Berikut ini adalah salah satu naskah yang pernah
aku mainkan. Naskah ini adalah karya Pak Burhanuddin Soebely, salah satu
sastrawan terkenal yang ada di Kalimantan Selatan. Naskah ini merupakan salah
satu naskah yang sangat aku sukai. Sarat dengan makna dan nasehat.
“Roh Bukit Kehilangan Bukit” adalah tema yang
diangkat ketika aku memakai naskah ini. Dari isinya, naskah ini menggambarkan
keadaan para penduduk yang tidak mau tanahnya direnggut oleh orang asing.
Seperti tema yang ada, karena apabila itu terjadi, maka laksana Roh bukit
kehilangan bukit.
TANAH AIR MATA
Karya
Burhanuddin Soebely
Ilustrasi |
PEMBUKA
Panggung
redup. Di tengah panggung terletak sebuah langgatan[1]. Tak jauh
dari langgatan itu duduk perempuan 1 dan seorang anak kecil. Perempuan 1 itu
lagi menganyam bakul. Anak kecil tengah membaca buku. Suara anak kecil itu
suara khas anak SD yang tengah membaca, polos, nyaris tanpa artikulasi.
ANAK KECIL
Ada sebuah
negeri, tempat kebaikan dan kejahatan bisa dirakit menjadi suatu bentuk
keselarasan. Ada sebuah negeri, tempat ketidakjujuran dipelihara bersama.
Sungguh, ada sebuah negeri, tempat orang ketawa bersama seraya makan tanah
makan aspal makan semen makan gunung makan hutan makan jembatan; sementara
berjuta pengeras suara mengumandangkan pembangunan, kemakmuran dan kesejahteraan.
Terdengar
suara tepukan tangan yang riuh.
PETINGGI
(Dari
luar panggung) Saudara-saudara, kemakmuran dan kesejahteraan adalah dambaan
kita bersama. Dan itu cuma bisa kita capai kalau kita melakukan pembangunan.
Membangun, saudara-saudara, terus membangun. Kawasan di kaki gunung ini tidak
akan lagi menjadi kawasan terpencil. Di sini akan segera menjadi kawasan wisata
yang penuh dengan fantasi menarik, nostalgik, romantik, eksotik dan…erotik.
Kita akan bangun jalan raya. Kita akan bangun rumah-rumah peristirahatan. Kita
bangun tempat-tempat hiburan. Pokoknya, kawasan ini akan segera menjadi sebuah
firdaus.
Tepukan
tangan kembali bergema. Setelah itu sunyi beberapa ketika.
PEREMPUAN I
(Dalam
nada keluh yang kemudian meningkat menjadi teriakan serak bercampur sedu)
Duh, Ning Diwata[2], dari balik
meja-meja berkilat, para petinggi merasa amat tahu apa yang kami perlukan.
Mereka mengira kami kesepian di ceruk gunung. Mereka mengira kami terasing di
tengah rimba. Maka mereka babat hutan-hutan. Mereka runtuhi gunung-gunung.
Mereka bangun jalan raya. Mereka dirikan rimba beton. Lalu mereka tuntun kami
ke dunia yang mereka beri nama kemajuan. Mereka tak tahu, ya, Ning Diwata, bahwa
di tengah yang mereka sebut kemajuan itu kami justru merasa terasing dan merasa
amat kesepian.
ANAK KECIL
Paman
Lamut…Paman Lamut. Aku mendengar suara, jerit hewan terluka. Ada orang memanah
rembulan. Anak burung gugur dari sarangnya[3]
Sepi
sejenak. Lalu perlahan masuk suara koor mendaraskan mamang/litani.
KOOR MAMANG
iiii…lah
nang
manggaduh tihang aras mula jadi
nang
manggaduh tihang aras mula ada
iiii…lah
turunan di
gantang amas di gantang kaca
turunan di
gantang intan di gantang sari
—————————————
MUSIK : TANDIK BALIAN——————————-
Langgatan
yang semula berada di lantai perlahan bergerak naik. Setelah langgatan sampai
pada puncak, musik mendadak diam.
KOOR MAMANG
iiii…lah
langit
baputar langit baguncang langit bacampin
tanah
bargana bakumpang hati carincing gading
iiii…lah
baganti
kulit baganti urat baganti daging
basamban
darah batunggang angin
Di antara
mamang tersebut orang-orang–lelaki, perempuan, dan anak-anak–masuk perlahan.
Satu-dua perempuan itu menggendong bayi. Para lelaki membawa kain hitam.
