Oleh: Muhammad Qamaruddin
Terik panas matahari menusuk kulit
gelapku. Bajuku basah kuyup oleh rembesan air keringat. Bau yang dihasilkan
keringat, seakan menggenapi bau sampah-sampah yang ada di sekitarku. Aku rasa
orang-orang akan mual jika berdekatan denganku. Bahkan mungkin saja mereka
enggan bersenggolan denganku. Aku bertanya pada diriku sendiri, apa benar
pekerjaanku ini begitu menjijikan?
Aku adalah seorang pemulung. Setiap
hari aku berjibaku dengan gunungan sampah. Sepanjang hari aku harus
mengais-ngais rejeki di sana. Dari sanalah aku hidup. Dari sanalah jualah aku bisa
membeli segenggam beras. Sampah-sampah ini telah memberikanku kehidupan
Aku tidak sendiri. Puluhan orang
berprofesi sama denganku. Di sekelilingku masih banyak orang-orang sepertiku.
Bahkan mereka lebih dekil dari aku. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) ini penuh
dengan puluhan pemulung. Mereka mempunyai tujuan yang sama denganku: menyambung
hidup dari sampah! Oleh karena itulah, koran bekas, sampah plastik, botol air
mineral, kardus bekas makanan, sampai besi-besi bekas bagi seorang pemulung adalah
anugerah paling berharga dari Tuhan.
Lupakanlah hal itu. Sampai
berbuih-buih mulut ini, orang-orang itu tak akan mempedulikan perkataanku ini.
Tidak akan pernah! Mereka tidak akan pernah mengacuhkan sosok menjijikan
seorang pemulung. Mereka telah lupa cara mengucapkan terima kasih kepada kami,
‘para pahlawan lingkungan’.
Matahari tepat sudah di ubun-ubun
kepala. Sebagian pemulung telah duduk di beberapa tempat teduh. Mereka
istirahat sejenak. Aku juga harus menyegarkan badanku. Sejak pagi tadi aku tak
berhenti bekerja. Aku menepi. Seraya duduk, aku meregangkan tubuhku yang serasa
sangat pegal. Aku menurunkan wadah sampah di belakang punggungku. Wadah ini
masih dapat menampung banyak sampah untuk kusetorkan menjadi uang.
Aku
menerawang melihat langit yang mulai teduh karena iringan awan. Samar-samar aku
mendengar suara itu. Suara anak kecil.
“Bapak, ayo istirahat dulu,” kata
anak itu. Aku mencari dari mana suara itu berasal. Tampak di depanku seorang
anak sedang menarik-narik baju lelaki dewasa. Aku rasa ia adalah bapak anak
itu. Tapi tunggu dulu, anak itu tidak sendiri. Ia sedang menggendong seorang bayi di punggungnya.
“Iya...Ini Bapak juga mau istirahat,”
jawab Bapak itu. Mereka pun menepi dari gunungan sampah. Aku terus
memperhatikan mereka. Entah kenapa aku begitu tertarik dengan keluarga tersebut.
Perlahan-lahan aku beranjak dari tempat dudukku. Aku mendatangi tempat duduk
mereka. Itulah awalku berkenalan dengan Bapak Ismail beserta dua anaknya,
Furqan dan Hasan.
* *
*
Pak
Ismail telah melakoni pekerjaan pemulung selama puluhan tahun. Pekerjaan ini
seakan-akan telah menyatu dengan kehidupannya. Dari samudra sampah inilah ia
dapat menyambung hidup. Siapa sangka dari tempat ini jualah ia mendapatkan
pujaan hatinya, Bu Siti. Wanita inilah yang memberikannya dua malaikat kecil
yang sangat berharga. Mereka adalah Furqan dan Hasan.
Sayang
seribu sayang, kebahagiaan itu harus terhenti dalam sapuan masa lalu. Pak
Ismail harus merelakan kepergian bidadari dunianya. Bu Siti menghembuskan nafas
terakhirnya setelah berjibaku penuh perjuangan tatkala melahirkan Hasan.
