Jumat, 05 Juli 2013

AMANAH

Oleh: Mohammad Ali


øŒÎ) ÏMs9$s% ßNr&tøB$# tbºtôJÏã Éb>u ÎoTÎ) ßNöxtR šs9 $tB Îû ÓÍ_ôÜt/ #Y§ysãB ö@¬7s)tGsù ûÓÍh_ÏB ( y7¨RÎ) |MRr& ßìŠÉK¡¡9$# ÞOŠÎ=yèø9$# ÇÌÎÈ  
35. (ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui".
 (QS Ali’Imran [34]:3)

       Ada sebuah peristiwa yang sangat menarik untuk disimak, dan mungkin ini menjadi renungan kita bersama. Jika ada salah satu ulama mempunyai putera, ketika memberi nama pasti menyelipkan namanya sendiri di belakangnya, contoh Syamsul Arifin. Nama anaknya Solehuddin Arifin, ada nama ayahnya di belakangnya. Ada lagi yang namanya Nilna Faizah Fadli, kebetulan nama ayahnya adalah Fadli. Sejenak penulis berpikir dan merenungkan diri untuk memahami arti dari sebuah nama tersebut. Timbul tanda tanya di benak penulis, apakah hanya sekedar gaya atau gimana? Ciyus myapah.

       Ternyata setelah penulis amati, ada arti dibalik nama tersebut. Kita ketahui bersama bahwa apa-apa yang kita miliki sekarang ini merupakan amanah. Namun dari sekian banyak amanah yang kita emban, yang paling besar adalah anak. Anak merupakan suatu amanah yang paling besar di semesta alam ini. Sadarkah kita bahwa dalam roda kehidupan ini dalam sekejap mata, orang tua bisa terangkat derajatnya gara-gara anak. Sebaliknya, dalam sekejap mata pula, orang tua bisa tercoreng nama baiknya gara-gara tingkah laku anaknya. Sadarkah kita bahwa banyak dari orang tua yang celaka kelak di akhirat gara-gara anaknya, dan sebaliknya banyak dari orang tua yang selamat gara-gara anaknya.
       Akhirnya penulis paham arti dari sebuah nama. Jadi tidak heran apabila kebanyakan dari ulama menyelipkan namanya sendiri di belakang anaknya. Karena anak adalah amanah yang nanti akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat. Maka kita perlu merawat dan menjaga amanah ini dengan sebaik-baiknya dan jangan salah merawat. Apabila salah merawat yang kena imbasnya otomatis yang mempunyai, meskipun tidak mengakuinya “Inna min azwajikum wa-auladikum fitnah” sesungguhnya istrimu dan anakmu adalah cobaan.
       Sangat miris sekali apabila seorang ayah tidak bisa menjaga dan merawatnya, artinya dibiarkan hidup bebas tanpa ada rem dari orang tuanya. Ingat bahwa pohon yang masih kecil dibentuk seperti apapun bisa, diluruskan pun bisa. Namun ketika mulai membesar maka mau diluruskan sangat sulit, kalau di paksa bisa patah. Begitu juga dengan anak ketika masih kecil dijadikan apa saja bisa. “ kullu mauludin yuwladu alal fitrah”. Anak yang baru lahir pada dasarnya semuanya suci, dijadikan apa saja bisa, dijadikan muslim atau kafir, bisa. Itu tergantung dari orang tuanya. Oleh karena itu perlu adanya semacam perawatan sejak dini serta mendidiknya dengan memberikan uswatun hasanah suri tauladan yang baik.
       Orang tua adalah guru pertama bagi anaknya. Oleh karena itu yang patut memberikan contoh pertama kali adalah orang tua. Ingatlah bahwa setiap perilaku orang tua akan di rekam oleh anaknya. kita ketahui bersama bahwasannya anak bisa makan, berbicara, berdiri, dan lain sebagainya, karena mencontoh dari orang yang mengasuhnya. Peranan orang tua sangat mempengaruhi dalam pembentukan karakter seorang anak. Maka apabila ada anak yang perilakunya kurang baik maka yang perlu ditelusuri adalah sumbernya, bukan anaknya. Kalau meminjam istilah Ust. Yusuf Mansur, kalau ada rumah yang bocor kena hujan maka yang perlu dilihat adalah atapnya bukan yang bocor. Begitupun dengan anak apabila ada suatu yang kurang beres, maka perlu ditanyakan adalah orang tuanya.

