Sabtu, 02 Februari 2013

Sebuah Rekonstruksi “Super Culture” Dalam Islam


Oleh: Muhammad Lathief Syaifussalam

                                            
 لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُواْ إِذَا مَا اتَّقَواْ وَّآمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَواْ وَّآمَنُواْ ثُمَّ اتَّقَواْ وَّأَحْسَنُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
5.93. Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.


Puji syukur senantiasa tercurahkan kepada tuhan semesta alam yang selalu mencurhkan rahmat dan nikmatnya kepada manusia dan segala aspek kosmosit yang sangat luas. Agar kita selalu bertadabur akan semua yang telah di anugerahkan kepada makhluk-makhluk ciptaannya khususnya manusia yang mempunyai inteligensi,insting,naluri yang selalu kita gunakan untuk mengetahui apapun yang ada di dunia ini.Termasuk kelihaian manusia yang dengan dengan cermat selalu mengaktualisasikan apapun yang mereka ketahui  dengan cara membuat susunan-susunan berbentuk skema yang di peroleh melalui kognisi atau kemampuan “Knowledge”.

            Cobalah kita tengok sejenak mengenai segala aspek yang  berada di alam semesta ini.  Memunculkan beberapa pertanyaan yang perlu kita jadikan sebagai Epifani (sesuatu yang menjadi titik balik) pikiran kita, yang sering sekali skeptis menyikapi segala sesuatu negatif menimpa kita.
 Skeptisisme. Mengakibatkan sebuah gejala yang oleh penulis di ungkapkan dengan istilah” Spiritual Decay” atau penurunan nilai spiritual. Itulah yang senantiasa kita yakini dan kita kerjakan selama ini. Setelah kita menelaah fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar kita dengan merujuk pada Al-Qur’an. Allah mencipakan kita, selaku umat manusia untuk senantiasa ber ‘abid kepada-Nya.
Dalam sebuah ayat Allah  Menyatakan “wa ma Kholaqnal Jinna wal Insa Illa Li Ya’budun” tidaklah kami cipatakan Jin dan Mansia tidak lain dan tidak bukan hanyalah Untuk beribadah Kepada Ku. Dari kutipan ayat di atas, bahwasanya Allah pun selalu menggunakan tata krama untuk menyampaikan kalam kepada Umatnya dengan Dhamir “Na”, yang berarti Allah melibatkan semua elemen-elemen yang turut berjasa men-steering keberlansungan aktivitas-aktivitas yang ada di dunia ini.
 walaupun Allah mempunyai sifat Al-Mutakabbir yang sekehendak Allah boleh atau bahkan lazim jika menyombongkan diri,tetapi Allah tidak melakukan hal semacam itu dalam konteks ayat ini. Oleh karena itu,Pantaskah kita masih selalu memunculkan ke Arogansian dalam setiap perbuatan kita ?
Selama ini kita selalu menelan mentah-mentah informasi dan sangat miris sekali bahkan kita berimplikasi dengan mengiyakan apa pun yan kita terima. Terutama segala sesuatu berhubungan dengan syariat agama islam tanpa menelaah terlebih dahulu apa yang menjadi rujukan dari ungkapkan Rasulullah SAW. Walaupun kita sudah tahu bahwa apa-apa yang di contohkan Rasulullah itu adalah sesuatu yang haqq atau mempunyai tingkat kualitas yang sangat tinggi dari sebuah kejujuran, kita sebagai umat yang selalu di tuntut untuk bersikap kritis.
 Dalam rangka megkokohkan dan lebih mengilhami apa yang telah di sampaikan Rasulullah. Tidak ada salahnya kita mencoba menindaklanjuti, baik secara empiris ataupun secara tafsil dan mencari sebab-akibat mengapa Rasulullah mengungkapkan pernyataan dalam sebuah hadits yang demikian. Contohnya, dalam sebuah hadits Rasulullah memaparkan bahwa air liur anjing dalam proses pencuciannya harus menggunakan debu, tanpa memberikan penjelasan mengapa harus menggunakan debu untuk membuat area yang terkena air liur anjing menjadi suci kembali. Akhir-akhir ini menurut penelitian seorang pakar dari Jepang bahwasanya bakteri yang terkandung dalam liur anjng akan hilang apabila di basuh menggunakan debu daripada menggunakan  sabun dan air. Dengan hal yang demikian, sudahkah kita senantiasa bersikap kritis dengan hal-hal yang muncul secara Instan ?
