Minggu, 10 Februari 2013

ROH BUKIT KEHILANGAN BUKIT


Berikut ini adalah salah satu naskah yang pernah aku mainkan. Naskah ini adalah karya Pak Burhanuddin Soebely, salah satu sastrawan terkenal yang ada di Kalimantan Selatan. Naskah ini merupakan salah satu naskah yang sangat aku sukai. Sarat dengan makna dan nasehat.
“Roh Bukit Kehilangan Bukit” adalah tema yang diangkat ketika aku memakai naskah ini. Dari isinya, naskah ini menggambarkan keadaan para penduduk yang tidak mau tanahnya direnggut oleh orang asing. Seperti tema yang ada, karena apabila itu terjadi, maka laksana Roh bukit kehilangan bukit.
TANAH AIR MATA
Karya
Burhanuddin Soebely

Ilustrasi


PEMBUKA

Panggung redup. Di tengah panggung terletak sebuah langgatan[1]. Tak jauh dari langgatan itu duduk perempuan 1 dan seorang anak kecil. Perempuan 1 itu lagi menganyam bakul. Anak kecil tengah membaca buku. Suara anak kecil itu suara khas anak SD yang tengah membaca, polos, nyaris tanpa artikulasi.

ANAK KECIL
Ada sebuah negeri, tempat kebaikan dan kejahatan bisa dirakit menjadi suatu bentuk keselarasan. Ada sebuah negeri, tempat ketidakjujuran dipelihara bersama. Sungguh, ada sebuah negeri, tempat orang ketawa bersama seraya makan tanah makan aspal makan semen makan gunung makan hutan makan jembatan; sementara berjuta pengeras suara mengumandangkan pembangunan, kemakmuran dan kesejahteraan.

Terdengar suara tepukan tangan yang riuh.

PETINGGI
(Dari luar panggung) Saudara-saudara, kemakmuran dan kesejahteraan adalah dambaan kita bersama. Dan itu cuma bisa kita capai kalau kita melakukan pembangunan. Membangun, saudara-saudara, terus membangun. Kawasan di kaki gunung ini tidak akan lagi menjadi kawasan terpencil. Di sini akan segera menjadi kawasan wisata yang penuh dengan fantasi menarik, nostalgik, romantik, eksotik dan…erotik. Kita akan bangun jalan raya. Kita akan bangun rumah-rumah peristirahatan. Kita bangun tempat-tempat hiburan. Pokoknya, kawasan ini akan segera menjadi sebuah firdaus.

Tepukan tangan kembali bergema. Setelah itu sunyi beberapa ketika.

PEREMPUAN I
(Dalam nada keluh yang kemudian meningkat menjadi teriakan serak bercampur sedu) Duh, Ning Diwata[2], dari balik meja-meja berkilat, para petinggi merasa amat tahu apa yang kami perlukan. Mereka mengira kami kesepian di ceruk gunung. Mereka mengira kami terasing di tengah rimba. Maka mereka babat hutan-hutan. Mereka runtuhi gunung-gunung. Mereka bangun jalan raya. Mereka dirikan rimba beton. Lalu mereka tuntun kami ke dunia yang mereka beri nama kemajuan. Mereka tak tahu, ya, Ning Diwata, bahwa di tengah yang mereka sebut kemajuan itu kami justru merasa terasing dan merasa amat kesepian.

ANAK KECIL
Paman Lamut…Paman Lamut. Aku mendengar suara, jerit hewan terluka. Ada orang memanah rembulan. Anak burung gugur dari sarangnya[3]

Sepi sejenak. Lalu perlahan masuk suara koor mendaraskan mamang/litani.

KOOR MAMANG
iiii…lah
nang manggaduh tihang aras mula jadi
nang manggaduh tihang aras mula ada
iiii…lah
turunan di gantang amas di gantang kaca
turunan di gantang intan di gantang sari

————————————— MUSIK : TANDIK BALIAN——————————-

Langgatan yang semula berada di lantai perlahan bergerak naik. Setelah langgatan sampai pada puncak, musik mendadak diam.

KOOR MAMANG
iiii…lah
langit baputar langit baguncang langit bacampin
tanah bargana bakumpang hati carincing gading
iiii…lah
baganti kulit baganti urat baganti daging
basamban darah batunggang angin

Di antara mamang tersebut orang-orang–lelaki, perempuan, dan anak-anak–masuk perlahan. Satu-dua perempuan itu menggendong bayi. Para lelaki membawa kain hitam.

