Senin, 30 Juni 2014

MEMORI RAMADHAN DARI TAHUN KE TAHUN (PART I)





Bertemu lagi dengan Bulan Ramadhan! Bulan penuh rahmat. Bulan penuh ampunan dan maghfirah. Bulan yang paling utama dari bulan-bulan yang lain. Bagi seorang muslim, kedatangan bulan Ramadhan telah ditunggu jauh-jauh hari. Selama satu bulan penuh, Allah akan melipatgandakan pahala bagi siapapun yang beribadah. Saat hari Idul Fitri tiba, setiap muslim akan menjadi orang yang suci laksana bayi yang baru dilahirkan. Subhanallah.
            Sesungguhnya setiap muslim pasti mempunyai kenangan atau memori indah tentang bulan Ramadhan. Sehubungan dengan bulan Ramadhan ini, saya mencoba untuk menggali ingatan saya. Kenangan apa saja yang saya rasakan setiap kali bertemu dengan bulan Ramadhan. Saya ingin memulainya dari tahun terakhir saya berada di Pondok Pesantren, yaitu 7 tahun yang lalu pada tahun 2007.

Tahun 2007
            Bulan Puasa terakhir di Pondok Pesantren. Pada saat itu saya masih menjabat sebagai Ketua pengurus Organisasi Santri Darul Hijrah (OSDA). Artinya saya bersama pengurus OSDA lainnya harus mengurusi semua kegiatan santri. Tidak terkecuali kegiatan pada masa bulan Ramadhan. Seingat saya, pada awalnya seluruh santri wajib berpuasa di Pondok Pesantren selama setengah bulan (dua minggu). Itu berlaku bagi santri dari kelas satu sampai kelas enam. Setelahnya, para santri dari kelas satu sampai kelas enam dibolehkan untuk pulang.

            Para pengurus ditugaskan untuk menyiapkan ta’jil. Untuk santri berjumlah enam ratusan lebih, kami membuat air (teh, susu, dll) dengan drum air besar. Tentunya wadah tersebut sudah bersih dan higienis. Adapun cemilan atau snack, kami memesannya dari luar pondok pesantren. Kami mengusahakan agar snack yang disediakan setiap hari selalu berbeda. Hal ini bertujuan agar para santri tidak merasa bosan. Proses pembuatan air kami lakukan di belakang masjid. Hal ini memudahkan kami dalam pembagiannya.
            Jika mendekati waktu maghrib, salah seorang pengurus memimpin para santri untuk membaca wirid sebelum berbuka. Wirid ini terus dibaca sampai tanda waktu berbuka berbunyi. Setelah makan ta’jil, barulah para santri shalat maghrib dan pergi ke dapur untuk makan malam. Beginilah kegiatan ini berlangsung sampai setengah bulan lamanya.
            Malam sebelum perpulangan, para pengurus berkeliling pondok. Kala itu banyak sekali santri yang menyumbang makanan untuk para pengurus yang akan tinggal di pondok sampai lebaran tiba. Kami mendapat mie sampai satu lemari penuh. Ada pula yang menyumbangkan minuman dan kue-kue kering.
            Kegiatan terus berlanjut sepertia sedia kala. Hanya saja sekarang kami tidak perlu menyiapkan ta’jil yang banyak. Hanya tersisa sekitar 80-an pengurus plus para asatidz. Artinya kami tidak akan sesibuk sebelumnya. Pondok memang sudah sepi, tetapi paling tidak kami sedikit merasa bebas. Pada saat itu, para asatidz sedikit melonggarkan disiplin. Yang penting asal jangan melanggar disiplin yang sifatnya berat.
            Setengah bulan berikutnya berlalu bersama para pengurus. Selama itu pula kami menjaga keamanan pondok yang sedikit penghuni. Kami juga dituntut untuk menjaga kebersihan pondok. Oleh karena itu kami memutuskan untuk membuat jadwal, baik untuk menjaga malam (ronda malam) dan juga untuk kebersihan pondok.
            Tibalah hari raya Idul Fitri. Semua pengurus wajib shalat ied di Masjid Pondok Pesantren. Mereka baru boleh pulang setelah shalat ied. Beruntung banyak masyarakat yang shalat ied di masjid Pondok. Sehingga masjid tidak terlihat sepi karena ditinggalkan oleh santri-santri.
