Tahun 2010
Bulan puasa tahun
2007 di Pondok Pesantren di Kota Martapura. Tahun 2008 di Negeri tetangga,
Brunei Darussalam. Tahun 2009 di Ibukota Kalimantan Selatan, Banjarmasin.
Apakah pada tahun 2010, saya bertemu bulan puasa di kota yang sama? Ternyata
tidak. Saya menjalani puasa selama tiga minggu di Yogyakarta.
Tidak hentinya
saya berpetualang dari satu kota ke kota yang lain. Kali ini saya singgah di salah
satu kota yang sangat terkenal di Indonesia, Yogyakarta. Inilah kota pertama
yang saya tinggali ketika menyambangi tanah Jawa. Untuk kesekian kalinya, saya
harus berbenturan dengan budaya yang baru. Budaya yang sangat jauh berbeda dari
budaya asli saya. Budaya orang Banjar, lebih dekat dengan budaya orang Melayu.
Konon katanya
orang Banjar itu serumpun dengan orang Melayu yang ada di Malaysia dan di
Brunei. Oleh karena itulah, biasanya ayah saya sering mengatakan bahwa kita ini
adalah orang Melayu Banjar. Di sisi lain, saya masih belum begitu mengenal
budaya Jawa. Mungkin inilah kesempatan saya untuk memahami budaya ini.
Sekedar info, pada
saat saya kuliah di IAIN Antasari Banjarmasin, saya ditawari oleh sepupu saya
untuk mengikuti tes beasiswa santri unggulan di salah satu kampus yang ada di
Yogyakarta. Nama kampus tersebut adalah Universitas Islam Indonesia (UII).
Kebetulan beliau adalah alumni kampus tersebut. Saat ini beliau telah menjadi
dosen di Fakultas Syariah IAIN Antasari.
Setelah
beristikharah, saya memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Karena tidak
ada jurusan muamalah di UII, maka mau tidak mau saya harus mengulang kuliah.
Untungnya masih ada beberapa nilai mata kuliah yang bisa ditransfer. Kala itu saya
memutuskan untuk masuk ke prodi Ekonomi Islam. Menurut saya jurusan ini tidak
terlalu jauh berbeda dengan jurusan Muamalah. Singkat cerita, saya lulus
seleksi beasiswa santri unggulan. Dengan kata lain, saya bisa kuliah di UII
tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun. Full Scholarship.
Pengalaman satu
tahun menjadi mahasiswa di IAIN membuat saya tidak terlalu “buta” dengan dunia
kampus. Terus terang, sampai saat ini, kenangan saya selama satu tahun di Kota
Banjarmasin masih terekam jelas di otak saya. Lain kali saya akan bercerita
tentang kenangan manis di kota seribu sungai tersebut.
Di awal-awal
hijrah ke Yogyakarta, saya langsung bertemu dengan bulan Ramadhan. Karena saya
berstatus santri di Pondok Pesantren UII, kami diberdayakan oleh pihak pondok
layaknya santri. Yang saya maksud di sini adalah distribusi imam dan pengisi
kultum. Tidak jauh berbeda ketika saya berada di Banjarmasin, di Kota ini pun saya
harus mengaplikasikan ilmu yang saya dapatkan di Pondok Pesantren. Bedanya saya
tidak mempunyai jadwal tetap di Banjarmasin. Di Kota Yogyakarta, kami –santri
baru– dibuatkan jadwal tetap.
Setiap selesai shalat
tarawih, kami bersama santri lama pergi ke masjid-masjid terdekat untuk ikut
tadarus. Jadwal tadarus telah dibagi sedemikian rupa. Beruntung untuk tugas
yang satu ini kami dicampur dengan santri lama. Paling tidak ada orang yang sudah
mengerti “lapangan”. Bayangkan jika tugas ini hanya diemban oleh santri baru,
bisa jadi kami bakal kebingungan. Apalagi pada saat itu, kami belum satu bulan
tinggal di Yogyakarta.
Selain itu,
saya bersama santri baru lainnya diberi jadwal untuk mengajar TPA. Bagi saya
sendiri yang bukan orang asli Jawa, mengajar TPA di Yogyakarta adalah tantangan
tersendiri. Sering sekali saya “ga nyambung” jika berkomunikasi dengan
anak-anak Jawa. Masalahnya adalah pada bahasa. Yang ditanya apa, yang dijawab
apa. Yang dipahami apa, yang dijelasin apa. Memang itu masalah, tetapi justru
hal tersebut menjadi sebuah tantangan. Saya benar-benar berusaha untuk belajar
Bahasa Jawa. Meskipun akhirnya saya baru mendapatkan kemajuan berbahasa Jawa
pada saat KKN tahun 2013.
