oleh: M. Iqbal Zen
dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. (Q.S. An-Nisa [4] : 9)
P
|
emuda
hari ini, pemimpin masa mendatang. Semboyan inilah yang harus dipegang teguh
oleh seluruh elemen bangsa khususnya oleh para pemuda disaat semakin maraknya
terjadi degradasi dan dekadensi moral (etika). Ironis memang
terhadap apa yang terjadi saat ini dengan pelbagai permasalahan dan
konflik yang semakin menjamur. Mulai dari ‘orang kecil’ sampai ‘orang besar’
tak mengenal batas. maka, sudah menjadi tanggungjawab bersama di pundak para
pemuda untuk terus berkarya, menempa diri memperbaiki kondisi bangsa
Momen yang tepat bagi kita bersama untuk
mengulas kembali (flashback) terhadap apa yang telah diperjuangkan oleh
para pemuda pada 83 tahun yang lalu demi sebuah pengakuan terhadap eksistensi
bangsa dan pemuda. Peristiwa yang menandai lahirnya sebuah bangsa yang bertekad
menjadi satu bangsa, bahasa dan tanah air. Kerelaan mengorbankan jiwa, raga dan
tenaga untuk menjadikan bangsa yang lebih bermatabat. Semangat yang membara,
gigih dan kritis selalu ditonjolkan dan dikibarkan, karena memang itulah yang
mencerminkan diri sebagai seorang pemuda.
Peran pemuda yang sering disebut
sebagai agent of change memang sangat memegang peranan penting dalam
proses rekontruksi bangsa. Kontribusi aktif pemuda amatlah dibutuhkan dalam
segala lini dan aspek. Bangsa yang besar berawal dari pemuda yang besar pula. Bagaimana
akan menjadi bangsa yang besar jikalau pemudanya selalu dibuai dengan kesenangan-kesenangan
belaka tanpa berfikir panjang terhadap konsekuensi yang akan terjadi pada
akhirnya. Jika demikian halnya dengan membiarkan virus ini semakin menjadi dan
tidak mau peduli maka, hal itu dapat menggerogoti, menghancurkan bahkan
memporak-porandakan mental dan moral dari suatu bangsa. Maka, Eksistensi dari
seorang pemuda terlihat ketika ia telah mampu mensinergikan sumber daya yang ia
miliki secara totalitas.
Mulai
dari sekarang,
Langkah awal dalam rangka
memperbaiki karakter bangsa adalah figur pemuda harus dicetak dan dilahirkan sebagai
generasi yang tangguh. Generasi yang tahan banting terhadap persoalan kekinian
yang kian kompleks. Generasi yang memiliki kredibilitas super yang mampu
mengaplikasikan dan mentransformasikan ilmu pengetahuan dan kemampuan. Maka
dalam rangka mencetak generasi yang tangguh ini, penulis mengklasifikasikan setidaknya
ada 3 syarat yang harus ada.
Pertama, Tangguh Emosional-Spritual, Tentunya dalam pembentukan
generasi yang tangguh bermula dari dalam diri (Internal). Kebersihan hati
memegang peran penting disini. Ketika hati tersebut telah bersih dari segala
noda-noda dan pelbagai macam ‘kepala unggas’ yang selalu menyeru untuk menuruti
hawa nafsu maka segala yang diamalkan itu tidak akan beroposisi dengan jalur
yang telah ditentukan syari’at (ad-dien). Maka kontrolnya adalah hati.
Contoh kecil kemampuan me’manage’ emosi dapat terlihat
ketika ia mampu bersikap ‘ramah’ sebagai peredam amarah. Sikap marah tidak
dihadapi dengan marah pula yang kemudian menjadi ‘marah kuadrat’ (semakin
menjadi marah). Dapat dianalogikan dengan sebuah batu, manakala batu tersebut dibenturkan
dengan batu lainnya tentu yang terjadi antara keduannya atau bahkan semua akan
menjadi pecah. Namun, jikalau batu itu dihantamkan dengan tanah liat yang
bersifat lentur maka yang terjadi ialah akan bersatunya antar keduanya.
Seorang pemuda pula haruslah
memiliki cinta (mahabbah) kepada Sang pemilik cinta itu secara totalitas.
Menjalankan perintahnya dan segenap amaliah sunnah didalamnya dan berusaha
menjauhi larangannya yang tentunya berlandaskan hati yang ihklas dan tulus. Ibnu
Athoillah dalam kitabnya al-Hikam menyatakan bahwa ikhlas merupakan ruh
dari segenap perbuatan (amaliah). Fungsi dari hati yang ikhlas itu akan
menjernihkan, menetralisir, dan menyucikan setiap ‘gerak-gerik’ yang keluar dari
tubuh manusia itu sendiri. Sehingga amal itu tidak menjadi sia-sia dan tentu
membuahkan hasil yang bermanfaat.
Seorang sufi perempuan Rabiah
al-Adawiyah, menggambar cinta yang sebenarnya hanyalah milik Allah SWT
semata. Baginya kecintaanya kepada makhluk akan dapat mengganggu kecintaanya
kepada RabbNya. Sehingga setiap relung
hati hanya terisi oleh “cinta abadi”. Begitu
halnya dengan wasiat utama Luqmanul hakim yang berpesan kepada anaknya untuk
selalu menomorsatukan Allah SWT dalam berbagai macam keadaan.(Q.S. Luqman[31] :
13).