Terinspirasi Dari Sedekah
       Dulu ada salah satu pesantren yang cukup terkenal yaitu daerah Rembang Jawa. Di sana ada sosok yang patut kita tiru. Sosok itu sebut saja namanya Pak Mustafa. Beliau adalah seorang pedagang. Kelebihan beliau adalah murah bersedekah. Setiap ada acara, baik itu yang dilaksanakan institusi dan non institusi, dia pasti menyumbangkan sedekahnya. Berkat sedekah tersebut dia dikaruniai seorang anak yang luar biasa, namanya Bisri. Setiap ada momen perlombaan pasti yang memenangkan adalah Bisri, putera Pak Musthafa. Sampai-sampai dia mampu menerjemahkan Alfiah ke dalam bahasa Jawa. Apabila ada Alfiah yang diterjemahannya ke dalam bahasa Jawa, pasti pengarangnya adalah Bisri Mustafa.
       Karena Bisri orangnya pintar dan alim akhirnya dia diangkat menantu oleh gurunya. Pada suatu ketika istrinya hamil, dan Bisri bernadzar, apabila anak yang lahir kelak adalah laki-laki maka akan aku kasih nama guruku yaitu khalil, ternyata lahir laki-laki dan dikasih nama Khalil Bisri. Suatu hari istrinya hamil lagi, dan Bisri bernadzar, apabila anak yang lahir laki-laki lagi, maka akan aku kasih nama ayahku yaitu Musthafa. Akhirnya lahir laki-laki, dan dikasih nama Musthafa Bisri yang kita kenal sekarang ini dengan sebutan Gusmus.
       Semua putera dan cucu Pak Musthafa menjadi orang besar. Bisri menjadi kiai besar di Rembang Jawa. Khalil Bisri di zaman Gusdur menjabat sebagai wakil MPR dan adapun Musthafa Bisri yang kita kenal sekarang ini dengan sebutan Gusmus merupakan politikus sekaligus sastrawan. Adanya reputasi kesuksesan dari semua peristiwa tersebut, yang perlu tiru adalah ayahnya atau kakeknya, bagaimana dia mampu melahirnya anak yang luar biasa, jangan ditanya orangnya yang sudah sukses. Itulah pentingnya peranan orang tua dalam membentuk karakter anak.

Mati tapi hidup
       “Siapa yang menanam dia yang memetiknya”. Alangkah bahagianya orang tua yang mempunyai anak yang shaleh. Jangankan di dunia, di akhirat pun akan mendapatkan kebanggaan. Walaupun dia sudah meninggal tapi tetap hidup, berkat anak yang shaleh. Ingatlah seluruh anak Adam ketika meninggal semua amalnya putus kecuali tiga perkara, salah satunya adalah anak yang shaleh. Maka dari itu anak yang shaleh menjadi amal jariyah bagi orangtuanya ketika sudah meninggal. Setiap perbuatan baik yang dilakukan olek anaknya orang tuanya dapat bagian juga.
       Tanpa adanya penilaian dari orang yang mempunyai, maka orang lainlah yang menilainya. misalnya Musthafa Bisri sukses menjadi orang besar, pasti yang menjadi guyonan orang banyak adalah orang tuanya. Kenapa dia bisa menjadi orang sukses? Jawabannya pasti, ‘oh pantesan orang tuanya kiai’. Orang akan menilai sendiri, tanpa memberikan penilaian sedikitpun darinya, ini di dunia. Adapun di akhirat ada penghargaan khusus dari Allah, karena dia telah berhasil menjaga dan merawat amanah yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu penulis sangat jeli dan teliti dalam masalah ini. Karena pemuda besok, tergantung dari pemuda yang ada sekarang ini. “ Rijalu al-gad, subbanu al-yaum.
       Yang tak kalah pentingnya adalah bermanfaat untuk orang banyak, bangsa dan negara. “Khairu al-nas, anfauhum li an-nas”. Sebaik-baik manusia adalah orang bermanfaat untuk orang banyak. Itulah yang sangat dianjurkan oleh baginda nabi Muhammad SAW, yaitu ketika seorang anak menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain, bangsa dan negara. Otomatis menjadi nilai tambah (value aded) bagi orang tuanya, baik di dunia maupun di akhirat, dan setiap ada amal kebaikan yang dilakukan oleh seorang anak, maka orang tuanya tidak ketinggalan pula, karena yang menjadi seperti itu karena orang tuanya. Adapun di akhirat akan menjadi syafaat.
       Namun sebaliknya apabila kita tidak bisa menjaga dan merawat amanah ini, maka yang kenak imbasnya adalah yang mempunyai. Dan akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat, tidak menutup kemungkinan orang tuanya alim, rajin beribadah, namun tidak mengetahui kondisi anaknya. Maka dosa-dosa yang pikul oleh anaknya, akan dipikulkan juga sama orang tuanya, Naudzubillahi min dzalik. Oleh karena itu tidak ada maksud dan tujuan dari penulis kecuali watawa saubil haqqi watawa saw bisobr” saling berwasiat dalam kebenaran dan saling berwasiat dalam kesabaran.
       Orang tua bisa lepas dari tanggung jawab apabila sudah merawatnya dan menjaganya dengan sekuat tenaga, tapi tidak ada hasil. Maka tanggung jawab orang tua sudah lepas. Sebagai mahluk Allah kita hanya dianjurkan untuk berusaha, dan bertawakkal. Hasilnya Allahlah yang paling mengetahui “ Ana urid, Antum turid, wa-Allahu fa’alun lima yurid”. Aku punya kemauan, kamu punya kemauan, tetapi Allahlah yang lebih berhak untuk mempunyai kemauan.

Ikhtitam
       Ada beberapa tahapan dalam menjaga dan merawat amanah ini. Yang pertama tidak dibiarkan lepas dari pengendalian orang tua, walaupun sudah dewasa tetap dijaga. Jadi sejak kecil di jaga dan dirawat, artinya tidak dibiarkan dalam pergaulan bebas tanpa ada pengendalian dari orang tua. Yang kedua memberikan suri tauladan yang baik (uswatun hasanah), karena orang tua adalah guru pertama untuk anaknya, dan apa-apa yang dilakukan oleh orang tua mulai dari kecil sampai besar akan ditiru oleh anaknya. Yang ketiga mempersiapkan sejak dini, yang mungkin disiapkan sebelum berkeluarga. Sudah siapakah anda menjadi seorang ayah untuk anaknya. Yang paling terakhir adalah bertawakkal.


Mohammad Ali
Mahasiswa Ilmu Ekonomi, 2011
Santri PonPes UII



0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?