Oleh: Muhammad Qamaruddin
اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ
الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa.” (Q.S. al-Hujuraat [49]: 12)
“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa.” (Q.S. al-Hujuraat [49]: 12)
Suatu ketika Fulan ingin melaksanakan
shalat Jum’at. Saat ia
memasuki masjid, para jamaah telah mengisi separoh dari ruangan tersebut.
Mereka duduk bersimpuh sembari menunggu khutbah jumat. Selesai berwudhu,
sesegera saja Fulan mengisi shaf
yang kosong dan ikut larut dalam kesyahduan suasana sebelum shalat jumat.
Beberapa saat kemudian, salah satu dari jamaah yang
bertindak sebagai muadzzin maju dan berdiri di samping mimbar. Sebelum
mengumandangkan adzan, ia menyuruh para jamaah untuk maju dan mengisi shaf-shaf
yang kosong. Karena shaf yang ada di depan Fulan telah terisi, maka ia tetap duduk
di tempat. Sekitar terpaut tiga jamaah di sebelah kirinya, ia melihat ada shaf
yang kosong. Tempat tersebut terus saja kosong hingga adzan selesai
dikumandangkan. Fulan
memandangi orang yang ada di belakang shaf itu. Orang itu tak bergeming dari
tempatnya. Ia tetap saja diam dan tak mempedulikan shaf tersebut.
Orang-orang yang
ada di sampingnya mulai risih dengan sikapnya itu. Kengganannya maju mengisi shaf itu terlihat sangat nyata dan jelas. Padahal orang yang ada
di sebelahnya telah menyuruh ia
untuk maju. Seakan angin lalu, ia tak menghiraukannya. Fulan yang sedari tadi melihatnya juga menjadi risih dengan
kelakuan orang tersebut. Ia kurang suka dengan sikap sombong yang ditunjukkan oleh orang itu. Fulan yakin bahwa
orang-orang yang ada di sampingnya itu pun juga tak suka dengan sikapnya. Oleh
karena itulah, mereka sengaja tidak mengisi shaf tersebut, berharap sang objek
paham dan mau maju ke depan. Sayangnya, sampai khutbah kedua selesai, shaf
tersebut masih saja kosong. Orang itu tetap saja tak bergeming dari tempatnya
Tatkala semua
orang berdiri untuk melaksanakan shalat jumat, orang itu masih saja duduk dan
hanya lihat sana sini. Shaf di depannya masih saja dibiarkan kosong. Sepertinya
orang-orang ingin membuatnya jera dengan sikap sombongnya tersebut. Mereka tetap dengan sengaja
tidak mengisi shaf itu. Akhirnya orang itu berdiri dan berjalan ke depan. Semua
orang terkejut dengan apa yang dilihatnya, tidak terkecuali si Fulan. Ia berjalan
ke depan dengan tertatih-tatih. Ternyata orang tersebut lumpuh. Fulan beserta
orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi merasa tak enak hati dengan sikap
curiga yang tadi mereka miliki. Mungkin inilah alasan kenapa orang tersebut tak
segera mengisi shaf tersebut. Ia adalah orang lumpuh. Ternyata apa yang
dipikirkan oleh Fulan dan
orang-orang di sekitarnya, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Prasangka Buruk, Pemutus Ukhuwah Islamiyah
Cerita di atas
merupakan salah satu dari sekian banyak cerita tentang prasangka buruk. Masih
banyak cerita lain yang beredar di masyarakat. Lalu bagaimanakah Islam
menanggapi hal tersebut?
Prasangka buruk
dalam Islam disebut su’ul zhan (سوء الظنّ). Lawannya adalah husnul zhan (حسن الظنّ) yaitu prasangka baik
atau berbaik sangka. Prasangka buruk merupakan pendapat anggapan yang kurang baik mengenai
sesuatu sebelum mengetahui, menyaksikan, atau menyelidiki sendiri. Hal ini sebenarnya dapat merusak ukhuwah dan tali
silaturahmi, karena dapat menimbulkan fitnah dan itu dapat merugikan orang lain. Oleh karena
itu, hal ini sangat ditentang dalam Islam. Bahkan Allah mengumpamakan dosa
fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan. Sesuai dengan firmanNya pada surat
al-Baqarah [2]: 191 dan al-Baqarah [2]: 217.
Sesungguhnya sifat su’ul
zhan dapat memutus ukhuwah Islamiyah dan tali silaturahmi. Padahal
sebagai seorang muslim, sudah seharusnyalah saling menghormati dan menghargai, baik sesama muslim maupun kepada
manusia secara umum. Kita juga diwajibkan untuk saling tolong-menolong.
Bagaimana mungkin hal itu bisa
terwujud, sedangkan di dalam hati masih ada prasangka buruk. Yang tumbuh justru sebaliknya
yaitu rasa permusuhan dan saling membenci tanpa ada dasar dan alasan sama
sekali.
Bahkan Umar bin Khatab
ra. melarang prasangka buruk, meskipun itu hanya terhadap sebuah ucapan yang
keluar dari mulut saudara. Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam az-Zuhd, dan diriwayatkan juga oleh
selainnya, bahwa 'Umar pernah memberikan nasihat:“Janganlah sekali-kali engkau
menyangka dengan prasangka yang buruk terhadap sebuah kalimat yang keluar dari
(mulut) saudaramu, padahal kalimat tersebut masih bisa engkau bawakan pada
(makna) yang baik.”