            Meskipun hati ingin pulang, tetapi tugas dari pengasuh pondok harus dilaksanakan. Sesaat setelah shalat ied, saya belum bisa langsung pulang seperti para pengurus lainnya. Harus ada yang tetap menjaga pondok selama para pengurus dan para asatidz pulang pasca lebaran. Akhirnya diputuskanlah yang akan menjaga pondok pada saat itu adalah seluruh bagian keamaan ditambah ketua. Total yang tinggal di pondok selama satu minggu berjumlah lima orang. Tugas ini sangat berat. Apalagi pondok yang sebegitu besarnya hanya dijaga oleh lima orang. Beruntunglah ada beberapa pengurus yang rumahnya berada di kota yang sama dengan pondok pesantren. Mereka bersedia bolak-balik dan menemani kami tinggal di pondok pesantren. Walaupun jumlah mereka pun ditambah dengan kami tidak sampai sepuluh orang.
            Selama satu minggu kami menjaga pondok pesantren. Kami berharap tidak ada kejadian yang aneh-aneh. Alhamdulillah, seminggu terlewati, semuanya aman terkendali. Seminggu berlalu, satu persatu para santri datang. Pondok Pesantren kembali seperti sedia kala. Kini tiba giliran kami untuk pulang. Walaupun sudah satu minggu terlewati, keluarga di rumah masih menunggu kedatangan saya.
            Hikmah yang saya dapatkan di bulan puasa kali ini adalah bahwa di balik kebahagiaan kita menikmati lebaran, pasti ada sosok-sosok yang berkorban bagi orang lain untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut. Mereka mengikhlaskan diri mereka untuk kebahagiaan orang lain. Kita ingat para satpam, penjaga keamanan, ta’mir masjid, pengurus zakat, dan masih banyak lagi. Mereka tidak bisa langsung bertemu orang-orang yang dicintainya pada saat lebaran. Mereka menahan diri agar semua pelaksanaan lebaran berjalan dengan lancar. Berterimakasihlah kepada mereka.

Tahun 2008
            Bisa saya katakan, bulan Ramadhan pada tahun 2008 berbeda dengan bulan ramadhan di tahun-tahun yang lain. Ini pertama kalinya saya berpuasa di luar negara Indonesia. Pada saat itu, bertepatan saya hijrah –selama satu tahun– ke Brunei Darussalam, menyusul ayah saya yang tinggal di sana bersama adik-adik.
            Meskipun berada dalam satu wilayah yang tidak jauh berbeda (bersama Indonesia dan Malaysia), tetapi saya merasakan kultur yang sangat berbeda. Apalagi pada saat itu saya baru saja lulus dari pondok pesantren. Sehingga saya harus merasakan perubahan lingkungan yang sangat signifikan. Bukan dari pondok pesantren ke rumah, akan tetapi dari pondok pesantren lalu ke luar negeri. Mau tak mau saya harus menyesuaikan diri dengan budaya yang ada di sana. Saya akan menggambarkan sedikit tentang kehidupan di Brunei Darussalam.
Negara kaya ini merupakan negara yang sangat islami. Saya katakan begitu karena hampir semua regulasi yang dikeluarkan oleh kerajaan Brunei berlandaskan nilai-nilai syariah. Bahkan baru-baru ini, Brunei memantapkan diri untuk menjalankan roda pemerintahan dengan hukum Islam.  
            Brunei Darussalam mempunyai masjid-masjid yang indah. Semua dibangun dengan dana kerajaan dan tersebar di beberapa titik strategis. Sangat berbeda dengan di Indonesia. Bukan hanya pemerintah, masyarakat yang mempunyai materi berlebih pun ikut membangun masjid (mushalla). Oleh karena itulah, tempat ibadah ini bertebaran di mana-mana. Hanya berjarak seratus meter, maka akan ditemukan masjid yang lain. Maka jangan heran jika kita mendapati, ada beberapa masjid yang dibangun megah, tetapi sepi jamaah. Salah satunya adalah karena sakingnya banyaknya masjid yang berdekatan. Mudah-mudahan ke depannya, masjid-masjid di Indonesia tidak hanya bagus, tetapi juga ramai jamaahnya.