ANAK 1
Kami bukanlah raja di bukit-bukit, bukan pula raja di hutan-hutan. Kami adalah anak-anak bukit, bocah-bocah hutan. Bentangan bukit berikut hutan-hutannya telah melahirkan, mengasuh, dan menghidupi kami.

ANAK 2
Gemercik air di pancur-pancur, suara-suara margasatwa, desir angin di daun-daun, gemerisik ranting-ranting, menjadi tembang kehidupan, indah berpadu dengan tembang nina bobo.

LELAKI 1
Tapi siapakah mereka yang menyesap sanginduyung[4], menebarkan bau bunga bau cendana di petanahan purba wadah semaian asa? Siapakah mereka yang merobeki rahim ibu bumi dan mengangkuti belulang moyang kami?

LELAKI 2
Duh, Ning Diwata, keganasan chain saw telah menciptakan musik rak-rak-gui. Mengalun dari waktu ke waktu. Bahkan dalam tidur pun musik itu terus mengumandang, bersabung dengan raung buldoser, erang eksavator, derak loader, gemuruh ribuan truk, menciptakan konser kecemasan dan pemandangan senja kala.

ANAK 1
Tuan-tuan, wahai, tuan-tuan, apalagi yang tersisa? Di mana lagi kami semaikan asa? Bukit-bukit tiada, hutan-hutan tiada, huma-huma tiada, kebun-kebun tiada. Tanah-tanah rekah mengalirkan nanah, pancur-pancur jelaga, sungai-sungai berbisa.

Terdengar lengking tangis bayi. Kain-kain hitam perlahan berubah menjadi ayunan.

PEREMPUAN 2
(Menyanyi)
guring-guring anakku guring
guring diakan dalam ayunan
guring-guring anakku guring
matanya kalat bawa bapajam

Ilustrasi


—————MUSIK : ALUNAN SERULING DALAM LAGU YANG SAMA———-

PEREMPUAN 3
Jangan menangis, Diyang, karena jiwa mereka telah kering, karena mereka adalah bangkai yang berkisar di antara angka-angka, yang sungainya cuma kerakusan, yang muaranya cuma perasaan ketidakcukupan akan sebiji dunia.

———————————–MUSIK : TANDIK BALIAN———————————–

B L A C K   O U T


EPISODE SATU

Damang[5], para lelaki, perempuan dan anak-anak puak Tingang di panggung.

PEREMPUAN 1
Senja tadi genap sudah tujuh senja aku melihat Halang Sapah[6] berkulik panjang sembari terbang memutari perkampungan dalam tujuh pusingan pulang-balik. Kulikan panjang halang sapah itu mirip ratapan. Dan bagi telingaku seakan berubah menjadi bunyi gong, gendang dan serunai yang mengalun mengiringi upacara kematian.

PEREMPUAN 2
Apa kaupikir itu merupakan pertanda akan datangnya bencana?

PEREMPUAN 1
Entahlah, tapi hatiku terasa amat tak nyaman. Sudah beberapa malam ini aku sukar sekali tidur.

PEREMPUAN 3
(Kearah Balian 1) Adakah pantangan-pantangan yang dilanggar oleh warga perkampungan kita?

BALIAN[7] 1
Tidak ada.

PEREMPUAN 3
Adakah pelanggaran adapt atau kejahatan yang tiak kita berikan hukuman?

BALIAN 1
Juga tidak ada.

PEREMPUAN 2
Lalu kenapa Ning Diwata seakan siap menurunkan kutuk pada kita?

BALIAN 2
Pertanyaanmu itu adalah juga pertanyaan yang selalu menyeruak di hati kami. Entah kenapa kemauan alam sekarang sukar ditebak, bahkan hitungan pergantian musimnya pun seakan tak lagi berlaku.

BALIAN 3
(Kepada Damang) Damang, apa pikirmu tentang semua ini?

DAMANG
Bagiku bencana itu sudah lama tiba. Ibarat sebatang pohon maka akar-akar kita tengah digerogoti penyakit. Tercerabutnya kita dari akar kehidupan sepertinya cuma tinggal menunggu waktu.

WANITA 2
Maksud, Damang?