Meskipun kesedihan luar biasa melanda, Pak Ismail mengikhlaskan kehendak Allah.
Kini ia hanya merawat kedua anaknya seorang diri.
Sejak
pertemuan itu, aku semakin dekat dengan keluarga Pak Ismail. Sambil bekerja,
seringkali aku mengajak Pak Ismail berbincang-bincang. Kadang-kadang Furqan
juga datang sambil menggendong adiknya Hasan. Dengan semangat ia turut membantu
Bapaknya bekerja. Keramahan Pak Ismail, membuatku merasa tenang jika berada di dekat
keluarga ini. Pak Ismail begitu menyayangi kedua anaknya. Begitu pula
sebaliknya. Tidak ada orang yang paling disayangi oleh Furqan dan Hasan kecuali
ayah semata wayangnya. Pernah suatu kali Pak Ismail bercerita kepadaku terkait
masalah anaknya.
“Sebenarnya
aku ingin sekali menyekolahkan Furqan. Hanya saja aku tidak mempunyai cukup
uang,” ucapnya suatu hari. Aku menghentikan pekerjaanku kemudian memandangnya
penuh arti. Pak Ismail menyeka keringat di dahinya. “Tapi tahukah kamu, aku telah
menyisihkan sedikit uang untuk Furqan dan Hasan. Kelak jika aku tidak ada lagi
di dunia ini, aku masih bisa memberikan mereka sedikit bekal,” sambungnya
sambil tertawa kecil. Aku tidak mengerti apa maksud Pak Ismail mengatatakan hal
tersebut. Yang kupahami hanya Pak Ismail sangat menyayangi kedua anaknya.
* *
*
Aku memandang sekeliling, namun aku
tidak menemukan mereka. Kadang-kadang aku menyisiri gunungan sampah di tempat
yang lain. Nihil. Aku tak mendapatkan orang yang kumaksud. Aku bertanya-tanya
dalam hati, kemana Pak Ismail beserta kedua anaknya?
Sudah hampir satu minggu aku tidak
melihat mereka. Ingin sekali aku pergi ke rumah mereka. Hanya saja aku tidak
pernah menanyakan di mana mereka tinggal. Aku merasa tidak enak hati untuk
menanyakan hal tersebut. Sebagian pemulung di sini memang tidak mempunyai
rumah. Oleh karena itu, aku takut akan menyinggung perasaan Pak Ismail jika
menanyakan hal itu.
Sekarang aku sedikit menyesal. Seharusnya
aku tidak pernah berpikir demikian. Pak Ismail adalah orang yang baik. Ia pasti
akan memberitahuku di mana ia tinggal. Aku sedikit sedih akan hal ini. Tiba-tiba
saja aku rindu berbincang-bincang dengan Pak Ismail. Aku rindu mendengar suara
rengekan Furqan. Aku juga rindu mendengar suara tangisan si kecil Hasan.
Hari itu aku memunguti sampah
sembari menghampiri beberapa pemulung yang ada di sekitarku. Aku bertanya
kepada mereka. Mungkin saja mereka tahu perihal Pak Ismail beserta kedua
anaknya.
“Pak Ismail? Iya saya kenal, Dek.
Tapi memang saya juga sudah lama tidak melihat beliau,” papar satu pemulung
yang kutemui jelang sore hari. Ada kegembiraan muncul di hatiku karena ada yang
tahu dengan Pak Ismail. Entah berapa pemulung yang sudah kutanyai hari ini.
“Bapak tahu di mana rumah beliau?”
tanyaku kepada beliau.
“Saya tidak tahu persis. Tapi biasanya
mereka datang dari arah sana, daerah pinggiran sungai. Coba kamu sisiri saja sungai
itu. Kali aja kamu menemukan rumah mereka,” aku mengucapkan terima kasih atas
penjelasan tersebut.
