Pada bulan November 2014, Kang Abik –sapaan akrab Habiburrahman El
Shirazy– kembali memanjakan para penggemarnya dengan sebuah karya novel luar biasa
yang diberi judul ‘Api Tauhid’. Novel ini mendapatkan sambutan yang sangat luar
biasa. Setidaknya novel ini telah cetak tujuh kali pada bulan februari 2015. Novel
ini kembali menjadi best seller, tidak berbeda jauh dari karya-karya
sebelumnya,. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara tetangga.
Kang Abik memberikan novel ini balutan yang sedikit berbeda dengan
novel-novel sebelumnya. Para pembaca akan mendapati sebuah novel sejarah dengan
balutan gaya roman. Ramuan ini berhasil membuat kisah sejarah yang diceritakan
panjang lebar dalam novel ini, menjadi sangat menarik dan mudah untuk dicerna.
Tokoh sejarah yang diangkat dalam novel ini adalah Said Nursi, ulama besar
Turki yang mendapat julukan badiuzzaman, sang keajaiban zaman.
Kisah ini bermula dari Fahmi (tokoh utama dalam novel ini), seorang
mahasiswa S2 di Madinah yang menikah sirri dengan Nuzula, anak seorang
kyai di Indonesia. Entah apa yang terjadi di Indonesia, belum genap empat
bulan, Kiai Arselan, ayah Nuzula memaksa Fahmi yang masih di Madinah untuk
menceraikan anaknya. Padahal mereka belum tinggal satu atap. Tentu saja hal ini
membuat Fahmi depresi. Fahmi mencoba mengusir kegundahannya dengan cara beri'tikaf
di Masjid Nabawi dengan niat mengkhatamkan 40 kali hafalan al-Qur’annya. Akan
tetapi belum sempat Fahmi menyelesaikannya, ia harus di bawa ke rumah sakit.
Kondisinya kritis karena kelelahan. Setelah Fahmi sembuh, Hamzah, temannya yang
berasal dari Turki mengajaknya untuk berlibur ke Turki. Ia berharap Fahmi dapat
melupakan permasalahannya selama berada di Turki. Ia juga mengajak Fahmi
menelusuri jejak sejarah ulama besar Turki, Said Nursi.
Said Nursi dilahirkan pada tahun 1873 (pendapat lain mengatakan
1876) di Kampung bernama ‘Nurs’. Ayah beliau adalah Sufi Mirza bin Ali dari
Isparta. Sedangkan ibunya adalah Nuriye binti Molla Thahir dari Balkan. Said
Nursi merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara (hal. 141). Pada umur
Sembilan tahun, Said Nursi mulai belajar dari Kakaknya, Abdullah. Pada akhirnya
ia meminta izin dari ayahnya untuk ikut belajar bersama kakaknya di Madrasah
Ustadz Muhammad Emin, di Desa Tag. Setelah itu ia sering berpindah-pindah
madrasah. Ia pergi ke madrasah Seyyid Nur Muhammad di Pirmis, Syeikh Abdul
Rahman Tag di Desa Nursin, Syaikh Sibghatullah Gauth-i Hizan di desa Kugak,
Syaikh Muhammed Emein Efendi di Bitlis. Madrasah Mir Hasan Wali di Mukus, hingga
Syaikh Muhammed Celali di Beyazid.
Pada usia 15 tahun, ia telah menguasai ilmu-ilmu mereka yang telah
berumur 30 bahkan 40 tahun. Beberapa kitab telah ia hafal, seperti kitab Jam’u
al-Jawami, Syarh al-Mawaqif, Syarh al-Syamsi, Alfiyah Ibnu
Malik, al-Bahjah al-Mardhiyyah fi Syarhi Alfiyyah Ibn Malik, hingga maqamat
al-Haririyyah. Pada saat itu, setidaknya ia telah membaca tidak kurang dari
delapan puluh kitab. Karena kecerdasan inilah maka Said Nursi pun dijuluki badiuzzaman
oleh gurunya Molla Fethullah Efendi dari Siirt.
Dalam beberapa kesempatan, beberapa ulama mencoba untuk mengetes
kemampuan Said Nursi, baik dengan bertanya, meminta pendapat, atau berdebat.
Selalu saja Said Nursi dapat menjawab itu semua dengan sempurna. Oleh karena
itu, tidak ada ulama yang meragukan kemampuannya lagi. Bahkan Said Nursi tidak
hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu modern, seperti matematika,
astronomi, kimia, fisika, geologi, sejarah, filsafat, dan lain-lain.
Ada satu percakapan menarik antara Said Nursi dengan Syaikh
Muhammad Bakhit al-Muthi’i, ulama besar al-Azhar yang juga mufti besar Mesir.
Pada saat itu Said Nursi ditanya pendapatnya tentang kebebasan yang
dikembangkan dalam pemerintahan Utsmani dan peradaban Eropa. Said Nursi menjawab,
“Negara Turki Utsmani saat ini sedang mengandung Eropa dan suatu hari akan
melahirkan negara Eropa. Sedangkan Eropa sedang mengandung Islam dan suatu hari
akan melahirkan negara Islam” (hal. 310). Oleh karena itulah, ia pernah mencoba
untuk menyampaikan gagasan reformasi pendidikan kepada Sulatan Abdul Hamid II.