DAMANG
Ketika para petinggi memutuskan untuk membangun kawasan ini, mereka agaknya lupa untuk lebih dahulu mempersiapkan orang gunung seperti kita agar bisa menerima pengaruh kemajuan tanpa harus kehilangan pegangan dalam menilai. Keawaman kita membuat kita seperti dihadapkan pada keadaan yang saling berlawanan.
Di antara slogan-slogan hidup sederhana, pemerataan, kesetia-kawanan sosial, sarana-sarana kemewahan justru bermunculan. Tanah-tanah huma, kebun karet, ladang kayu manis, berganti dengan rumah-rumah peristirahatan yang megah. Mobil-mobil mewah berlintasan, juga tata pergaulan yang kadang melampaui batas lalu-lalang.

WANITA 1
Keadaan yang dikatakan Damang itu membuat rasa kebenaran, rasa kebaikan, rasa keindahan, yang di waktu lalu tersimpul erat dengan sekian pamali dan ujaran leluhur, sekarang terasa melonggar.
Orang-orang muda kita yang awam cepat sekali tergoda dengan segala yang menyilaukan. Maka sedikit demi sedikit kita terhela ke penjara kabut yang menghalalkan mendaki pundak sesama untuk bisa melihat matahari. Bilas keringat kita yang pada mulanya bernama kebersamaan kini menjelma mimpi di langit-langit ujuk, membiuskan nafsu pemilikan kebendaan sehingga hati kita mulai memperanakkan macan yang menyiapkan cakar dalam keseharian.

BALIAN 1
Yah, kemajuan kadang diartikan orang dengan keberlebihan semata, sementara keimanan kita, adat kita, tidak mengajarkan keberlebihan itu. Semua yang berlebih kita kembalikan kepada Ning Diwata melewati alam dan kehidupan.Dalam keadaan sekarang, betapa sukarnya meneguhkan pengertian bahwa kita adalah bagian dari alam, dan alam merupakan bagian dari kita, sama sekali tak berjarak, saling menghidupi.

PEMUDA 1
(Dari luar panggung) Damang!

———————————————MUSIK : KANJAR————————————-

Pemuda 1 dan Pemuda 2 masuk panggung.

PEMUDA 1
Damang, kami ingin tahu jawabanmu tentang persoalan yang kami sampaikan kemarin.

DAMANG
Jawabanku masih tetap seperti semula.

PEMUDA 2
Jadi Damang tetap tak memberi ijin pada kami untuk berangkat ke balik gunung itu?

DAMANG
Ya, itu bukan penyelesaian yang terbaik.

PEMUDA 2
Rupanya Damang tak lagi berpikir tentang keselamatan perkampungan dan kehidupan puak Tingang ini.

DAMANG
Justru keselamatan dan kesejahteraan kitalah yang terus kupikirkan.

PEMUDA 1
Lalu, kenapa Damang tak memberi ijin pada kami untuk menghentikan tindakan orang-orang di balik gunung itu?

DAMANG
Tindakan mereka memang harus dicermati, tetapi bukan dengan cara menindas ancaman lewat kekerasan, apalagi melalui bentrokan.

PEMUDA 1
Kita bertindak karena kita telah dipaksa oleh keadaan. Kita telah turuti anjuran para petinggi agar tak lagi bercocok tanam dengan menggunakan ladang berpindah demi lestarinya alam dan lingkungan kita. Tapi para petinggi itu justru tak mengambil tindakan apa-apa ketika orang-orang di balik gunung sana terus menggunduli hutan-hutan tanpa berusaha menanaminya kembali!

DAMANG
Aku tengah memikirkan…

PEMUDA 2
(Memotong cepat) Berpikir? Berpikir apalagi? Berpikir dan terus berpikir sementara lingkunga kita kian hari kian terancam. Setiap saat kawasan pegunungan ini digerogoti. Sekarang tanah-tanah sudah berubah rapuh dan sering longsor, banjir sudah sering melanda, binatang-binatang hutan yang kehilangan tempat tinggal berbondong-bondong datang merusak huma ladang kita!

PEMUDA 1
Orang di balik gunung itu juga membabat hutan-hutan dengan semena-mena, membabi buta. Hutan-hutan yang kita keramatkan juga mereka babat. Akibatnya para pujut para sangiyang di hutan itu marah sehingga banyak warga puak kita sakit atau meninggal.

BALIAN 1
Mau kalian sebenarnya bagaimana?

PEMUDA 1
Kami hendak memberikan teguran kepada orang-orang itu. Kalau mereka tidak juga memperhatikan maka kami akan memberikan teguran dengan runcingnya tombak, tajamnya mandau, atau melesatnya damak sumpitan. Tapi Damang tak mengijinkan!

BALIAN 1
Damang benar. Negeri ini punya hukum.