Hari sudah semakin gelap. Matahari
hanya dapat mengintip dari pinggiran cakrawala. Warna terang sedikit demi
sedikit meredup. Tak lama lagi, malam akan datang mengusir sang siang. Aku
menghentikan pekerjaanku. Aku mengikuti usulan bapak tadi. Aku harus mencari
Pak Ismail beserta kedua anaknya. Sesegera itu juga aku melangkahkan kakiku ke
arah yang beliau maksud. Pinggiran sungai, ya! Aku akan menyisirinya.
* *
*
Setelah
melihat kedatanganku, Furqan menangis sejadi-jadinya. Ia memelukku erat sekali.
Aku hanya dapat berdiri, diam membisu. Aku merasa sedikit tergoncang dengan apa
yang telah ia katakan.
“Bapak meninggakan kami, Kak! Bapak
sudah tiada!” teriaknya kencang sambil mengusapkan air matanya di bajuku. Aku
bingung harus berkata apa.
Aku
biarkan Furqan terus menangis. Kuusap lembut kepalanya. Mungkin ini bisa
mengurangi kepedihan hatinya. Setelah beberapa menit kemudian, tangisannya
mulai mereda. Aku pun duduk tepat di hadapannya. Matanya merah sekali. Seketika
itu pula aku memeluknya erat. Tak terasa air mataku meleleh di pipiku. Aku
merasa sangat kasihan dengan Furqan dan Hasan. Mereka telah ditinggalkan oleh
sang Bapak untuk selamanya.
“Tenang Furqan. Kakak ada di sini,”
ucapku menghiburnya. Dari kejauhan aku melihat Hasan tidur dengan pulasnya. Ia
tidur di atas bekas kardus makan yang telah dihamparkan sedemikian rupa.
Untungnya tangisan Furqan tadi tidak membangunkannya.
Aku mengajak Furqan duduk di salah
satu sudut rumah. Bukan...bukan, tempat ini lebih mirip gubuk kecil, terbuat
dari triplek yang di susun seadanya. Tidak ada apa-apa di dalam rumah ini. aku
hanya melihat beberapa perabotan kecil yang kurasa juga diambil dari tempat
sampah.
Cecegukan
Furqan masih terdengar samar-samar. Aku kembali menatapnya. Setelah ia sedikit
tenang, aku menanyakan kepadanya apa yang telah terjadi selama hampir satu
minggu ini. Dari pemaparan Furqan, aku mengetahui bahwa Pak Ismail baru saja
dimakamkan dua hari yang lalu.
“Satu minggu yang lalu, Bapak sakit
panas. Selama sakit, Bapak tidak pergi kemana-mana. Sejak saat itu, Furqanlah
yang merawat Bapak. Di sisi lain, Furqan juga harus menjaga Hasan. Namun,
semakin hari keadaan Bapak semakin parah. Pada saat itu Furqan bingung, Kak.
Tidak tahu apa yang harus Furqan lakukan. Pernah suatu kali Furqan ingin
menemui Kakak, tapi dilarang oleh Bapak. Kata Bapak jangan merepotkan orang.
Bapak katakan sebentar lagi Bapak akan sembuh. Hingga di suatu senja, tepatnya
tiga hari yang lalu...,” Furqan kembali menangis. Aku mengusap air matanya. Ia
melanjutkan kembali penjelasannya.
“Bapak tidak bangun-bangun lagi. Beberapa
kali Furqan menguncang-guncang badan Bapak. Bapak tetap saja tidak menghiraukan
panggilan Furqan. Pada saat bersamaan, Hasan juga menangis. Akhirnya Furqan
pergi ke luar sambil menggendong Hasan. Furqan pergi ke TPA. Furqan ingin
mencari Kakak. Tapi malam itu Furqan tidak menemukan Kakak. Furqan hanya
menemukan beberapa orang yang tidak Furqan kenali. Karena tidak tahu lagi harus
berbuat apa, Furqan pun mendatangi salah satu dari mereka. Furqan menceritakan
apa yang telah terjadi. seketika itu pula ia memanggil dua orang yang ada di
sana. Kemudian mereka mengajak Furqan untuk kembali ke rumah.
