Abahnya dan Mamanya pada Masyarakat Banjar
Oleh: Muhammad Qamaruddin
“Adapun giliran
babacaan pada minggu ini, di rumahnya Haji Mardiana atawa Mamanya Dina.
Kami ulangi sakali lagi...,”
Kalimat
berbahasa Banjar di atas mempunyai arti, “Adapun giliran (tempat) pengajian
pada minggu ini, (yaitu) di rumah Haji Mardiana atau Mamanya Dina.
Kami ulangi sekali lagi...” Pada kalimat tersebut ada dua kata yang
bergaris bawah, yaitu Mamanya Dina. Sebenarnya apa makna dari dua kata
tersebut?
Mamanya
Dina dapat diartikan bahwa Dina itu adalah anak dari Haji (Hajjah) Mardiana.
Dengan kata lain, Haji Mardiana itu adalah Ibu dari Dina. Pemakaian kata ini
–di dalam bahasa sehari-hari di Banjar– juga
berlaku pada Abah (Ayah, Papa, dsb). Misalnya, abahnya Udin, abahnya
Perdi, abahnya Tisun, dan yang lainnya. Penghubungan ikatan keluarga seperti
contoh di atas juga dapat dipakai juga pada kata lain, misalnya Nenek (bahasa
banjar: Nini), Bibi (bahasa Banjar: Acil), paman atau yang
lainnya. Hanya saja aku rasa pemakaian istilah Mamanya dan Abahnya lebih
sering dipakai.
Inilah salah satu
kekhasan dari bahasa banjar, yaitu pemakaian kata Mamanya dan Abahnya.
Mungkin saja pemakaian kata seperti ini juga ada di daerah lain, hanya saja
aku belum menelitinya. Tapi paling tidak, inilah bahasa Banjar apa adanya.
Mudah dipakai dan dipahami. Ini bisa saja karena bahasa Banjar masih satu
rumpun dengan bahasa Melayu, bahasa yang paling banyak menyumbangkan kosakata
bagi bahasa Indonesia. Atau juga serumpun dengan bahasa Melayu yang masih
banyak dipakai di negara Malaysia dan Brunei Darussalam (aku banyak menemukan
beberapa kosakata bahasa Melayu yang penggunaannya sama dengan Bahasa Banjar). Oleh
karena itulah, banyak para pendatang yang hanya dengan waktu singkat dapat
menguasai bahasa Banjar (bahkan sangat lancar!). Rata-rata mereka hanya
memerlukan waktu tidak lebih dari tiga bulan. Berbeda dengan bahasa Jawa yang
kurasa mempunyai tata bahasa dan grammar sendiri. Sehingga perlu waktu lebih
lama untuk mempelajarinya. Aku saja yang sudah hampir tiga tahun lebih tinggal
di Yogyakarta pun masih belepotan bahasa Jawanya. Haha.
Kembali ke masalah
pemakaian kata abahnya dan mamanya tadi. Tahukah anda bahwa
pemakaian kata tersebut kadang menyebabkan orang tidak mengetahui nama asli dari
orang tersebut! Itulah fakta yang terjadi di Banjar. Memang tidak semua, tapi
aku merasa kebanyakan seperti itulah yang terjadi di lapangan. Misalnya saja,
aku banyak menghafal nama-nama orang tua di sini dengan sebutan abahnya dan
mamanya. Aku tahu Mamanya Isti, Mamanya Hanan, Mamanya
Ka Yadi, Mamanya Sinta, Mamanya Leha; atau Abahnya Riu, Abahnya
Rina, Abahnya Heru, Abahnya Alma, dan masih banyak lagi. Saat aku
ditanya, siapa nama mereka, sebagian malah aku tidak tahu. Aku tidak
tahu nama mamanya Isti, mamanya Hanan, mamanya Sinta, abahnya
Riu, abahnya Heru, dan mamanya/abahnya yang lain. Lucu bukan?
Begitulah
pergaulan di masyarakat Banjar. Bagiku, pemakaian kata abahnya dan mamanya
itu membuat kami (baca:masyarakat Banjar) menjadi lebih dekat dan tidak
segan untuk memanggil. Beda halnya ketika kita memanggil orang dengan nama yang
diimbuhi dengan kata Paman, Amang, Kakak, Acil, dan yang lainnya, seakan timbul
jarak yang sangat jauh. Ini hanya masalah adat istiadat dari masing-masing daerah,
dan inilah adat di masyarakat Banjar.
Saat aku
merenungkan hal di atas, aku jadi ingat dengan Bahasa Arab yang mempunyai tiga
panggilan (baca: nama) untuk seseorang. Ketiganya adalah Ism, kuniyah,
dan laqab. contohnya, sahabat Nabi Umar bin Khatab, itu adalah ism-nya.
Ia mempunyai ism kunniyah Abu Hafsh, sedangkan laqab-nya Al-Faruq. Coba kita hubungkan dengan Bahasa Banjar dengan
pemakaian kata abahnya dan mamanya, ternyata sangat mirip!
Pemakaian Abu Hafsah (ayah-nya Hafsah) sangat familiar di masyarakat Arab.
Mungkin saja budaya inilah yang dibawa ke masyarakat Banjar. Sekedar info saja,
masyarakat Banjar mayoritas beragama Islam. Budaya Islam pada suku ini sangat
kental.
Menyinggung
masalah budaya, maka satu hal yang perlu kita cermati adalah semakin
terkikisnya budaya asli oleh arus budaya modern. Budaya-budaya yang tidak jelas
asal muasalnya mulai memasuki budaya setempat. Silahkan terima jika budaya itu
baik dan membawa kebaikan. Tapi sayangnya kita tidak memilih dan memilah mana
budaya baik dan mana budaya yang buruk. Asal terima saja. Hasilnya, budaya asli
semakin terjajah oleh budaya orang asing yang arogan dan memonopoli.
Aku adalah orang
yang sangat mencintai budaya asliku. Aku tidak pernah malu mengaku sebagai
orang Banjar. Aku sempat beberapa kali menemui orang yang bahkan malu mengakui
bahwa ia adalah orang Banjar. Hei kawal! kenapa mesti malu? Budayamu
adalah dirimu. Budayamu adalah warnamu. Budayamu adalah kehidupanmu. Lalu
kenapa seolah-olah tidak tahu-menahu dengan semua itu? Jangan menjadi kacang
yang lupa akan kulitnya. Ingat “tanah ibumu.” Banggalah menjadi putera daerah.
Pesan ini juga kusampaikan untuk semua teman-temanku dimanapun kamu berada.
Cintailah budaya daerahmu!
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?