Bertemu lagi
dengan Bulan Ramadhan! Bulan penuh rahmat. Bulan penuh ampunan dan maghfirah.
Bulan yang paling utama dari bulan-bulan yang lain. Bagi seorang muslim,
kedatangan bulan Ramadhan telah ditunggu jauh-jauh hari. Selama satu bulan
penuh, Allah akan melipatgandakan pahala bagi siapapun yang beribadah. Saat
hari Idul Fitri tiba, setiap muslim akan menjadi orang yang suci laksana bayi
yang baru dilahirkan. Subhanallah.
Sesungguhnya
setiap muslim pasti mempunyai kenangan atau memori indah tentang bulan
Ramadhan. Sehubungan dengan bulan Ramadhan ini, saya mencoba untuk menggali
ingatan saya. Kenangan apa saja yang saya rasakan setiap kali bertemu dengan bulan
Ramadhan. Saya ingin memulainya dari tahun terakhir saya berada di Pondok Pesantren,
yaitu 7 tahun yang lalu pada tahun 2007.
Tahun 2007
Bulan
Puasa terakhir di Pondok Pesantren. Pada saat itu saya masih menjabat sebagai Ketua
pengurus Organisasi Santri Darul Hijrah (OSDA). Artinya saya bersama pengurus
OSDA lainnya harus mengurusi semua kegiatan santri. Tidak terkecuali kegiatan
pada masa bulan Ramadhan. Seingat saya, pada awalnya seluruh santri wajib
berpuasa di Pondok Pesantren selama setengah bulan (dua minggu). Itu berlaku
bagi santri dari kelas satu sampai kelas enam. Setelahnya, para santri dari
kelas satu sampai kelas enam dibolehkan untuk pulang.
Para pengurus
ditugaskan untuk menyiapkan ta’jil. Untuk santri berjumlah enam ratusan lebih,
kami membuat air (teh, susu, dll) dengan drum air besar. Tentunya wadah
tersebut sudah bersih dan higienis. Adapun cemilan atau snack, kami memesannya
dari luar pondok pesantren. Kami mengusahakan agar snack yang disediakan setiap
hari selalu berbeda. Hal ini bertujuan agar para santri tidak merasa bosan.
Proses pembuatan air kami lakukan di belakang masjid. Hal ini memudahkan kami
dalam pembagiannya.
Jika mendekati
waktu maghrib, salah seorang pengurus memimpin para santri untuk membaca wirid
sebelum berbuka. Wirid ini terus dibaca sampai tanda waktu berbuka berbunyi.
Setelah makan ta’jil, barulah para santri shalat maghrib dan pergi ke dapur
untuk makan malam. Beginilah kegiatan ini berlangsung sampai setengah bulan
lamanya.
Malam sebelum
perpulangan, para pengurus berkeliling pondok. Kala itu banyak sekali santri
yang menyumbang makanan untuk para pengurus yang akan tinggal di pondok sampai
lebaran tiba. Kami mendapat mie sampai satu lemari penuh. Ada pula yang
menyumbangkan minuman dan kue-kue kering.
Kegiatan terus
berlanjut sepertia sedia kala. Hanya saja sekarang kami tidak perlu menyiapkan
ta’jil yang banyak. Hanya tersisa sekitar 80-an pengurus plus para asatidz.
Artinya kami tidak akan sesibuk sebelumnya. Pondok memang sudah sepi, tetapi
paling tidak kami sedikit merasa bebas. Pada saat itu, para asatidz sedikit
melonggarkan disiplin. Yang penting asal jangan melanggar disiplin yang
sifatnya berat.
Setengah bulan
berikutnya berlalu bersama para pengurus. Selama itu pula kami menjaga keamanan
pondok yang sedikit penghuni. Kami juga dituntut untuk menjaga kebersihan
pondok. Oleh karena itu kami memutuskan untuk membuat jadwal, baik untuk
menjaga malam (ronda malam) dan juga untuk kebersihan pondok.
Tibalah hari raya
Idul Fitri. Semua pengurus wajib shalat ied di Masjid Pondok Pesantren. Mereka
baru boleh pulang setelah shalat ied. Beruntung banyak masyarakat yang shalat
ied di masjid Pondok. Sehingga masjid tidak terlihat sepi karena ditinggalkan
oleh santri-santri.
