Sabtu, 26 Januari 2013

JUJUR MEMBAWA BERKAH



يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ جآءَكُمْ فاَسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوْا أَنْ تُصِيْبُوْا قَوْماً بِجَهاَلَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى ماَ فَعَلْتُمْ ناَدِمِيْنَ
“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan yang menyebabkan kalian menyesal dengan perbuatan itu.”
(Q.S. Al- Hujarât [49] : 6)

            Setiap negara pastinya memiliki mata uang sebagai alat tukar yang hanya berlaku di negara tersebut. Indonesia misalnya yang memiliki mata uang rupiah (Rp), maka fungsi rupiah tersebut hanya dapat diperbelanjakan di wilayah Indonesia, tidak dapat dipergunakan di luar negara Indonesia sebelum ia menukarnya dengan mata uang yang berlaku di negara lain. Begitu juga sebaliknya dengan mata uang di negara lain, tidak dapat diperbelanjakan di Indonesia sebelum ditukar dengan nilai rupiah. Namun, ternyata ada “mata uang” yang dapat berlaku dimana-mana, apakah ia?

            “Mata uang” itu adalah kejujuran. Mata uang di sini bukanlah makna sebenarnya melainkan bermakna konotasi. Dalam artian bahwa nilai substantif daripada kejujuran dapat dihargai bagi siapapun yang memilikinya dan dimana pun ia berada. Begitulah Salah satu wejangan ayahanda penulis ketika hendak berhijrah ke kota yogyakarta bahwa “kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana”.
            Kiranya tidak berlebihan jika kita sematkan kepada sifat jujur sebagai suatu sifat yang amat berharga dan bernilai tinggi. Betapa sulitnya sekarang kita dapati orang yang masih sadar terhadap hakikat jujur itu sendiri. Sebaliknya begitu mudah kita dapati orang yang senang berkata-kata tanpa pembuktian yang relevan atas apa yang ia katakan.
 Maka, pada ayat diatas, menjadi amat penting bagi kita untuk menggunakan asas pembuktian terhadap segala bentuk pemberitaan yang sampai kepada kita. Terkadang kita sering menerima suatu kabar yang belum jelas sumbernya dan kevaliditasannya. Bisa jadi berita yang kita terima berasal dari orang yang kurang memiliki kejujuran sehingga pemberitaan yang ia sampaikan mungkin dapat menimbulkan penyesalan, kerugian oleh sementara pihak dan “menguntungkan” di pihak yang lain.
            Krisis kejujuran merupakan masalah yang melanda bangsa ini. Betapa banyak proses pengadilan yang memakan waktu yang cukup lama, dikarenakan keterangan yang berbelit-belit yang terkesan mengada-ada. Andaikan para pelaku dengan jujur terhadap apa telah diperbuat maka tentu prosesnya akan menjadi mudah. Yah, itulah realita yang terjadi di tengah-tengah kita saat ini, betapa sulitnya mengatakan kesalahan diri sendiri dan dengan mudahnya mengatakan kesalahan-kesalahan orang lain.
Sulthonul Auliya’
            Sudah tidak asing bagi kita terhadap gelar “Shultonul Auliya” Raja Sekalian waliyullah dan di Barat dikenal sebagai sulthan of the Saints, Raja orang-orang suci. Dunia Islam memberikan gelar tersebut kepada seorang wali yang bernama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Beliau merupakan seorang pilihan Allah swt, yang memiliki keagungan akhlak yang patut pula kita tiru dalam kehidupan sehari-hari. Tidaklah mengherankan jikalau di Seantero Dunia Islam –tak terkecuali Indonesia- mengenal baik sosok yang mempunyai keharuman nama disebabkan karena ilmunya, perilakunya dan kewibawaannya.
            Konon, tatkala ia hendak ‘nyantri’ ke Baghdad, sang Ibu membekalinya beberapa keping emas yang dijahit pada lengan bajunya dimaksudkan sebagai persiapan dalam menghadapi masa-masa sulit kala menuntut ilmu. Sang Ibu pun berpesan untuk selalu berkata jujur dalam keadaan apapun. Tidak ada rumusnya orang yang berbuat baik mendapatkan dosa. Begitu juga tidak ada rumusnya orang yang berbuat jahat atau tidak baik mendapatkan pahala.
Ketika rombongan Abdul Qadir pada pertengahan jalan, ia dikejutkan dengan sekelompok orang yang ingin merampas harta bawaan rombongan yang hendak pergi ke Baghdad tersebut. Ketika menjarah rombongan dalam kereta, para rampok tersebut awalnya tidak memperhatikan Abdul Qadir karena tampak seperti orang yang tidak memiliki harta benda yang bernilai tinggi.
            Namun, salah satu rampok usil menanyainya : “apakah kau mempunyai uang?” Teringat janji kepada Ibunya bahwa dalam segala hal, dalam keadaan apapun tidak akan berdusta, maka Abdul Qadir menjawab “Ya, aku punya beberapa keping emas yang dijahitkan di dalam baju oleh ibuku.” Tentu saja perampok itu tercengang dan segera memanggil rekan-rekannya sesama perampok, tetap saja dengan jawaban yang serupa ketika ditanya perihal harta yang dimiliki Abdul Qadir. Hal tersebut membuat para rampok mengikuti jejak Abdul Qadir dan bertaubat kepada Allah.  
