Kamis, 13 September 2012

WAKTU PUN MENANGIS UNTUK KITA (bag 3)



Rabu, 1 Agustus 2012
            Pukul 16.30 WITA. Hari tampak cerah. Awan menyelimuti angkasa, menjadikan suasana begitu bersahaja. Cuaca begitu bersahabat dengan alam yang seakan terus bertasbih menyebut asmaNya. Secara seksama dapat dirasakan, betapa harmonisasi alam ini sangatlah indah. Sungguh tiada yang dapat menandingi ciptaanNya.

Aku menunggunya di samping kos. Mau tak mau aku sendiri yang harus turun tangan. Ini terkait dengan masalah ‘siapa orang yang akan menjemputnya?’ dalam rencana yang sudah aku buat jauh-jauh hari, aku ingin adikku, Nuriyah, yang akan menjemputnya menggunakan motor. Aku mengetahui, ia tak akan mau boncengan dengan laki-laki, bahkan aku sekalipun. Aku menghargai prinsip yang ia pegang. Yang kuperlukan hanyalah kesabaran untuk menunggu saat itu, saat ketika ikatan suci telah menghalalkan segalanya.
Siang tadi aku sudah menghubungi adikku untuk memastikan apakah dia bisa ikut berbuka puasa atau tidak. Sangat disayangkan, ia kedatangan teman lamanya. Ia mengajak adikku untuk buka puasa bersama. Oleh karena itu, adikku meminta maaf karena tidak bisa ikut. Aku sudah menawarkan, bagaimana kalau kita buka puasa bersama berempat. Tetap saja ia tidak mau. Ternyata teman lamanya itu hanya ingin makan berdua dengan adikku. Walhasil, aku tidak dapat memaksanya. Pertanyaannya adalah, ‘Lalu apakah aku harus menjemputnya sendiri?’
Semua permasalahan ini telah kusampaikan kepadanya, tentang adikku yang tidak bisa ikut buka puasa bersama, tentang adikku yang juga tidak dapat menjemputnya, tentang masalah boncengan, dan lain sebagainya. Sebenarnya masalah ini tidak akan terlalu runyam seandainya ia mau boncengan dengan aku. Bukan aku mencari kesempatan, tapi aku berani berjanji tidak akan berbuat macam-macam. Aku menghormati apa yang ia pegang dan yakini. Sekarang, semua keputusan aku serahkan kepadanya.
“Aku sudah cerita masalah ini dengan Ukhti Rabiatul...,” ujarnya di telepon kala itu.
“Lalu...?” Tanyaku penasaran. Lama sekali ia menjawab. Ia sengaja membiarkanku gelisah. Aku semakin gugup saja. Apakah rencana yang sudah kususun jauh-jauh hari ini akan pudar begitu saja? Menyakitkan sekali.
“Ukhti Rabiatul mengizinkan...Asal Kakak tidak macam-macam”. Mendengar hal itu, raut mukaku berubah cerah. Aku loncat-loncat kesenangan. Aku tertawa tanpa suara. Sesekali kututup mulut, takut suara tertawaku itu keluar dan merusak suasana. Ridha yang dari tadi duduk santai melihat TV hanya dapat geleng-geleng kepala. ‘Gila!’ Ucapnya tanpa suara sambil meletakkan jari telunjuk di depan dahi. Tak lama kemudian aku segera mengendalikan diri.
“Owh...iya...Kakak janji tidak ngapa-ngapain. Keadaan yang memaksa kita begini”, jawabku dengan muka serius. Ridha yang dari tadi menyaksikan kelakuanku, langsung memperagakan gerakan orang mau muntah di depanku. Aku mendorong-dorongnya untuk menjauh.
“Tapi Adek mau, kita ke kos Nuriyah dulu. Mungkin saja dia berubah pikiran dan mau ikut kita buka puasa,” lanjutnya. Aku mengiyakannya. Itulah percakapanku dengannya sebelum ashar tadi.
Waktu telah menunjukkan pukul 16.45 WITA, artinya aku sudah menunggunya 15 menit lamanya. Ia belum juga keluar. Iseng-iseng aku memandangi wajahku sendiri di kaca spion motor. Aku merapikan rambut yang terlihat sedikit acak-acakan.
“Assalamualaikum”. Suara manis itu terdengar di belakangku. Aku langsung memicingkan mataku di kaca spion. Dia datang.
