Minggu, 09 September 2012

WAKTU PUN MENANGIS UNTUK KITA (bag 2)

Rabu, 1 Agustus 2012
    Pukul 05.15 WITA. Gelap masih menyelimuti, namun tidak lama lagi akan berganti fajar yang indah. Sayang, sulit menemukan momen sunrise di Kota Banjarmasin yang terlalu padat dengan rumah. Terlepas dari hal itu, aku merasa sunrise tidak hanya terlihat, tapi juga dapat dirasakan. Ya...aku kadang merasakannya di dalam diriku sendiri. Bukan sunrise yang biasa. Bukan pula sunrise yang hanya muncul di pagi hari. Aku kira semua orang mempunyai sunrise-nya masing-masing. Ia adalah ketika kita membuka mata dari tidur, menghirup udaranya secara sadar, dan mulai menjalani kehidupan dengan penuh semangat. Itulah sunrise yang kumaksud.

    “Mau kemana?” Aku sedang menyisir rambutku ketika Ridha menanyaiku.
    “Tadi janjian sama dia. Pagi ini kita mau jalan-jalan lihat kota Banjarmasin,” jawabku tanpa menoleh kepadanya. Mataku masih menatap cermin yang ada di depanku.
    “Pakai motor?” tanyanya lagi. Aku menoleh kepadanya. ‘Kamu mau bertanya, mau boncengan? Gitu?’ Batinku berujar. Belum sempat aku menjawab, ia langsung melanjutkan percakapannya. “Pakai saja motornya. Aku paham kok. Hari ini aku pinjemin motorku 24 jam full. Selesaikan urusanmu dulu dengannya. Hahahaha....bagaimana? aku teman yang baik kan? Mungkin aku adalah orang yang paling baik setelah orang tuamu”, ujarnya sambil bercanda. Kami pun tertawa bersama.
    “Makasih Ridha. Rencananya aku memang mau pinjam motormu seharian penuh. Itupun kalau kamu tidak memakainya. Alhamdulillah, tanpa aku memberitahunya, ternyata kamu sudah memberikan izin. Sekali lagi terima kasih ya. Kamu memang teman yang baik,” ucapku kepadanya.
“Dan paling cakep...hahahaha...” Sekali lagi aku ikut tertawa mendengar pernyataannya tersebut.
“Tapi pagi ini kami tidak pakai motor kok. Kami jalan aja,” ujarku. Mulut Ridha membentuk huruf ‘O’, pertanda ia paham dengan apa yang kumaksud.
Aku sudah selesai menyisir rambut. Sebelum beranjak, sekali lagi aku menatap diriku yang ada di cermin. Seakan-akan ia berbicara padaku, ‘Hari ini kamu akan bertemu dia lagi!’
* * *
    Pukul 05.35 WITA. Kami berjalan beriringan. Motor pinjaman kutinggalkan di samping Mesjid kampus dan akan kuambil lagi sekembali dari jalan-jalan. Ketika bertemu, ia tampak ceria sekali. Kegembiraan tergambar jelas di wajahnya. Tak lupa senyuman yang selalu diberikannya itu, sungguh mempesona. Kala itu ia memakai baju putih dipadukan dengan jaket tipis longgar khas wanita berwarna hitam. Sangat serasi dengan roknya yang juga berwarna hitam. Kerudung abu-abunya menambah kesan anggun yang ia miliki. Ya Tuhan, betapa cantiknya makhluk yang Engkau ciptakan ini!
    Tak berapa lama kemudian, kami sampai di jalan utama kota Banjarmasin. Kami menyisiri jalan tersebut. Entah karena hari ini bukan hari libur, atau karena masih bulan puasa, di pinggir jalan kami hanya melihat beberapa orang yang hilir mudik. Lalu lalang kendaraan pun masih sepi. Oleh karena itulah, udara juga masih terasa segar, walau tidak sesegar ketika berada di daerah pegunungan. Aku menyadari, ini adalah pusat kota yang apabila sang fajar telah berdiri tegak, maka seluruh tempat ini akan penuh dengan kesibukan manusia. Aku rasa panorama ini sudah lebih baik daripada tidak sama sekali.
