Oleh: Muhammad
Qamaruddin
Percaya
tidak percaya, aku dulu sering sekali bermain teater. Meskipun saat ini tidak
seaktif dulu, tapi paling tidak aku masih dapat mengingat semua kenangan ketika
masih bergelut di dunia drama tersebut. Kali ini izinkan aku bercerita tentang
masa-masa manis saat masih menjadi aktor di dunia teater.
Aku
pertama kali mengenal dunia teater ketika masih duduk di kelas lima SD (masih
imut tuh!). Bersama dengan beberapa temanku di SD, aku mengikuti pelatihan
teater yang langsung dibawahi dewan kesenian kota (kalau tidak salah namanya
Poskolabastari). Nah, dewan kesenian ini bekerjasama dengan grup musik yang
berasal dari Barikin, salah satu nama desa yang ada di kotaku. Nama grup musik
tersebut adalah Adingbastari. Uniknya, semua pemain musiknya adalah anak-anak
seumuran kami! Haha. Hebat!
Ada
beberapa nama sesama pemain teater yang masih kuingat. Yandi, Ema, Indah,
Fatia, Nulin, Piyen, Reza, dan lain-lain. Beberapa yang lain sudah agak lupa.
Maklum, sudah lama sih (tahun 1999-an). Tentunya mereka sekarang sudah besar
dan memiliki jalannya masing-masing. Bahkan dengar-dengar ada yang sudah nikah
lho. Terus aku kapan ya? Huhu
Nah,
pada debutku di dunia teater, naskah yang aku mainkan berceritakan tentang
seorang perempuan –pemeran utama- yang disiksa oleh majikannya, bahkan oleh
adiknya sendiri. Nah, aku yang jadi adiknya lho! Aku dapat peran antagonis. Entah
monster apa yang ada di mukaku, sehingga pelatih saat itu memilihku memerankan
peran penjahat.
Gedung
Kesenian Balairung Sari, Taman Budaya Kalsel adalah tempat pertama
kali aku tampil. Usut punya usut, ternyata kami sedang mengikuti lomba teater
anak-anak se-provinsi Kalimantan Selatan (kok baru tahu belakangan ya? Maklum,
anak-anak). Nah, bagi kelompok yang menang akan mewakili Kal-Sel untuk lomba
teater anak-anak nasional di TMII. Wuih hebat!.
Tahu
tidak, ternyata latihan kami selama satu bulan lebih tidak sia-sia. Kami menang
juara satu! Tidak nyangka deh. Tapi itulah kenyataan. Aku teriak kegirangan.
Loncat-loncat kesana kemari. Lebih parahnya lagi, suaraku hilang pasca lomba.
hampir satu minggu lamanya.
Cerita
di TMII pun tidak kalah menariknya. Lomba Teater Anak-Anak tingkat Nasional men!
Tidak main-main tuh. Satu hal yang dapat kami banggakan adalah berhasilnya kami
menyabet juara tiga! Bukan main bangganya menjadi putera daerah yang dapat
mengharumkan nama provinsi.
Semenjak
itulah aku aktif di dunia teater. Terhitung beberapa kali aku bermain drama
sekitar periode 1999-2001-an. Kegiatan ini pun terhenti saat aku masuk pondok
pesantren. Sebenarnya tidak bisa disebut berhenti, karena di pondok pesantren
aku pun masih bermain teater. Lho, kok bisa? Ya iya lah bisa. Cuma tidak
seaktif dulu.
Seingatku,
ada beberapa naskah drama yang lahir dari oret-oretanku. teman-teman di pondok
sering memintaku untuk menjadi sutradara. Kadang juga main di dalamnya.
Pokoknya aku tidak dapat berpisah dengan dunia teater (sok romantis!).
Ketika
masuk di dunia perkuliahan, lagi-lagi aku tidak tahan untuk masuk sanggar
(sebutan yang sering dipakai untuk menyebut tempat latihan drama). Waktu di
IAIN Antasari Banjarmasin, aku sempat masuk sanggar di fakultas Syariah (aku
lupa nama sanggarnya). Setelah itu aku sempat masuk ke sanggar Bahana, salah
satu UKM institut. Karena adanya perbedaan perspektif, akhirnya aku tidak jadi
masuk sanggar tersebut.
Sepertinya
aku terlalu banyak bercerita. Maaf ya. Aku hanya ingin bernostalgia dengan
kenanganku. Dunia teater adalah salah satu kenanganku. Meskipun sekarang aku
sudah tidak aktif lagi di dunia ini, toh aku masih mencintainya. Lalu,
nostalgia apa yang kamu punya di masa hidupmu sekarang?
kak adain sanggar teater buat pesantren kalau bisa gabung putra sama putri biar kita yang punya minat bisa salurkan kreasi kita
BalasHapus