Meskipun hati
ingin pulang, tetapi tugas dari pengasuh pondok harus dilaksanakan. Sesaat
setelah shalat ied, saya belum bisa langsung pulang seperti para pengurus
lainnya. Harus ada yang tetap menjaga pondok selama para pengurus dan para
asatidz pulang pasca lebaran. Akhirnya diputuskanlah yang akan menjaga pondok
pada saat itu adalah seluruh bagian keamaan ditambah ketua. Total yang tinggal
di pondok selama satu minggu berjumlah lima orang. Tugas ini sangat berat.
Apalagi pondok yang sebegitu besarnya hanya dijaga oleh lima orang.
Beruntunglah ada beberapa pengurus yang rumahnya berada di kota yang sama
dengan pondok pesantren. Mereka bersedia bolak-balik dan menemani kami tinggal
di pondok pesantren. Walaupun jumlah mereka pun ditambah dengan kami tidak
sampai sepuluh orang.
Selama satu minggu
kami menjaga pondok pesantren. Kami berharap tidak ada kejadian yang aneh-aneh.
Alhamdulillah, seminggu terlewati, semuanya aman terkendali. Seminggu berlalu,
satu persatu para santri datang. Pondok Pesantren kembali seperti sedia kala.
Kini tiba giliran kami untuk pulang. Walaupun sudah satu minggu terlewati,
keluarga di rumah masih menunggu kedatangan saya.
Hikmah yang saya
dapatkan di bulan puasa kali ini adalah bahwa di balik kebahagiaan kita
menikmati lebaran, pasti ada sosok-sosok yang berkorban bagi orang lain untuk
mendapatkan kebahagiaan tersebut. Mereka mengikhlaskan diri mereka untuk
kebahagiaan orang lain. Kita ingat para satpam, penjaga keamanan, ta’mir masjid,
pengurus zakat, dan masih banyak lagi. Mereka tidak bisa langsung bertemu
orang-orang yang dicintainya pada saat lebaran. Mereka menahan diri agar semua
pelaksanaan lebaran berjalan dengan lancar. Berterimakasihlah kepada mereka.
Tahun 2008
Bisa saya katakan,
bulan Ramadhan pada tahun 2008 berbeda dengan bulan ramadhan di tahun-tahun
yang lain. Ini pertama kalinya saya berpuasa di luar negara Indonesia. Pada
saat itu, bertepatan saya hijrah –selama satu tahun– ke Brunei Darussalam,
menyusul ayah saya yang tinggal di sana bersama adik-adik.
Meskipun berada
dalam satu wilayah yang tidak jauh berbeda (bersama Indonesia dan Malaysia),
tetapi saya merasakan kultur yang sangat berbeda. Apalagi pada saat itu saya
baru saja lulus dari pondok pesantren. Sehingga saya harus merasakan perubahan
lingkungan yang sangat signifikan. Bukan dari pondok pesantren ke rumah, akan
tetapi dari pondok pesantren lalu ke luar negeri. Mau tak mau saya harus
menyesuaikan diri dengan budaya yang ada di sana. Saya akan menggambarkan
sedikit tentang kehidupan di Brunei Darussalam.
Negara kaya ini
merupakan negara yang sangat islami. Saya katakan begitu karena hampir semua
regulasi yang dikeluarkan oleh kerajaan Brunei berlandaskan nilai-nilai
syariah. Bahkan baru-baru ini, Brunei memantapkan diri untuk menjalankan roda
pemerintahan dengan hukum Islam.
Brunei Darussalam
mempunyai masjid-masjid yang indah. Semua dibangun dengan dana kerajaan dan
tersebar di beberapa titik strategis. Sangat berbeda dengan di Indonesia. Bukan
hanya pemerintah, masyarakat yang mempunyai materi berlebih pun ikut membangun masjid
(mushalla). Oleh karena itulah, tempat ibadah ini bertebaran di mana-mana.
Hanya berjarak seratus meter, maka akan ditemukan masjid yang lain. Maka jangan
heran jika kita mendapati, ada beberapa masjid yang dibangun megah, tetapi sepi
jamaah. Salah satunya adalah karena sakingnya banyaknya masjid yang berdekatan.
Mudah-mudahan ke depannya, masjid-masjid di Indonesia tidak hanya bagus, tetapi
juga ramai jamaahnya.
Ada satu hal
menarik yang saya dapati dalam hal ibadah. Setiap berdoa setelah wirid shalat,
sang imam tidak pernah lupa untuk menyelipkan doa bagi rajanya. Doa bagi
pemimpinnya agar selalu disehatkan, sehingga dapat menjalankan roda
pemerintahan dengan sebaik mungkin. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa kita
jarang mendoakan para pemimpin negara ini? Apakah bobroknya negaranya ini
karena pemimpinnya jarang didoakan. Paling tidak, sebenci apapun kita terhadap
pemerintahan, sephobia apapun terhadap pemerintah, tetap kita harus
mendoakan mereka. Mereka adalah orang-orang yang menjalankan amanah. Saya
yakin, kekuatan doa dapat mengubah negara ini menjadi makmur, terpandang, serta
sejahtera. Brunei sudah membuktikannya.