Semakin lama, semakin banyak orang yang berjalan. Baik mereka yang ingin menyelesaikan suatu urusan, atau hanya sekedar menikmati pagi yang indah, layaknya kami. Sama seperti hari kemarin, dari awal berangkat tadi, kami sudah memperbincangkan banyak hal. Aku merasa momen ini memang harus dinikmati betul-betul.
    “Kapan Kakak balik lagi ke Yogyakarta”, tanyanya di suatu kesempatan. Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Entah kenapa hatiku merasa sedikit ragu untuk menjawabnya. Sebelumnya, aku berharap tidak ada pertanyaan seperti itu, karena memang hanya membuat suasana menjadi sedikit mendung.
    “Kakak masih satu bulan berada di Kalimantan. InsyaAllah. Adek pasti pulang besok ya?” Aku bertanya balik. Suasana menjadi hening. Raut mukanya berubah menjadi sedih. Ia memandang langit yang sudah mulai terang, kemudian menghembuskan nafas panjang.
    “Iya Kak. Besok subuh, waktu yang sama ketika Kakak menjemput tadi”, jawabnya dengan suara datar. Tiba-tiba dadaku serasa sangat sesak. Ucapan itu menegaskan bahwa memang pertemuan kami hanyalah sebentar, tidak lebih dari 2 x 24 jam. Kami berdua menyadari, walaupun aku masih berada di Banjar selama satu bulan sekalipun, dapat dipastikan kami hanya akan bisa bertemu satu tahun mendatang. Jaraklah yang menjawab itu semua. Ketika ia sudah pulang ke Samuda, Kalimantan Tengah, maka tak ada alasan lagi untuk datang ke Banjarmasin kecuali kuliahnya sudah dimulai. Sedangkan aku sudah pulang ke Yogyakarta sebelum waktu itu. “Kalau ada umur panjang, tahun depan bila Kakak pulang lagi, kita pasti ketemu kok”. Ia melanjutkan pembicaraannya. Ia sepertinya ingin menghiburku. Ia tahu kalau aku sangat sedih mendengar jawabannya tadi. Ia memberikan senyuman manis kepadaku. Aku membalas senyuman itu meskipun sedikit hambar.
    “Amin...semoga umur kita panjang, Dek,” ucapku kepadanya.
    Tak berapa lama kami sampai di depan gerbang terminal kota Banjarmasin. Orang-orang di sini biasa menyebutnya ‘Terminal pal 6’ . Kami beristirahat sejenak di depan pagar salah satu rumah di dekat sana. Selalu banyak bahan perbincangan yang muncul di antara kami, bahkan hal yang sepele pun kami bahas. Kadang-kadang kami berdebat suatu masalah dengan perspektif masing-masing yang kami miliki. Aku jadi teringat awal ketika aku mengenal dia, ketika aku masih berada di IAIN Antasari.
Di kampus IAIN Antasari terdapat salah satu program institut yang menjadi kewajiban seluruh mahasiswa untuk mengikutinya, yaitu kelas bahasa. Pihak institut memberikan kelas intensif kepada mahasiswanya, yaitu bahasa arab dan bahasa inggris. Mereka kemudian membagi kelas sesuai dengan tes yang diadakan sebelum diterima di kampus. Dari sanalah aku banyak mengenal mahasiswa lain yang berbeda fakultas, termasuk dirinya.
    Di kelas itu aku sering kali berdebat dengannya. beragam macam hal kami debatkan, mulai dari hal yang sepele, sampai masalah-masalah yang berat. Di mulai dari perdebatan itulah, kami semakin dekat. Entah bagaimana aku memulai kedekatan ini. Yang pastinya, aku tidak pernah berkata kepadanya ‘maukah kamu menjadi pacarku’ atau ‘aku suka padamu’, atau lebih tragis lagi ‘I love you’. Tidak sama sekali. Aku hanya merasa semakin dan semakin dekat tanpa ada permulaan yang jelas.