Tentunya ini mengindikasikan bahwa walau
bagaimanapun Allah SWT haruslah didahulukan. Salah satu contoh kecil yang
sering terjadi ialah terkadang sementara orang diantara kita ketika waktu
shalat datang, akan tetapi seolah tidak menghiraukan panggilanNya dan
menunda-nunda untuk melakukan shalat. Sifat menunda-nunda ini-lah yang selau
dikumandangkan oleh para ‘Syetan’ yang telah berjanji kepada Allah SWT untuk
senantiasa membuat manusia lalai kepadaNya.
Manakala keadaan spiritual dari
seorang pemuda telah kuat, maka dalam melakoni kehidupannya tentu tidak akan berlandaskan
pada hawa nafsu belaka. Kecenderungan
memetuskan secara sepihak dalam artian mementingkan hawa nafsu belaka ini akan
menimbulkan ‘kerusakan’ hasil paripurna dari sebuah amaliah.
Kedua, Tangguh Intelektual. Selanjutnya, pemuda pula
harus memiliki wawasan yang luas. Berinteraksi dengan zaman. Membaca terhadap
kejadian yang ada. Seorang pemuda yang intelek tidak akan merasa puas terhadap
hasil yang telah ia gapai. Rasa hausnya terhadap ilmu pengetahuan tiada hentinya.
Bisa diibaratkan dengan seorang yang meminum air laut, semakin ia minum maka
bukan hilang rasa dahaganya melainkan semakin haus apa yang ia rasakan.
Tindakan
dari seorang pemuda yang “intelek” tercermin dari setiap kebijakan yang ia
ambil. Tidak sembarang men’justice’ tanpa dasar. Tidak berbicara tanpa
manfaat.Yang tentunya semua itu bermuara pada pelbagai sumber dan pemahaman
kontemplatif.
Lebih lanjut lagi, peran
kontruktif-transformatif seorang pemuda sangatlah berpengaruh dalam menyongsong
sebuah ‘kesuksesan’. Penulis maksudkan disini ialah selalu melakukan
pembaharuan (tajdid) dan berkolaborasi sehingga tidak terjadi ‘kebekuan’
tanpa adanya perubahan. Disamping selalu aktif dan kreatif mengambil setiap
kesempatan yang ada yang tentunya berorientasi pada sebuah nilai akhir yang
baik, menggunting dalam lipatan dan menyalip dalam tikungan. Apabila seperti itu
halnya, maka ‘sirkulasi’ dari sebuah keberhasilan dan kesuksesan itu akan
lancar dan tidak akan ‘macet’ ditengah jalan.
Ketiga, Tangguh Finansial (maal). Selain kedua syarat yang
harus dimiliki bagi sebuah generasi, untuk menciptakan generasi tangguh ialah tangguh
secara finansial. Tidak dapat dipungkiri bahwa ‘materi’ merupakan sebuah
penunjang kehidupan dan ‘wasilah’ menggapai ridho Illahi. Tingkat kemiskinan
yang semakin meningkat pada masyarakat kita tentu akan mengganggu stabilitas
dari roda kehidupan sehingga tidak menutup kemungkinan semakin meningkat pula
jumlah kriminalitas. Hal ini dikarenakan salah satu yang menyuplai penyebab
perbuatan kriminal ialah karena faktor finansial. Untuk dapat membentuk
generasi yang tangguh secara financial tentunya kita dituntut untuk tidak berpangku
tangan (bekerja) memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tentunya jalan yang ditempuh
untuk mendapatkannya haruslah dengan jalan yang sesuai dengan syari’at. Diperlukan
kerja keras untuk mencari rezki yang telah disiapkan Allah SWT bagi siapa yang
hendak menjemputnya, tidak hasil mencuri atau korupsi, main ‘sodok’ sana-sini,
dan lain sebagainya.
Rasulullah SAW sendiri mencontohkan bahwa ia
pun bekerja untuk menutupi kehidupan sehari-harinya (sandang, papan, pangan). Allah
SWT pun mengisyaratkan dalam al-Quran : wa la tansa nashibaka min addunya (janganlah
kamu melupakan duniamu). Yang perlu dicermati bersama ialah peran kedua syarat
yang telah penulis sebutkan diatas memiliki keterkaitan yang amat harmonis
sebagai alat pengontrol. Jangan sampai dengan permasalahan ini (finansial)
membuat kita saling bermusuhan apalagi sampai melupakan kita kepada Sang
Pemilik segalanya. Na’udzubillah.
Ikhtitam,
Satukan Tekad.
Masih menjadi pertanyaan besar bagi kita
bersama ialah sudahkah kita menjadi seorang pemuda yang tangguh dalam berbagai
hal. Emosional-Spritual, Intelektual, dan financial. Maka oleh karenanya,
bersamaan dengan hari sumpah pemuda ini, kebulatan tekad bersama untuk membagun
generasi yang tangguh masih menjadi ‘PR’ kita bersama.
Penulis menyadari bahwa dalam upaya
pembentukan sebuah generasi yang tangguh tidaklah seperti halnya membalikkan
telapak tangan yang hanya sekejap. Butuh waktu dan proses yang panjang serta
pengorbanan yang berat. Namun, yang perlu digarisbawahi bersama ialah seseorang
tidak akan merasakan manisnya sesuatu sebelum ia merasakan pahitnya. Asal mula
sesuatu pada dasarnya adalah pahit, yang menjadikan manis ialah nilai perjuangan
yang terkandung didalamnya. Sehingga kenikmatan sejatinya ialah bagi mereka
yang dalam upaya pendakiannya dilalui dengan cucuran keringat. HadanaAllahu
wa iyyakum ajma’in. Wallahu’Alam bis ash-Shawwab.[]
Iqbal Zen
Santri Ponpes UII,
Mahasiswa Hukum Islam
*Buletin Al-Lulu PP juga dapat diakses di sini
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?