“Wa’alaikumsalam,” balasku. Aku kemudian membalikkan badanku. Ia telah berdiri  di samping motor. Saat kulihat, ia masih menundukkan wajahnya. Ia berpakaian sangat anggun. Ia memakai baju muslimah longgar coklat, ditambah dengan sweater berwarna abu-abu, berpadu dengan rok berwarna hitam. Kerudung abu-abunya tampak serasi dengan sweater yang mempunyai warna yang sama. Ya Allah...sungguh cantik makhluk yang Kau ciptakan ini!
“Kita ke kos Nuriyah dulu, Kak,” ucapnya tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“Owh...iya,” jawabku sedikit tergesa-gesa. Segera saja aku menyalakan motor. aku memberikan isyarat kepadanya untuk naik. Ia sedikit ragu. Ya Tuhan...apakah salah aku melakukan hal ini?
Ia mematung cukup lama. Hanya sekedar memegang jok motor. aku yakin, ia benar-benar ragu melakukannya. Aku sadar, ini adalah pertama kali ia melakukannya. Boncengan dengan seorang laki-laki! Tapi mau apa lagi.
“Dik? Jadi ga?” panggilku. Ia agak linglung.
“Eh....iya Kak. Sebentar, Adek hanya belum terbiasa...,” jawabnya malu. Perlahan-lahan ia pun menaiki motor. kini kami boncengan. Ia menjaga jarak duduk agar tak bersentuhan denganku. Aku jadi sedikit gugup. Sedikit demi sedikit kutarik gas motor. kami pun meninggalkan tempat itu.
Dalam perjalanan, tak ada percakapan yang berarti. Kami lebih banyak diam. Sepertinya kecanggungan pada hari kemarin kembali menghampiri kami lagi. Ini pasti karena suasana dan keadaan yang serba salah. Semoga ini tidak akan lama. Suasana seperti ini tentu akan terasa sangat indah apabila sudah berada dalam ikatan yang jelas. Kami menyadari hal itu.
Pukul 17.15 WITA, kami tiba di kos adikku, Nuriyah. Ia menyambut ramah sekali. Nuriyah bahkan lebih dari setahun tidak bertemu dengannya. kami berbincang-bincang sebentar di depan kos. Tak lama kemudian, Nuriyah mengajaknya masuk ke dalam. Karena ini adalah kos wanita, aku tidak diperbolehkan masuk ke dalam. Aku hanya menunggu mereka di luar. Aku memberikan kesempatan kepada mereka untuk bersua setelah lama tidak bertemu. Aku juga berharap semoga ia dapat membujuk adikku ikut buka puasa bersama.
20 menit berlalu, mereka keluar dari kos. Sambil berjalan, tampak mereka masih saja berbincang-bincang. Adikku memang sudah cocok sekali dengannya. sehingga tidak ada lagi kecanggungan di antara mereka. Bahkan ketika mereka sudah sampai di depanku, mereka masih saja saling berbicara. Beginilah kalau wanita bertemu, tiada berhenti berhenti berbicara satu sama lain. Aku mengakuinya.
“Sudah?” ujarku kepada mereka setelah mereka tertawa bersama-sama dan diam untuk sekian lama. Mereka tersenyum kepadaku.
“Senang bisa ketemu kamu, Nuriyah...” Ia memandangi adikku. “Sayang, ia tidak bisa ikut kita buka puasa. temannya sudah memesan tempat untuk dua orang.” Ia mengalihkan pandangan kepadaku.
“Bagaimana kalau kita buka puasa di sana? Di tempat yang sama?” Tawarku kepada mereka.
“Tadi aku juga maunya begitu juga, tapi sepertinya tidak ada lagi tempat yang tersedia. Sudah penuh semua. Mau tak mau kita harus mencari tempat yang lain,” tambahnya lagi. Adikku kemudian mengucapkan maaf kepada kami. Terlepas dari itu semua, adikku menyemangati kami. Jangan sampai buka puasa ini batal hanya gara-gara ia tidak ikut menyertai kami. Bahkan seandainya kami masih merasa risih dengan masalah boncengan, ia mau menawarkan motornya kepada kami, jadi kami dapat membawa motor satu satu. Nyatanya, aku menyadari kalau ia belum terlalu berani membawa motor di Banjarmasin. Terlalu berbahaya untuk seukuran dia yang belum terlalu bisa membawa motor. walhasil, mau tak mau aku harus memboncengnya kembali. Entah kenapa aku merasa tidak enak dengannya. Namun aku tidak mau terus begini. Aku harus mulai mencairkan suasana.