Belajar untuk tumbuh
            Ilmu kita dapatkan dari kehidupan kita. Keseharian  kita yang memberikan ilmu kepada kita, dengan senantiasa bersikap kritis maka kita telah satu langkah untuk lebih maju dan belajar untuk tumbuh. Dengan demikian sebuah proses perjalanan kita sebagai umat Islam yang seharusnya mempunyai spirit untuk selalu berinovasi dalam kehidupannya dan dalam bentuk apapun selama itu termasuk ke dalam hal-hal yang positif .
Dengan selalu berinisiatif untuk bertindak.  Mengedepankan ketulusan merupakan suatu fondasi yang kuat untuk selalu senantiasa belajar satu langkah untuk lebih maju, karena kejujuran sangatlah sulit untuk di realisasikan meskipun kata “jujur” sudah sering di gembor-gemborkan. Tanpa sebuah kejujuran maka sebagai insan muslim akan selalu bertindak apa yang menurut subjektif seorang muslim  itu sendiri baik untuk dirinya tetapi belum tentu baik untuk khalayak.
Dalam memberikan suatu kontribusi. Kususnya terhadap suatu hal yang di dasarkan pada kepentingan umum, untuk bersikap lebih kritis yang berlandaskan kejujuran dan menginterfensi paradigma subjektif yang telah kuat melekat dalam hati seorang muslim. Maka , sebuah kebiasaan untuk mengeksplorasi hal-hal yang membutuhkan keobjektifan dalam memberikan persepsi atau kontribusi lain sangatlah penting demi terciptannya “al-‘aqlu as-salim” dalam diri seorang muslim dan menuju islam yang lebih banyak mempunyai nilai-nilai yang proporsional.
  Lazim di sebut dalam Al-qur’an sebagai muslim yang “fi as-silmi kaffah” . Dengan berbagai aspek kehidupan yang membutuhkan dominasi sikap kritis, serta berlandaskan pada ajaran yang islami yang sesuai dengan apa yang dianjurkan Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW. Sebagai The Super Leader. Sang pemimpin umat di dunia dan bukan hanya untuk suatu kaum tetentu seperti nabi-nabi sebelumnya yang diutus hanya untuk satu kaum yang memliki dominasi krisis moral dan spiritual. Umat Islam membutuhkan sebuah pencerahan dan ajakan untuk kembali ke “shiraat al-mustaqim” yang sudah pasti di jamin oleh Allah akan keselamatannya di dunia maupun di akhirat dengan berbagai balasan berupa kenikmatan yang kekal” Baqo’”.            
Membuat Fondasi Kuat Untuk Islam
            Sebuah fondasi kuat. Tidak akan pernah terealisasi apabila seorang muslim misalnya dalam hal ke-ubudiyah-annya hanyalah menjalankan ibadah sebatas tingkatan syariat. Mengabaikan adanya motivasi untuk terstimulasi dan meraih tingkatan yang lebih tinggi daripada sekadar tingkatan syariat misalnya thariqat,hakikat dan ma’rifat.
Seperti halnya yang di lakukan oleh para sahabat dan pendahulu kita. Dengan terbentuknya sebuah fondasi yang kokoh dalam beragama, segala macam bentuk keragu-raguan bisa bertransformasi dengan keyakinan yang teguh yang merupakan fondasi kuat. Bahkan menjadi sebuah ujung tombak untuk bedakwah dalam rangka “watawas shoubil haqqi watawas shoubi sshobri” antar sesama muslim.
Dalam diskusi interaktif yang dipersembahkan oleh Hamsah,M.Ag. Beliau   mengemukakan bahwa, ” islam bukan merupakan  agama yang terorganisir. Tidak seperti halnya agama Kristen, yang mempunyai sistem organizing yang sangat matang. Dikendalikan oleh pihak Center (pusat) dan di tujukan kepada pihak Periphery (cabang).
 Dalam masalah ini, islam bukanlah sebuah agama yang secara transparan mempunyai sistem organizing dalam berdakwah. Tetapi, “Ajaran” islam sendiri yang merupakan central atau pengendali dari proses dakwah umat muslim itu sendiri. Lantas bagaimana jika kita sendiri sebagai umat muslim belum menyadari akan hal itu ? apakah kita masih akan tetap berdiam diri menjalankan syariat yang biasa-biasa saja tanpa terstimulasi untuk menjadi pribadi muslim yang berinovasi?