Satu kultur yang
harus saya temui di sini adalah budaya Muhammadiyah yang sangat kental. Kota
Yogyakarta adalah kota lahirnya pendiri organisasi besar ini. Maka tentu saja
mayoritas masyarakat “bermadzhab” Muhammadiyah. Saya tidak menafikan bahwa saya
orang nahdiyyin tulen. Selama saya menjalankan aktivitas ibadah, baru pertama
ini saya bersinggungan langsung dengan wilayah mayoritas muhammadiyah. Saya
memang sering mendengar tentang organisasi besar ini sejak berada di Pondok
Pesantren. Tetapi karena pondok pesantren saya menerapkan apa yang diterapkan
kebanyakan pada masyarakat Banjar (Nahdiyyin), makanya saya tidak terlalu
mengenal tentang Muhammadiyah.
Meskipun begitu,
saya merasa sangat beruntung bisa tinggal di Yogyakarta dengan kultur
Muhammadiyahnya. Terus terang, dulu saya sangat fanatik dengan ke-Nu-an saya.
Sekarang, saya memahami kenapa saya mengerjakan seperti ini dan kenapa mereka
mengerjakannya seperti itu. Ada perbedaan dalil dan cara memahaminya. Ini
berpengaruh pada aplikasi. Dalil yang sama dengan cara pemahaman yang berbeda akan
menghasilkan praktik yang berbeda pula. Apakah ini salah? Tidak sama sekali. Kita
dapat menengok pada madzhab fiqh yang jumlahnya sampai empat. Mereka adalah
Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hanbali. Mereka semua benar.
Jiwa toleransi saya benar-benar terbangun di Kota ini. Kita harus saling
menghargai satu sama lain dan jangan saling menyalahkan.
Jika tarawih
sebelumnya saya selalu mengerjakan sebanyak dua puluh rakaat plus tiga rakaat
witir. Maka di sini, saya mendapati delapan rakaat plus rakaat. Formasinya pun
beragam. Ada yang dua rakaat satu kali
salam. Ada pula empat rakaat satu kali salam. Ada witir yang tiga rakaat satu
kali salam. Ada juga yang dua rakaat terlebih dahulu, lalu satu rakaat berikutnya
sebagai penutup. Sesuai dengan kebiasaan dari masing-masing jamaah di masjid
tersebut.
Ketika menjadi
santri baru, saya cuma bisa menjadi ma’mum. Kelak nanti saat menjadi santri
lama, saya tidak menghindari untuk menjadi imam dengan delapan rakaat tarawih
(Simak cerita saya pada tahun 2013; masa-masa KKN).
Sekitar seminggu
sebelum lebaran, saya memutuskan untuk pulang dan berlebaran di kampung
halaman. Memang ada yang tetap tinggal di pondok pesantren, tetapi itu cuma
beberapa. Kebanyakan yang rumahnya jauh, misalnya Aceh, Sulawesi, atau yang
memang berniat tinggal di Yogyakarta. Bagi saya sendiri, saya lebih memilih
untuk pulang dan merayakan hari idul fitri di rumah. Ini lebih baik daripada
melakukannya di kampung orang tanpa keluarga seorangpun.
Hikmah yang saya
dapatkan pada bulan puasa kali ini adalah terbangunnya jiwa toleransi saya.
Sebelumnya, saya masih belum dapat menghargai perbedaan. Saya merasa benar
sendiri. Setelah menginjak Kota Yogyakarta, ada nilai-nilai moral yang tertanam
di dalam diri saya. Memang biasanya orang akan memusuhi sesuatu yang tidak
diketahuinya. Setelah saya mengetahui banyak hal, pikiran saya menjadi terbuka.
Tidak ada lagi saling menyalahkan. Yang ada adalah saling menghargai satu sama
lain. Karena setiap orang mempunyai dalil. Sesungguhnya Islam itu terbangun
dari kebersamaan, bahkan dari perbedaan sekalipun.