Jangan pernah membayangkan, hubungan kami saat itu seperti hubungan orang-orang yang ada di luar. Jauh dari itu. Tidak ada jalan-jalan, tidak ada boncengan, tidak ada pegangan tangan, tidak ada makan bareng, bahkan kawan-kawanku berpendapat bahwa hubungan kami ini tidak ada romantisnya sama sekal! Aku hanya tertawa kecil mendengarnya. Aku jadi bertanya, apakah memang hubungan seperti ini harus disuguhi dengan kalimat-kalimat romantis? Nyatanya, aku lebih senang mengajak dia berdebat atau bertukar pendapat. Aku menikmati hubungan ini. Hubungan yang kata orang-orang sedikit aneh.
Kadang aku hanya bisa mengandalkan alat komunikasi untuk mengetahui keadaannya. Hal itu benar-benar tidak menjadi masalah bagi kami. Buktinya, jika dihitung-hitung, sudah hampir dua tahun lebih aku dekat dengannya. Semakin lama, masing-masing keluarga juga mengetahuinya dan menyambut hubungan ini tanpa ada beban sama sekali. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu yang tepat. Mudah-mudahan ini akan berlanjut seperti yang kami harapkan. Semoga hubungan dengan jarak yang sangat jauh ini tidak menjadi masalah bagi kami.
“Kak, Ukhti Rabiatul sudah dekat Banjarmasin”. Ucapnya tiba-tiba, membuyarkan lamunan panjangku.
“Kira-kira berapa jam lagi?” Tanyaku kepadanya. Hari sebelumnya, ia sudah memberitahuku bahwa ukhti-nya akan datang besok hari, yaitu tepatnya hari ini. kala itu aku menawarkan diri untuk menjemput ukhti-nya kalau sudah sampai di terminal kota.
“Mungkin sekitar setengah jam-an lebih sedikit, Kak”, jawabnya. Aku melirik jam yang ada di tanganku, pukul 06.45 WITA. tak terasa satu jam lebih kami bersama, jalan sama-sama dan memperbincangkan banyak hal.
“Kalau begitu, Kita pulang sekarang aja. Sekalian aku ambil motor di depan mesjid tadi. Nanti aku yang jemput dia”. Aku menimpalinya. Perlahan-lahan kami pun beranjak pergi. Kami menyusuri jalan yang sama, jalan yang kami lalui ketika kami berangkat tadi. Senang rasanya aku dapat berada di sampingnya seperti ini. senang rasanya dapat melihat dia tersenyum. Senang rasanya dapat melihat keceriaannya. Hilang sudah rasa canggung yang muncul ketika kami bertemu pertama kali. Yang ada hanyalah gelak canda tawa. Ya Allah, lindungilah dia selalu dari marabahaya.
Pukul 07.20 WITA, kami sudah sampai di tempat semula, di samping mesjid kampus. Ia mengambil HP yang ada di sakunya. Ia baru saja mendapatkan SMS. Aku rasa itu dari Ukhti-nya.
“Kak, sepertinya Ukht Rabiatul sudah sampai di Terminal Kota,” ujarnya kepadaku.
“Ya udah. Aku jemput dia dulu. Nanti jam berapa Adek ke kampus?” Tanyaku ketika berada di atas motor. Aku tahu kalau hari ini dia mau mengurus pendaftaran ulang di kampus. Aku berniat untuk menemaninya.
“Iya Kak. InsyaAllah berangkat dari kos jam delapan,” jawabnya.
“Nanti Kakak juga ke kampus, sekalian mau ketemu kawan-kawan. Sudah lama tidak menyapa mereka.”
Tak berapa lama kemudian aku beranjak pergi untuk menjemput Ukthi-nya. Jalan yang aku lalui sama dengan jalan yang kami lalui ketika jalan-jalan tadi. Seakan waktu kembali terulang, aku melihat diriku sendiri sedang berjalan bersamanya. Aku melihat diriku yang begitu gembira. Aku melihat diriku yang begitu senang. Sulit untuk menjelaskan betapa bahagianya diriku saat itu.
Samar-samar bayangan itu pun hilang. Aku kembali ke alam nyata. Kutarik gas motor semakin cepat. Aku ingin cepat-cepat menjemput Ukth-nya. Aku ingin cepat-cepat melakukan hal itu. Aku tidak ingin waktuku terbuang untuk hal lain. Aku ingin kembali ke kampus untuk bertemu dia lagi, karena aku hanya mempunyai sedikit waktu...
