Minggu, 09 September 2012

WAKTU PUN MENANGIS UNTUK KITA (bag 1)

Selasa, 31 Juli 2012
    Panas terik menyengat. Asap knalpot kendaraan di sana-sani ikut meramaikan suasana. Debu terus saja beterbangan di mana-mana, tersapu oleh angin kota. Belum lagi kebisingan yang lahir dari beragam sumber suara. Suara kendaraan roda dua dan empat beserta klaksonnya, orang yang berjualan, kernet, tukang ojek, sekumpulan orang yang ngalor ngidul berbincang-bincang, bahkan kambing yang makan rumput di pinggir jalan pun ikut andil dalam konser kebisingan tersebut. Hampir saja tubuhku lunglai dibuatnya, apalagi dengan keadaan berpuasa seperti sekarang ini. Untung saja pertahanan imanku masih kokoh. Kalau tidak, mungkin saja air aqua yang aku bawa dari rumah tadi telah bersarang di dalam perutku. 

    Banjarmasin, kota seribu satu sungai. Kota yang penuh dengan kenangan. Kota yang memperkenalkanku banyak hal. sesuatu yang baru, sesuatu yang belum aku pahami, sesuatu yang belum aku ketahui, dan masih banyak lagi. Ya...aku sempat tinggal di sini selama satu tahun. Oleh karena itu, aku lumayan memahami seluk beluk kota Banjarmasin. Sebenarnya waktu satu tahun belumlah cukup untukku mengenal lebih dalam tentang kota ini. Masih banyak hal yang belum aku ketahui. Pada kenyataannya, tidak semua hal yang ada di dunia ini semuanya harus diketahui oleh manusia. Banjarmasin? Apakah dengan semakin banyak aku mengetahui tentangnya, semakin aku terkagum-kagum, atau malah sebaliknya, siap-siap untuk menggeleng-gelengkan kepala...entahlah.
Aku tiba di Banjarmasin pukul 12.30 WITA. Waktu ketika puncak matahari sedang giat-giatnya membelai ubun-ubun kepala. Panas terik membuat keringat merembes deras keluar tiada henti. Baju menjadi basah bak baru selesai dicuci, tapi dengan bau yang berbeda. Tas di punggung seakan bertambah berat dua kali lipat, tidak...aku rasa tiga kali lipat. Sebelumnya, untuk mencapai kota ini, aku harus menaiki colt kurang lebih tiga jam lamanya dari kampung halamanku, Kandangan, Hulu Sungai Selatan. Letih memang, tapi ada kekuatan lain muncul dalam diriku. Kekuatan motif dan tujuan. Sadar sekali, aku sangat mengetahui darimana kekuatan itu berasal. Oleh karena itulah, aku datang ke Banjarmasin. Karena dialah aku datang...