            Ada satu hal menarik yang saya dapati dalam hal ibadah. Setiap berdoa setelah wirid shalat, sang imam tidak pernah lupa untuk menyelipkan doa bagi rajanya. Doa bagi pemimpinnya agar selalu disehatkan, sehingga dapat menjalankan roda pemerintahan dengan sebaik mungkin. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa kita jarang mendoakan para pemimpin negara ini? Apakah bobroknya negaranya ini karena pemimpinnya jarang didoakan. Paling tidak, sebenci apapun kita terhadap pemerintahan, sephobia apapun terhadap pemerintah, tetap kita harus mendoakan mereka. Mereka adalah orang-orang yang menjalankan amanah. Saya yakin, kekuatan doa dapat mengubah negara ini menjadi makmur, terpandang, serta sejahtera. Brunei sudah membuktikannya.
            Lain daripada itu, saya juga mendapati khutbah jum’at yang sama di setiap masjid yang ada di Brunei. Memang negara ini sangat kecil. Hanya seper-sekian dari negara Indonesia. Tetapi ini sangat menarik. Usut punya usut, materi khutbah yang dibacakan itu, dibuat oleh mufti kerajaan dan disebarkan ke seluruh masjid negeri untuk disampaikan. Lebihnya lagi, materi yang dibawakan tidak melulu tentang keagamaan. Saya pernah mendapati materi khutbah yang membahas tentang kenegaraan.
            Pada saat itu, saya tinggal di Jalan Bengkurong Masin, Brunei Darussalam. Jarak masjid dengan tempat tinggal saya lumayan jauh. Sehingga Pangeran Haji Abbas, seorang warga Brunei yang kaya dan tinggal bersebelahan dengan rumah ayah, berinisiatif membuat tempat ibadah di rumahnya. Tempat tersebut digunakan untuk shalat Isya dan tarawih. Oleh karena itu, selama satu bulan penuh, saya shalat di tempat tersebut dan kadang mendapat giliran untuk menjadi imam. Untuk shalat subuh, biasanya saya berangkat bersama adik saya ke masjid berjalan kaki. Adapun untuk shalat di siang hari, saya biasanya shalat di rumah saja, kadang sendiri, kadang jamaah.
            Di ruang tamu, kita mempunyai meja besar. Meja ini sebenarnya bukan meja untuk makan, karena ada buku-buku dan berkas-berkas di atasnya. Tetapi selalu kita gunakan untuk makan bersama. Biasanya, baik sahur ataupun berbuka puasa, ibu selalu meletakkan makanan di atas meja tersebut. Artinya, sebelum kami bangun pada saat sahur, atau setengah jam sebelum berbuka, makanan telah siap tersaji. Menu utama yang sering ibu hidangkan adalah mie goreng dengan nampan yang sangat besar. Kadang orang berkata sangat aneh makan nasi dengan mie secara bersamaan karena keduanya merupakan makanan yang mengandung karborhidrat. Tetapi begitulah seringnya kami makan. Mungkin terbawa budaya Indonesia. Tetapi saya sangat menikmati hal itu, apalagi dalam kebersamaan.
            Di Brunei, kita sering mendapatkan undangan untuk buka bersama. Biasanya berbentuk makan prasmanan bersama. Makanannya ada beragam. Menurut saya, makanan di sini “berat-berat”, artinya berpotensi meningkatkan obesitas. Saya menemukan banyak sekali orang yang kelebihan berat badan. Saya tidak memungkiri, berat badan saya meningkat pada saat tinggal di sana.
            Mendekati lebaran, biasanya masyarakat Brunei beramai-ramai ziarah ke tempat sanak keluarganya yang sudah meninggal. Berbeda dengan di Indonesia yang ziarah dilaksanakan –kebanyakan– setelah hari raya. Saya masih ingat, pada saat itu saya ikut ziarah keluarga Pangeran Haji Abbas. Setiap kali ikut mendoakan (membaca yasin) di makam, maka juga saya mendapatkan amplop dari Pangeran. Sebanyak makam yang diziarahi, maka sebanyak itu pulalah amplop yang saya dapatkan. Alhamdulillah. Kata ayah saya, ini sudah menjadi tradisi di sini. Setiap berziarah, maka si empunya hajat juga akan berbagi rejeki, tetapi biasanya diutamakan yang masih anak-anak atau masih remaja (belum bekerja).
            Sayang sekali, lebaran di Brunei kala itu berbeda dengan di Indonesia. Sehingga nuansa lebaran yang biasanya saya rasakan itu sedikit berkurang. Selain itu, saya tidak mendapati keluarga dan tetangga yang di kampung halaman. Untungnya banyak pendatang yang ada di Brunei. Bersama merekalah saya merayakan hari lebaran. Alhamdulillah, Pada hari lebaran, saya pertama kali diberikan baju MIB, yaitu Melayu Islam Baraja. Baju ini termasuk baju resmi yang ada di Brunei, dengan sarung yang dipasang sampai lutut. Saya merasa benar-benar seperti orang Melayu.