“Setelah sampai di rumah, mereka
langsung menuju pembaringan Bapak. Setelah lama mengamati Bapak, salah satu
dari mereka mendatangi Furqan. Kemudian ia berkata pada Furqan. ‘Sabar ya Nak,
Bapakmu telah berpulang’, ucapnya kepada Furqan. Terus terang, Furqan tidak
percaya mereka, Kak. Furqan mendatangi Bapak dan kembali mengoncang-goncang
badannya. Tak ada jawaban. Furqan menangis seketika itu pula. Hasan juga ikut
menangis bersama Furqan,” ia menjelaskan panjang lebar. Pedih rasanya mendengar
penjelasan Furqan. Yang sangat aku sesalkan, kenapa aku baru mengetahuinya
sekarang. Kenapa saat Furqan membutuhkanku, malah aku yang tidak ada. Aku
menyalahkan diriku sendiri.
Hasan menggeliat di tempat tidurnya.
Ia mungkin sedikit terusik dengan obrolan kami tadi, apalagi tadi Furqan sempat
menangis nyaring. Furqan berdiri dan menghampirinya. Ia membetulkan baju usang
yang dialihfungsikan menjadi selimut untuk adiknya itu. Aku merasa iba melihat
keadaan itu.
“Di mana Bapak Furqan dimakamkan?”
tanyaku kepada Furqan sedikit ragu. Aku takut ucapanku tadi membuatnya kembali
sedih.
“Di pemakaman umum, Kak. Pada malam
itu, ketiga orang yang datang ke rumah ini bertanya kepada Furqan, apakah Bapak
mempunyai simpanan uang atau sejenisnya. Furqan menjawab tidak tahu. Ketiga
orang itu berdiskusi sebentar. Tak berapa lama kemudian, mereka menghampiri
Furqan dan salah satu dari mereka berkata bahwa akan patungan untuk mengurusi
pemakaman Bapak malam itu juga,” aku terus menyimak apa yang disampaikan oleh
Furqan. Tiba-tiba saja Furqan beranjak dari tempat tidur Hasan. Ia menuju suatu
sudut dan mengambil kotak kecil. Ia kemudian menyerahkan kepadaku.
“Ketika sakit, Bapak pernah berpesan
untuk menyerahkan kotak ini kepada Kakak,” paparnya kepadaku. Aku tampak ragu
mengambil kotak itu. “Sejak kematian Bapak, Furqan simpan kotak itu baik-baik,
sambil menunggu kapan bisa bertemu dengan Kakak. Furqan memang tidak paham
maksud dari Bapak. Mungkin Kakak akan paham setelah membukanya, kenapa Bapak
ingin memberikannya kepada Kakak,” sambungnya lagi. Aku menerimanya. Aku amati
kotak itu. kupandangi lagi Furqan.
“Kakak akan tidur di sini. Besok
pagi, temani Kakak ke makam Bapak,” ujarku singkat kepada Furqan. Ia
menganggukkan kepalanya lemah.
* *
*
Aku teringat kisah masa laluku. Saat
aku harus kehilangan semua yang kumiliki. Saat aku harus hidup sendiri dalam
kejamnya kehidupan. Saat semua seakan pergi meninggalkanku. Aku hidup sebatang
kara. Ketika itu aku masih berumur enam tahun.
Bapak dan Ibu sama-sama berprofesi
sebagai pemulung. Setiap hari mereka pergi untuk mengais rejeki di tumpukan
sampah. Walaupun hanya sebagai pemulung, mereka tetap menyekolahkanku. Mereka
memaksaku untuk sekolah, meskipun aku tidak mau. Aku ingin sekali membantu
mereka bekerja. Akhirnya mau tak mau aku harus mengikuti kemauan mereka.
Hingga pada suatu hari sepulangku
dari sekolah, aku mendapati gubuk kecilku rata dengan tanah. Tidak hanya itu,
gubuk-gubuk yang ada di sekitarnya pun ikut hancur. Apa yang telah terjadi? Aku
berlari kesana kemari. Sama sekali tidak ada orang. Aku mencari orang tuaku. Di
manapun aku mencari, aku tak dapat menemukan mereka. Aku menangis.
