Rabu, 30 Januari 2013

sebuah cerita bersambung (bag 3)


        “Terimalah cintaku, Anita!” Kata Wawan dengan pasti. Anita sangat terkejut mendengarnya. Berani juga anak ini. Katanya tadi cuma mau menyampaikan pesan dari Salsa, adiknya yang kebetulan satu kelas dengannya. Eh, ternyata…..

            “Apa gue tidak salah dengar?” Tanya Anita. Wawan menganggukkan kepalanya pelan sambil tersenyum, seakan-akan cintanya pasti disambut oleh Anita. “Wah! Gimana ya? Mendingan jangan deh! Nanti lu dimarahin sama Ayah gue!” Sambut Anita. Wawan heran mendengar jawaban yang dia rasa sangat aneh di telinganya. dimarahin ayah? Dasar Anita! karena belum pernah pacaran, ya beginilah jawabannya ketika di tembak laki-laki terang-terangan.
            “jangan risaukan hal tersebut! Gue akan menemui Ayahmu dan menjelaskan hal ini kepadanya,” ujar Wawan. “Gimana?” Wawan terus mendesaknya. Pasti anak ini belum pernah pacaran sebelumnya. Kesempatan nih! Wawan membatin.
            Anita mengenal baik Wawan, tapi hanya sebagai kakak dari teman sekelasnya, Salsa, yang biasanya sering membantu tugas-tugas yang diberikan dosen kepada mereka. Tapi belum pernah terbayangkan olehnya bahwa si Wawan akan menembaknya. Wawan! Orangnya sebenarnya baik, suka membantu orang ketika kesusahan. Tapi ceritanya yang seringnya dilebih-lebihkannya dari kenyataan itu, membuat orang yang berteman dengannya akan menyebutnya, sang pembual!
            “Nah! Gue punya ide!” Ucap Anita tiba-tiba.
            “Ide? Emang perlu ide untuk menerima cintaku?” Tanya Wawan sangsi.
            “Lu bisa buat puisi?” Tanya Anita dengan mata berbinar.
            “Lu mau tes gue?”
            “ya….gitu dech!”
            “Buat puisi?” Wawan menjentikkan jarinya.”Gampang!” Wawan bergegas mengambil secarik kertas beserta pulpen dari tasnya. Tapi Anita mengambilnya dengan cepat.
            “Tidak perlu ini…”
            “Maksud lu?”
            “Buat puisi kan bisa langsung dari otak, terus diucapin, iya kan?.”
     “begitu…..” Wawan mengangkat alis kanannya. “Boleh! Di mana? Di sini?” Anita menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
            “Di…sa…na!!” Anita mengeja katanya supaya Wawan paham. Dia menunjuk ke tengah lapangan basket yang di sana masih ada pemuda-pemuda yang sedang bermain basket.
            “Lu gila ya! Di sana kan banyak orang! Di sini kan juga boleh!”
            “Kalo mau gitu, ya udah….,” Anita mau beranjak pergi tapi Wawan dengan cepat menariknya.
            “Oke oke! Tapi lu harus janji menerima gue! Deal?”
            “Ya terserah gue dong! Masa dipaksa sih!” Jawab Anita.


* * *

            “Hu hu hu! Terus terus….”
            “Ya dia mau aja kusuruh. Lu tau nggak, puisi yang dibuatnya jelek banget. Gue pikir, gue mau ngetes dia, jangan-jangan dia orang misterius yang terus ngirimin gue surat puisi itu. Tapi kayaknya jauh banget deh!” Jelas Anita. “Eh, lu mau tau nggak gimana puisi yang dibuatnya?” Sambungnya
            “Gimana gimana?” Tanya Henny penasaran
            “Nih….ehem ehem, ‘Anita, tanganmu ada dua, kakimu pun ada dua, matamu ada dua, telingamu pun ada dua, tapi kenapa hidungmu cuma hanya ada satu?’ eh, ada yang nyambungin, itulah nama-nama anggota badan!’ orang pada ketawa semuanya. Gue hanya tersenyum melihatnya. Kalo lu lihat muka merahnya pada saat itu, pasti lu akan ketawa terbahak-bahak. Dia malu bukan main. Setelah itu dia buru-buru mendatangi gue. Nagih janjinya. Kata gue, emang gue janji apa, katanya ya itulah, untuk menerima cintanya. Dia sudah melakukan apa yang gue suruh. Tapi terang gue, gue kan nggak pernah janji untuk menerima cintanya, walaupun dia mau gue suruh, ya tetep terserah gue dong.”
            “Terus terus?”
            “Eh dianya malah marah-marah. Ngancem lagi. Katanya kalo saja gue bukan perempuan, dia mau sekali nampar gue saat itu. Setelah itu dia langsung berlalu tak tahu kemana. Orang-orang yang melihat kejadian tersebut pada ketawa semuanya.” Henny tertawa dengan tawa khasnya. Anita juga ketawa dengan tangan menutup mulutnya.
            “ Tapi Hen, aneh juga ya yang namanya cinta,”
            “Eh?” Henny tidak mendengar jelas apa yang diucapkan Anita.
            “Maksud gue yang namanya cinta, sangat…sangat aneh.”
            “Aneh apanya?”
            “Bayangkan, lihat aja si Wawan, baru menyatakan cinta kepada gue, belum setengah jam sudah menyatakan kebencian.” Henny kembali tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
            “Elu sih, kejam banget. Masa dia disuruh baca puisi di tengah lapangan yang banyak orang masih maen.”
            “Sekalian ngetes, Hen.”
            “Ngetes?”
            “Iya! Ngetes! Apa dia benar-benar tulus mencintai gue atau hanya ingin memanfaatkan keluguan gue. Kan tadi udah gue jelasin pada lu, awalnya gue mengira jangan-jangan dia adalah orang misterius yang terus ngirimin gue surat puisi . Soalnya dia menjawab dengan pasti bahwa dia bisa buat puisi. Makanya, gue tambahin baca puisinya di tengah lapangan. Coba lu pikir, kalo dia memang bisa buat puisi bagus, sebagus puisi yang selalu gue terima, pasti orang-orang akan kagum kepadanya saat itu, dan mungkin gue….”
            “Mau menerimanya?”
            “Nggak tahu lah!”
            “Ce i le! Lagi jatuh cinta nih!”
            “Emang!”
            “Sama Wawan?”
            “Nggak!”
            “What! Terus sama siapa?” Tanya Henny  lagi. Anita bangkit dari duduknya.
            “Sama orang yang buat puisi!”
                                   


 * * *

by: Muhammad Qamaruddin

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?