Tahun 2011
Konsekuensi dari
keputusan saya kuliah di Yogyakarta, saya harus tinggal di kota ini sampai
kuliah saya selesai. Paling cepat tiga setengah tahun. Perlu diketahui, setelah
lulus kuliah, santri yang telah mendapatkan beasiswa penuh wajib mengabdi di
UII selama satu tahun. Peletakannya diserahkan sepenuhnya kepada UII. Menurut
perhitungan, saya baru bisa balik ke Kalimantan pada tahun 2015! Inilah
perjuangan dalam menuntut ilmu.
Satu tahun telah
terlewati di perantauan tanah Jawa. Banyak hal yang sudah saya pahami. Berbeda
dengan satu tahun yang lalu. Saya cuma perantau yang tidak tahu menahu tentang
Yogyakarta. Sekarang saya adalah seorang mahasiswa –sekaligus santri– yang
memahami lingkungan Yogyakarta. Paling tidak saya sudah mempelajarinya selama
satu tahun.
Pada bulan puasa
tahun ini, kami santri angkatan 2010 kebagian amanat untuk menjadi
panitia Ramadhan di Pondok Pesantren. Bahana Syiar Ramadhan, atau biasa
disingkat Basyira. Inilah nama panitia yang selalu dipakai dari tahun ke tahun.
Seluruh kegiatan selama satu bulan diatur dan diurus oleh panitia.
Saya tidak berada
sebulan penuh di Yogyakarta. Bahkan tidak sampai setengah bulan. Alasannya
adalah tiket pesawat yang saya pesan. Selain itu, entah kenapa saya ingin
sekali menikmati suasana bulan Ramadhan di kampung halaman. Pada saat itu, saya
memutuskan pulang lebih awal. Meskipun dengan berat hati meninggalkan kepanitiaan.
Sebagai panitia,
kami mengurusi jadwal imam, bilal, kultum ba’da isya dan ba’da subuh. Kami juga
mengurusi jadwal tadarus di masjid-masjid sekitar. Tidak lupa kami menyusupkan
beberapa acara seperti buka puasa bersama, penyediaan kurma dan ta’jil,
seminar, dan lomba TPA. Acara terakhir merupakan acara paling besar di antara
acara-acara yang lain. Alhamdulillah semua acara berjalan sukses dan lancar,
meskipun saya tidak mengikuti semua rangkaian acara. Berita gembira yang saya
dapatkan, dana yang kami peroleh setelah seluruh rangkaian acara selesai
dilaksanakan. Setelah kami sampaikan kepada pengasuh mengenai hal tersebut,
beliau memberikan kuasa penuh kepada angkatan kami untuk mempergunakan dana
tersebut dengan sebaik mungkin. Dengan kata lain, dana itu diserahkan
sepenuhnya untuk acara angkatan kami. Alhamdulillah.
Ketika berada di
rumah, saya membawa banyak buku. Semua buku tersebut harus saya selesaikan di
rumah. Ada beberapa novel, buku-buku motivasi, buku non-fiksi, dan yang
lainnya. Koper saya menjadi sangat berat karena buku-buku yang saya bawa. Saya juga mempunyai beberapa target. Ada lima
target yang saya buat. Ada lima hal yang harus saya kuasai dan nantinya saya
lanjutkan di Yogyakarta. Kelima hal tersebut adalah Ekonomi berbasis syariah,
sastra (cerpen, puisi, cipta lagu, dll), fiqh Islam, Bahasa (arab dan inggris),
dan karya tulis ilmiah (PKM, artikel, opini, dll). Untuk mendukung hal
tersebut, saya membuat jadwal. Kapan saya harus membaca novel, kapan saya harus
belajar ekonomi syariah, kapan saya menelaah tentang cerpen dan berkarya.
Pokoknya, kegiatan saya di rumah sangat padat. tentunya saya punya jadwal
tersendiri untuk membaca al-Qur’an.
Hikmah yang saya
dapatkan adalah bahwa bulan puasa jangan sampai dilewatkan sia-sia. Pada bulan
ini, kita harus meningkatkan ibadah. Perbanyaklah mengaji, perbanyaklah
amal-amal shaleh. Allah menjanjikan akan melipatgandakan pahala ibadah pada
bulan Puasa. Dan perbanyaklah juga amal-amal yang bersifat sosial. Apapun itu
bentuknya.
Ada kepuasan
tersendiri pada saat saya bersama teman-teman seangkatan dapat merancang
rangkaian acara selama bulan Ramadhan. Saya membayangkan, bagaimana jika tidak
ada kepanitiaan yang mengurus ini. Tentu saja kegiatan puasa akan sangat kacau.