Aku terus menunggu orang tuaku di
sana. Saat senja datang, seorang bapak menghampiriku. Ia bertanya kepadaku,
sedang apa aku di sana. Aku menjawab bahwa aku sedang menunggu orang tuaku.
Dengan wajah iba, ia menyuruhku untuk tidak lagi menunggu mereka.
“Setelah menghancurkan semua yang
ada, mereka membawa semua orang yang mereka dapati di sini. Maaf, Dek, bukan
maksud apa-apa, tapi tadi Bapak baru saja mendapat kabar bahwa mobil yang
mereka tumpangi tersebut mengalami kecelakaan. Beberapa orang di antaranya
meninggal. Bukannya Bapak berpikir yang tidak-tidak, tapi bisa jadi...”
“Tidak! Bapak dan Ibu pasti pulang
lagi ke sini. Mereka tidak mungkin meninggalkanku! Bapak jangan berkata seperti
itu!” aku memotong pembicaraannya. Aku tidak terima apa yang telah ia katakan. Mataku
basah oleh genangan air mata. Bapak itu menghembuskan nafas dalam-dalam dan
meninggalkanku sendiri. Aku terus menunggu mereka, hingga suatu hari kelak aku
benar-benar yakin kalau Bapak dan Ibuku telah tiada. Mereka meninggalkanku
sendiri.
Aku dan Furqan mempunyai kisah yang sama. Kita
sama-sama anak yatim piatu. Bahkan mungkin kehidupan Furqan lebih berat dariku,
karena ia harus merawat adik kecilnya.
Kenapa
anak sekecil dia harus mengalami kisah yang sama denganku? Sekali lagi aku
menangisi kehidupan ini.
* *
*
Kotak tersebut berisi sebuah surat
dan beberapa tumpukan uang. Perlahan-lahan kubuka lipatan surat itu. Ada
tulisan singkat di dalamnya. Surat dari Pak Ismail.
“Uang ini aku tinggalkan untuk
Furqan dan Hasan. Pakai uang ini untuk sekolah.”
Singkat, padat, tapi aku paham
maksud dari pesan tersebut. Aku kemudian memeriksa uang itu. sepertinya Pak
Ismail telah mengumpulkan uang itu sejak sekian lama. Ia ingin sekali
menyekolahkan kedua anaknya. Uang ini ia tabung untuk kedua anaknya. Betapa Pak
Ismail sangat menyayangi kedua anaknya. Aku menutup kembali kotak itu.
Sudah beberapa hari ini aku tinggal
bersama Furqan dan Hasan. Setelah bekerja, aku pasti pergi ke gubuk ini. Bukan
karena aku tidak mempunyai tempat tinggal, lalu aku pergi ke tempat ini. Aku
lebih mencemaskan Furqan dan Hasan. Tidak ada orang yang merawat mereka.
Furqan sekarang sudah sedikit lebih
tenang. Ia tidak lagi mengungkit-ungkit masalah kematian Bapaknya. Sebaliknya,
ia sering sekali bertanya kepadaku, apakah ia dibolehkan bekerja sebagai
pemulung seperti Bapaknya. Aku belum bisa menjawabnya. Aku hanya menyuruhnya
tinggal di sana untuk menjaga adiknya. Meskipun ia kadang memaksa untuk ikut
dan membantu, tetap saja aku tidak membolehkannya.
Aku masih merenungi pesan dari Bapak
Ismail. Bukannya aku tidak mau melakukannya. Tapi memang seandainya uang itu
dipakai untuk menyekolahkan Furqan, tetap saja belum mencukupi. Tiba-tiba saja
aku teringat pesan Bapakku. Ia mengatakan bahwa membantu sesama itu adalah
pahala yang sangat besar.
“Sayangilah
orang-orang yang ada di sekitarmu, meskipun ia bukan saudara kandungmu. Ingat,
kita adalah muslim. Tidak peduli siapapun dia, apabila ia membutuhkan
pertolongan, maka berikanlah pertolongan itu,” ujar Bapakku suatu ketika. Satu
pesan yang masih kuingat sampai kini.
