يآ
أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ جآءَكُمْ فاَسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوْا أَنْ
تُصِيْبُوْا قَوْماً بِجَهاَلَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى ماَ فَعَلْتُمْ ناَدِمِيْنَ
“Hai
orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu
berita maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan yang menyebabkan kalian menyesal dengan
perbuatan itu.”
(Q.S. Al- Hujarât [49] : 6)
Setiap
negara pastinya memiliki mata uang sebagai alat tukar yang hanya berlaku di negara
tersebut. Indonesia misalnya yang memiliki mata uang rupiah (Rp), maka fungsi
rupiah tersebut hanya dapat diperbelanjakan di wilayah Indonesia, tidak dapat
dipergunakan di luar negara Indonesia sebelum ia menukarnya dengan mata uang
yang berlaku di negara lain. Begitu juga sebaliknya dengan mata uang di negara
lain, tidak dapat diperbelanjakan di Indonesia sebelum ditukar dengan nilai
rupiah. Namun, ternyata ada “mata uang” yang dapat berlaku dimana-mana, apakah
ia?
“Mata uang” itu
adalah kejujuran. Mata uang di sini bukanlah makna sebenarnya melainkan
bermakna konotasi. Dalam artian bahwa nilai substantif daripada kejujuran dapat
dihargai bagi siapapun yang memilikinya dan dimana pun ia berada. Begitulah Salah
satu wejangan ayahanda penulis ketika hendak berhijrah ke kota yogyakarta bahwa
“kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana”.
Kiranya tidak
berlebihan jika kita sematkan kepada sifat jujur sebagai suatu sifat yang amat
berharga dan bernilai tinggi. Betapa sulitnya sekarang kita dapati orang yang masih
sadar terhadap hakikat jujur itu sendiri. Sebaliknya begitu mudah kita dapati
orang yang senang berkata-kata tanpa pembuktian yang relevan atas apa yang ia
katakan.
Maka, pada ayat diatas, menjadi amat penting bagi
kita untuk menggunakan asas pembuktian terhadap segala bentuk pemberitaan yang
sampai kepada kita. Terkadang kita sering menerima suatu kabar yang belum jelas
sumbernya dan kevaliditasannya. Bisa jadi berita yang kita terima berasal dari
orang yang kurang memiliki kejujuran sehingga pemberitaan yang ia sampaikan
mungkin dapat menimbulkan penyesalan, kerugian oleh sementara pihak dan
“menguntungkan” di pihak yang lain.
Krisis kejujuran
merupakan masalah yang melanda bangsa ini. Betapa banyak proses pengadilan yang
memakan waktu yang cukup lama, dikarenakan keterangan yang berbelit-belit yang
terkesan mengada-ada. Andaikan para pelaku dengan jujur terhadap apa telah
diperbuat maka tentu prosesnya akan menjadi mudah. Yah, itulah realita yang
terjadi di tengah-tengah kita saat ini, betapa sulitnya mengatakan kesalahan
diri sendiri dan dengan mudahnya mengatakan kesalahan-kesalahan orang lain.
Sulthonul Auliya’
Sudah
tidak asing bagi kita terhadap gelar “Shultonul Auliya” Raja Sekalian
waliyullah dan di Barat dikenal sebagai sulthan of the Saints, Raja orang-orang
suci. Dunia Islam memberikan gelar tersebut kepada seorang wali yang bernama
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Beliau merupakan seorang pilihan Allah swt, yang
memiliki keagungan akhlak yang patut pula kita tiru dalam kehidupan
sehari-hari. Tidaklah mengherankan jikalau di Seantero Dunia Islam –tak
terkecuali Indonesia- mengenal baik sosok yang mempunyai keharuman nama
disebabkan karena ilmunya, perilakunya dan kewibawaannya.
Konon, tatkala ia
hendak ‘nyantri’ ke Baghdad, sang Ibu membekalinya beberapa keping emas yang
dijahit pada lengan bajunya dimaksudkan sebagai persiapan dalam menghadapi masa-masa
sulit kala menuntut ilmu. Sang Ibu pun berpesan untuk selalu berkata jujur
dalam keadaan apapun. Tidak ada rumusnya orang yang berbuat baik mendapatkan dosa.
Begitu juga tidak ada rumusnya orang yang berbuat jahat atau tidak baik
mendapatkan pahala.
Ketika
rombongan Abdul Qadir pada pertengahan jalan, ia dikejutkan dengan sekelompok
orang yang ingin merampas harta bawaan rombongan yang hendak pergi ke Baghdad
tersebut. Ketika menjarah rombongan dalam kereta, para rampok tersebut awalnya
tidak memperhatikan Abdul Qadir karena tampak seperti orang yang tidak memiliki
harta benda yang bernilai tinggi.
Namun, salah satu
rampok usil menanyainya : “apakah kau mempunyai uang?” Teringat janji kepada
Ibunya bahwa dalam segala hal, dalam keadaan apapun tidak akan berdusta, maka
Abdul Qadir menjawab “Ya, aku punya beberapa keping emas yang dijahitkan di
dalam baju oleh ibuku.” Tentu saja perampok itu tercengang dan segera memanggil
rekan-rekannya sesama perampok, tetap saja dengan jawaban yang serupa ketika
ditanya perihal harta yang dimiliki Abdul Qadir. Hal tersebut membuat para
rampok mengikuti jejak Abdul Qadir dan bertaubat kepada Allah.