PEMUDA 2
Apa orang-orang yang ada di balik gunung sana peduli dengan hukum?

BALIAN 1
Tak seorang pun yang kebal terhadap hukum.

PEMUDA 1
Hukum kadang juga diperdagangkan orang!

BALIAN 1
Terkutuklah orang yang memperdagangkan hukum itu!

PEMUDA 1
Kutuklah mereka! Sumpahi mereka! Seribu kutuk, sejuta sumpah takkan membuat mereka jera!

DAMANG
Diam! Orang-orang puak Tingang adalah orang yang berguru kepada alam. Adat kita mengutamakan kejujuran, keberanian, kegagahan dan kebijaksanaan. Keberanian tanpa kejujuran cumalah melahirkan manusia-manusia angkara. Kegagahan tanpa kebijaksanaan cuma membentuk insan-insan buas. Dan kita bukan manusia angkara, bukan pula insan-insan buas.
Dengan keberanian kita bertahan hidup di hutan-hutan, di gunung-gunung, di ceruk-ceruk lembah. Dengan kegagahan kita berjuang mempertahankan hidup, memburu binatang liar, merambah hutan membuka huma-ladang, memberi harga terhadap diri kita sendiri. Dengan kejujuran kita saling mempercayai satu sama lain, menjauhkan itikad buruk dan niat jahat. Dan dengan kebijaksanaan kita atur arah hidup kita, kita arahkan gelinjang nafsu kita.
Semua itu harus kalian tanamkan dalam-dalam di lubuk hati, di segenap padang pikir dan rasa, sebab tanpa hal-hal semacam itu maka kalian bukanlah seorang puak Tingang!

Melihat sikap dan mendengar tutur Damang yang penuh perbawa, para pemuda mulai melunak.

PEMUDA 2
Lalu, apa yang harus kita lakukan?

DAMANG
Lusa aku akan ke kota, menyampaikan keluhan kita pada para petinggi.

PEMUDA 1
Apa? Bicara? Aahh…suara orang udik, suara orang awam, suara dari bawah, mana mungkin didengar oleh para petinggi? Mana mungkin diperhatikan?

DAMANG
Pasti didengarkan, pasti diperhatikan, sebab kita juga adalah bagian dari negeri ini, bagian yang wajib untuk diayomi.

PEMUDA 1
(Agak sinis) Yaaahh…kitalah yang selalu mereka pikirkan. Orang-orang macam kitalah yang mengilhami para petinggi itu untuk betah duduk dalam seminar berhari-hari, adu pendapat dalam diskusi yang berbusa-busa, bersitegang di ruang-ruang persidangan.

Terdengar tangis bayi.

WANITA 2
(Menyanyi sambil melangkah ke luar panggung)
Kur sumangat, si bintang timur si bintang timur
Lakas bapajam lakasi guring

PEMUDA 1
(Masih dalam nada sinis) Dan tangisan bayi itulah salah satu hasilnya. Ketika terjadi pembangunan kawasan dan pengusahaan hutan-hutan terjadi pulalah wabah perkawinan antara gais-gadis puak Tingang dengan para pendatang. Tapi pendatang-pendatang itu kemudian minggat begitu saja. Tertinggallah istri-istri tanpa suami. Tertinggallah anak-anak tanpa ayah. Anak-anak yang tumbuh bagai pokok-pokok liar di hutan, tak tahu berasal dari buah pohon yang mana.

PEMUDA 3
(Dari luar panggung) Damang !

——————————————–MUSIK ; KANJAR————————————–

Pemuda 3 masuk panggung.

PEMUDA 3
Damang, aku barusan datang dari kota. Seorang petugas menitipkan surat ini. (Menyerahkan sepucuk surat)

Damang menerima surat itu lalu membacanya. Sesaat kemudian wajah dan sikapnya berubah.

DAMANG
(Membaca surat) Demi kemakmuran bersama maka seluruh puak Tingang diperintahkan agar segera bersiap untuk meninggalkan perkampungan yang dihuni selama ini.

BALIAN 2
Apa? Kita harus meninggalkan tanah leluhur ini? Meninggalkan kawasan yang telah menghidupi kita lebih dari tujuh keturunan ini?

DAMANG
(Tak peduli pada ucapan Balian 2, terus membaca surat) Berdasar foto udara, kawasan puak Tingang termasuk tanah milik negara.

ANAK 1
(Kepada Perempuan 3) Umang[8], foto udara itu apa?