* * *
    Pukul 08.30 WITA, aku baru selesai mandi. Sebelumnya, terlebih dahulu aku berbincang-bincang dengan Ridha. Ia menanyakan banyak hal kepadaku. Bagaimana tadi jalan-jalannya? Tadi jalan kemana aja? Apa aja yang dilakukan? Tadi singgah di mana? Ketemu siapa aja? Dia senang jalan-jalan sama kamu? Beribu pertanyaan ia ajukan kepadaku. Sepertinya ia ingin sekali mengetahui perkembangannya. Aku menjawab seadanya. Pada intinya, semuanya berjalan lancar dan sesuai dengan harapan. Terlepas dari itu semua, aku agak aneh dengan pertanyaaannya yang terakhir.
    “Bagaimana keadaan kota Banjarmasin di pagi hari?” Tanyanya penuh penasaran. Aku sedikit melongo mendengar pertanyaan itu.
    “Baik-baik aja,” jawabku singkat. Mendengar jawaban itu, ia hanya meangguk-anggukkan kepalanya. Aku sedikit curiga. Jangan-jangan temanku ini tidak pernah sekalipun jalan-jalan di kota Banjarmasin pada pagi hari, sehingga ia mempertanyakan hal itu? Hahahaha....entahlah. Yang pastinya aku senang dengan perhatiannya itu. dengan atau tanpa ia sadari, ia telah memberiku semangat. Setelah mengenakan pakaian dan merapikan diri, aku mengambil HP yang tergeletak di meja.
    ‘sprtix bkal lm,Ka. Antrianx lmyn pnjg. Hufh’ . SMS dari dia. Langsung saja aku balas SMS tersebut.
    ‘Sbr...nnti jg dpt gilirnx. K2 mau ksna. Adk dmnx kmps?’ . Aku tidak terlalu lama menunggu balasan SMS.
    ‘dpn kopma ka, bnyk org ko dsni’ . Setelah mendapatkan SMS itu, aku bersegera untuk pergi ke kampus. Tidak lupa aku meminta izin kembali kepada Ridha untuk memakai motornya. Belum aku minta izin, ia sudah tidur dengan pulasnya. Aku hanya dapat tersenyum melihat tingkah lakunya itu. Kehidupan Ridha adalah kehidupan mahasiswa yang sangat jujur. Bahkan terlalu jujur. Tanpa ada rasa malu akan kedatangan kawan lama, tetap saja ia melakoni kebiasaannya, tidur di pagi hari setelah shalat subuh.
Tidur pagi di bulan puasa memang selalu menawarkan kenikmatan bagi semua orang. Mahasiswa? Jangan ditanya lagi. Seandainya mereka tidak mempunyai kelas di bulan puasa, aku yakin hanya sebagian kecil yang masih mempelototkan matanya. Sebagian yang lain...tidur dengan pulasnnya. Aku pun tidak mengingkari diriku sendiri. Aku juga sering kali ketiduran di pagi hari, apalagi di bulan puasa. Tapi itu bukanlah kebiasaanku. Meskipun ngantuk telah melanda, biasanya aku lebih suka untuk menahannya. Aku akan tidur dua atau satu jam sebelum shalat zhuhur.
* * *
    Pukul 10.00 WITA, aku duduk di pelataran Gedung PSB. Tempat pertama kami saling berbincang. Di sinilah kemarin aku banyak mendengar dia berceloteh, menceritakan apa yang telah terjadi padanya selama satu tahun. Sebaliknya, aku pun banyak bercerita tentang diriku sendiri. Kusampaikan padanya seperti apa kota Yogyakarta. Meskipun seringkali aku menceritakannya, namun selalu ada cerita baru tentang kota Yogyakarta, kota yang kaya akan budaya.