* * *
    Aku bertemu dia terakhir kali ketika berkunjung ke rumahnya, setahun yang lalu di Samuda, Kalimantan Tengah. kunjungan pertamaku ke rumahnya! Agak canggung memang, tapi ini harus kulakukan agar dapat melihatnya walau cuma sebentar. Pertemuan itu pun hanya terjadi selama satu jam. Jangan pernah berpikir satu jam itu adalah milik kami berdua, karena jika dihitung-hitung aku hanya berbicara dengannya tidak lebih dari sepuluh menit! Sisanya, waktuku dirampas baik-baik oleh ibu dan abangnya.
Aku disambut ramah oleh mereka, meskipun aku tidak diperbolehkan berbicara dengannya secara langsung. Aku dapat memakluminya. Aku adalah makhluk asing bagi mereka, atau lebih tepatnya, mereka masih belum mengenal aku. Biarlah waktu yang akan menjawab keraguan itu. Sekilas dari ruang tamu, aku dapat melihat dengan jelas bagaimana ia mengintip diriku dari balik tirai kamar. Sungguh menyakitkan! Tapi inilah jalan ceritanya. Tak apalah. Aku ingin memberikan kesan terbaikku kepada keluarga mereka. Awal yang baik akan menjadi akhir yang bahagia.
Sebelum aku pulang, ia mendatangiku yang sedang berada di pelataran rumah. Aku rasa Ibunya telah memberikannya izin untuk menemuiku, walau cuma sebentar. Sepuluh menit! Aku rasa tak lebih dari itu. Tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Di akhir percakapan, aku mengucapkan sebuah janji kepadanya.
    “Ding ...tahun depan, kalau aku pulang ke Kalimantan, pasti akan aku temui kamu. Di manapun kamu berada, walaupun itu hanya satu menit”, ucapku kepadanya meyakinkan. Ia memberikan senyuman manis. Senyuman yang tak pernah kulupakan dan selalu mengiringi langkahku.
    “Kutunggu kedatanganmu, Kak. Kutunggu...”, balasnya sambil menunduk. Dunia seakan ikut menyaksikan perpisahan ini. Itulah terakhir kalinya aku melihatnya.
    “Hayo, lagi ngayal apa...!” Tiba-tiba suara itu membuyarkan ingatan masa laluku. Ridha, teman sekosku memegang pundakku. Dialah yang menjemputku siang tadi. Selama berada di Banjarmasin, aku akan menginap di kosnya.
    “Nggak...cuma teringat dia aja. Hampir setahun kami tidak bertemu”, ujarku sambil tersenyum. Ia memandangku iba.
    “Sabar kawan...Dia datang hari ini kan?” Tanyanya. Aku menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. Perlahan-lahan senyumku melebar.
    “Iya...Ia datang hari ini,” jawabku. “Katanya mau ngurus daftar ulang”, tambahku lagi.
    “Sekalian ketemu kamu kan...hahaha, bilang saja seperti itu,” tukas Ridha menggodaku.
    “kalau ke Banjarmasin hanya untuk menemui aku, ya tidak mungkin lah diizinin sama Ibunya. Aku cuma memanfaatkan waktu yang sebentar itu, karena ia Cuma dua hari di Banjarmasin”.
    “Cuma dua hari? Ckck...kok cerita kalian sedih banget sih...”, Ridha memberikan pendapat. Aku hanya membalas ucapan itu dengan senyuman. Sejurus kemudian aku melihat jam tangan, pukul 15.00. Aku kemudian mengutak-atik HP yang kumiliki.
‘ak insAlh sdh smpai dbnjr stlh ashr’. Sms terakhir yang kuterima darinya. Ia pasti masih berada di dalam mobil travel yang menuju Banjarmasin ketika menuliskannya. Jarak Samuda ke Banjarmasin sangat jauh, memakan waktu 10 sampai 11 jam. Oleh karena itulah, aku rasa kesempatan ini tidak akan terulang kembali, kecuali ketika aku balik ke Kalimantan, mungkin tahun depan.
“Ridha...nanti sore aku pinjam motormu ya...”, ucapku kepada temanku tersebut.