PEREMPUAN 3
Foto yang diambil dari pesawat terbang atau satelit yang jauh di angkasa.

ANAK 1
Apakah kita dan kehidupan kita terekam di foto itu?

PEREMPUAN 1
Tidak, Nak. Kita terlalu kecil untuk terekam di situ.

ANAK 1
Artinya, kita dan kehidupan kita dianggap tidak ada?

PEREMPUAN 3
Bukan dianggap tidak ada, tapi dinyatakan tidak ada.

BALIAN 3
(Melerai) Sudahlah, biarkan Damang membacakan lanjutan surat itu.

DAMANG
Kawasan puak Tingang akan dialihfungsikan. Di situ akan dijadikan areal pertambangan batu bara. Sebagian lagi akan dijadikan areal perkebunan kelapa sawit, dan sebagian lagi untuk objek wisata. Proyek alihfungsi itu nilai ekonomisnya amat tinggi, amat berguna bagi kemakmuran bersama.

PEREMPUAN 1
Kemakmuran? Adakah kata manis yang lebih pahit dari itu? Kata yang demikian menyihir! Kata yang begitu berkuasa, bahkan mampu menjajah mimpi-mimpi! Kata yang akan membuat sebuah perkampungan menjadi masa lalu!

DAMANG
(Terus membaca surat) Pahamilah maksud baik kami ini.

PEMUDA 1
Maksud baik? Maksud baik untuk siapa?

DAMANG
(Meledak tiba-tiba) Ya, maksud baik untuk siapa? Belum cukupkah maksud baik yang mereka hempaskan pada diri kita? Kebaikan di satu pihak dan keburukan yang muncul dari kebaikan itu di pihak lain, di pihak kita, menindih bahu-bahu kita yang telah ringkih! Kemakmuran di satu pihak, dan pengorbanan di pihak lain, di pihak kita, manusia-manusia yang telah dinilai sebagai sekumpulan orang yang kehilangan rasa sakit, yang ketawa-ketawa dari perahan kenyerian, yang kebal terhadap penderitaan karena bisa menikmatinya!

PEREMPUAN 1
(larut dalam emosi Damang) Dan sekarang kita digiring lagi ke altar pengorbanan, meninggalkan leluhur-leluhur kita yang telah berkubur, meninggalkan sanginduyung-sanginduyung yang tegak di bukit-bukit, meninggalkan semua yang telah menjadi milik kita setelah kita kucurkan keringat, darah dan air mata!

DAMANG
Laksanakan upacara! Bentangkan jalan untuk aku masuk ke alam sangiyang! Aku hendak membaca tanda-tanda zaman!

————————————MUSIK: TANDIK BALIAN———————————–

Tarian upacara berlangsung. Pada gerak persembahan ke arah langgatan, musik tiba-tiba mati, yang terdengar cuma bunyi gong beragam nada yang dipukul satu-satu dan bunyi gemerincing gayang hiyang para balian. Seiring dengan itu lampu padam. Dalam kegelapan terdengar para balian mendaraskan mamang/litani.

KOOR BALIAN
iiii…lah
di langit batampa urang
di tanah batampa dadi
di langit bajunjung kaca
di tanah baruntai anggit.

Di panggung tinggal Damang dan 4 penari yang membentangkan kain putih. Seiring dengan lengkingan serunai bambu, lampu ultraviolet menyala. Sosok Damang nampak seperti mengambang di udara. 4 penari menggerak-gerakan kain seperti angin yang bertiup keras.

PEREMPUAN 1
(Dari luar panggung) Apa yang kautemui?

DAMANG
Sarang angin!

PEREMPUAN 1
Lepaskan Hakikat diri. Masuki sarang angin

—————————————–MUSIK : TANDIK BALIAN—————————–

Setiap Damang maju, kain putih mengibasnya. Damang jatuh-bangun, namun dengan gigih berjuang memasuki sarang angin. Dia berhasil masuk. Kain putih sejenak melingkarinya dan bergerak berputar untuk kemudian meninggalkan pentas.

PEREMPUAN 2
(Dari luar panggung) Apa yang kau temukan?

DAMANG
Samudera cahaya.

PEREMPUAN 2
Seberangi.

——————————– ——MUSIK : TANDIK BALIAN——————————–

Damang membuat gerak melayari samudera cahaya. Musik perlahan hilang bunyi. Kesunyian menyungkup. Orang-orang membawa kertas bertulisan angka-angka berseliweran di panggung.

PEREMPUAN 1
Apa yang kautemukan?