ANAK 1
Kami
bukanlah raja di bukit-bukit, bukan pula raja di hutan-hutan. Kami adalah
anak-anak bukit, bocah-bocah hutan. Bentangan bukit berikut hutan-hutannya
telah melahirkan, mengasuh, dan menghidupi kami.
ANAK 2
Gemercik air
di pancur-pancur, suara-suara margasatwa, desir angin di daun-daun, gemerisik
ranting-ranting, menjadi tembang kehidupan, indah berpadu dengan tembang nina
bobo.
LELAKI 1
Tapi siapakah
mereka yang menyesap sanginduyung[4], menebarkan
bau bunga bau cendana di petanahan purba wadah semaian asa? Siapakah mereka
yang merobeki rahim ibu bumi dan mengangkuti belulang moyang kami?
LELAKI 2
Duh, Ning
Diwata, keganasan chain saw telah menciptakan musik rak-rak-gui. Mengalun dari
waktu ke waktu. Bahkan dalam tidur pun musik itu terus mengumandang, bersabung
dengan raung buldoser, erang eksavator, derak loader, gemuruh ribuan truk,
menciptakan konser kecemasan dan pemandangan senja kala.
ANAK 1
Tuan-tuan,
wahai, tuan-tuan, apalagi yang tersisa? Di mana lagi kami semaikan asa?
Bukit-bukit tiada, hutan-hutan tiada, huma-huma tiada, kebun-kebun tiada.
Tanah-tanah rekah mengalirkan nanah, pancur-pancur jelaga, sungai-sungai
berbisa.
Terdengar
lengking tangis bayi. Kain-kain hitam perlahan berubah menjadi ayunan.
PEREMPUAN 2
(Menyanyi)
guring-guring
anakku guring
guring
diakan dalam ayunan
guring-guring
anakku guring
matanya
kalat bawa bapajam
Ilustrasi |
—————MUSIK
: ALUNAN SERULING DALAM LAGU YANG SAMA———-
PEREMPUAN 3
Jangan
menangis, Diyang, karena jiwa mereka telah kering, karena mereka adalah bangkai
yang berkisar di antara angka-angka, yang sungainya cuma kerakusan, yang
muaranya cuma perasaan ketidakcukupan akan sebiji dunia.
———————————–MUSIK
: TANDIK BALIAN———————————–
B L A C
K O U T
EPISODE SATU
PEREMPUAN 1
Senja tadi
genap sudah tujuh senja aku melihat Halang Sapah[6] berkulik
panjang sembari terbang memutari perkampungan dalam tujuh pusingan
pulang-balik. Kulikan panjang halang sapah itu mirip ratapan. Dan bagi
telingaku seakan berubah menjadi bunyi gong, gendang dan serunai yang mengalun
mengiringi upacara kematian.
PEREMPUAN 2
Apa kaupikir
itu merupakan pertanda akan datangnya bencana?
PEREMPUAN 1
Entahlah,
tapi hatiku terasa amat tak nyaman. Sudah beberapa malam ini aku sukar sekali
tidur.
PEREMPUAN 3
(Kearah
Balian 1) Adakah pantangan-pantangan yang dilanggar oleh warga perkampungan
kita?
Tidak ada.
PEREMPUAN 3
Adakah
pelanggaran adapt atau kejahatan yang tiak kita berikan hukuman?
BALIAN 1
Juga tidak
ada.
PEREMPUAN 2
Lalu kenapa
Ning Diwata seakan siap menurunkan kutuk pada kita?
BALIAN 2
Pertanyaanmu
itu adalah juga pertanyaan yang selalu menyeruak di hati kami. Entah kenapa
kemauan alam sekarang sukar ditebak, bahkan hitungan pergantian musimnya pun
seakan tak lagi berlaku.
BALIAN 3
(Kepada
Damang) Damang, apa pikirmu tentang semua ini?
DAMANG
Bagiku
bencana itu sudah lama tiba. Ibarat sebatang pohon maka akar-akar kita tengah
digerogoti penyakit. Tercerabutnya kita dari akar kehidupan sepertinya cuma
tinggal menunggu waktu.
WANITA 2
Maksud,
Damang?
DAMANG
Ketika para
petinggi memutuskan untuk membangun kawasan ini, mereka agaknya lupa untuk
lebih dahulu mempersiapkan orang gunung seperti kita agar bisa menerima
pengaruh kemajuan tanpa harus kehilangan pegangan dalam menilai. Keawaman kita
membuat kita seperti dihadapkan pada keadaan yang saling berlawanan.