* * *
    ‘Ak sdh smpai Bnjrmsin.Tmui ak di tmn pyung d fak tarbyah, stlh ashr’. Entah kenapa tiba-tiba dadaku berdegup kencang. SMS ini kuterima tepat setelah aku selesai melaksanakan shalat ashar. Setahun telah berlalu, dan hari ini aku akan bertemu kembali dengannya. Ini seperti mimpi yang berubah menjadi kenyataan. Tak terasa rindu itu semakin tumbuh berkembang.
    Kos temanku tidak terlalu jauh dari kampus ini. ketika aku berangkat, Ridha mengacungkan ibu jarinya. Ia ikut larut dalam kegembiraan yang kurasa. Sambil berbasa-basi, ia merapikan pakaian yang kukenakan pada waktu itu. Aku jadi canggung. Ia tertawa melihat tingkah lakuku yang terlihat sedikit lucu. Meskipun begitu, ia tetap memberikan semangat kepadaku. Waktu menunjukkan pukul 16.30 WITA, aku berangkat menuju tempat yang telah dijanjikan, Fakultas Tarbiyah, tepatnya di IAIN Antasari Banjarmasin.
Ketika melalui jalanan kampus, aku kembali teringat masa-masa ketika masih berstatus mahasiswa di tempat ini. Hanya satu tahun, dan di rentang waktu itulah aku mengenalnya. Kini aku pindah ke Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Kepindahan ini berdasarkan keputusanku yang sangat matang. Demi masa depan yang lebih baik, menurutku.
Sekarang aku duduk di salah satu bangku yang ada di Taman Payung. Menunggunya. Menunggu seseorang yang sudah banyak mewarnai kehidupanku. Aku memandang sekeliling. Tak ada orang di sana, tetapi entah kenapa aku menjadi gugup melihat bangunan yang mengelilingiku. Mereka seakan hidup dan bersorak ria. Ah...itu hanya bayanganku. aku harus bersikap santai.
Banyak yang berubah dari kampus ini setelah dua tahun kutinggalkan. Kampus yang penuh kenangan. Sekelebat memoar kembali tergambar jelas di kepalaku. Ketika sedang asyik-asyiknya mengingat semua itu, tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Ada sesuatu yang terjadi. Suasana berubah drastis. Ada angin membelai pipiku. Tidak, hatiku juga merasakannya. Apakah....? Perlahan-lahan aku membalikkan badanku. Benar adanya apa yang kurasa. Dari jauh aku melihat seorang wanita cantik berjalan menghampiriku. Ia masih jauh, tapi aku sudah dapat merasakan kehadirannya. Apakah ini yang dinamakan rindu yang telah tersimpan lama?...ah...tak tahulah. Yang pastinya saat itu seakan ada sebuah sengatan listrik yang memberitahukan kedatangannya kepadaku.
Aku berdiri dari tempat duduk dan mulai beranjak mendatanginya. Dari kejauhan, ia menatapku. Owh...senyum itu lagi! Aku mendapatkannya lagi setelah satu tahun berlalu. Pada saat itu serasa terjadi slow motion, semuanya berjalan lambat sekali. Sambil berjalan aku memandangi dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia masih seperti yang dulu. Cara berpakaiannya, cara berjalannya, cara berkerudungnya, senyumnya, tatapannya, parasnya. Tak banyak yang berubah kecuali...badannya. apa yang terjadi dengannya sehingga badannya terlihat lebih kurus? Tanyaku dalam hati.
Tak terasa kami sudah berdiri saling berhadapan. Waktu seakan berhenti sejenak, membiarkan kami saling tertunduk malu satu sama lain. Aku jadi tak karuan rasa, semuanya bercampur menjadi satu. Sulit untuk menjelaskan. Biarlah hanya Tuhan tahu akan hal itu.
“Assalamualaikum, Kak.” Ia memulai percakapan. Aku bak tersambar petir. Ia mengucapkan salam terlebih dahulu. Aku menyalahkan diri sendiri. Seharusnya aku yang harus mengucapkannya terlebih dahulu.
“Wa’alaikumsalam...”, jawabku agak canggung. Kami saling bertatap muka, saling memberikan senyum, dan kembali diam bagai batu. Ada apa ini? Jelas sekali terlihat, malu masih menyelimuti kami. Tiba-tiba ia mengulurkan bungkusan yang ada di tangannya.
“Ini Kak, ambil...”, suruhnya kepadaku.
“Apa ini”, tanyaku penasaran.
“Ketupat. Tadi bawa dari rumah. Ada banyak, Kak. Sebagian udah aku letakin di kosku. Yang ini buat Kakak,” jawabnya. Aku terima ketupat itu meskipun agak ragu mengambilnya. Bukan karena lapar yang dari tadi aku tahan disebabkan puasa, sehingga aku tampak begitu senang menerima makanan gratis ini. sangat mudah mendapatkan ta’jil di Banjarmasin, tapi kurasa inilah makanan yang paling berharga yang kudapat, karena dia yang memberikannya.
Aku mulai dapat mengendalikan diriku yang dari tadi terlihat salting. Begitu pula ia. Kami mencoba agak santai. Ia mengajak aku untuk pergi ke salah satu gedung yang berada di pinggir jalan utama. Mereka menyebutnya gedung PSB. Di sana tampak beberapa mahasiswa/i duduk santai di pelataran gedung tersebut. Di tengahnya terdapat hamparan taman kecil yang indah. Hmm...tempat yang cocok untuk bersantai. Kami pun duduk di lantai menghadap ke taman. Beberapa mahasiswi yang ada di sana menyapa dirinya. Kurasa mereka adalah teman-temannya. Mereka tertawa kecil ketika menyadari bahwa aku ada di sampingnya. Mereka sudah tahu dan paham, siapa aku dan apa hubunganku dengan dia.