“Tak masalah. Kita buka puasa dekat-dekat sini aja,” aku menerangkan. Tiba-tiba Nuriyah menjentikkan tangannya. ia sepertinya mendapatkan suatu ide.
“Aha....! Kak, gimana kalau kalian ke Pasar Wadai Banjarmasin dulu. Dekat kok dari sini. Sekalian jalan-jalan dulu dan menunggu waktu berbuka,” ia memberikan usul bagus kepada kami. Aku melihat jam tangan. Waktu berbuka memang masih lama. Jalan-jalan Pasar Wadai adalah pilihan yang tepat sambil menunggu waktu berbuka.
Kami pun pergi ke Pasar Wadai Banjarmasin. Tidak terlalu jauh dari kos adikku. Tempat ini terletak di jalan yang bersampingan dengan Sungai Banjar. Aliran sungai itu sungguh sangat menenangkan jiwa. Kami singgah di tepi sungai Banjar. Orang di sini menyebut tempat ini ‘Siring’. Tepat di seberang jalan samping sungai, terdapat mesjid Jami’ Sabilal Muhtadin. Inilah mesjid kebanggaan orang Banjar. Adikku memang pintar dalam memberikan usulan di sore yang indah itu.
“Indah ya Kak...,” ucapnya kepadaku seraya memandangi sungai. Kadang sungai itu beriak tatkala ada perahu yang lewat.
“Iya...sangat indah...,” jawabku tanpa memandanginya. Aku masih saja terlena oleh keindahan sungai ini. Suasana sore ini begitu syahdu. Apalagi aku bersamanya.
Tak lama kemudian kami berjalan menuju pasar Wadai yang tidak jauh dari tempat itu. Kami menyusuri tempat itu. Orang berdesakan sana-sini, seakan tidak ada lagi tempat untuk berpijak. Kami mengamati jualan yang ada di situ. Bermacam-macam wadai khas Banjar di jual di sana. Ada jenis wadai-wadai basah, ada pula jenis wadai-wadai kering, aneka jus dan buah-buahan, beragam gorengan, dan masih banyak lagi. Ada pula orang yang berjualan bermacam-macam ikan yang sudah dimasak. Benar-benar menggoda. Air liurku hampir saja menetes dibuatnya.
Sambil berjalan, kami kembali berbincang-bincang. Kami mengomentari pasar wadai yang ada di sana. Beragam pendapat kami kemukakan. Tentunya dengan perspektif kami masing-masing. Sunggguh suasana itu sangatlah membahagiakanku. Aku tak yakin, apakah aku akan dapat mengalami momen yang sama seperti ini di lain waktu.
Sekembalinya dari sana, kami membeli beberapa wadai yang enak. Tak lupa juga kami membeli jus. Hari sudah mulai senja. Paling tidak jalanan tidak seramai tadi. Waktu berbuka semakin dekat. Kami berjalan menuju ‘Siring’.
“Kita buka puasa di sini aja, Kak,” ia menunjuk bangku yang ada di sana. “Itu juga ada beberapa orang yang buka di sini,” sambungnya lagi. Aku memperhatikan sekeliling. Ternyata banyak orang yang juga buka puasa di sini. “Nanti setelah buka puasa di sini, kita shalat di mesjid Sabilal Muhtadin. Habis shalat baru kita cari warung makan.” Aku menganggukkan kepalaku pertanda setuju dengannya.
Tak lama kemudian, peluit tanda berbuka puasa berbunyi diiringi dengan suara adzan. Suara itu terdengar keras sekali dikarenakan dekatnya tempat kami dengan mesjid. Perlahan-lahan kami menyantap ‘Ta’jil’ yang ada di depan kami. Ia tertawa kecil melihat kelakuanku yang agak ‘rakus’ menghabiskan makanan. Terus terang kulakukan hal itu untuk melenyapkan kecanggungan di antara kami. Akhirnya kami tertawa bersama.