DAMANG
Mahligai kesunyian.

PEREMPUAN 1
Apa isi mahligai kesunyian?

DAMANG
Angka-angka.

PEREMPUAN 1
Kenapa mahligai kesunyian penuh dengan angka-angka?

DAMANG
Hampir semua orang yang memasuki mahligai kesunyian senantiasa bermaksud membolak-balik angka-angka. Angka-angka untung-rugi, angka-angka komisi, angka-angka manipulasi, angka-angka gratifikasi, angka-angka…

PEREMPUAN 1
(Memotong cepat) Kita tidak memerlukan angka-angka! Susupi mahligai kesunyian!

Angka-angka sejenak mengepung Damang. Damang membuat gerakan mengibas. Angka-angka cerai-berai dan ke luar panggung.

DAMANG
Ooo, warna-warna senja kala! Pohon-pohon yang tercerabut bersama akar-akarnya! Pohon-pohon yang melintang dan membusuk di jalan waktu! Akankah kubiarkan perkampungan tenggelam dalam air mata, ataukah harus kukibarkan bendera perlawanan?

B L A C K   O U T


EPISODE DUA
Suasana pesta. Petinggi dan kelompoknya, lelaki dan perempuan, menyanyi dan menari dengan gaya komikal sekaligus erotik.

ORANG 1
Tuan, kami mengucapkan selamat atas terjalinnya kontrak bagi pengelolaan kawasan pegunungan di wilayah puak Tingang itu.

PETINGGI
Terima kasih…terima kasih. Itu berkat kerja keras kita semua. Kawasan itu sebentar lagi akan menjelma firdaus. Suasana malam akan demikian indah di situ. Orang-orang akan bisa membuang keletihan akibat gasingan jam-jam brutal kota-kota. Mereka akan berenang-renang menikmati sejuknya air, memencing ikan membuang kejenuhan. Perahu-perahu naga hilir-mudik, layar beragam warna terkembang, dan orang pun akan menikmati fantasi petualangan nenek moyang yang melayari samudera mencari benua-benua.

ORANG 2
Hal yang kami tidak mengerti adalah dari mana Tuan mendapatkan pemikiran yang demikian cemerlang untuk menata kawasan firdaus itu.

PETINGGI
(Tertawa senang) Dari wawasan yang luas, dari pandangan yang jeli dan jauh menjangkau cakrawala di balik cakrawala.

ORANG 3
(Menyambung cepat) Yang tentu saja tidak dimiliki oleh setiap orang….

PETINGGI
Tepat!

ORANG 1
Tuan, kalau boleh kami mengusulkan agar di tepi-tepi danau buatan itu nanti dibangun….

PETINGGI
Rumah-rumah pelacuran? Begitu maksudmu?

ORANG 1
Aahh, ternyata hal yang baru saja kami pikirkan itu sudah lama masuk dalam rencana Tuan. Duh, sungguh lambat cara berpikir kami.

PETINGGI
Ingat, aku orang yang punya wawasan luas, orang yang punya pandangan jeli dan jauh ke depan.
Rumah-rumah yang dibangun di situ haruslah dengan arsitektur masa lalu yang indah dan nyaman. Ingat, arsitektur masa lalu.

ORANG 2
Kenapa harus begitu, Tuan?

PETINGGI
Agar orang-orang yang bercinta di situ akan merasa bercinta dengan peri-peri danau, peri-peri hutan dan gunung.

Pesta terus berlangsung. Petugas 1 masuk panggung.

PETUGAS 1
Tuan, Damang puak Tingang mohon untuk menghadap.

PETINGGI
Mau apa dia?

PETUGAS 1
Protes pada kebijakan Tuan.

PETINGGI
Apa? Mau protes? Apa kedudukannya sehingga mau protes terhadap kebijakan yang telah aku firmankan? Segera amankan Damang itu!

PETUGAS 1
Tuan, apa tidak perlu kita selidiki lebih dahulu?

PETINGGI
Bodoh! Amankan dahulu baru diselidiki. Itu namanya langkah pengamanan. Dan ingat, semuanya harus berlangsung dengan…tanpa jejak!


B L A C K    O U T


EPISODE TIGA

Panggung redup. Ada anak kecil di situ. Samar kelihatan Damang, terkulai.