Di antara
slogan-slogan hidup sederhana, pemerataan, kesetia-kawanan sosial,
sarana-sarana kemewahan justru bermunculan. Tanah-tanah huma, kebun karet,
ladang kayu manis, berganti dengan rumah-rumah peristirahatan yang megah.
Mobil-mobil mewah berlintasan, juga tata pergaulan yang kadang melampaui batas
lalu-lalang.
WANITA 1
Keadaan yang
dikatakan Damang itu membuat rasa kebenaran, rasa kebaikan, rasa keindahan,
yang di waktu lalu tersimpul erat dengan sekian pamali dan ujaran leluhur,
sekarang terasa melonggar.
Orang-orang
muda kita yang awam cepat sekali tergoda dengan segala yang menyilaukan. Maka
sedikit demi sedikit kita terhela ke penjara kabut yang menghalalkan mendaki
pundak sesama untuk bisa melihat matahari. Bilas keringat kita yang pada
mulanya bernama kebersamaan kini menjelma mimpi di langit-langit ujuk,
membiuskan nafsu pemilikan kebendaan sehingga hati kita mulai memperanakkan
macan yang menyiapkan cakar dalam keseharian.
BALIAN 1
Yah,
kemajuan kadang diartikan orang dengan keberlebihan semata, sementara keimanan
kita, adat kita, tidak mengajarkan keberlebihan itu. Semua yang berlebih kita
kembalikan kepada Ning Diwata melewati alam dan kehidupan.Dalam keadaan
sekarang, betapa sukarnya meneguhkan pengertian bahwa kita adalah bagian dari
alam, dan alam merupakan bagian dari kita, sama sekali tak berjarak, saling
menghidupi.
PEMUDA 1
(Dari
luar panggung) Damang!
———————————————MUSIK
: KANJAR————————————-
Pemuda 1 dan
Pemuda 2 masuk panggung.
PEMUDA 1
Damang, kami
ingin tahu jawabanmu tentang persoalan yang kami sampaikan kemarin.
DAMANG
Jawabanku
masih tetap seperti semula.
PEMUDA 2
Jadi Damang
tetap tak memberi ijin pada kami untuk berangkat ke balik gunung itu?
DAMANG
Ya, itu
bukan penyelesaian yang terbaik.
PEMUDA 2
Rupanya
Damang tak lagi berpikir tentang keselamatan perkampungan dan kehidupan puak
Tingang ini.
DAMANG
Justru
keselamatan dan kesejahteraan kitalah yang terus kupikirkan.
PEMUDA 1
Lalu, kenapa
Damang tak memberi ijin pada kami untuk menghentikan tindakan orang-orang di
balik gunung itu?
DAMANG
Tindakan
mereka memang harus dicermati, tetapi bukan dengan cara menindas ancaman lewat
kekerasan, apalagi melalui bentrokan.
PEMUDA 1
Kita
bertindak karena kita telah dipaksa oleh keadaan. Kita telah turuti anjuran
para petinggi agar tak lagi bercocok tanam dengan menggunakan ladang berpindah
demi lestarinya alam dan lingkungan kita. Tapi para petinggi itu justru tak
mengambil tindakan apa-apa ketika orang-orang di balik gunung sana terus
menggunduli hutan-hutan tanpa berusaha menanaminya kembali!
DAMANG
Aku tengah
memikirkan…
PEMUDA 2
(Memotong
cepat) Berpikir? Berpikir apalagi? Berpikir dan terus berpikir sementara
lingkunga kita kian hari kian terancam. Setiap saat kawasan pegunungan ini
digerogoti. Sekarang tanah-tanah sudah berubah rapuh dan sering longsor, banjir
sudah sering melanda, binatang-binatang hutan yang kehilangan tempat tinggal
berbondong-bondong datang merusak huma ladang kita!
PEMUDA 1
Orang di
balik gunung itu juga membabat hutan-hutan dengan semena-mena, membabi buta.
Hutan-hutan yang kita keramatkan juga mereka babat. Akibatnya para pujut para
sangiyang di hutan itu marah sehingga banyak warga puak kita sakit atau
meninggal.
BALIAN 1
Mau kalian
sebenarnya bagaimana?
PEMUDA 1
Kami hendak
memberikan teguran kepada orang-orang itu. Kalau mereka tidak juga
memperhatikan maka kami akan memberikan teguran dengan runcingnya tombak,
tajamnya mandau, atau melesatnya damak sumpitan. Tapi Damang tak mengijinkan!
BALIAN 1
Damang
benar. Negeri ini punya hukum.
PEMUDA 2
Apa
orang-orang yang ada di balik gunung sana peduli dengan hukum?