Kami benar-benar menikmati sore yang indah itu. Buka puasa yang penuh kenangan. Tak akan pernah terlupakan dan tak akan pernah kulupakan. Momen ini akan selalu kuingat seiring dengan bergulirnya waktu. Sungai Banjar seakan menjadi saksi kegembiraan kami. Angin membelai lembut kota Banjarmasin. ‘Siring’ bukan hanya sekedar ‘siring’, tapi ia telah berubah menjadi tempat terindah bagiku. Wanita yang ada di depanku ini memang mempunyai sejuta pesona. Pesona yang tidak akan pernah dapat terukirkan dengan kata-kata. Keindahan mata tidaklah seberapa, keindahan sikaplah yang menjadikannya permata. Hanya Tuhan yang tahu, betapa bahagianya aku hari ini. semoga hari indah ini menjadi awal dengan akhir yang indah. Amin.

 * * *

            Sujud terakhirku berlangsung lama. Banyak hal yang ingin kuceritakan kepada Allah. Tentang perasaan ini, tentang jiwa ini, tentang hati ini, tentang semua yang sudah kualami hari ini, tentang semuanya. Tak terasa air mata ini jatuh ke lantai. Mungkin inilah yang dinamakan orang-orang ‘air mata bahagia’. Ya...begitulah kiranya. Kebahagiaanku hari ini tiada terlukiskan. Allah memberikan kesempatan kepadaku untuk menikmati hari ini dalam batas yang wajar. Terima kasih Allah!
            Selesai shalat, aku menunggunya di samping mesjid. Aku mengamati lalu lalang. Beberapa dari mereka adalah para wisatawan domestik. Mesjid Sabilal Muhtadin seharusnya memang dimasukkan ke dalam daftar kunjungan apabila bepergian ke Banjarmasin. rasanya tidak lengkap apabila ke Banjarmasin belum mengunjungi Mesjid ini, mesjid kebanggaan orang Banjar.
            Ia berjalan menghampiriku. Sesaat kemudian kami berjalan menuju parkiran motor. sambil menaiki motor, kami mencari tempat yang tepat untuk buka puasa. akhirnya kami menemukan tempat yang sepertinya menarik dan makanannya enak. Warung khas Masakan Banjar.
            Di sana kami memesan nasi dengan ‘Paisan Patin’. Tidak lupa dengan sayur-mayurnya. Harganya pun masih terjangkau untuk kantongku. Aku rasa aku dapat membayar semuanya.
            “Dek, hari ini aku senang sekali,” ujarku sambil makan. Ia menghentikan makannya dan tersenyum kepadaku.
            “Kenapa?” Tanyanya. Aku rasa ia hanya sedikit berbasa-basi.
            “Karena bisa jalan-jalan dengan Adik, juga dapat buka puasa bersama,” jawabku sedikit serius. Ia diam sejenak.
            “Aku juga, Kak,” ucapnya tenang. Kemudian ia meneruskan makannya. Suasanan pun kembali hening. Sesekali kami berpandangan kemudian kami saling senyum. Ah...suasana ini sangat berbeda dengan buka puasa hari kemarin. Hari ini lebih berkesan, terutama bagiku.
            Terlintas di pikiranku untuk menyuapkan sesuatu di mulutnya. Apa saja. Apakah itu secuil ikan atau apalah. Tapi itu hanya ada di pikiranku. Nyatanya sampai selesai makan, aku tidak pernah melakukannya. Aku takut. Biarlah ini menjadi impianku ketika kelak ia menjadi pasangan halalku.
            Selesai makan, kami bersantai terlebih dahulu, sekedar untuk menurunkan ‘makanan’ yang sudah kami makan. Kami kembali berbincang-bincang tentang banyak hal, terutama tentang kejadian yang telah kami alami hari ini. tentang jalan-jalan pagi tadi, daftar ulang tadi, tentang pertemuanku dengan Esti, tentang kampusnya yang lama kutinggalkan, tentang masalah boncengan, tentang semuanya. Tidak bosan-bosannya aku mendengar ocehannya.
            Pukul 19.15 WITA. Tak lama lagi shalat Isa akan segera tiba. Kami harus bersegera beranjak dari sini. Kalau tidak, kami akan terlambat shalat isa sekaligus tarawih. Dalam waktu 30 menit, aku sudah sampai di depan kosnya. Sayang sekali, adzan sudah berkumandang 10 menit sebelumnya. Artinya mau tak mau aku tidak bisa shalat di mesjid. Aku hanya akan shalat di kos Ridha. Ia pun demikian. Hanya akan shalat di kosnya sendiri. Sekali aku meminta maaf kepadanya karena keterlambatan ini. ia menjawab tidak apa-apa. Kami pun berpisah. Ia mengucapkan terima kasih kepadaku. Karena tidak banyak waktu, aku pun tidak berlama-lama di sana. Kami masih bisa SMS-an setelah shalat tarawih.