    Aku duduk bersila sambil mengetik di notebook kecilku. Satu jam yang lalu, aku sudah sampai di kampus. Aku mendatangi tempat yang ia beritahu sebelumnya, Koperasi Mahasiswa. Seperti yang ia katakan, tempat itu sesak dengan para mahasiswa yang ingin menyelesaikan urusannya terkait masalah pendaftaran ulang. Sekilas aku melihat dirinya yang juga ikut antri. Ia tampak begitu ceria bersama teman-temannya. Mereka berbicara satu sama lain seraya menungu waktu antrian. Mereka bercanda bersama. Kadang mereka terlihat tertawa kecil. Entah apa yang mereka tertawakan, namun aku sangat senang melihat ia seperti itu bersama teman-temannya.
Ketika ia sadar aku sudah berada di kampus, ia melambaikan tangannya kepadaku seraya memberikan senyuman manisnya itu. ah...senyuman itu lagi! Tak henti-hentinya aku mengagumi senyuman itu. Aku membalas lambaian tangannya. beberapa temannya  yang menyadari kehadiranku kemudian mulai menggodanya. mereka menyenggol-nyenggol badannya sambil meneriakkan kata ‘ci ee...ci ee...!’ Ia hanya tertawa sambil menutup mulutnya. Teman-temannya kemudian ikut tertawa bersama.
‘K2 tggu di gdg yg kmrin aj. Kliatnx msh lm. G p2 kn?’ Aku mendapatkan SMS itu setelah hampir 15 menit aku hanya duduk di atas motor sambil menunggunya. Setelah itu, aku langsung memandanginya dari kejauhan. Ia menunjuk gedung yang kemarin. Aku paham maksudnya. Langsung saja aku menanggukkan kepalaku. Aku kemudian langsung menuju tempat yang dimaksud. Sesampainya aku di sana, aku mengeluarkan notebook kecilku. Sambil menunggu itulah, aku menyelesaikan beberapa tulisan yang belum rampung. Lumayan ada waktu luang.
Pukul 10.15 WITA, aku mulai jenuh berada di sana. Beberapa tulisan pun sudah aku rampungkan. Aku meregangkan badan yang terasa sedikit kaku. aku kembali melihat sekelilingku. Kampus ini dipenuhi para mahasiswa yang sedang mengurus pendaftaran ulang. Sangat sesak. Setelah mematikan notebook, aku kemudian berdiri dari tempat dudukku. Aku kemudian beranjak dari sana. Aku ingin keliling kampus sebentar, sekedar untuk menyegarkan kembali badanku yang terlalu lama duduk.
Pada saat berkeliling, aku bertemu beberapa teman lamaku. Kami saling menyapa dan bertukar kabar masing-masing. peristiwa yang sangat tidak terduga adalah pertemuan aku dengan salah satu wanita yang sangat aku kenal. Ia adalah Esti. Aku sangat mengenalinya karena tunangannya, Rahman, berada dalam satu kampus bersamaku, di Yogyakarta.
“Kapan kamu datang? Kok tidak beritahu?” Tanyanya sedikit marah.
“Lima hari yang lalu. Afwan. Tapi yang pastinya kan, bisa ketemu,” jawabku kepadanya. Kami pun duduk di salah satu bangku yang ada di taman payung.
Esti adalah orang yang senang berceloteh. Kala itu aku benar-benar menjadi pendengar yang baik. Banyak hal yang ia ceritakan, dari hal yang penting, sampai hal-hal yang menurutku sangat tidak penting untuk disampaikan. Begitulah ia apa adanya. Hingga secara tiba-tiba aku menanyakan kabar Rahman.
“Bagaimana kabar Rahman? Kapan dia balik ke Banjar?” ia tidak langsung menjawab. Sejurus kemudian, ia tersenyum kepadaku.
“Alhamdulillah, Kak Rahman baik-baik aja. Mungkin dia baru pulang ke sini kalau sudah dekat lebaran. Katanya masih ada kerjaan di sana,” jelasnya kepadaku. “Oh iya, bagaimana kabar calonmu? Yang mana sih orangnya? Buat penasaran aja....he,” sambungnya sambil menggodaku. Aku tertawa mendengar pernyataan tersebut.