Lain daripada itu,
saya juga mendapati khutbah jum’at yang sama di setiap masjid yang ada di
Brunei. Memang negara ini sangat kecil. Hanya seper-sekian dari negara
Indonesia. Tetapi ini sangat menarik. Usut punya usut, materi khutbah yang
dibacakan itu, dibuat oleh mufti kerajaan dan disebarkan ke seluruh masjid
negeri untuk disampaikan. Lebihnya lagi, materi yang dibawakan tidak melulu
tentang keagamaan. Saya pernah mendapati materi khutbah yang membahas tentang
kenegaraan.
Pada saat itu,
saya tinggal di Jalan Bengkurong Masin, Brunei Darussalam. Jarak masjid dengan
tempat tinggal saya lumayan jauh. Sehingga Pangeran Haji Abbas, seorang warga
Brunei yang kaya dan tinggal bersebelahan dengan rumah ayah, berinisiatif
membuat tempat ibadah di rumahnya. Tempat tersebut digunakan untuk shalat Isya
dan tarawih. Oleh karena itu, selama satu bulan penuh, saya shalat di tempat
tersebut dan kadang mendapat giliran untuk menjadi imam. Untuk shalat subuh,
biasanya saya berangkat bersama adik saya ke masjid berjalan kaki. Adapun untuk
shalat di siang hari, saya biasanya shalat di rumah saja, kadang sendiri,
kadang jamaah.
Di ruang tamu,
kita mempunyai meja besar. Meja ini sebenarnya bukan meja untuk makan, karena
ada buku-buku dan berkas-berkas di atasnya. Tetapi selalu kita gunakan untuk
makan bersama. Biasanya, baik sahur ataupun berbuka puasa, ibu selalu
meletakkan makanan di atas meja tersebut. Artinya, sebelum kami bangun pada
saat sahur, atau setengah jam sebelum berbuka, makanan telah siap tersaji. Menu
utama yang sering ibu hidangkan adalah mie goreng dengan nampan yang sangat
besar. Kadang orang berkata sangat aneh makan nasi dengan mie secara bersamaan
karena keduanya merupakan makanan yang mengandung karborhidrat. Tetapi
begitulah seringnya kami makan. Mungkin terbawa budaya Indonesia. Tetapi saya
sangat menikmati hal itu, apalagi dalam kebersamaan.
Di Brunei, kita
sering mendapatkan undangan untuk buka bersama. Biasanya berbentuk makan
prasmanan bersama. Makanannya ada beragam. Menurut saya, makanan di sini
“berat-berat”, artinya berpotensi meningkatkan obesitas. Saya menemukan banyak
sekali orang yang kelebihan berat badan. Saya tidak memungkiri, berat badan
saya meningkat pada saat tinggal di sana.
Mendekati lebaran,
biasanya masyarakat Brunei beramai-ramai ziarah ke tempat sanak keluarganya
yang sudah meninggal. Berbeda dengan di Indonesia yang ziarah dilaksanakan
–kebanyakan– setelah hari raya. Saya masih ingat, pada saat itu saya ikut
ziarah keluarga Pangeran Haji Abbas. Setiap kali ikut mendoakan (membaca yasin)
di makam, maka juga saya mendapatkan amplop dari Pangeran. Sebanyak makam yang
diziarahi, maka sebanyak itu pulalah amplop yang saya dapatkan. Alhamdulillah.
Kata ayah saya, ini sudah menjadi tradisi di sini. Setiap berziarah, maka si
empunya hajat juga akan berbagi rejeki, tetapi biasanya diutamakan yang masih
anak-anak atau masih remaja (belum bekerja).
Sayang sekali,
lebaran di Brunei kala itu berbeda dengan di Indonesia. Sehingga nuansa lebaran
yang biasanya saya rasakan itu sedikit berkurang. Selain itu, saya tidak
mendapati keluarga dan tetangga yang di kampung halaman. Untungnya banyak
pendatang yang ada di Brunei. Bersama merekalah saya merayakan hari lebaran.