ANAK KECIL
Paman Lamut…Paman lamut. Mereka masukkan Damang itu ke dalam sel yang gelap. Tanpa lampu, tanpa lubang cahaya. Ada hawa tapi tak ada angkasa. Ooo, pengab. Dia pandangi dinding-dinding yang mengurung, lalu…

DAMANG
(Menyanyi dalam suara serak)
aku terpisah di balik kabut tak bertepi
secarik kabar darimu akan sangat berarti
di sini cuma ada bangku tidur yang dingin
dan selalu saja ada penuh ratusan nyamuk
seakan suara rakyatku[9]

ANAK KECIL
Dia bernyanyi. Entah untuk melepas rasa sepi, entah untuk membuang rasa nyeri, entah untuk melonggarkan cekikan putus asa. Paman Lamut…Paman Lamut….di mana letaknya keadilan?

Anak kecil ke luar panggung. Petugas 1 dan Petugas 2 masuk panggung.

DAMANG
Kalian ini sebenarnya siapa?

PETUGAS 1
Petugas.

DAMANG
Petugas dari mana?

PETUGAS 1
Petugas ya petugas, tidak perlu dari mana-mana.

DAMANG
Kenapa kalian menangkap dan mengurungku di sini?

PETUGAS 2
Tugas.

DAMANG
Tugas dari siapa?

PETUGAS 2
Pemimpin.

DAMANG
Siapa pemimpin kalian?

PETUGAS 2
Pemimpin ya pemimpin, tak perlu siapa-siapa.

PETUGAS 1
Damang, istirahatlah dengan baik. Barangkali kau akan lama bersama kami.

B L A C K   O U T

Panggung redup. Damang dan Petugas 1 di panggung. Pembicaraan berlangsung dalam tempo lambat, terkesan ramah dan akrab.

PETUGAS 1
Damang, apa engkau sehat.

DAMANG
Ya.

PETUGAS 1
Aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan.

DAMANG
Silakan.

PETUGAS 1
Apa warna kesukaanmu?

DAMANG
Hijau.

PETUGAS 1
Kenapa kau menyukai warna hijau?

DAMANG
Mengingatkanku pada alam.

PETUGAS 1
Apa warna yang tidak kausukai?

DAMANG
Merah.

PETUGAS 1
Kenapa kau tidak menyukai warna merah?

DAMANG
Mengingatkanku pada darah.

PETUGAS 1
Terima kasih. Istirahatlah dengan baik dan berdoalah agar puak Tingang tidak berenang dalam danau darah.

B L A C K    O U T

Panggung redup. Damang, Petugas 1 dan Petugas 2 di panggung.

PETUGAS 2
Damang! Kami akan mengajukan beberapa pertanyaan! Apabila kau tidak menjawab maka pertanyaan itu akan diulang, diulang, dan terus diulang sampai kau menjawab. Kami akan menanyaimu secara bergiliran sehingga jika kau tidak menjawab maka kau tidak akan punya waktu untuk istirahat, apalagi untuk tidur! Mengerti?

DAMANG
Ya.

PETUGAS 2
Pertanyaan pertama, apa warna kesukaanmu?

DAMANG
Sudah beratus kali aku menjawab pertanyaan remeh semacam itu.

PETUGAS 2
Apa warna kesukaanmu?

DAMANG
Apa hubungan pertanyaan itu dengan sebab aku terkurung di sini?

PETUGAS 2
Apa warna kesukaanmu?

DAMANG
Apakah tidak ada…

PETUGAS 2
Apa warna kesukaanmu?

DAMANG
Hijau!

PETUGAS 1
Pertanyaan kedua….

DAMANG
Kenapa kau menyukai warna hijau, begitu bukan?

PETUGAS 1
Kenapa kau menyukai warna hijau?

DAMANG
Astaga! Apakah kalian sudah gila semua!

PETUGAS 1
Kenapa kau menyukai warna hijau? (Damang diam). Kenapa kau menyukai warna hijau?

Damang tetap tidak menjawab. Pasukan Penyapu memukul-mukulkan sapu ke lantai. Damang bereaksi kesakitan.

PETUGAS 2
Damang! Kenapa kau menyukai warna hijau?

Damang tak menjawab. Pasukan Penyapu kembali memukul-mukulkan sapu. Damang menggeliat kesakitan.

PETUGAS 2
Kenapa  kau menyukai warna hijau?

DAMANG
(Dalam engah sakit dan kesal) Mengingatkanku pada alam

PETUGAS 2
Warna apa yang tidak kau sukai?

DAMANG
Merah.

PETUGAS 2
Kenapa kau tidak menyukai warna merah?