Dari kisah yang
dialami oleh Abdul Qadir, ternyata kejujuran dapat membangunkan kesadaran seseorang
hingga akhirnya ia kembali ke jalan yang semestinya dilalui. Memang, terkadang
dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan lika-liku, persaingan hidup yang
makin kompetitif terkadang sementara orang menganggap jalan pintas dianggap
pantas sehingga melegalkan perbuatan yang kurang sesuai dengan nilai dan norma
yang berlaku, berbicara yang tidak sesuai dengan realita dan keadaan. Disitulah,
letak dimana kita mesti bersabar. Dua komponen tersebut sejatinya memang tidak
dapat dipisahkan. Salah satunya menjadi kendali atas yang lainnya.
Arti sebuah Kejujuran
Penulis menyadari
bahwa untuk melaksanakan suatu amalan yang baik membutuh daya yang tidak
sedikit. Untuk membiasakan suatu yang baik adalah bukan perkara yang mudah. Namun,
sesuatu manakala telah menjadi suatu kebiasaan yang selalu diamalkan akan
menjadi terbiasa dan mudah. Akan terasa ada yang kurang ketika telah membiasakan
suatu amalan baik namun tidak melaksanakannya. Begitu pula bagi seseorang yang
membiasakan berkata jujur akan merasakan resah dan tidak tenang ketika ia
mengatakan hal yang berlainan dengan apa yang sesungguhnya.
Dalam Islam
sendiri, akhlak merupakan inti dari ajaran yang dibawa sebagai rahmat bagi alam
semesta. Hal ini pula maksud diutusnya Rasulullah SAW ialah sebagai penyempurna
akhlak. Jujur merupakan salah satu akhlak yang sangat dianjurkan oleh
Rasulullah SAW. Orang yang terbiasa jujur akan memberikan rasa ketenangan dan
keyakinan atas apa yang ia katakan, sebaliknya orang yang dusta akan diselimuti
kabut kegaluan, kegundahan dan keragu-raguan,
sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW, Maka sesungguhnya jujur
adalah ketenangan dan bohong adalah keraguan.
Dalam kehidupan
sehari-hari, kita sering dapati seorang yang jujur dalam ber-muamalah misalnya akan
mendapatkan rezki yang lancar, dikarenakan orang beramai-ramai datang kepadanya
dan mendapatkan ketenangan bersamanya atas kejujuran sehingga tidak khawatir
akan ditipu dan sebagainya. Berbeda dengan pendusta, ia akan mendapatkan
kesukaran (nestapa) atas perilakunya sehingga orang-orang menjauhinya, khawatir
menjadi korban penipuan dan dirugikan. Sungguh betapa hebatnya perkataan jujur
yang mampu memberikan keberkahan dan sungguh betapa buruknya perkataan dusta
sehingga orang menjauh darinya. Tembok kejujuran yang dibangun oleh seseorang
akan senantiasa kokoh dan tak lekang oleh waktu, begitu pula tembok kedustaan
akan terus kokoh yang bersama orang yang telah membangunnya pula. Sekali
seorang berdusta tentu seseorang lainnya akan meragukan terhadap apa yang
dikatakannya.
Kejujuran tidak
hanya dipandang sebagai sifat yang mulia an sich, tetapi juga sebagai pelengkap
iman dan Islam seseorang muslim dalam menggapai kebahagian hidup di dunia dan
di akherat. Namun, perlu difahami pula bahwa jujur dalam hal kebaikan-lah yang
dianjurkan. Tidak diperkenankan jujur dalam hal yang bersifat buruk, misalnya ghibah
(membicarakan orang lain), namimah (mengadu domba) meskipun benar apa
yang terjadi, tetapi kita tetapi tidak diperkenankan untuk menyampaikannya.
Ikhtitâm
Sebagai
seorang muslim sejatinya hendaknya menjaga segala bentuk perilaku dari hal-hal
yang dapat merusak nilai-nilai ibadah kepada Sang Khaliq baik dalam bentuk
perkataan maupun perbuatan. Mulai dari hal-hal yang sifatnya kecil sampai yang
besar. Kesemuanya bermuara pada satu tujuan yaitu keridhaan-Nya. Inti daripada ajaran
agama ialah bagaimana ia kemudian dapat menjaga akhlaknya baik akhlak kepada
Allah maupun kepada sesama.
Salah satu akhlak
kepada sesama yang patut kita perhatikan dan kita amalkan adalah kejujuran. Kejujuran
akan membawa seseorang pada sebuah kebaikan dan kebaikan akan membawa seseorang
kepada surga. Namun, kedustaan akan membawa seseorang kepada keburukan dan
keburukan akan membawa kepada neraka. Hikmah mengatakan bahwa mungkin kita
dapat membohongi seribu orang atau bahkan lebih tapi sejatinya kita tidak dapat
membohongi diri kita sendiri. Karena secara naluriah, manusia diciptakan
sebagai insan yang shiddiq. Semoga Allah swt, memasukan kita ke dalam
golongan yang senantiasa menjaga lisan dari perkataan yang dusta.[] HadanĀllâh
wa iŷâkum ajmaín. Wāllahu A’lamu bi ash-shawwâb.
*) Iqbal
Zen
Mahasiswa
Hukum Islam
Santri
PonPes UII
*Buletin Al-Lulu PP UII Edisi 06 Okt 2012
Dapat di Akses di sini
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?