            Sesampainya di kos Ridha, aku tidak dapat langsung masuk ke dalam. Ridha sudah berangkat ke mesjid. Aku bisa saja menyusulnya ke mesjid dan ikut shalat. Tapi dengan keadaan yang kotor ini, aku rasa aku memang harus mandi terlebih dahulu. Akhirnya aku menunggu Ridha di depan kosnya. Tak berapa lama kemudian ia datang. Aku tahu ia tak akan lama-lama di mesjid. Walaupun pada dasarnya ia adalah penganut ‘shalat tarawih 20’, aku tahu ia tak akan melakukannya. Aku sangat mengenalnya, ia lebih suka mengerjakan ‘shalat tarawih 8’. Entah karena sependapat dengan hal itu, atau karena ia malas, aku juga kurang mengerti. Yang jelas aku tidak terlalu lama menunggunya. Ia tertawa melihatku yang gelisah di depan kos.
            “Habis Jalan-jalan kok gelisah?Hahaha.”  Ia mentertawakanku.
            “Bukannya begitu, Ridha...,” jawabku sekenanya. Ia memandangiku sambil membuka kunci pintu.
            “Cerita lah...tadi ngapain aja.ehem-ehem.hahahaha...,” ia menggodaku.
            “Nanti aja ceritanya. Aku kebelet pipis,” ucapku seraya berlari ke kamar mandi. Mendengar hal itu, ia semakin tertawa terbahak-bahak. Ia baru paham, kenapa aku begitu gelisah di depan kos.

* * *

            Selesai shalat tarawih, aku duduk santai di depan kos. Ridha menikmati acara suguhan dari TV kecilnya. Ia tahu, seandainya aku mau cerita, maka aku pasti akan cerita. Ia membiarkanku dalam kesendirianku. Karena memang itulah yang kuperlukan saat ini.
            Aku memandangi langit malam. Bintang-bintang bertaburan sembarang. Tatkala dilihat dengan seksama, ternyata taburan bintang-bintang itu dapat melukiskan beragam bentuk yang sangat menarik. Kadang seperti bentuk benda yang ada di sekitarku, kadang seperti hewan yang sering kulihat, kadang seperti wajah-wajah orang yang kukenal, masih banyak lagi bentuk yang dibuat oleh taburan bintang-bintang ini. aku melihat ke sudut jauh langit. Aku seakan melihat wajah cantiknya. Ia tersenyum mesra kepadaku. Lama kelamaan langit seperti berputar di kepalaku. Akhirnya seluruh alam berubah menjadi lukisan wajahnya. di mana-mana, tak ada ruang langit lagi yang tersisa. Aku tersenyum sendiri. Alam melukiskan wujud kerinduanku kepadanya.
            Sebelum berpisah dengannya, aku sempat bertanya kepadanya apakah ini adalah pertemuan terakhir, atau aku masih bisa bertemunya besok hari sebelum ia pulang.
            “Kakak pulang saja. Shalat dulu. Nanti setelah shalat tarawih, kita masih bisa SMS-an,” jawabnya kepadaku.
            Saat ini aku memang sedang menunggu SMS dari dia. Aku yakin ia sedang mengemasi barangnya. Aku gundah. Nyatanya besok ia akan pulang. aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya doa yang dapat aku berikan.
            ‘K2 bsk k kos. Ad yg mau adk bri’. Aku mendapat SMS itu setelah sekian lama dalam perenungan alam. Aku bertanya apa yang ingin dia berikan. Tak ada jawaban. Sepertinya ia sudah tertidur. Hari yang sangat panjang. Seharian ini ia beraktifitas, wajar kalau ia sangat kelelahan. Aku hanya mengucapkan selamat malam untuknya.
            Aku biarkan ia tidur dengan tenang. Aku tak ingin mengganggunya. Besok aku masih dapat bertemu dengannya, sebelum ia pulang. meskipun itu hanya waktu yang sebentar, paling tidak aku masih bisa mengucapkan ucapan selamat jalan. Hingga detik ini, aku merasa waktu begitu cepat berlalu. Aku ingin sekali kembali ke masa yang dulu, ke masa ketika aku tiba di Banjarmasin. masa ketika aku bertemu dia untuk sekian lama tidak melihatnya. Semua angan itu hanya sekedar menghibur hatiku. 

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?