BALIAN 1
Tak seorang
pun yang kebal terhadap hukum.
PEMUDA 1
Hukum kadang
juga diperdagangkan orang!
BALIAN 1
Terkutuklah
orang yang memperdagangkan hukum itu!
PEMUDA 1
Kutuklah
mereka! Sumpahi mereka! Seribu kutuk, sejuta sumpah takkan membuat mereka jera!
DAMANG
Diam!
Orang-orang puak Tingang adalah orang yang berguru kepada alam. Adat kita
mengutamakan kejujuran, keberanian, kegagahan dan kebijaksanaan. Keberanian
tanpa kejujuran cumalah melahirkan manusia-manusia angkara. Kegagahan tanpa
kebijaksanaan cuma membentuk insan-insan buas. Dan kita bukan manusia angkara,
bukan pula insan-insan buas.
Dengan keberanian
kita bertahan hidup di hutan-hutan, di gunung-gunung, di ceruk-ceruk lembah.
Dengan kegagahan kita berjuang mempertahankan hidup, memburu binatang liar,
merambah hutan membuka huma-ladang, memberi harga terhadap diri kita sendiri.
Dengan kejujuran kita saling mempercayai satu sama lain, menjauhkan itikad
buruk dan niat jahat. Dan dengan kebijaksanaan kita atur arah hidup kita, kita
arahkan gelinjang nafsu kita.
Semua itu
harus kalian tanamkan dalam-dalam di lubuk hati, di segenap padang pikir dan rasa,
sebab tanpa hal-hal semacam itu maka kalian bukanlah seorang puak Tingang!
Melihat
sikap dan mendengar tutur Damang yang penuh perbawa, para pemuda mulai melunak.
PEMUDA 2
Lalu, apa
yang harus kita lakukan?
DAMANG
Lusa aku
akan ke kota, menyampaikan keluhan kita pada para petinggi.
PEMUDA 1
Apa? Bicara?
Aahh…suara orang udik, suara orang awam, suara dari bawah, mana mungkin
didengar oleh para petinggi? Mana mungkin diperhatikan?
DAMANG
Pasti
didengarkan, pasti diperhatikan, sebab kita juga adalah bagian dari negeri ini,
bagian yang wajib untuk diayomi.
PEMUDA 1
(Agak
sinis) Yaaahh…kitalah yang selalu mereka pikirkan. Orang-orang macam
kitalah yang mengilhami para petinggi itu untuk betah duduk dalam seminar
berhari-hari, adu pendapat dalam diskusi yang berbusa-busa, bersitegang di
ruang-ruang persidangan.
Terdengar
tangis bayi.
WANITA 2
(Menyanyi
sambil melangkah ke luar panggung)
Kur
sumangat, si bintang timur si bintang timur
Lakas
bapajam lakasi guring
PEMUDA 1
(Masih
dalam nada sinis) Dan tangisan bayi itulah salah satu hasilnya. Ketika
terjadi pembangunan kawasan dan pengusahaan hutan-hutan terjadi pulalah wabah
perkawinan antara gais-gadis puak Tingang dengan para pendatang. Tapi
pendatang-pendatang itu kemudian minggat begitu saja. Tertinggallah istri-istri
tanpa suami. Tertinggallah anak-anak tanpa ayah. Anak-anak yang tumbuh bagai
pokok-pokok liar di hutan, tak tahu berasal dari buah pohon yang mana.
PEMUDA 3
(Dari
luar panggung) Damang !
——————————————–MUSIK
; KANJAR————————————–
Pemuda 3
masuk panggung.
PEMUDA 3
Damang, aku
barusan datang dari kota. Seorang petugas menitipkan surat ini. (Menyerahkan
sepucuk surat)
Damang
menerima surat itu lalu membacanya. Sesaat kemudian wajah dan sikapnya berubah.
DAMANG
(Membaca surat)
Demi kemakmuran bersama maka seluruh puak Tingang diperintahkan agar segera
bersiap untuk meninggalkan perkampungan yang dihuni selama ini.
BALIAN 2
Apa? Kita
harus meninggalkan tanah leluhur ini? Meninggalkan kawasan yang telah
menghidupi kita lebih dari tujuh keturunan ini?
DAMANG
(Tak
peduli pada ucapan Balian 2, terus membaca surat) Berdasar foto udara,
kawasan puak Tingang termasuk tanah milik negara.
ANAK 1
PEREMPUAN 3
Foto yang
diambil dari pesawat terbang atau satelit yang jauh di angkasa.
ANAK 1
Apakah kita
dan kehidupan kita terekam di foto itu?