            Dari kisah yang dialami oleh Abdul Qadir, ternyata kejujuran dapat membangunkan kesadaran seseorang hingga akhirnya ia kembali ke jalan yang semestinya dilalui. Memang, terkadang dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan lika-liku, persaingan hidup yang makin kompetitif terkadang sementara orang menganggap jalan pintas dianggap pantas sehingga melegalkan perbuatan yang kurang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, berbicara yang tidak sesuai dengan realita dan keadaan. Disitulah, letak dimana kita mesti bersabar. Dua komponen tersebut sejatinya memang tidak dapat dipisahkan. Salah satunya menjadi kendali atas yang lainnya.
Arti sebuah Kejujuran
            Penulis menyadari bahwa untuk melaksanakan suatu amalan yang baik membutuh daya yang tidak sedikit. Untuk membiasakan suatu yang baik adalah bukan perkara yang mudah. Namun, sesuatu manakala telah menjadi suatu kebiasaan yang selalu diamalkan akan menjadi terbiasa dan mudah. Akan terasa ada yang kurang ketika telah membiasakan suatu amalan baik namun tidak melaksanakannya. Begitu pula bagi seseorang yang membiasakan berkata jujur akan merasakan resah dan tidak tenang ketika ia mengatakan hal yang berlainan dengan apa yang sesungguhnya.
            Dalam Islam sendiri, akhlak merupakan inti dari ajaran yang dibawa sebagai rahmat bagi alam semesta. Hal ini pula maksud diutusnya Rasulullah SAW ialah sebagai penyempurna akhlak. Jujur merupakan salah satu akhlak yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Orang yang terbiasa jujur akan memberikan rasa ketenangan dan keyakinan atas apa yang ia katakan, sebaliknya orang yang dusta akan diselimuti kabut kegaluan, kegundahan dan keragu-raguan,  sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW, Maka sesungguhnya jujur adalah ketenangan dan bohong adalah keraguan.
            Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dapati seorang yang jujur dalam ber-muamalah misalnya akan mendapatkan rezki yang lancar, dikarenakan orang beramai-ramai datang kepadanya dan mendapatkan ketenangan bersamanya atas kejujuran sehingga tidak khawatir akan ditipu dan sebagainya. Berbeda dengan pendusta, ia akan mendapatkan kesukaran (nestapa) atas perilakunya sehingga orang-orang menjauhinya, khawatir menjadi korban penipuan dan dirugikan. Sungguh betapa hebatnya perkataan jujur yang mampu memberikan keberkahan dan sungguh betapa buruknya perkataan dusta sehingga orang menjauh darinya. Tembok kejujuran yang dibangun oleh seseorang akan senantiasa kokoh dan tak lekang oleh waktu, begitu pula tembok kedustaan akan terus kokoh yang bersama orang yang telah membangunnya pula. Sekali seorang berdusta tentu seseorang lainnya akan meragukan terhadap apa yang dikatakannya.
Kejujuran tidak hanya dipandang sebagai sifat yang mulia an sich, tetapi juga sebagai pelengkap iman dan Islam seseorang muslim dalam menggapai kebahagian hidup di dunia dan di akherat. Namun, perlu difahami pula bahwa jujur dalam hal kebaikan-lah yang dianjurkan. Tidak diperkenankan jujur dalam hal yang bersifat buruk, misalnya ghibah (membicarakan orang lain), namimah (mengadu domba) meskipun benar apa yang terjadi, tetapi kita tetapi tidak diperkenankan untuk menyampaikannya.  
Ikhtitâm
            Sebagai seorang muslim sejatinya hendaknya menjaga segala bentuk perilaku dari hal-hal yang dapat merusak nilai-nilai ibadah kepada Sang Khaliq baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Mulai dari hal-hal yang sifatnya kecil sampai yang besar. Kesemuanya bermuara pada satu tujuan yaitu keridhaan-Nya. Inti daripada ajaran agama ialah bagaimana ia kemudian dapat menjaga akhlaknya baik akhlak kepada Allah maupun kepada sesama.
            Salah satu akhlak kepada sesama yang patut kita perhatikan dan kita amalkan adalah kejujuran. Kejujuran akan membawa seseorang pada sebuah kebaikan dan kebaikan akan membawa seseorang kepada surga. Namun, kedustaan akan membawa seseorang kepada keburukan dan keburukan akan membawa kepada neraka. Hikmah mengatakan bahwa mungkin kita dapat membohongi seribu orang atau bahkan lebih tapi sejatinya kita tidak dapat membohongi diri kita sendiri. Karena secara naluriah, manusia diciptakan sebagai insan yang shiddiq. Semoga Allah swt, memasukan kita ke dalam golongan yang senantiasa menjaga lisan dari perkataan yang dusta.[] HadanĀllâh wa iŷâkum ajmaín. Wāllahu A’lamu bi ash-shawwâb.

*) Iqbal Zen
Mahasiswa Hukum Islam
Santri PonPes UII

*Buletin Al-Lulu PP UII Edisi 06 Okt 2012
  Dapat di Akses di sini

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?