Ihsan melihat jam tangannya. Masih ada waktu sekitar tiga jam sebelum check in. Seraya meregangkan tubuhnya, ia mengeluarkan buku dari tasnya dan membacanya. Hal ini dilakukannya untuk menunggu waktu keberangkatan.
Sebelumnya, demi mendapatkan tiket pesawat yang murah, ia berangkat dari Yogyakarta menuju Bandara Juanda yang ada di Surabaya. Ia rela menempuh jarak yang lumayan jauh, menghabiskan waktu hampir delapan jam lebih. Pikirnya, daripada berangkat dari Yogyakarta dengan harga tiket yang lumayan akan menguras tabungannya, mending ia berangkat dari Surabanya. Ia dapat menekan biaya hampir 50%.
Untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi ketika di jalan, apakah itu macet, bis yang mogok, dan lain sebagainya, ia berinisiatif untuk datang lebih awal di bandara. Sekarang ia pun duduk santai sambil membaca buku yang ia bawa.
Orang-orang lalu lalang berjalan. Beberapa dari mereka duduk di tempat yang telah disediakan, sama seperti yang dilakukan oleh Ihsan. Ah, mereka pasti juga menunggu keberangkatan, batinnya.
Waktu menunjukkan pukul 09.00, artinya ia sudah duduk hampir dua jam. Sesekali ia meregangkan tubuhnya. Letih rasanya. Kalau dihitung-hitung, sejak kemarin malam sampai sekarang, mungkin ia sudah duduk lebih dari sepuluh jam lamanya.
Tak beberapa lama kemudian, seorang ibu muda bersama anaknya duduk di samping dia. Anak itu tampak merengek meminta sesuatu. Ihsan memperhatikan mereka sejenak.
“Ma, lapar...mau makan sekarang saja,” ibanya kepada ibunya. Ihsan memperkirakan, umur anak itu sekitar enam tahun.
“Rahmat kan tadi udah janji sama Mama, mau puasa satu hari penuh hari ini....,” jawab Ibunya seraya tersenyum. Ia terus memberikan penjelasan dengan penuh kasih sayang. Tampaknya anak itu mulai berlinang matanya. Ketika Ibunya sadar, orang yang di sampingnya mendengarkan percakapannya, ia berkata kepada anaknya, “Tuh lihat...malu sama Kakak itu. Masa anak Mama yang paling ganteng dan kuat, nangis karena mau buka puasa sekarang. Kan masih pagi....”, ujar Ibunya. Mendengar hal tersebut, Ihsan menoleh dan memberikan senyuman kepada mereka. Ia pun kembali berkutat dengan buku yang dipegangnya.
Setelah beberapa lama kemudian, anaknya itu pun akhirnya menangis sambil berteriak pelan, ‘Ma...lapar, Ma...lapar’. Sepertinya Ibunya mulai luluh hatinya. Ketika Ihsan menyadari hal itu, ia mendekati mereka. Ibunya diam sejenak, sedangkan anaknya masih saja menangis. Sambil tersenyum, Ihsan duduk berjongkok di samping Rahmat.
“Dek...ketika kita puasa, Allah juga puasa lho...”, ujarnya. Anak itu tiba-tiba berhenti menangis dan menoleh kepada Ihsan.
“Allah puasa? Masa sih?” Tanya Rahmat cecegukan. Ia sepertinya tertarik dengan pernyataan Ihsan. Ibunya hanya melihat mereka sambil tersenyum.
“Iya...kita puasa menahan lapar dan haus, sedangkan Allah puasa untuk tidak menghukum kita. Ketika bulan puasa, Allah bahkan melipat gandakan pahala orang-orang yang melaksanakan segala perintahNya. Nah...puasa kan di suruh sama Allah, kalau Rahmat mau buka puasa sekarang, Kakak yakin, Allah tidak akan menghukum Rahmat,” Ihsan menghentikan pembicaraaannya. Ia membiarkan anak kecil tersebut memahami apa yang ia sampaikan.
“Tuh kan Ma, kata Kakak ini, Allah tidak marah kok kalau Rahmat buka puasa sekarang”, ujarnya menoleh kepada Mamanya. Ibunya hanya diam menatap anaknya.
“Tapi...”, Ihsan menyambung lagi. Kedua orang itu kembali menolehnya. “Allah akan lebih senang kalau Rahmat puasa, apalagi kalau bisa satu hari penuh. Itu kan artinya, Rahmat melaksanakan perintahNya. Rahmat bisa dapat banyak pahala. Puasanya juga bisa bareng sama Allah, Allah puasa, Rahmat juga puasa,” sambungnya. Muka Rahmat tampak seperti orang yang sedang memikirkan sesuatu. Ihsan beserta Ibu anak tersebut tertawa kecil melihat tingkah pongah Rahmat.
“Iya juga ya...kasihan Allah, udah puasa untuk tidak menghukum kita, kok Rahmat tidak puasa juga ya. Padahal kalau puasa, Rahmat akan mendapat pahala. Mama...Mama..Allah itu baik ya Ma. Rahmat juga harus baik sama Allah,” ujar Rahmat kepada Ibunya. Senyum Ibunya mengembang.
“Iya...Allah baik kepada semua,” tukas Ibunya.
“Kalau begitu, Rahmat tidak jadi buka puasa sekarang. Rahmat mau puasa seharian penuh, biar disayang sama Allah. Kan Rahmat melaksanakan perintahNya,” ujar Rahmat polos. Ia kemudian menghapus air matanya yang tadi masih mengalir di pipinya. Ibunya pun mengucapkan hamdallah. Ihsan senang mendengarnya. Ia merasakan keindahan bulan ramadhan, bulan penuh hikmah. Ia merasakan hikmah tersebut, tepat sebelum keberangkatannya ke kampung halaman.
(Muhammad Qamaruddin)
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?