PEREMPUAN 1
Tidak, Nak.
Kita terlalu kecil untuk terekam di situ.
ANAK 1
Artinya,
kita dan kehidupan kita dianggap tidak ada?
PEREMPUAN 3
Bukan
dianggap tidak ada, tapi dinyatakan tidak ada.
BALIAN 3
(Melerai)
Sudahlah, biarkan Damang membacakan lanjutan surat itu.
DAMANG
Kawasan puak
Tingang akan dialihfungsikan. Di situ akan dijadikan areal pertambangan batu
bara. Sebagian lagi akan dijadikan areal perkebunan kelapa sawit, dan sebagian
lagi untuk objek wisata. Proyek alihfungsi itu nilai ekonomisnya amat tinggi,
amat berguna bagi kemakmuran bersama.
PEREMPUAN 1
Kemakmuran?
Adakah kata manis yang lebih pahit dari itu? Kata yang demikian menyihir! Kata
yang begitu berkuasa, bahkan mampu menjajah mimpi-mimpi! Kata yang akan membuat
sebuah perkampungan menjadi masa lalu!
DAMANG
(Terus
membaca surat) Pahamilah maksud baik kami ini.
PEMUDA 1
Maksud baik?
Maksud baik untuk siapa?
DAMANG
(Meledak
tiba-tiba) Ya, maksud baik untuk siapa? Belum cukupkah maksud baik yang
mereka hempaskan pada diri kita? Kebaikan di satu pihak dan keburukan yang
muncul dari kebaikan itu di pihak lain, di pihak kita, menindih bahu-bahu kita
yang telah ringkih! Kemakmuran di satu pihak, dan pengorbanan di pihak lain, di
pihak kita, manusia-manusia yang telah dinilai sebagai sekumpulan orang yang
kehilangan rasa sakit, yang ketawa-ketawa dari perahan kenyerian, yang kebal
terhadap penderitaan karena bisa menikmatinya!
PEREMPUAN 1
(larut
dalam emosi Damang) Dan sekarang kita digiring lagi ke altar pengorbanan,
meninggalkan leluhur-leluhur kita yang telah berkubur, meninggalkan sanginduyung-sanginduyung
yang tegak di bukit-bukit, meninggalkan semua yang telah menjadi milik kita
setelah kita kucurkan keringat, darah dan air mata!
DAMANG
Laksanakan
upacara! Bentangkan jalan untuk aku masuk ke alam sangiyang! Aku hendak membaca
tanda-tanda zaman!
————————————MUSIK:
TANDIK BALIAN———————————–
Tarian
upacara berlangsung. Pada gerak persembahan ke arah langgatan, musik tiba-tiba
mati, yang terdengar cuma bunyi gong beragam nada yang dipukul satu-satu dan
bunyi gemerincing gayang hiyang para balian. Seiring dengan itu lampu padam.
Dalam kegelapan terdengar para balian mendaraskan mamang/litani.
KOOR BALIAN
iiii…lah
di langit
batampa urang
di tanah
batampa dadi
di langit
bajunjung kaca
di tanah
baruntai anggit.
Di panggung
tinggal Damang dan 4 penari yang membentangkan kain putih. Seiring dengan
lengkingan serunai bambu, lampu ultraviolet menyala. Sosok Damang nampak
seperti mengambang di udara. 4 penari menggerak-gerakan kain seperti angin yang
bertiup keras.
PEREMPUAN 1
(Dari luar
panggung) Apa yang kautemui?
DAMANG
Sarang
angin!
PEREMPUAN 1
Lepaskan
Hakikat diri. Masuki sarang angin
—————————————–MUSIK
: TANDIK BALIAN—————————–
Setiap
Damang maju, kain putih mengibasnya. Damang jatuh-bangun, namun dengan gigih
berjuang memasuki sarang angin. Dia berhasil masuk. Kain putih sejenak
melingkarinya dan bergerak berputar untuk kemudian meninggalkan pentas.
PEREMPUAN 2
(Dari
luar panggung) Apa yang kau temukan?
DAMANG
Samudera
cahaya.
PEREMPUAN 2
Seberangi.
——————————–
——MUSIK : TANDIK BALIAN——————————–
Damang
membuat gerak melayari samudera cahaya. Musik perlahan hilang bunyi. Kesunyian
menyungkup. Orang-orang membawa kertas bertulisan angka-angka berseliweran di
panggung.
PEREMPUAN 1
Apa yang
kautemukan?
DAMANG
Mahligai
kesunyian.
PEREMPUAN 1
Apa isi
mahligai kesunyian?