            Beberapa hari pasca lebaran, Sultan Brunei Darussalam mengadakan open house. Jadi, setiap warga yang tinggal di Brunei Darussalam, baik warga asli ataupun pendatang boleh masuk ke dalam istana kerajaan. Mereka boleh bertemu dan bersalaman dengan sultan. Bagi saya pribadi, ini merupakan pengalaman yang tidak dapat saya lupakan. 19 tahun saya tinggal di Indonesia, belum pernah sekalipun bertemu presiden secara langsung. Ini belum genap satu tahun tinggal di Brunei, sudah dapat bertemu dengan Sultan bahkan bersalaman. Mungkin permasalahan ini tidak sesederhana itu. Mengingat Indonesia adalah negara yang sangat luas. Sedangkan Brunei hanyalah negara kecil. Jikapun presiden Indonesia mengadakan open house, mungkin akan memerlukan waktu berbulan-bulan untuk menemui masyarakat Indonesia. Belum lagi masalah keamanan. Terlepas dari itu semua, saya berharap suatu saat saya dapat bertemu dengan presiden Indonesia secara langsung.
            Hikmah yang saya dapatkan pada bulan Puasa kali ini adalah bahwa saya bersyukur terlahir di Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Di Brunei Darussalam, saya dapat mengetahui, bagaimana orang luar memandang Indonesia, bagaimana mereka melihat Indonesia, dan bagaimana tanggapan mereka terhadap Indonesia. Memang saya banyak mendengar pujian-pujian, tetapi tidak sedikit pula saya mendapatkan hinaan-hinaan. Bagi saya sendiri, semua itu bukan serta merta membuat saya ciut dan berkeinginan untuk mengubah kewarganegaraan saya. Justru itu menjadi cambuk bagi saya, bahwa ketika saya kembali ke Indonesia, saya ingin membuktikan bahwa negara ini adalah negara yang kuat, yang mempunyai pendirian teguh, dan negara ini tidak seperti yang mereka kira. Bulan puasa di Brunei memang memberikan sejuta kenangan, tetapi tidak dapat mengalahkan indahnya tradisi bulan puasa di kampung halaman sendiri. Sejauh-jauhnya kamu pergi, maka tempat kembali yang nanti akan selalu kau rindukan adalah keluargamu.


Tahun 2009
            Bulan puasa penuh perjuangan. Begitulah saya mendeskripsikannya. Saya tidak lagi tinggal di Brunei Darussalam. Saya juga tidak tinggal di kampung halaman bersama keluarga. Bukan pula di Pondok Pesantren. Saat itu saya tinggal di ibukota Kalimantan Selatan, Banjarmasin.
            Setelah mendapat kepastian bahwa saya tidak mendapatkan beasiswa studi di Brunei Darussalam, saya pun pulang kampung. Saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di IAIN Antasari Banjarmasin. Saya mengambil jurusan Muamalah di bawah fakultas Syariah.
            Kota Banjarmasin mempunyai kehidupan yang sangat panas. Panas karena memang iklimnya membuat keringat selalu merembes, dan panas karena kehidupannya yang keras. Di sinilah saya dicoba untuk menerapkan hidup mandiri seperti yang saya lakukan sebelumnya di Pondok Pesantren. Jika sebelumnya –di pondok pesantren– saya masih dikirimi uang pesangon, maka di kota inilah saya benar-benar tidak bergantung lagi dengan orang tua. Saya memutuskan untuk mencari uang sendiri untuk kelangsungan hidup.
            Salah satu usaha yang saya jalankan untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah usaha pengetikan. Dari usaha inilah saya dapat bertahan hidup di sana. Alhamdulillah, hasil usaha tersebut, saya dapat memiliki sebuah printer, barang utama yang saya perlukan dalam usaha pengetikan.
            Bulan puasa penuh berkah, kalimat ini benar-benar terasa ketika saya tinggal di Banjarmasin. Bagi saya yang masih berstatus mahasiswa, maka saya menjalani hidup yang serba pas-pasan. Makan tidak menentu. Kadang sekali. Kadang dua kali. Kadang tidak makan sama sekali. Tetapi dengan datangnya bulan Ramadhan, buka puasa saya terjamin. Saya mengatakan seperti itu karena hampir semua masjid yang ada di Banjarmasin selalu menyediakan buka bersama. Tidak hanya ta’jil (snack, cemilan, minuman), tetapi juga makanan berat alias nasi.