Bapak
adalah seorang muslim yang taat. Seingatku, ia tidak pernah sekalipun meninggalkan
kewajiban shalat. Oleh karena itu, meskipun aku bukan orang yang terlalu paham
dengan agama, aku berusaha untuk tidak meninggalkan shalat. begitulah Bapakku
berpesan.
“Shalat
itu wajib bagi seorang muslim. Makanya Furqan, biasakanlah shalat lima waktu
dari sekarang. Kelak suatu hari kamu akan mengetahui hikmahnya,” jelas Bapakku
suatu ketika setelah mengajakku ikut shalat jum’at.
Di lain kesempatan, pernah Bapak
memberikan seluruh uang hasil memulungnya satu hari penuh pada seorang anak
kecil. Aku sedikit bingung melihat apa yang dikerjakannya tersebut. Ia kemudian
berkata kepadaku, “Nak, kamu masih beruntung punya Bapak dan Ibu. Anak itu baru
saja kehilangan Bapaknya. Oleh karena itu, Bapak ingin memberinya sedikit
pertolongan walaupun itu hanya sedikit. Mungkin itu bisa membuatnya tersenyum,”
ucapnya sembari tersenyum kepadaku. Masih banyak lagi kenangan-kenangan yang
aku punya bersama orang tuaku. Walaupun saat itu aku masih kecil, aku masih
dapat mengingatnya sampai sekarang.
Hari telah larut malam. Aku
memandangi Furqan dan Hasan. Mereka telah tidur dengan pulasnya. Kupandangi
wajah polos mereka. Iba rasanya jika mengingat penderitaan yang mereka alami.
Kuusap kedua kepala mereka. kucium kening mereka satu-satu. Entah mengapa rasa
sayang itu timbul di diriku. aku seakan tidak ingin mereka terlalu lama
menderita. Aku ingin mereka mempunyai hidup yang lebih baik dari aku.
* *
*
“Kakak tidak bekerja?” tanya Furqan
pada hari itu. Aku hanya menjawab dengan senyuman. Ia semakin bingung.
“Hari ini Furqan ikut Kakak jalan
ya,” tuturku riang.
“Mau kemana, Kak?” Aku menatapnya
lama dengan wajah teduh. Kemudian aku merangkul bahunya.
“Furqan siap-siap dulu ya. Nanti
Furqan bakalan tahu kita mau kemana,” jawabku singkat. Ia sedikit mengeluh
setelah mendengar jawabanku tersebut. Aku hanya tertawa melihat tingkah
pongahnya yang lucu itu. Aku kemudian mendekatinya dan memberinya plastik yang
dari tadi aku pegang. “Kemarin Kakak ada singgah di penjualan baju bekas. Kakak
ada beli satu. Masih bagus. Pakai baju itu setelah Furqan mandi,” paparku
seraya tersenyum manis. Ia langsung berteriak senang dan bergegas untuk mandi.
Nampaknya ia sudah bisa menerima kepergian Bapaknya.
Tak berapa lama kemudian Furqan
telah rapi dengan pakaian yang aku beri. Aku menunggunya di luar bersama Hasan
yang ada di gendonganku. Saat itu aku berdiri tegap di samping sepeda butut
yang aku aku pinjam dari temanku. Ia semakin bingung dengan keadaan ini. aku
menyuruhnya untuk cepat-cepat naik ke sepeda.
Hasan masih belum tahu kemana aku
akan membawanya. Beberapa kali ia menanyanyaiku. Tetap saja aku menyuruhnya
untuk bersabar.
“Sebentar lagi kita sampai kok,”
jawabku sekenanya. Furqan cemberut. Ia kesal karena aku tidak menjawab
pertanyaannya. Aku tertawa melihat wajahnya tersebut.
Setelah hampir setengah jam berlalu,
kami sampai sebuah gerbang. Aku turun dari sepeda. Furqan bingung menyaksikan
apa yang ada di depannya. Ia menatapku penuh arti.