DAMANG
Angka-angka.
PEREMPUAN 1
Kenapa
mahligai kesunyian penuh dengan angka-angka?
DAMANG
Hampir semua
orang yang memasuki mahligai kesunyian senantiasa bermaksud membolak-balik
angka-angka. Angka-angka untung-rugi, angka-angka komisi, angka-angka
manipulasi, angka-angka gratifikasi, angka-angka…
PEREMPUAN 1
(Memotong
cepat) Kita tidak memerlukan angka-angka! Susupi mahligai kesunyian!
Angka-angka
sejenak mengepung Damang. Damang membuat gerakan mengibas. Angka-angka
cerai-berai dan ke luar panggung.
DAMANG
Ooo,
warna-warna senja kala! Pohon-pohon yang tercerabut bersama akar-akarnya!
Pohon-pohon yang melintang dan membusuk di jalan waktu! Akankah kubiarkan
perkampungan tenggelam dalam air mata, ataukah harus kukibarkan bendera
perlawanan?
B L A C
K O U T
EPISODE DUA
Suasana
pesta. Petinggi dan kelompoknya, lelaki dan perempuan, menyanyi dan menari
dengan gaya komikal sekaligus erotik.
ORANG 1
Tuan, kami
mengucapkan selamat atas terjalinnya kontrak bagi pengelolaan kawasan
pegunungan di wilayah puak Tingang itu.
PETINGGI
Terima
kasih…terima kasih. Itu berkat kerja keras kita semua. Kawasan itu sebentar
lagi akan menjelma firdaus. Suasana malam akan demikian indah di situ. Orang-orang
akan bisa membuang keletihan akibat gasingan jam-jam brutal kota-kota. Mereka
akan berenang-renang menikmati sejuknya air, memencing ikan membuang kejenuhan.
Perahu-perahu naga hilir-mudik, layar beragam warna terkembang, dan orang pun
akan menikmati fantasi petualangan nenek moyang yang melayari samudera mencari
benua-benua.
ORANG 2
Hal yang
kami tidak mengerti adalah dari mana Tuan mendapatkan pemikiran yang demikian
cemerlang untuk menata kawasan firdaus itu.
PETINGGI
(Tertawa
senang) Dari wawasan yang luas, dari pandangan yang jeli dan jauh
menjangkau cakrawala di balik cakrawala.
ORANG 3
(Menyambung
cepat) Yang tentu saja tidak dimiliki oleh setiap orang….
PETINGGI
Tepat!
ORANG 1
Tuan, kalau
boleh kami mengusulkan agar di tepi-tepi danau buatan itu nanti dibangun….
PETINGGI
Rumah-rumah
pelacuran? Begitu maksudmu?
ORANG 1
Aahh,
ternyata hal yang baru saja kami pikirkan itu sudah lama masuk dalam rencana
Tuan. Duh, sungguh lambat cara berpikir kami.
PETINGGI
Ingat, aku
orang yang punya wawasan luas, orang yang punya pandangan jeli dan jauh ke
depan.
Rumah-rumah
yang dibangun di situ haruslah dengan arsitektur masa lalu yang indah dan
nyaman. Ingat, arsitektur masa lalu.
ORANG 2
Kenapa harus
begitu, Tuan?
PETINGGI
Agar
orang-orang yang bercinta di situ akan merasa bercinta dengan peri-peri danau,
peri-peri hutan dan gunung.
Pesta terus
berlangsung. Petugas 1 masuk panggung.
PETUGAS 1
Tuan, Damang
puak Tingang mohon untuk menghadap.
PETINGGI
Mau apa dia?
PETUGAS 1
Protes pada
kebijakan Tuan.
PETINGGI
Apa? Mau
protes? Apa kedudukannya sehingga mau protes terhadap kebijakan yang telah aku
firmankan? Segera amankan Damang itu!
PETUGAS 1
Tuan, apa
tidak perlu kita selidiki lebih dahulu?
PETINGGI
Bodoh!
Amankan dahulu baru diselidiki. Itu namanya langkah pengamanan. Dan ingat,
semuanya harus berlangsung dengan…tanpa jejak!
B L A C
K O U T
EPISODE TIGA
Panggung
redup. Ada anak kecil di situ. Samar kelihatan Damang, terkulai.
