lagi menjadi yang batal dan tetap sah.












DAFTAR PUSTAKA



·         Ad-Duwaisy, Syaikh ‘Isa bin Ibrahim. Jual Beli yang Dibolehkan dan yang dilarang; Penerjemah, Ruslan Nurhadi; Muraja’ah; Tim Pustaka Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir.
·         Drs. Moh. Rifa’I, dkk. Terjamah Khulashah Kifayatul Akhyar.  Semarang: CV. Toha Putera, 1978.
·         Hasbiyallah, Fiqh. Bandung: Grafindo media Pratama, 2008
·         Sabiq, Sayyid; alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki dkk. Fiqh Sunnah (Jil. 12). Bandung: Alma’arif, 1996.
·         Sulaiman, H. Rasjid. Fiqh Islam. Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1987.
·         Suhendi, Hendi, Haji. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
·         Alihozi http://alihozi77.blogspot.com






[1] Ad-Duwaisy, Syaikh ‘Isa bin Ibrahim. Jual Beli yang Dibolehkan dan yang dilarang; Penerjemah, Ruslan Nurhadi; Muraja’ah; Tim Pustaka Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir. Hal. 7
[2] Drs. Moh. Rifa’I, dkk. Terjamah Khulashah Kifayatul Akhyar.  Semarang: CV. Toha Putera, 1978.  Hal. 183
[3] Sulaiman, H. Rasjid. Fiqh Islam. Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1987. Hal. 297
[4] Ad-Duwaisy, Syaikh ‘Isa bin Ibrahim. Jual Beli yang Dibolehkan dan yang dilarang; Penerjemah, Ruslan Nurhadi; Muraja’ah; Tim Pustaka Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir. Hal. 7

[5] Suhendi, Hendi, Haji. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Hal. 70
[6] Hasbiyallah, Fiqh. Bandung: Grafindo media Pratama, 2008. Hal. 29-30.
[7] Sabiq, Sayyid; alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki dkk. Fiqh Sunnah (Jil. 12). Bandung: Alma’arif, 1996. Hal. 55
[8] Ibid, Hal. 57
[9] Ibid. Hal.61
[10] Sulaiman, H. Rasjid. Fiqh Islam. Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1987. Hal. 300
[11] Sabiq, Sayyid; alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki dkk. Fiqh Sunnah (Jil. 12). Bandung: Alma’arif, 1996. Hal. 101-103

[12] Hasbiyallah, Fiqh. Bandung: Grafindo media Pratama, 2008. Hal. 28
[13] Ad-Duwaisy, Syaikh ‘Isa bin Ibrahim. Jual Beli yang Dibolehkan dan yang dilarang; Penerjemah, Ruslan Nurhadi; Muraja’ah; Tim Pustaka Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir. Hal. 57-58
[14] Ibid. Hal.70-72
[15] Ibid. Hal. 53-54
[16] Ibid. Hal. 55
[17] Ibid. hal.63-64
[18] Ibid. hal. 45-47
[19] Ibid. hal. 75-76
[20] Ibid. hal. 56
[21] Ibid. Hal 82-83

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?