“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, Kami akan Tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sungguh, Allāh bersama orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. al-‘Ankabūt
[29]: 69)
P
|
etuah itu berbunyi: “Jadilah pejuang umat, bukan sekadar pejuang
keluarga.” Itulah nasihat yang saya dapatkan ketika mengunjungi salah
seorang dosen. Dalam kunjungan saya (dan beberapa teman) tersebut, beliau
menekankan pentingnya organisasi bagi mahasiswa. Menurutnya, berorganisasi
berarti berjuang untuk kepentingan orang banyak. Dalam konteks yang lebih luas,
berorganisasi adalah latihan untuk memperjuangkan kepentingan umat.
Dalam konteks
perjuangan, kita dapat berkaca dari Rasulullāh SAW. Beliau berjuang bukan untuk
kepentingan dirinya sendiri. Bukan juga untuk kesejahteraan keluarganya semata.
Tidak hanya demi ketentraman penduduk Makkah-Madinah. Terakhir, pastinya juga
bukan untuk kebahagiaan umat Islam saja. Beliau itu berjuang untuk alam semesta,
yang lingkup dan batasnya sukar dihitung secara kasat mata.
Tentu, saya tidak
bermaksud menganjurkan kita menjadi seorang “Nabi”. Namun paling tidak sebagai
umat yang mengaku mencintai Rasulullāh, kita harus berusaha meneladaninya.
Dengan begitu maka kita akan menjadi penerus perjuangan beliau, menegakkan
syi’ar kerahmatan Islam kepada semesta alam. Sabdanya, orang yang berilmu
(‘ulamā’) itu adalah pewaris para Nabi. Pewaris para Nabi berarti juga
mewarisi perjuangan kehidupan mereka.
“Ketika Anda
memikirkan orang lain maka Allāh akan mencukupkan kebutuhan Anda. Namun ketika
Anda memikirkan diri sendiri maka Allāh akan mencukupkan kebutuhan orang lain.”
Itulah mengapa sabda Nabi Muhammad SAW berbunyi, sebaik-baik manusia adalah
yang paling bermanfaat bagi yang lainnya. Derajat kebaikan seseorang
ditentukan oleh tingkat kemanfaatan yang ia berikan kepada sesama.
Saya mendengar
banyak kisah tentang kehidupan orang yang berjuang untuk kehidupan. Ia terkesan
tidak bekerja untuk kepentingannya sendiri namun tetap bisa melangsungkan
kehidupan. Dalam benak saya kemudian terlintas fikiran: itulah berkah
perjuangan. Dimana orang yang memperjuangkan kepentingan orang banyak akan
dicukupkan kebutuhannya oleh Allāh. Itu adalah konsekuensi logis, walaupun
pejuang itu saya yakin tidak mengharapkannya.
Mujāhadah Fillah
Dalam ayat di atas,
Allāh berfirman bahwa orang yang berjihad/berjuang dalam rangka mencari
keridhaan-Nya akan memperoleh petunjuk jalan. Dalam Tafsir Jalālain
diterangkan secara singkat: sebagai timbal balik dari perjuangan tersebut
adalah kemudahan jalan untuk “menuju” Allāh (tharīqus sa-ir ilainā).
Dapat difahami bahwa semakin berkualitas perjuangan seseorang maka semakin
mudah pula ia berjumpa dengan Sang Pencipta.
Jika kita cermati,
jalan Allāh itu tidaklah tunggal. Jalan Allāh itu jamak (plural) yang –pastinya–
setiap orang boleh memilih rute yang berbeda. Allāh berfirman menggunakan kata
“subul” yang merupakan bentuk jamak dari “sabīl”. Subul artinya banyak
jalan, atau jalan-jalan (Allāh). Artinya, orang yang berjuang karena Allāh akan
memperoleh petunjuk jalan, kemudahan hidup, dan keberkahan yang pastinya tidak manunggal.