ANAK KECIL
Paman
Lamut…Paman lamut. Mereka masukkan Damang itu ke dalam sel yang gelap. Tanpa
lampu, tanpa lubang cahaya. Ada hawa tapi tak ada angkasa. Ooo, pengab. Dia
pandangi dinding-dinding yang mengurung, lalu…
DAMANG
(Menyanyi
dalam suara serak)
aku terpisah
di balik kabut tak bertepi
secarik
kabar darimu akan sangat berarti
di sini cuma
ada bangku tidur yang dingin
dan selalu
saja ada penuh ratusan nyamuk
seakan suara
rakyatku[9]
ANAK KECIL
Dia bernyanyi.
Entah untuk melepas rasa sepi, entah untuk membuang rasa nyeri, entah untuk
melonggarkan cekikan putus asa. Paman Lamut…Paman Lamut….di mana letaknya
keadilan?
Anak kecil
ke luar panggung. Petugas 1 dan Petugas 2 masuk panggung.
DAMANG
Kalian ini sebenarnya
siapa?
PETUGAS 1
Petugas.
DAMANG
Petugas dari
mana?
PETUGAS 1
Petugas ya
petugas, tidak perlu dari mana-mana.
DAMANG
Kenapa
kalian menangkap dan mengurungku di sini?
PETUGAS 2
Tugas.
DAMANG
Tugas dari
siapa?
PETUGAS 2
Pemimpin.
DAMANG
Siapa
pemimpin kalian?
PETUGAS 2
Pemimpin ya
pemimpin, tak perlu siapa-siapa.
PETUGAS 1
Damang,
istirahatlah dengan baik. Barangkali kau akan lama bersama kami.
B L A C
K O U T
Panggung
redup. Damang dan Petugas 1 di panggung. Pembicaraan berlangsung dalam tempo
lambat, terkesan ramah dan akrab.
PETUGAS 1
Damang, apa
engkau sehat.
DAMANG
Ya.
PETUGAS 1
Aku ingin
mengajukan beberapa pertanyaan.
DAMANG
Silakan.
PETUGAS 1
Apa warna
kesukaanmu?
DAMANG
Hijau.
PETUGAS 1
Kenapa kau
menyukai warna hijau?
DAMANG
Mengingatkanku
pada alam.
PETUGAS 1
Apa warna
yang tidak kausukai?
DAMANG
Merah.
PETUGAS 1
Kenapa kau
tidak menyukai warna merah?
DAMANG
Mengingatkanku
pada darah.
PETUGAS 1
Terima
kasih. Istirahatlah dengan baik dan berdoalah agar puak Tingang tidak berenang
dalam danau darah.
B L A C
K O U T
Panggung
redup. Damang, Petugas 1 dan Petugas 2 di panggung.
PETUGAS 2
Damang! Kami
akan mengajukan beberapa pertanyaan! Apabila kau tidak menjawab maka pertanyaan
itu akan diulang, diulang, dan terus diulang sampai kau menjawab. Kami akan
menanyaimu secara bergiliran sehingga jika kau tidak menjawab maka kau tidak
akan punya waktu untuk istirahat, apalagi untuk tidur! Mengerti?
DAMANG
Ya.
PETUGAS 2
Pertanyaan
pertama, apa warna kesukaanmu?
DAMANG
Sudah
beratus kali aku menjawab pertanyaan remeh semacam itu.
PETUGAS 2
Apa warna
kesukaanmu?
DAMANG
Apa hubungan
pertanyaan itu dengan sebab aku terkurung di sini?
PETUGAS 2
Apa warna
kesukaanmu?
DAMANG
Apakah tidak
ada…
PETUGAS 2
Apa warna
kesukaanmu?
DAMANG
Hijau!
PETUGAS 1
Pertanyaan
kedua….
DAMANG
Kenapa kau
menyukai warna hijau, begitu bukan?
PETUGAS 1
Kenapa kau
menyukai warna hijau?
DAMANG
Astaga!
Apakah kalian sudah gila semua!
PETUGAS 1
Kenapa kau
menyukai warna hijau? (Damang diam). Kenapa kau menyukai warna hijau?
Damang tetap
tidak menjawab. Pasukan Penyapu memukul-mukulkan sapu ke lantai. Damang
bereaksi kesakitan.
PETUGAS 2
Damang!
Kenapa kau menyukai warna hijau?
Damang tak
menjawab. Pasukan Penyapu kembali memukul-mukulkan sapu. Damang menggeliat
kesakitan.
PETUGAS 2
Kenapa
kau menyukai warna hijau?
DAMANG
(Dalam
engah sakit dan kesal) Mengingatkanku pada alam
PETUGAS 2
Warna apa
yang tidak kau sukai?
DAMANG
Merah.
PETUGAS 2
Kenapa kau
tidak menyukai warna merah?
DAMANG
Mengingatkanku
pada darah.