“Kak, Apa yang mau kita lakukan di
sini?” tanyanya penasaran. Aku tak mempedulikannya. Aku menuntun sepeda
memasuki gerbang yang ada di depanku tersebut. Mau tak mau Furqan pun
mengikutiku. Ia terus saja bertanya, apa yang mau kulakukan di sini.
Aku meletakkan sepeda di tempat
parkir. Sejurus kemudian aku mengajak Furqan duduk di bangku panjang yang ada
di samping gedung. Untungnya Hasan tidak rewel. Ia hanya menatap kami berdua
dan kadang-kadang tertawa sendiri.
“Kakak hanya ingin mewujudkan
keinginan Bapakmu. Furqan juga harus mewujudkan keinginan Bapak. Supaya Bapak
di atas sana bahagia,” ujarku penuh kelembutan. Ia menatapku dalam.
Pandangannya beralih ke gedung yang ada di sampingnya. Kubiarkan Furqan
menikmati pemandangan itu. Kubiarkan ia merenung sejenak. Ia pun kembali
memandangku. Matanya sedikit sembab.
“Kak, apakah benar Furqan akan
sekolah?” tanyanya dengan suara lirih. Aku tersenyum mendengar pertanyaannya
tersebut. Aku menganguk pelan. Ia menangis sejadi-jadinya. Kupeluk ia
erat-erat. Tak terasa air mataku pun jatuh. Hasan hanya melongo melihat
kejadian itu. akhirnya ia pun ikut menangis bersama Furqan.
Aku menatap langit. ‘Pak Ismail,
anakmu Furqan akan sekolah’ ujarku membatin. Furqan terus larut dalam keharuan.
* *
*
“Kak, Furqan berangkat.
Assalamu’alaikum,” ucap Furqan sambil menyalami tanganku.
“Eh, bilang juga sama Mba’ Nia kalau
mau berangkat,” jawabku sambil menarik tangannya. Ia masuk lagi ke dalam dan
menyalami seorang wanita.
“Hati-hati di jalan, Furqan,” tutur
wanita itu menyalami Furqan. Furqan pun beranjak pergi.
Bahagia sekali aku melihat
pemandangan itu. Aku melihat Furqan yang pergi untuk sekolah. Aku juga melihat Hasan
yang sedang asyik bermain dengan mainannya. Dan Nia...dia adalah istriku. Aku
menikah dengannya beberapa bulan setelah aku menyekolahkan Furqan. Kami merawat
Furqan dan Hasan seperti anaknya sendiri.
Aku
sangat bahagia walaupun orang-orang mengatakan hidup kami masih belum bisa
disebut berkecukupan. Kini aku sudah mempunyai keluarga. Furqan dan Hasan aku
anggap seperti adik kandungku sendiri. Kehadiran Nia pun melengkapinya. Akulah
orang yang paling bahagia di dunia saat ini.
Beberapa minggu setelah menikah, seorang
budiman menawariku sebuah pekerjaan. Ia memintaku untuk menjadi pengurus
mushalla. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti jadi seorang pemulung.
Pekerjaanku
tidak terlalu sulit. Aku hanya diminta untuk mengurusi segala sesuatu yang
berhubungan dengan keperluan mushalla. Meskipun aku bukanlah orang yang terlalu
paham dengan agama, aku rasa pekerjaan ini dapat aku jalani.
Sekarang aku tinggal di sebuah
ruangan kecil yang ada sudut di mushalla. Pengurus ta’mir memberikan kami
ruangan ini. Aku tinggal bersama Istriku Nia, Furqan dan Hasan. Walaupun kecil,
ruangan tersebut bahkan lebih baik dari gubuk yang dulu kami tinggali. Kami
hidup bahagia. Kuucapkan syukur kepadaMu Ya Allah.
* * *
Muhammad
Qamaruddin
Kawah
Candradimuko Ashabul Kahfi (April ’13)
*Cerpen ini memenangi juara 2 Lomba Cerpen dan Esai Islami CMIA Fair FK UII 2013
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?