Alhamdulillah, Pada hari lebaran, saya pertama kali diberikan baju MIB, yaitu
Melayu Islam Baraja. Baju ini termasuk baju resmi yang ada di Brunei, dengan
sarung yang dipasang sampai lutut. Saya merasa benar-benar seperti orang
Melayu.
Beberapa hari
pasca lebaran, Sultan Brunei Darussalam mengadakan open house. Jadi,
setiap warga yang tinggal di Brunei Darussalam, baik warga asli ataupun
pendatang boleh masuk ke dalam istana kerajaan. Mereka boleh bertemu dan
bersalaman dengan sultan. Bagi saya pribadi, ini merupakan pengalaman yang
tidak dapat saya lupakan. 19 tahun saya tinggal di Indonesia, belum pernah
sekalipun bertemu presiden secara langsung. Ini belum genap satu tahun tinggal
di Brunei, sudah dapat bertemu dengan Sultan bahkan bersalaman. Mungkin
permasalahan ini tidak sesederhana itu. Mengingat Indonesia adalah negara yang
sangat luas. Sedangkan Brunei hanyalah negara kecil. Jikapun presiden Indonesia
mengadakan open house, mungkin akan memerlukan waktu berbulan-bulan
untuk menemui masyarakat Indonesia. Belum lagi masalah keamanan. Terlepas dari
itu semua, saya berharap suatu saat saya dapat bertemu dengan presiden
Indonesia secara langsung.
Hikmah yang saya
dapatkan pada bulan Puasa kali ini adalah bahwa saya bersyukur terlahir di
Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Di Brunei Darussalam, saya
dapat mengetahui, bagaimana orang luar memandang Indonesia, bagaimana mereka
melihat Indonesia, dan bagaimana tanggapan mereka terhadap Indonesia. Memang
saya banyak mendengar pujian-pujian, tetapi tidak sedikit pula saya mendapatkan
hinaan-hinaan. Bagi saya sendiri, semua itu bukan serta merta membuat saya ciut
dan berkeinginan untuk mengubah kewarganegaraan saya. Justru itu menjadi cambuk
bagi saya, bahwa ketika saya kembali ke Indonesia, saya ingin membuktikan bahwa
negara ini adalah negara yang kuat, yang mempunyai pendirian teguh, dan negara
ini tidak seperti yang mereka kira. Bulan puasa di Brunei memang memberikan
sejuta kenangan, tetapi tidak dapat mengalahkan indahnya tradisi bulan puasa di
kampung halaman sendiri. Sejauh-jauhnya kamu pergi, maka tempat kembali yang
nanti akan selalu kau rindukan adalah keluargamu.
Tahun 2009
Bulan
puasa penuh perjuangan. Begitulah saya mendeskripsikannya. Saya tidak lagi
tinggal di Brunei Darussalam. Saya juga tidak tinggal di kampung halaman
bersama keluarga. Bukan pula di Pondok Pesantren. Saat itu saya tinggal di
ibukota Kalimantan Selatan, Banjarmasin.
Setelah mendapat kepastian
bahwa saya tidak mendapatkan beasiswa studi di Brunei Darussalam, saya pun
pulang kampung. Saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di IAIN Antasari
Banjarmasin. Saya mengambil jurusan Muamalah di bawah fakultas Syariah.
Kota Banjarmasin
mempunyai kehidupan yang sangat panas. Panas karena memang iklimnya membuat
keringat selalu merembes, dan panas karena kehidupannya yang keras. Di sinilah
saya dicoba untuk menerapkan hidup mandiri seperti yang saya lakukan sebelumnya
di Pondok Pesantren. Jika sebelumnya –di pondok pesantren– saya masih dikirimi
uang pesangon, maka di kota inilah saya benar-benar tidak bergantung lagi
dengan orang tua. Saya memutuskan untuk mencari uang sendiri untuk kelangsungan
hidup.
Salah satu usaha
yang saya jalankan untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah usaha pengetikan. Dari
usaha inilah saya dapat bertahan hidup di sana. Alhamdulillah, hasil usaha
tersebut, saya dapat memiliki sebuah printer, barang utama yang saya perlukan
dalam usaha pengetikan.
Bulan puasa penuh
berkah, kalimat ini benar-benar terasa ketika saya tinggal di Banjarmasin. Bagi
saya yang masih berstatus mahasiswa, maka saya menjalani hidup yang serba
pas-pasan. Makan tidak menentu. Kadang sekali. Kadang dua kali. Kadang tidak
makan sama sekali. Tetapi dengan datangnya bulan Ramadhan, buka puasa saya
terjamin. Saya mengatakan seperti itu karena hampir semua masjid yang ada di
Banjarmasin selalu menyediakan buka bersama. Tidak hanya ta’jil (snack,
cemilan, minuman), tetapi juga makanan berat alias nasi.