Siapa imam dan kultum hari ini dan besok hari. Siapa jadwal mengaji di
masjid-masjid sekitar. Siapa yang mengurusi buka puasa santri. Siapa yang
mengurusi lomba-lomba khusus di bulan Ramadhan. Dan masih banyak hal yang itu
hanya bisa dilakukan dengan kepanitiaan. Saya memang menjadi sibuk. Tetapi saya
merasa bahwa kesibukan itu menjadi pahala bagi kepanitiaan. Bagi saya pribadi,
jangan sampai kita hanya menjadi abid yang personal, sehingga mementingkan diri
sendiri dalam mencari pahala. Justru kita juga harus berperan agar orang lain dapat
beribadah dengan nyaman. Saya yakin Allah sangat menghargai orang-orang seperti
ini.
Tahun 2012
Lagi-lagi
saya mendapati lingkungan berbeda di bulan Ramadhan. Pada tahun 2012, saya
mempunyai amanat seperti Basyiro pada tahun 2011. Para mahasiswa juga telah
mendapatkan liburan. Sebelumnya saya ada niat untuk tinggal di Yogyakarta.
Tetapi tiba-tiba saja saya mendapatkan ide untuk melakukan hal lain. Saya
memutuskan untuk pulang. Bukan pulang ke rumah, tetapi pulang untuk menjadi
relawan. Iya! Saya memutuskan untuk mencari sebuah lembaga yang membutuhkan
tenaga kerja di Banjarmasin.
Akhirnya sebelum
bulan Ramadhan, saya pulang ke rumah terlebih dahulu. Saya cuma tinggal
beberapa hari tinggal di rumah. Setelah menjelaskan perihal keinginan saya
kepada Ibu, saya berangkat ke ibukota, Banjarmasin. Tujuan saya saat itu adalah
bertemu dengan sepupu saya yang menjadi dosen di IAIN Antasari Banjarmasin.
Saya tahu beliau mempunyai banyak relasi yang dapat mewujudkan keinginan saya
tersebut.
Singkat cerita, beliau
menunjukkan salah satu panti asuhan yang ada di kota Banjarmasin. Panti Asuhan
ini bernama Yayasan Panti Asuhan Sentosa. Panti ini terletak di Daerah Jalan
Belitung Darat Banjarmasin. Salah satu pengelolanya adalah alumni pondok
Pesantren Darul Hijrah. Saya bersama sepupu pergi ke tempat tersebut. Setelah
menjelaskan hajat saya, maka beliau menerima saya dengan senang hati.
Keesokan harinya,
saya membawa semua keperluaan saya ke sana. Saya akan tinggal di panti asuhan
sampai mendekati lebaran. Saya diberikan tempat yang sederhana. Ternyata saya
tidak sendiri. Ada tiga mahasiswa IAIN yang juga ikut bantu-bantu di sana.
Mereka mendapatkan tugas dari kampusnya. Maka mulai hari itu, saya ingin
menghabiskan waktu saya untuk membantu panti asuhan ini. Apapun yang bisa saya
lakukan, maka akan saya lakukan. Karena memang itulah niat saya datang ke sini.
Jumlah anak yang
ada di Panti asuhan ini tidak lebih 50 orang. Semuanya adalah laki-laki. Yayasan
menyekolahkan seluruh anak-anak tersebut. Oleh karena itu, pada pagi hari,
panti ini akan terasa sangat sepi karena mereka berangkat ke sekolah
masing-masing. Panti akan kembali ramai mendekati ashar.
Terdapat masjid
yang sangat besar di dalam panti ini. Masjid ini tidak hanya digunakan oleh
warga panti, tetapi juga warga sekitar. Selama bulan Ramadhan, masjid ini tidak
pernah sepi dari jamaah.
Pengelola panti
mengenalkan saya kepada anak-anak yang ada di sana. Awalnya mereka sedikit
canggung dengan saya. Apalagi mereka tahu saya kuliah di Yogyakarta. Mereka
seakan-akan melihat saya sangat “tinggi”. Saya mencoba untuk bersikap sebiasa
mungkin. Saya terus mendekati mereka agar mendapatkan respon baik. Saya
bukanlah pendatang. Saya juga adalah orang Banjar. Setelah beberapa hari, saya
bisa dekat dengan mereka, khususnya pada saat berbuka dan sahur.