 Sebuah fenomena  “Spiritual Decay”. Yaitu merosotnya nilai-nilai spiritual, yang di alami umat muslim menjadi tanggung jawab kita bersama untuk kembali merefleksi diri kita dengan fenomena-fenomena yang belum sepenuhnya menjadi perhatian umat muslim, khususnya kita.
Dengan senantiasa bersikap kritis. Mencoba hal-hal yang memicu kita untuk selangkah lebih maju dalam segala aspek kehidupan kita. Sehingga, dalam proses perjalanan itu kita dapat memperoleh kesimpulan yang bakal menjadi sebuah epifani . Serta akan menjadikan sebuah titik balik bagi kemunduran-kemunduran yang di alami umat muslim untuk kembai bangkit dari berbagai keterpurukan dengan memulai dari dalam diri masing-masing seorang muslim.
Dengan adanya fondasi yang kokoh dari umat Islam. Sebuah kegiatan untuk mengahrumkan agama dengan berbagai ajaran kebenarannya tidak akan terjadi istilah “mengislamkan budaya” tetapi berbalik menjadi sebuah istilah “membudayakan Islam”. karena keteguhan dan kekokohan ajaran yang merupakan sebuah Central untuk menjadiakan Super Culture,  agama Islam yang dapat mengembangkan tauhid dan keadilan.
Membudayakan Islam dapat tertanam dan dapat berkembang subur di dalam batin dan kembali sebagai fitrah  seorang muslim.  Merupakan eksekutor dari sebuah representatif nilai-nilai mulia dalam islam dan nilai-nilai inovasi yang seharusnya dapat berkembang dalam ranah perjuangan umat muslim saat ini, yang mengalami kemrosotan nilai-nilai Islami.
Kemudian fondasi yang kokoh itu dapat diteruskan menjadi sebuah  bangunan keislaman yang kemudian dapat di jadikan dan diteruskan sebagai satu kesatuan yang utuh.. Nilai-nilai mulia dalam Islam menjadi sebuah elemen yang konstruktif untuk mengembangkan fondasi kokoh tersebut, serta tidak mempunyai dampak destruktif atas keeksistensian ajaran Islam. Dengan kokohnya fondasi dan sebuah kesatuan yang kuat maka umat Isalam dapat dengan sendirinya menghasilkan kebudayaan yang Islami dan tidak terseret dengan ajaran yang mengislamkan budaya. Dimana hal tersebut tidak terkandung nilai-nilai islam di dalamnya bahkan sangat jauh sekali bertolak belakang dengan ajaran-ajaran Islam yang mengagungngkan tauhid dan keadilan.
Oleh karena itu,dengan semangat dan termotivasi agar selalu berkembang. Diperlukan sebuah stimuli yang harus di hadirkan kedalam benak dan angan akan sebuah pencapaian yang agung dan dapat dengan praktis mengemas kemudian menjadikan budaya-budaya sebagai sarana untuk menghilangkan Spiritual Decay. Sehingga, tidak ada sebuah Relifikasi yang dapat menambah Agama baru.
Melalui ritual-ritual budaya . Terobjek pada suatu keyakinan-keyakinan yang mendominasi ritual kebudayaan inilah yang telah sedikit terbumbui oleh ajaran-ajaran Islam dan malah menjadikan Islam terpecah-pecah secara partial dan mengatasnamakan ajaran Islam . Berkiblat pada ajaran Islam, tetapi di dalamnya masih banyak sekali hal-hal yang sangat  bertolak belakang dengan ajaran Islam.
            Dalam ranah permasalahan ini bukannya penulis sebagai seorang yang expert . Seorang ahli dalam masalah ini. Tetapi, harapan penulis dapat memberikan sebuah ingatan yang lama hilang akan pentingnya dominasi Ajaran Islam atas sebuah Super Culture untuk mengembangkan tauhid dan keadilan. Berusaha memunculkan sebuah dorongan untuk  kembali merekonstruksi kekuatan sipiritual.
Khususnya pada saat ini. Banyak sekali muslim yang mengalami kemrosotan sangat signifikan dalam diri masing-masing pribadi , serta menjadikan lemahnya fondasi kekokohan tauhid dan keadilan di dalam ajaran Islam . Sekaligus membutuhkan  sekali pemulihan atas kemerosotan nilai-nilai spiritual yang sedikit demi sedikit telah terkikis atas ulah umat Islam sendiri yaitu KITA!!. Ilahana anta maqsuduna.Allahumma ‘affina ‘ala syukrika wa husni ‘ibadatik wa husni Qudratik.Wallahu a’lamu bi ash-shawab.[]     


 Buletin PP UII ini juga dapat di akses di sini









                       

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?