Buka puasa di
mushalla dekat kos saya tidak menyediakan nasi bungkus. Ta’mir di sana
menyediakan nasi “bakaut”, yaitu ambil sendiri. Otomatis, jika saya
bersama dua orang teman sekos saya berbuka di sana, mungkin piring saya bersama
dua teman sekos saya yang paling penuh di antara sekian jamaah yang ada di
sana. Kadang merasa malu sendiri. Apalagi dilihat oleh semua orang. Tetapi
sebagian sudah memahami. Biasanya mereka hanya menggeleng-geleng kepala sambil
berkata, “Biasa, mahasiswa. Perbaikan gizi.” Mereka memahami keadaan ini.
Apalagi kami tidak sekali dua kali berbuka di sana.
Kabar gembira
lainnya, masjid-masjid di Banjarmasin tidak hanya menyiapkan buka puasa, tetapi
sahur. Saya jarang mendapati kota yang masjid-masjidnya menyediakan sahur.
Inilah kota Banjarmasin. Kota seribu sungai. Kota Antasari.
Salah satu teman
saya asli orang Banjarmasin. Dia seangkatan saya waktu di Pondok pesantren dulu.
Karena itu tahu saya santri, maka saya ditawari untuk mengisi kultum dan imam
tarawih. Alhamdulillah ada “Salam tempel”. Meskipun kami para santri diajari
untuk ikhlas dan tidak mengharap balas, tetapi saya tidak menafikan bahwa itu
sangat membantu saya.
Selain itu, hal
yang sangat saya senangi adalah “Pasar Wadai”. Biasanya terletak di Siring atau
tepian sungai, seratus meter dekat Masjid Sabilal Muhtadin, Masjid kebanggaan
“Urang Banjar”. Setiap sore selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat Banjar.
Memang tidak setiap hari saya pergi ke sana. Akan tetapi, jika pada sore hari
saya ingin “ngabuburit”, maka salah satu tujuan saya adalah pasar wadai.
Sebenarnya di depan gang sebelum masuk kos saya terdapat pula pasar wadai,
tetapi tidak seramai pasar wadai. Pemerintah Kota Banjarmasin memang sengaja
memusatkan pasar dadakan ini di sana.
Karena kota
kelahiran saya, Kandangan hanya berkisar 3 jam dari Kota Banjarmasin, otomatis
sekitar seminggu sebelum lebaran saya sudah dapat pulang ke kampung halaman.
Saya masih ingat, pada tahun inilah saya shalat idul fitri bersama keluarga di Kandangan
setelah hampir dua tahun. Pada tahun 2007, saya shalat idul fitri di Pondok
pesantren. Kebetulan pada saat itu adalah ketua Organisasi Pondok Pesantren (di
sana dinamakan OSDA), maka bersama beberapa bagian keamana, saya harus tinggal
dan menjaga Pondok selama satu minggu. Tahun 2008, saya malah berlebaran di
negeri orang. Saya sangat senang bisa merasakan kembali kehangatan dan nuansa
lebaran yang telah lama saya rindukan. Berlebaran di rumah sendiri!
Hikmah yang saya
dapatkan pada bulan puasa kali ini adalah Bulan Ramadhan benar-benar membawa
berkah. Saya sangat bersyukur dapat merasakan kehidupan di Banjarmasin. Di kota
ini, saya merasa bahwa di balik kesusahan pasti ada kemudahan. Kemudahan itu
saya dapatkan tepat di bulan Ramadhan. Pertolongan Allah silih berganti datang.
Dengan datangnya bulan Ramadhan, saya tidak perlu lagi memikirkan untuk berbuka
puasa dan sahur. Semua masjid yang ada di Banjarmasin menyediakan itu semua.
Lebihnya lagi, saya terbantu dengan adanya undangan untuk menjadi imam shalat
tarawih dan kultum. Saya tidak memungkiri bahwa semua itu adalah pembelajaran
bagi diri saya sendiri. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, saya juga
dituntut untuk senantiasa memakai ilmu-ilmu yang sudah saya dapatkan ketika
berada di Pondok Pesantren dulu. Alhamdulillah, selama bulan Ramadhan,
pengeluaran saya tambah sedikit, sedangkan pemasukan saya bertambah banyak.
Inilah yang saya maksud dengan berkah bulan Ramadhan.
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?