Saat ini, yang
namanya jihād/mujāhadah harus ditafsirkan kembali. Tujuannya, supaya
jihad tidak hanya difahami secara sempit. Sebab, segala sesuatu termasuk jihad
harus disesuaikan dengan konteks kehidupan. Sehingga, tujuan substansial dari
jihad itu sendiri akan mampu diraih. Jihad yang sesungguhnya bukanlah mati di
jalan Allāh melainkan bagaimana kita hidup bersama di jalan-Nya. Tentu bukan
bermaksud mengecilkan makna jihad di kala Rasulullāh.
Perjuangan itu akan
bermakna ketika tujuannya adalah untuk meraih keridhaan Allāh. Rasanya tidak ada
yang lebih membahagiakan selain ketika kita meraih ridha-Nya. Sebab, jika Allāh
sudah ridha maka tidak ada yang menghalangi kasih sayang-Nya. Selain itu,
ketika tujuan perjuangan adalah Allāh, semuanya menjadi mudah dan ringan.
Sebab, Allāh “membersamai” orang-orang yang berjuang ikhlas karena-Nya. Āmīn.
Oleh karena itu,
marilah bersama-sama meluruskan niat. Okelah, banyak tujuan yang kita
inginkan dari perjuangan tersebut. Tetapi, lebih jauh dari itu semua perjuangan
adalah persembahan kita kepada Allāh. Benar bahwa kita diciptakan hanyalah
untuk menyembah, mengabdi kepada-Nya. Semua yang kita perjuangkan adalah upaya
untuk meraih keridhaan-Nya semata. Dengan begitu, tidak ada kata “ogah-ogahan”
dalam berjuang.
Di akhir ayat, Allāh
memberikan kabar gembira kepada para mujahidin. “Sesungguhnya Allāh bersama
orang-orang yang berbuat baik,” firman-Nya. Perjuangan adalah kebaikan yang
harus dilakukan secara berkelanjutan. Selama nyawa masih di kandung badan, maka
perjuangan harus terus dilakukan. Perjuangan itu adalah amal kebaikan yang kita
persembahkan kepada Allāh ta’ala. Semoga…
Manisnya Perjuangan
Saya mendapatkan
pelajaran berharga dalam sebuah kajian siang. Isinya: Kebahagian itu adanya
dalam hati. Kebahagiaan itu dapat diperoleh dengan memberi. Berjuang
berarti mewakafkan diri untuk orang banyak. Ketika kemudian itu dilakukan
dengan penuh kesadaran dan kerelaan maka kita akan memperoleh kebahagiaan.
Ketika kebahagiaan hadir maka itu mengalahkan segalanya, termasuk uang alias
materi.
Ada 4 anjuran bagi
umat Islam sebelum terlelap dalam tidurnya. Salah satunya adalah anjuran untuk
memintakan ampunan untuk seluruh umat Islam yang ada di dunia. Bukan hanya yang
masih hidup, tetapi juga untuk mereka yang sudah “sempurna” di alam sana. Hal
ini adalah simbol bahwa hidup kita harus benar-benar dimanfaatkan sepenuhnya
untuk kepentingan umat. Bukan sekadar kepentingan pribadi, dan golongan.
Secara pribadi
–sebagai manusia– saya sadar bahwa apa yang saya lakukan seringkali
berseberangan dengan kehendak Tuhan/perintah agama. Wajar jika kemudian saya
harus menerima balasan di dunia atas sikap dan tindakan tersebut. Lalu, jika
kemudian ternyata yang seharusnya saya rasakan itu tidak kunjung datang juga. Ada
apa sesungguhnya? Bisa jadi, dosa dan kesalahan saya diampuni oleh Allāh berkat
doa kaum muslim.
Tugas manusia adalah bagaimana menerjemahkan
sifat Rahman-Rahim Allāh dalam kehidupan nyata. Sehingga, manusia benar-benar
menjadi khalifatullah di muka bumi ini. Hal itu dilakukan dengan upaya
yang tidak pernah kenal kata henti. Kenikmatan yang dikaruniakan Allāh
dimaksimalkan untuk memberikan yang lebih kepada kehidupan. Sehingga, kasih
sayang Allāh benar-benar tersebar dalam panggung kehidupan dunia.