“Calon? Hahaha....masih lama Esti. Kami hanya dekat kok. Tidak seperti kalian yang sudah tunangan. Di tunggu undangannya ya....”, balasku tidak mau kalah. Ia tertawa kecil mendengar hal tersebut.
“Mudah-mudahan tidak ada masalah yang terjadi. Kamu tahu bukan, mempertahankan hubungan jarak jauh itu sangatlah sulit. Banyak masalah yang sempat menghampiri kami. Bahkan beberapa kali kami sudah mau bubar”. Ia memandangi langit seraya menyunggingkan senyuman. “Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar. Selama itulah aku menunggunya. Waktu kadang terasa sangat menyiksa. Bahkan bagi kami. Semoga hubungan kalian akan terus berjalan hingga menuju pelaminan,” tambahnya. Ia memandangiku sambil tersenyum. Walaupun tampak santai, aku merasa ia sangat serius menyampaikannya. Ia ingin aku tidak memainkan hati seorang wanita. Wanita yang telah meletakkan kepercayaan kepadaku. Wanita yang telah dengan hati sungguh-sungguh mau menungguku kedatanganku. Wanita yang telah menerimaku apa adanya. “Tapi aku duluan ya....kamu nyusul..tapi jangan lupa undangannya buatku kalau sudah tiba wakutnya,” selorohnya. Kami pun kembali tertawa bersama.
* * *
    Pukul 11.00 WITA, aku kembali ke gedung tadi. Aku melihatnya duduk di sana, sendiri. Aku pun mendatanginya.
    “Sudah selesai?” Tanyaku ketika tiba di sana.
    “Alhamdulillah, sudah Kak. Lama nunggunya ya?” Ia bertanya balik.
    “Sambil menunggu tadi, aku keliling kampus. Jadi tak ada masalah,” jawabku.
    Ia kemudian menceritakan segala hal yang ia alami ketika proses pendaftaran ulang. Ia mengeluhkan proses yang sangat lambat dan menguras banyak tenaga. Aku mendoakan semoga kampus ini semakin maju ke depannya. Ia mengaminkannya.
    “Dek, jadi hari ini kita buka puasa bersama?” tanyaku saat itu.
    “InsyaAllah. Adek Kakak, Nuriyah, bisa ikut kan?”
    “Kemarin dia bilang bisa. Tapi nanti Kakak pastikan lagi”.
    “Ok...jemput aja jam setengah lima setelah shalat ashar”. Setelah itu ia menengadahkan kepalanya ke tanganku. “Udah jam berapa, Kak?” Aku kemudian melihat jam tanganku.
    “Jam sebelas. Semua urusan sudah selesai kan? Tanyaku balik. Ia menganggukan kepalanya. “Kalau begitu Adek pulang aja dulu ke kos. Istirahat dulu. Kakak juga mau pulang dulu ke kos teman. Ngantuk...he,” ujarku kepadanya.
    “Iya, Kak...,” balasnya sambil tersenyum. “Owh iya, Kak..,” sambungnya lagi. Aku memandangi wajahnya. “Terima kasih karena sudah mau menunggui Adek...” Ketika ia mengucapkan hal itu, dunia serasa berubah menjadi komedi putar. Waktu seakan berhenti sejenak, memberikanku kesempatan untuk menikmati momen itu. ia terus mengembangkan senyumnya. Aku terbuai olehnya. “Kak...?” ia menyadarkanku.
    “Owh...ya..ya...Sama-sama, Dek,” jawabku sedikit tergesa-gesa. Ia tertawa kecil melihat tingkahku.
    Kami pun berpisah. Dari kejauhan ia melambaikan tangannya kepadaku. Aku membalas lambaian tersebut. Aku merasa sangat senang dapat menemaninya hari ini. hilang sudah semua kepenatanku olehnya. Senyumnya itu bagaikan candu bagiku. Dialah yang telah menyihirku, sehingga aku menjadi seperti ini. dialah motivasi nyata bagiku. Dialah orang yang terus memberikan warna indah dalam hidupkku. Tunggulah aku...sehingga waktu itu akan tiba, maka tak ada lagi yang akan menghalangi kita...Tuhan menjadi saksi kita...


(Muhammad Qamaruddin)

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?