Hari ini Anita
lagi males jalan-jalan. Maunya di kamar aja. Sejak kejadian Wawan 2 bulan lalu,
orang-orang yang ingin memiliki Anita jadi mengundurkan diri satu-persatu.
Katanya Anita itu mengerikan! (kayak monster aja!), kejam! Bisa buat moral
laki-laki langsung down. Sepertinya terlalu sulit untuk memiliki Anita.
Tak lama kemudian, suara ketukan keras
terdengar dari pintunya.
“Nit!” Kakaknya, Fadli memanggilnya.
“Ada apa kak?”
“Gue pinjem printernya dong! Ada yang mau dibuat nih!”
“Emang printer Kakak kenapa?”
“Biasa, printer tua, macet tuh!”
Anita bergegas beranjak dari tempat tidurnya menuju pintu. Ketika pintu dibuka,
Kakaknya, Fadli yang memakai kacamata minus tersebut mengangkat tangan kanannya
sambil berucap,”Assalamu’alaikum adikku yang manis! Apa kabar?”
“Wa’alaikumsalam, Kabar baik Kakakku
yang ganteng! Apa sih yang mau diprint?”
“Ada dech! Mana printernya?”
“Tuh! Ambil sendiri!”
“Thank you ya!” Fadli masuk ke dalam
kamar Anita. dibereskannya kabel-kabel printer yang masih tersambung dengan
komputernya Anita.
“Ngomong-ngomong, nggak
kemana-mana?”
“nggak….lagi pengen di kamar aja.”
“ada masalah di kampus?”
“Nggak…” sebenarnya Anita sampai
saat ini tidak pernah menceritakan perihal surat tersebut kepada keluarganya, apalagi
kepada ayahnya. Bisa kacau ceritanya kalau ayahnya sampai tahu hal tersebut. Walaupun
surat itu tergeletak di atas meja, tak akan ada
yang tahu surat tersebut adalah surat yang berisikan puisi
cinta untuk Anita. di rumahnya, ayahnya berpesan kepada seluruh anggota
keluarga agar jangan masuk ke dalam kamar yang bukan kamarnya, kecuali setelah
mendapat izin dari sang penghuni. Di rumah ini, kepercayaan terhadap satu sama
lain sangat dijunjung tinggi. Kakaknya pun sudah tidak masuk ke kamarnya
mungkin sekitar 3 bulan lebih. Apalagi ayah dan mamanya, kalau tak salah
terakhir kali ayahnya masuk kamarnya ketika memperbaiki ranjang Anita yang
rusak, itupun sudah satu setengah tahun lalu! Mamanya? Nggak tahu tuh! Itulah
peraturan yang dibuat ayahnya! Biasanya ayahnya menyediakan waktu luang satu
minggu sekali untuk membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan sekolah,
pergaulan, dan lain sebagainya. Dan pada waktu itulah ayahnya memberikan
nasehat. Maklum, ayahnya begitu sibuk, tapi tidak ingin kesibukannya itu
menyebabkan beliau tidak peduli lagi dengan anak-anak. Walaupun begitu, beliau
sangat mempercayai anak-anaknya. Makanya Anita sangat menghormati beliau. Tapi
sepertinya Anita mulai belajar berbohong perihal surat tersebut. Benar nggak?
“Kawanmu nggak ke sini?”
“Si Henny?”
“Siapa lagi! Nit! Emang kamu nggak
punya teman perempuan apa? Masa teman dekatnya wanita jejadian itu.”
“Hus! Jangan gitu dong Kak! Biar
begitu, orangnya baik kok.”
“Yah….gue takut aja!”
”Takut apanya Kak?”
“Jangan-jangan temanmu itu….siapa
tadi namanya?”
“Henny, Kak!”
“Henny! Ya ya! Henny
itu…..jangan-jangan naksir sama Kakak nantinya! Kakak kan ganteng!”
“Huh!” Anita memboo kakaknya.” Ya
nggak lah Kak! Insya Allah, orangnya baik tuh.”
“Ya hati-hati saja! Menurut Kakak,
walaupun orangnya begitu, kamu harus ingat, dia bukan…ya….kamu mengerti kan maksud Kakak?”
Kakaknya mengalihkan pandangannya kepada Anita.” Dia bukan perempuan sejati,
Nit! Kamu harus sadar! Dia itu waria! Kita tidak tahu apa yang sedang
dipikirkannya sekarang.”
“Ah! Kakak terlalu berlebihan!
Buktinya sampai sekarang saat ini, Anita baik-baik aja. Malah si Henny banyak
nolong tuh. Minggu kemaren aja, Kakak mau beli nasi goreng, dia mau nolongin
Kakak untuk membelikannya. Ayah juga menasihati kita agar tidak menghina kekurangan
orang lain, Kak. Lalu apa yang dipermasalahkan?”
“Apa kata Ayah?”
“Ya….akhir-akhir ini Ayah menyuruh
saya untuk menjauhinya.”
“Naa..betul kan!”
“Tapi kan….”
“Anita! walaupun Ayahnya Henny itu
teman baik Ayah, kamu kan
tidak tahu…..” Kakaknya sudah selesai membereskan kabel-kabel printer. Seraya
berdiri, Fadli meneruskan kata-katanya, “kita tidak tahu apa yang sedang dia
pikirkan sekarang. Makanya kamu harus tetap hati-hati. Kamu harus ingat itu!
Oke! Printernya Kakak pinjem dulu ya!” Fadli bergegas keluar dari kamar Anita.
“Eh, Kak! Hati-hati tuh printer!
Entar printer saya juga ikut-ikutan rusak! Kebanyakan barang-barang saya kalau
masuk kamar Kakak, kok jadi rusak ya?” Canda Anita.
“Barang-barang kamu tuh yang rusak
duluan!”
“Wee!” Anita menjulurkan lidahnya.
Fadli berlalu dari kamarnya. Anita menutup pintu dan menghempaskan badannya ke
tempat tidur. Pikirannya menerawang jauh. Sekilas dia memikirkan apa yang
diucapkan kakaknya. Henny….betul juga ya! Dia memang tidak tahu apa yang sedang
dipikirkannya. Dia juga merasa serba salah dengan persahabatan ini. Dia sudah
terlanjur sangat dekat dengan Henny. Tapi apakah dia harus berhati-hati dengan
si Henny? dia menjadi bingung dengan persahabatan ini. Jujur dalam hati dia
harus mengakui, Henny tetaplah seorang lelaki, hanya kelakuannya yang seperti
perempuan. Tapi, di mana letak kesalahannya? Selama ini dia tetap menjaga
pergaulan. Jikalau Henny datang ke rumah
Anita, mereka pun tidak pernah berdua-duaan. Anita pasti menyuruh si Nana atau
si Lia untuk turut ke rumahnya. Biasa, kalau nggak belajar, ya bicara apa-apa
saja lah! Di kampus mereka memang sering berdua-duaan, tapi tidak pernah ke
tempat yang sepi. Pasti di tempat yang ramai orangnya. Ayah pun sebenarnya
kasihan dengan si Henny, terlebih lagi kepada ayahnya Henny yang begitu shock
dengan kelakuan anaknya. Makanya, kalau dulu ayahnya menyuruhnya membujuk si
Henny agar kembali ke fitrahnya. Tapi setelah melihat perkembangannya, akhir-akhir
ini ayah sering menyuruhnya agar jangan terlalu dekat lagi dengannya.
Berbahaya! Begitu katanya. Tapi sayangnya Anita sudah terlalu dekat dengan
Henny.
* *
*
By: Muhammad Qamaruddin
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?