Berbicara tentang
berbuka dan sahur, saya bersama teman-teman dari IAIN ikut makan bersama
anak-anak. Ada sebuah tempat khusus untuk makan. Di sinilah salah seorang ibu
membagikan makanan. Hampir setiap hari ada saja yang memberikan makanan, baik
pada saat berbuka ataupun sahur. Kadang ada nasi kotak, kadang nasi bungkus.
Pada saat bulan Ramadhan, anak-anak di Panti akan mendapatkan jatah makanan
yang nyaman. Inilah berkah Ramadhan.
Setiap selesai
shalat tarawih, saya bersama teman dari IAIN mengajari anak-anak membaca al-Qur’an.Sebagian
masih membaca Iqra. Itulah kegiatan yang saya lakukan setiap malam. Setelah
semua anak-anak membaca al-Qur’an, baru saya melanjutkan bacaan al-Qur’an
sendiri.
Anak-anak sering
diundang untuk berbuka puasa bersama. Kadang di panti asuhan, kadang diajak ke
salah satu rumah warga. Saya mengikuti seluruh rangkaian kegiatan ramadhan di
panti asuhan. Sering kali saya disangka pengelola. Jika ada yang bertanya
tentang panti, maka saya jawab sepemahanan saya. Apabila ada yang tidak saya
pahami, maka saya bertanya kepada salah satu pengelola.
Saya juga diminta
pengelola untuk melatih anak-anak dalam beroganisasi. Maka setelah mengonsep
acara, maka panti asuhan mengadakan diklat keorganisasian selama tiga hari.
Pemateri utamanya adalah saya. Setiap hari ada dua materi. Diklat dilaksanakan
dari pagi sampai siang. Materi yang sampaikan antara lain tentang
keorganisasian, struktur organisasi, fungsi divisi, pembuatan LPJ, pembuatan
proposal, administrasi, dan lain sebagainya. Saya merasa sangat beruntung
sekali dapat menyampaikan materi ini.
Mendekati lebaran,
saya pamit dengan seluruh warga panti asuhan. Masih ingat dibenak saya, mereka
banyak sekali menitipkan barang-barang kepada saya. Mereka memberikan mie
goreng, minyak, beras, gula, kue-kue kering, sampai parcel. Semua itu mereka
berikan sebagai wujud terima kasih kepada saya yang telah membantu panti asuhan
selama bulan Ramadhan. Mereka berharap semoga pada tahun-tahun berikutnya, saya
dapat berkunjung kembali ke Panti asuhan.
Hikmah
yang saya dapatkan adalah bagaimana menjadi orang yang bermanfaat bagi orang
lain. Pada bulan ini, memang jadwal saya tidak terlalu ketat. Kebetulan juga
bulan puasa tahun ini, berbarengan liburan. Oleh karena itu, saya mencari
kegiatan yang dapat mengisi kekosongan tetapi tidak hanya bermanfaat bagi diri
sendiri, tetapi juga orang lain. Ini adalah pengalaman pertama saya menjadi
relawan di Panti Asuhan. Beruntung pengalaman saya selama di Pondok Pesantren sangat
membantu saya.
Tahun 2013
Kebetulan
KKN mahasiswa pada tahun ini berbarengan dengan bulan puasa. Walhasil, beberapa
minggu di bulan puasa saya lewati di tempat KKN. Ada banyak cerita yang saya
dapatkan pada saat bulan puasa di tempat KKN. Banyak kenangan yang sampai saat
ini tidak dapat saya lupakan. Kenangan ini sempat saya buat dalam bentuk cerita
(cek tulisan “KKN 268” di blog saya).
Sebagai mahasiswa
KKN, kami dituntut untuk dapat membantu desa tempat kami ditempatkan. Pada saat
itu, bersama enam orang lainnya, saya ditempatkan di Desa Srandakan, Bantul
Yogyakarta. Desa ini berjarak sekitar satu jam dari asrama pondok pesantren.
Meskipun tidak sebulan penuh, saya merasakan kehidupan masyarakat Yogyakarta
secara langsung pada bulan puasa.
Menurut pengamatan
saya sendiri, sebenarnya desa ini sudah sangat maju. Tetapi entah mengapa UII
masih meletakkan mahasiswa KKN di sana. Terus terang malah kami yang banyak
belajar di sana. Saya mengucapkan terima kasih kepada warga, khususnya para
remaja yang banyak sekali membantu kami selama KKN.