Ia menginginkan adanya penyatuan tiga pilar pendidikan, yaitu medrese sebagai
pilar pendidikan agama, mekteb sebagai pilar pendidikan umum, dan tekke
sebagai lembaga sufi yang menjadi pilar penyucian ruhani (hal. 326).
Gagasan ini dikemukakannya, karena kebijakan pemerintah yang mulai menggalakkan
pendidikan umum sekuler dan membabat madrasah sedikit demi sedikit.
Selain Said Nursi hidup pada masa Perang Dunia I, ia juga hidup
pada masa-masa kelam sejarah berakhirnya kekhalifahan Turki Utsmani yang
berdiri tegak selama 624 Tahun pada tanggal 3 maret 1924. Dunia Islam menangis.
Musibah demi musibah datang silih berganti bagi dunia Islam akibat keradikalan
kaum sekuler. Segala hal yang berhubungan dengan Islam dilarang di Turki. Pada
saat itulah lahir Said Nursi baru yang perhatiannya adalah menanamkan al-Qur’an
pada setiap jiwa dan menjadikannya sebagai cara melawan kelaliman rezim
sekuler. Perannya telah menyelamatkan banyak orang di Turki, akan tetapi hal
ini membuat hidupnya harus dihabiskan dari penjara ke penjara lain selama
kurang lebih 25 tahun. Namun, sesungguhnya dari sinilah akhirnya muncul sebuah
karya Said Nursi yang luar biasa berjudul Risalah Nur.
Sangat terlihat bahwa novel ini digarap dengan serius dan sangat
detail. Dalam sebuah wawancara, Kang Abik membeberkan, meskipun ia telah
mengenal tokoh Said Nursi sejak kuliah di al-Azhar, Kairo, Mesir. Namun secara
khusus, setidaknya ia memerlukan waktu sekitar 2 tahun untuk merampungkan novel
ini. Tentunya Kang Abik tidak menghabiskan waktu secara sia-sia. Terbukti ia
dapat menyajikan sebuah karya maha dahsyat. Dengan kisahnya itu, ia dapat
membuat para pembacanya seolah-olah berada di tempat terjadinya kisah ini
berlangsung. Deskripsi tentang Turki dalam kisah perjalanan hidup Said Nursi,
tanah Jawa dengan kultur pesantrennya yang diwakili oleh Fahmi, dan sedikit tentang
kota Madinah, berhasil membangun imajinasi para pembaca. Berbalut kisah cinta
Fahmi dan Nuzula, Kang Abik dengan sangat apik meramu kisah sejarah yang kadang
terlihat berat dan rumit, menjadi mudah dan ramah terhadap para pembaca. Tak
lupa kisah rindu dan cinta tak terpendam dari wanita Turki, Aysel terhadap
Fahmi turut meramaikan kisah lika-liku Fahmi dalam menentukan cintanya.
Selanjutnya, dari kisah novel ini, kita dapat meneladani semangat
Islam yang dibangun oleh Said Nursi. Ia adalah seseorang yang dilahirkan dengan
anugrah hafalan yang sangat kuat.
Berpuluh-puluh kitab ia lahap dan ia pelajari. Kecintaannya terhadap ilmu,
membuatnya sering berpindah-pindah madrasah. Semua itu ia lakukan hanya untuk
memenuhi kecintaannya terhadap ilmu. Semua ilmu yang ia peroleh, ia lahap semua
tanpa tertinggal sedikitpun. Oleh karena itulah, ia dijuliki Badiuzzaman,
sang Keajaiban Zaman. Ia juga terus berjuang mempertahankan syariat Islam pada
masa pergolakan Turki. Tidak hanya dengan jalur dakwah, ia juga berjuang
melalui jalur media. Beberapa kali ia dapat membakar semangat para muslim Turki
untuk terus membela Islam melalui tulisannya. Said Nursi berharap jangan sampai
Islam di Turki tenggelam oleh arus sekulerisasi yang tidak tertahankan lagi.
Memang ada yang sedikit mengganjal pada novel ini, seperti kisah
Fahmi beserta sahabat-sahabatnya, Nuzula, dan Aysel yang terlihat sangat
singkat. Beberapa alur cerita juga sedikit dipaksakan. Seolah-olah kehadiran
kisah ini hanya sebagai pemanis dari kisah sejarah Said Nursi. Akan tetapi,
jika melihat sudut pandang berbeda, bisa jadi ini adalah apa yang diinginkan oleh penulis –Kang Abik– yang
ingin menyuguhkan kisah sejarah dengan gaya roman.
Novel sejarah pembangun jiwa ini sangat inspiratif dan sangat
direkomendasikan untuk dibaca khalayak ramai. Tidak hanya menawarkan romansa
cinta islami, tetapi juga sebuah pemikiran ideologis kritis terhadap perjuangan
Islam di tengah-tengah himpitan modernisasi dan sekulerisasi. Novel ini juga
mengajari kita bagaimana bersikap terhadap budaya Barat yang mulai menggerogoti
Budaya Islam itu sendiri. Apa yang ditawarkan oleh Said Nursi tidak hanya dapat
diterapkan di Turki, tetapi juga di Indonesia yang statusnya juga sudah
terjangkiti penyakit modernisasi dan sekulerisasi. Said Nursi telah
menyumbangkan solusi terbaiknya untuk negara-negara Islam di belahan dunia.
*Tulisan ini dapat dibaca pada "Jurnal mahasiswa Khazanah" DPBMKM Universitas Islam Indonesia Vol VII No.2 Yogyakarta Januari 2015
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?