Pada dasarnya, konsekuensi dari sebuah ukhuwah adalah
kejujuran, kebaikan dan ketaatan. Sedangkan prasangka buruk terhadap orang lain
berseberangan dengan konsekuensi dari ukhuwwah tersebut. Ujung-ujungnya yang
terjadi nantinya adalah terputusnya ukhuwah yang telah terbangun sedemikian
rupa.
Prasangka Buruk adalah Perkataaan Paling Dusta
Rasulullah SAW bersabda: إِيَّاكُمْ
وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذّبُ الْحَدِيْث yang artinya "Hati-hatilah
kamu terhadap prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling
dusta" (HR. Muslim). Akdzabul Hadits dapat pula diartikan sebagai ‘ucapan yang paling
dusta’, ‘paling dustanya perkataan’, ‘berita yang paling dusta’, ‘kedustaan
besar’, dan lainnya. Meskipun
dengan redaksi yang berbeda, semua terjemahan tersebut mengandung esensi dan
maksud yang sama, yaitu prasangka itu merupakan sebuah ucapan atau perkataan
yang paling dusta.
Imam al-Nawawi berkata
untuk menjelaskan ucapan al-Khaththabi tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini, “Zhan yang
diharamkan adalah zhan yang terus menetap pada diri seseorang, terus
mendiami hatinya, bukan zhan yang sekadar terbetik di hati lalu hilang
tanpa bersemayam di dalam hati. Karena zhan yang terakhir ini di luar
kemampuan seseorang. Sebagaimana yang telah lewat dalam hadits bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umat ini dari apa yang terlintas di hatinya
selama ia tidak mengucapkannya atau ia bersengaja.” (Al-Minhaj, 16/335)
Dimungkinkan pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu,
bahwa zhan yang dilarang adalah zhan yang murni atau tidak
beralasan, tidak dibangun di atas asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul
Mu’lim bi Fawa`id Muslim, 8/28). Pernyataan di atas menjelaskan bahwa dosa
dari prasangka buruk muncul ketika seseorang telah memiliki zhan, kemudian
terus bersemayam di hati hingga akhirnya ia mengucapkannya. Apalagi jika itu
tidak beralasan dan tidak didukung oleh bukti-bukti yang jelas.
Meskipun begitu, penulis tetap mengajak kepada seluruh
pembaca dan kepada penulis sendiri untuk tidak membangkitkan prasangka itu
walaupun hanya di dalam hati. Jangan biarkan prasangka itu bercongkol dalam
hati walaupun hanya sedikit. Sesungguhnya prasangka itu berawal dari hati, dan
kemudian berlanjut pada ucapan yang tidak-tidak, seperti ngata-ngatain,
menggunjing, membicarakan seseorang, gosip, menyebarkan isu, menjelek-jelekkan
orang, dan lain sebagainya.
Seperti cerita di awal tulisan ini. seandainya Fulan
tidak tahu kelumpuhan yang dimiliki orang tersebut, mungkin saja selepas pulang
dari shalat Jum’at, ia akan mencari teman dan kemudian menceritakan kisahnya
tersebut. Ia akan menjelek-jelekkan orang tersebut dan mengatakan bahwa
perbuatan orang itu salah. Padahal ada alasan tertentu yang menyebabkan orang
itu melakukannya. Sufyan rahimahullahu berkata, “Zhan yang mendatangkan
dosa adalah bila seseorang berzhan dan ia membicarakannya. Bila ia
diam atau menyimpannya dan tidak
membicarakannya maka ia tidak berdosa.”
Epilog
Setidaknya ada beberapa
cara untuk menghilangkan munculnya prasangka
buruk. Pertama, mendahulukan prasangka baik daripada prasangka buruk.
Ini dapat diartikan dengan selalu berpikir positif kepada orang lain. Segala sesuatu
yang kita dengar dan lihat dapat menimbulkan prasangka baik atau buruk.
Tergantung dari cara kita menanggapinya. Oleh karena itu, selalu dahulukan
prasangka baik adalah pilihan utama. Dengan berprasangka baik, maka kita tidak
akan terkotori oleh bisikan-bisikan setan yang terus membumbui pemikiran kita
dengan prasangka buruk.
Kedua, mencari
alasan-alasan positif bagi orang lain saat mereka melakukan kekeliruan. Semua
manusia pasti melakukan kesalahan. Namun tidak mesti kesalahan itu kita
tanggapi dengan cara yang buruk. Bisa jadi kesalahan tersebut
dilakukan karena ketidaksengajaan. Tinggalkan sikap mencari-cari kesalahan
orang lain.
Ketiga, jauhi sikap suka menggali-gali rahasia dan
membicarakan aib orang lain. Sikap ini sangat berdekatan
dengan prasangka buruk. Dari sikap inilah muncul prasangka buruk yang pada
akhirnya menimbulkan fitnah.
Semoga kita semua
selalu dilindungi oleh Allah SWT dari sifat-sifat tidak terpuji. Semoga kita
dapat menjaga diri kita dari godaan syaitan yang terkutuk. Wallahu ‘alam
bis-shawab.
Muhammad Qamaruddin
Santri Ponpes UII &
Sekretaris Umum KODISIA
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?