Bulan puasa telah
tiba pada saat kami sedang melakukan observasi. Pada saat itu masyarakat sedang
mengadakan acara lomba untuk TPA-TPA sekitar desa. Kami ikut membantu meskipun
belum masuk masa KKN. Dari acara itulah kami mengenal tokoh-tokoh penting di
desa tersebut. Seperti kepala Dusun, Kepala RT (ada empat RT), Ketua-ketua
organisasi, dan yang lainnya.
Kami tidak tinggal
di rumah kepala dusun. Kami tinggal di rumah Kepala RT 3. Kami memilih di rumah
tersebut karena KKN dari UII sebelumnya juga pernah tinggal di sana. Untuk
mahasiswi (ada tiga orang) tidur di kamar di dalam rumah. Sedangkan mahasiswa
(ada empat orang) tidur di ruang tamu yang diatur sedemikian rupa. Kami juga
memutuskan untuk memasak sendiri.
Di desa ini,
terdapat satu masjid dan dua mushalla. Seluruh kegiatan bulan Ramadhan
dipusatkan di masjid. Satu mushalla berada di dekat rumah kepala dusun.
Sedangkan satu mushalla digunakan untuk kegiatan TPA. Dalam rapat internal KKN
268, kami memutuskan untuk mengaktifkan tiga tempat ibadah ini. Kami akan
bergantian untuk mengisi tempat ibadah tersebut. Baik itu hanya menjadi ma’mun
pada saat shalat lima waktu dan tarawih, ataupun menjadi imam dan kultum. Jika
di masjid, tamir sudah menyusun jadwal imam dan kultum sedemikian rupa. Maka di
dua mushalla, para warga berharap banyak kepada mahasiswa KKN. Alhasil saya
beberapa kali mengisi imam dan kultum.
Para remaja
sekaligus tamir masjid setiap hari selalu mengadakan ta’jil atau buka puasa bersama
untuk anak-anak TPA. Biasanya ada jeda waktu sekitar setengah jam seraya
menunggu waktu berbuka. Kami mahasiswa KKN diminta untuk mengisi setengah jam
tersebut. Bisa ceramah, games, motivasi, dan yang lainnya. Semuanya diserahkan
sepenuhnya kepada mahasiswa KKN.
Program kerja
individu saya banyak bersinggungan dengan anak-anak TPA. Saya mempunyai program
menabung, mengajar Bahasa Arab, Tajwid, dan Qiraah. Beberapa program juga saya
berikan kepada para remaja dan orang tua. Semua program individu baru kami
laksanakan setelah bulan puasa. Kami melengkapi program bantu masyarakat pada
bulan Ramadhan.
Ada program lain
yang selalu kami kerjakan dari hari senin sampai jumat, yaitu mengajar TK dan
PAUD. Saya lebih banyak mengajar di TK. Pengajaran di PAUD diserahkan kepada
para mahasiswinya. Untungnya sebelum KKN, saya tidak asing dengan pengajaran
TPA. Terlalu banyak kisah indah yang saya rasakan pada saat KKN. Yang pastinya,
pengalaman berharga ini tidak pernah akan saya lupakan.
Hikmah yang saya dapatkan adalah
bahwa kita harus menghormati tradisi orang lain. Dimana bumi dipijak, di situ
langit dijunjung. Ketika saya tinggal di desa KKN, banyak hal yang saya
pelajari dari masyarakat setempat. Khususnya tentang tradisi yang ada di sana.
Saya tidak mungkin memaksakan kebiasaan saya sebagai mahasiswa, apalagi
kebudayaan saya di Banjar untuk dibawa ke sini. Mungkin bisa, tetapi hanya pada
ranah yang baik-baik saja. Sehingga saya sangat menghormati tradisi dan adat
yang ada di desa tersebut. Selama itu tidak bertentangan dengan agama. Saya
bersama teman-teman satu unit dapat diterima oleh masyarakat karena cara kami
bersikap dan bergaul. Seorang mahasiswa, meskipun dianggap sangat berpendidikan,
tetapi jika memisahkan diri, atau tidak mau bergaul, niscaya dia pasti akan
dikucilkan masyarakat. Kami tidak menginginkan hal tersebut. Kami harus
membangun kepercayaan masyarakat terhadap kami, agar kiranya kami dapat
melaksanakan program kerja dengan baik.
Mantab mas, semoga wonotingal menjadi kenangan kelak
BalasHapusterima kasih mas. Wonotingal akan selalu menjadi kenangan. :-)
Hapus