Kami mulai bertanya kabar masing-masing. Setelah itu, pembicaraan mulai melebar kemana-mana. Mulai tak ada lagi kecanggungan. Pertemuan yang tertunda satu tahun pasti akan menimbulkan banyak bahan pembicaraan. Itulah yang terjadi pada kami. Tentunya dengan norma dan etika yang sopan. Kami tidak sendiri. Kami berada di tengah gedung yang masih terdapat banyak mahasiswa yang juga sedang menikmati sore menjelang berbuka puasa.
Pukul 17.45 WITA, sudah hampir satu jam kami berada di sana. Terangnya hari mulai menipis, berganti warna kelam. Hari mulai bersiap-siap untuk beranjak pergi. Sedikit demi sedikit orang mulai pergi dari tempat itu. Akhirnya tinggal kami yang duduk di sana.
“Kak, bisa temanin aku beli roti bakar di depan kampus? Buat buka puasa nanti”, tanyanya kepadaku.
“Boleh...”, jawabku. Kami pun mulai beranjak dari tempat itu. “Pakai motor?” Tanyaku memastikan. Ia menggelengkan kepala menandakan ia tak mau. Perlu diketahui, semenjak dekat dengannya, tak pernah sekalipun aku memboncengnya. Oleh karena itulah, sebenarnya pertanyaan tadi hanyalah basa-basiku. Pada dasarnya aku sudah mengetahui jawaban yang akan ia berikan.
“Kita jalan aja, Kak,” ia menimpali pertanyaanku tadi. Aku pun meninggalkan motor di sana. Kami berjalan perlahan ke depan kampus. Sambil berjalan, kami kembali memperbincangkan banyak hal. Tanpa terasa kami tiba di depan kampus. Roti Bakar Bandung, itulah yang ingin ia beli. Sepertinya aku juga tertarik untuk membelinya, sekedar untuk makanan ringan kawanku, Ridha yang ada di kos. Ia sudah berbaik hati membolehkan aku tinggal di kosnya dan meminjamkan motornya kepadaku. Akhirnya kami memesan dua roti. Satu untuknya, satu untukku.
Hari semakin gelap. Karena banyak yang membeli, kami jadi lama menunggu pesanan. Pukul 18.15, pesanan kami belum juga jadi. sekitar 20 menit lagi waktu berbuka akan tiba. Aku berpikir, ia tidak akan sempat kembali ke kosnya. Waktunya terlalu sedikit. Aku yakin pula, pesanan itu baru siap setelah sepuluh menit berlalu.
“Dek, bagaimana kalau kita berbuka puasa di luar aja? Kamu tidak akan sempat balik ke kos. Ini sudah dekat waktu berbuka,” ujarku sedikit ragu. Takut ia tidak mau. Setelah memandangku sebentar, ia kemudian memalingkan wajahnya ke gerobak roti bakar. Aku menanti jawabannya.
“Boleh...sepertinya memang tidak sempat. Roti pesanannya juga belum jadi,” ucapnya. Entah kenapa ada rasa meluap-luap muncul di rongga dadaku. Ia mengiyakannya. Seandainya ia tidak ada, aku ingin sekali teriak saking senangnya. Di tengah kegembiraanku, ia tiba-tiba berucap, “Lalu bagaimana Motor Kakak?” tanyannya. Aku kembali tersadar.
“Kakak ambil sebentar. Kamu tunggu di sini saja, sekalian nunggu pesanan roti”, jawabku. Mendengar hal itu, ia kemudian memandang sekeliling
“Nanti Kakak langsung ke sana aja”, ia menunjuk gerobak bertuliskan ‘empek-empek Palembang’. “Kalau pesanan rotinya sudah jadi, aku langsung ke sana, jadi Kakak tidak usah kesini lagi, tapi langsung ke sana aja. Kita buka pake empek-empek aja ya Kak, lagi pengen. Udah lama tidak makan empek-empek” lanjutnya panjang lebar.
“Iya...terserah adek aja”. Aku menganggukkan kepalaku. Sejurus kemudian aku langsung saja kembali ke gedung tadi untuk mengambil motor. singkat cerita, setelah mendapatkan motor, aku menuju ke tempat yang telah ia tunjuk tadi. Ia sudah berada di sana. Duduk santai sambil menungguku. Sepertinya ia sudah memesan makanan. Dari kejauhan aku memandangnya, tak pernah hilang kekagumanku akan kecantikan yang ia punya. Beruntung sekali aku bisa dekat dengannya. semoga ia adalah jodohku. Amin.
“Sudah aku pesanin, Kak”, ucapnya ketika aku duduk di hadapannya.
“Alhamdulillah. Berarti tinggal menunggu waktu berbuka.” Tak lama setelah aku mengucapkan kalimat tersebut, terdengar bunyi peluit panjang menandakan waktu berbuka telah tiba, kemudian diiringi suara adzan. Kami mengucapkan hamdallah bersama-sama. Kemudian kami membaca doa sebelum berbuka bersama-sama.
Senja kuning, menandakan pergantian siang ke malam. Bagi sebagian orang, senja itu tampak sama seperti hari-hari lainnya. Tapi tidak bagiku. Senja kali ini laksana sahabat yang mengiringi cerita indah ini. Senja yang ikut larut dalam kebahagiaanku. Hari ini tak akan pernah kulupakan. Di hadapanku, seorang wanita sedang makan dengan begitu anggunnya. Kepada dialah kuletakkan harapanku. Kepada dialah kutautkan hatiku. Kuletakkan janji atasnya. Hingga hari itu tiba, aku pasti akan menjemputnya.

(Muhammad Qamaruddin)

 


0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?