Muhammad Zuhri dalam bukunya “Mencari Nama Allāh
Yang Keseratus” memberikan paparan penting dalam kaitannya dengan hal ini.
Jumlah 99 dari asma Allāh itu adalah sebuah bilangan yang nyaris sempurna,
namun belum selesai (unfinished number). Ada satu nama lagi yang harus
ditemukan sepanjang perjalanan (perjuangan) hidup. Itu adalah sebutir mata
tasbih yang terlepas dari untaiannya.
Logikanya sederhana. Misalnya, ada yang
bertanya. “Ada orang yang kelaparan, seharian belum menyantap makanan. Lalu,
dimanakah kasih-sayang Allāh itu berada?” Menanggapi pertanyaan tersebut,
kita yang memiliki kemampuan untuk membantu berkesempatan untuk menerjemahkan
kasih-sayang Allāh. Kita lah yang seharusnya membantu orang tersebut. Dengan
demikian paling tidak kita sudah berhasil menemukan sifat Allāh yang keseratus
tadi.
Konsepsi perjuangan yang demikian adalah upaya
cerdas yang menihilkan egoisme personal. Ikhtiar untuk mendapatkan surga untuk
diri sendiri rasanya jauh dari perjuangan yang mulia. Banyak orang yang
berjuang dengan bom bunuh diri, misalnya. Jika memang mereka mendapatkan surga
karenanya itu hanya untuk dirinya sendiri. Berbeda halnya jika kita justru
berupaya bersama-sama meraih keridhaan Allāh dalam kehidupan ini.
Untuk paragraf sebelum ini pembaca boleh jadi
tidak sependapat. Namun bagi saya pribadi, melihat konteks kehidupan sekarang,
sebaiknya kita bijak dalam melakukan tindakan. Saya sepakat bahwa keikhlasan
yang sesungguhnya bukan hanya terletak pada shihhatun niyyāt (niat) dan shihhatul ghāyāt (tujuan).
Keikhlasan itu harus juga dibarengi dengan shihhatul kaifiyyāt (benarnya
tata cara yang digunakan). Wallāhu a’lamu…
Ikhtitam
Perjuangan memang
bukanlah perkara yang main-main. Dibutuhkan semangat yang gigih didalamnya. Semakin
luas objek perjuangan kita maka semakin bermakna pula hidup kita. Benar bahwa
hidup ini adalah pilihan. Jika boleh memilih maka selaiknya kita memilih yang
terbaik pula dalam hal perjuangan. Kepentingan umat seharusnya yang menjadi
objek utamanya. Pertanyaannya adalah, saat kita berjuang untuk kepentingan
siapa?
Di hari yang mulia
ini pula, kita bermunajat kepada Allāh Yang Maha Segalanya. Semoga Allāh
berkenan memberikan kekuatan kepada kita agar tetap istiqāmah berada di
jalan-Nya. Juga agar kiranya, Allāh memberikan pertolongan dalam menjalani
kehidupan yang serba melenakan ini. Terakhir, kita berharap agar Allāh menjaga
keikhlasan kita dalam berjuang. Ilāhanā, Anta Maqshūdunā wa Ridhāka
Mathlūbunā…
Sesaat sebelum Rasulullāh menghembuskan nafas
terakhirnya, beliau masih sempat menyebut kata “ummatiy”, sebanyak 3 kali.
Sungguh luar biasa kehidupan beliau. Seluruhnya didedikasikan untuk kepentingan
orang banyak, umat manusia. Sesuai nasihat dosen saya di atas, Drs. Imam
Mudjiono, M.Ag, marilah menjadi pejuang untuk kepentingan umat. So,
siapkah kita menjadi “Sang Pejuang” itu? Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb.
[]
Ka’ Sams,
Pengajar Sanggar GENIUS
Yatim Mandiri Yogyakarta
Dapat di akses di sini
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?