DAMANG
Mengingatkanku pada darah.

B L A C K    O U T


Panggung tetap redup. Terlihat kondisi Damang sudah payah.

PETUGAS 1
Damang! Apa warna kesukaanmu?

DAMANG
Merah.

PETUGAS 1
Kenapa kau menyukai warna merah?

DAMANG
Mengingatkanku pada alam.

PETUGAS 1
Warna apa yang tidak kau sukai?

DAMANG
Hijau.

PETUGAS 1
Kenapa kau tidak menyukai warna hijau?

DAMANG
Mengingatkanku pada darah.

B L A C K    O U T


Damang sendirian di panggung. Dia bicara sendiri, seperti orang mengigau.

DAMANG
Merah! Mengingatku pada alam! Hijau! Mengingatkanku pada darah!
(Kalimat itu diucapkan berkali-kali sampai akhirnya diucapkan tanpa suara, cuma berupa gerakan mulut dalam tempo yang lambat)

B L A C K   O U T

Lampu ultraviolet menyala. Di tubuh Damang ada 6 jurai kain putih, masing-masing dipegang oleh Petugas 2 dan Pasukan Penyapu.

PETUGAS 1
Damang!

DAMANG
(Menyahut secara otomatis, dalam teriakan parau) Merah! Mengingatkanku pada alam! Hijau! Mengingatku pada darah!

PETUGAS 1
Damang, minumlah. (Mengguyurkan air ke mulut Damang) Kami sesungguhnya sedih melihat keadaanmu. Dan terlebih sedih lagi karena dua hari lalu lima pemuda puak Tingang mandi darah. (Meneliti reaksi Damang) Tidak…tidak, mereka tidak mati, tapi kematian cuma soal waktu. Kami memberi waktu tiga hari untuk mengosongkan perkampungan. Kalau tidak dikosongkan kami akan ambil jalan kekerasan.

DAMANG
Kejam sekali.

PETUGAS 1
Damanglah yang kejam. Apa susahnya meninggalkan kawasan itu, beralih tempat ke kawasan yang telah disediakan? (Kembali meneliti reaksi Damang) Bukankah sikap Damang yang membuat semua ini terjadi? Bukankah tangan Damang sendiri yang menciptakan danau darah?

DAMANG
Aku….aku….

PETUGAS 1
Damang boleh merasa jadi pahlawan, tapi tidakkah Damang juga memikirkan anak-anak kecil, orang-orang muda, yang sampai embusan nafas terakhir mereka nanti sama sekali tak mengerti kenepa mereka harus terenggut dari dunia yang indah ini. Aaahh..mata anak-anak kecil yang polos itu…mungkin akan memburu dan mengepung Damang dengan pertanyaan mereka hingga ke dunia arwah.

DAMANG
Engkau boleh berkata apa saja, tapi aku tidak akan menyerah.

PETUGAS 1
Ini bukan soal menyerah atau tidak, Damang, tapi soal menyelamatkan puak Tingang dari kepunahan. Di tangan pemimpin kami, kekuasaan tak ubahnya sebongkah batu besar yang menggelinding dari pucuk gunung, akan melindas siapa pun yang mencoba menahannya. Pikirkanlah itu, Damang. Pikirkanlah…..

DAMANG
Tidak ada lagi yang perlu aku pikirkan. Gunung beserta hutan-hutannya adalah roh kehidupan kami. Itu yang kalian tidak mengerti. Jika gunung dan hutan-hutan terenggut dari kami maka kami tak ubahnya mayat hidup!

Kain putih digerak-gerakkan seperti gelombang, kemudian berputar melilit tubuh Damang sampai ke mulut. Damang digotong ke luar panggung. Sesaat mencapai bibir panggung, langgatan yang tergantung jatuh ke lantai, hancur berkeping.

SELESAI
Kandangan, 1992





[1] Langgatan = sentrum upacara berhias anyaman pucuk enau
[2] Ning Diwata = Yang Maha Kuasa dalam kepercayaan Dayak Meratus
[3] Penggalan puisi Rendra.
[4] Bilah-bilah bambu runcing yang ditancapkan di sekeliling kubur, dipercaya jadi penangkal makhluk jahat.
[5] Damang = Kepala Suku
[6] Halang Sapah = elang berbulu merah, dipercayai sebagai pembawa pertanda kematian.
[7] Balian = dukun, penghubung dengan alam supranatura
[8] Umang = ibu
[9] Penggalan lagu Leo Kristi

Sumber naskah di sini

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?