B L A C
K O U T
Panggung
tetap redup. Terlihat kondisi Damang sudah payah.
PETUGAS 1
Damang! Apa
warna kesukaanmu?
DAMANG
Merah.
PETUGAS 1
Kenapa kau
menyukai warna merah?
DAMANG
Mengingatkanku
pada alam.
PETUGAS 1
Warna apa
yang tidak kau sukai?
DAMANG
Hijau.
PETUGAS 1
Kenapa kau
tidak menyukai warna hijau?
DAMANG
Mengingatkanku
pada darah.
B L A C
K O U T
Damang
sendirian di panggung. Dia bicara sendiri, seperti orang mengigau.
DAMANG
Merah!
Mengingatku pada alam! Hijau! Mengingatkanku pada darah!
(Kalimat
itu diucapkan berkali-kali sampai akhirnya diucapkan tanpa suara, cuma berupa
gerakan mulut dalam tempo yang lambat)
B L A C
K O U T
Lampu
ultraviolet menyala. Di tubuh Damang ada 6 jurai kain putih, masing-masing
dipegang oleh Petugas 2 dan Pasukan Penyapu.
PETUGAS 1
Damang!
DAMANG
(Menyahut
secara otomatis, dalam teriakan parau) Merah! Mengingatkanku pada alam!
Hijau! Mengingatku pada darah!
PETUGAS 1
Damang,
minumlah. (Mengguyurkan air ke mulut Damang) Kami sesungguhnya sedih
melihat keadaanmu. Dan terlebih sedih lagi karena dua hari lalu lima pemuda
puak Tingang mandi darah. (Meneliti reaksi Damang) Tidak…tidak, mereka
tidak mati, tapi kematian cuma soal waktu. Kami memberi waktu tiga hari untuk
mengosongkan perkampungan. Kalau tidak dikosongkan kami akan ambil jalan
kekerasan.
DAMANG
Kejam
sekali.
PETUGAS 1
Damanglah
yang kejam. Apa susahnya meninggalkan kawasan itu, beralih tempat ke kawasan
yang telah disediakan? (Kembali meneliti reaksi Damang) Bukankah
sikap Damang yang membuat semua ini terjadi? Bukankah tangan Damang sendiri
yang menciptakan danau darah?
DAMANG
Aku….aku….
PETUGAS 1
Damang boleh
merasa jadi pahlawan, tapi tidakkah Damang juga memikirkan anak-anak kecil,
orang-orang muda, yang sampai embusan nafas terakhir mereka nanti sama sekali
tak mengerti kenepa mereka harus terenggut dari dunia yang indah ini.
Aaahh..mata anak-anak kecil yang polos itu…mungkin akan memburu dan mengepung
Damang dengan pertanyaan mereka hingga ke dunia arwah.
DAMANG
Engkau boleh
berkata apa saja, tapi aku tidak akan menyerah.
PETUGAS 1
Ini bukan
soal menyerah atau tidak, Damang, tapi soal menyelamatkan puak Tingang dari
kepunahan. Di tangan pemimpin kami, kekuasaan tak ubahnya sebongkah batu besar
yang menggelinding dari pucuk gunung, akan melindas siapa pun yang mencoba
menahannya. Pikirkanlah itu, Damang. Pikirkanlah…..
DAMANG
Tidak ada
lagi yang perlu aku pikirkan. Gunung beserta hutan-hutannya adalah roh
kehidupan kami. Itu yang kalian tidak mengerti. Jika gunung dan hutan-hutan
terenggut dari kami maka kami tak ubahnya mayat hidup!
Kain putih
digerak-gerakkan seperti gelombang, kemudian berputar melilit tubuh Damang
sampai ke mulut. Damang digotong ke luar panggung. Sesaat mencapai bibir
panggung, langgatan yang tergantung jatuh ke lantai, hancur berkeping.
SELESAI
Kandangan,
1992
[1] Langgatan =
sentrum upacara berhias anyaman pucuk enau
[2] Ning Diwata
= Yang Maha Kuasa dalam kepercayaan Dayak Meratus
[3] Penggalan
puisi Rendra.
[4] Bilah-bilah
bambu runcing yang ditancapkan di sekeliling kubur, dipercaya jadi penangkal
makhluk jahat.
[5] Damang =
Kepala Suku
[6] Halang
Sapah = elang berbulu merah, dipercayai sebagai pembawa pertanda kematian.
[7] Balian =
dukun, penghubung dengan alam supranatura
[8] Umang = ibu
[9] Penggalan
lagu Leo Kristi
Sumber naskah di sini
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?