            Buka puasa di mushalla dekat kos saya tidak menyediakan nasi bungkus. Ta’mir di sana menyediakan nasi “bakaut”, yaitu ambil sendiri. Otomatis, jika saya bersama dua orang teman sekos saya berbuka di sana, mungkin piring saya bersama dua teman sekos saya yang paling penuh di antara sekian jamaah yang ada di sana. Kadang merasa malu sendiri. Apalagi dilihat oleh semua orang. Tetapi sebagian sudah memahami. Biasanya mereka hanya menggeleng-geleng kepala sambil berkata, “Biasa, mahasiswa. Perbaikan gizi.” Mereka memahami keadaan ini. Apalagi kami tidak sekali dua kali berbuka di sana.
            Kabar gembira lainnya, masjid-masjid di Banjarmasin tidak hanya menyiapkan buka puasa, tetapi sahur. Saya jarang mendapati kota yang masjid-masjidnya menyediakan sahur. Inilah kota Banjarmasin. Kota seribu sungai. Kota Antasari.
            Salah satu teman saya asli orang Banjarmasin. Dia seangkatan saya waktu di Pondok pesantren dulu. Karena itu tahu saya santri, maka saya ditawari untuk mengisi kultum dan imam tarawih. Alhamdulillah ada “Salam tempel”. Meskipun kami para santri diajari untuk ikhlas dan tidak mengharap balas, tetapi saya tidak menafikan bahwa itu sangat membantu saya.
            Selain itu, hal yang sangat saya senangi adalah “Pasar Wadai”. Biasanya terletak di Siring atau tepian sungai, seratus meter dekat Masjid Sabilal Muhtadin, Masjid kebanggaan “Urang Banjar”. Setiap sore selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat Banjar. Memang tidak setiap hari saya pergi ke sana. Akan tetapi, jika pada sore hari saya ingin “ngabuburit”, maka salah satu tujuan saya adalah pasar wadai. Sebenarnya di depan gang sebelum masuk kos saya terdapat pula pasar wadai, tetapi tidak seramai pasar wadai. Pemerintah Kota Banjarmasin memang sengaja memusatkan pasar dadakan ini di sana.
            Karena kota kelahiran saya, Kandangan hanya berkisar 3 jam dari Kota Banjarmasin, otomatis sekitar seminggu sebelum lebaran saya sudah dapat pulang ke kampung halaman. Saya masih ingat, pada tahun inilah saya shalat idul fitri bersama keluarga di Kandangan setelah hampir dua tahun. Pada tahun 2007, saya shalat idul fitri di Pondok pesantren. Kebetulan pada saat itu adalah ketua Organisasi Pondok Pesantren (di sana dinamakan OSDA), maka bersama beberapa bagian keamana, saya harus tinggal dan menjaga Pondok selama satu minggu. Tahun 2008, saya malah berlebaran di negeri orang. Saya sangat senang bisa merasakan kembali kehangatan dan nuansa lebaran yang telah lama saya rindukan. Berlebaran di rumah sendiri!
            Hikmah yang saya dapatkan pada bulan puasa kali ini adalah Bulan Ramadhan benar-benar membawa berkah. Saya sangat bersyukur dapat merasakan kehidupan di Banjarmasin. Di kota ini, saya merasa bahwa di balik kesusahan pasti ada kemudahan. Kemudahan itu saya dapatkan tepat di bulan Ramadhan. Pertolongan Allah silih berganti datang. Dengan datangnya bulan Ramadhan, saya tidak perlu lagi memikirkan untuk berbuka puasa dan sahur. Semua masjid yang ada di Banjarmasin menyediakan itu semua. Lebihnya lagi, saya terbantu dengan adanya undangan untuk menjadi imam shalat tarawih dan kultum. Saya tidak memungkiri bahwa semua itu adalah pembelajaran bagi diri saya sendiri. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, saya juga dituntut untuk senantiasa memakai ilmu-ilmu yang sudah saya dapatkan ketika berada di Pondok Pesantren dulu. Alhamdulillah, selama bulan Ramadhan, pengeluaran saya tambah sedikit, sedangkan pemasukan saya bertambah banyak. Inilah yang saya maksud dengan berkah bulan Ramadhan.

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?