Rabu, 18 September 2013

TRADISI MEWARUNG




Oleh: Muhammad Qamaruddin

Aku berasal dari kota Kandangan, Hulu Sungai Selatan, salah satu kabupaten yang ada di daerah “Banua Anam”, Kalimantan Selatan. Apabila anda datang melalui Bandara, maka anda hanya perlu mencari “motor kol” (baca: colt) untuk menuju kesana. Mintalah untuk diantarkan ke kota Kandangan. Seandainya tidak macet, maka perjalanan hanya akan memerlukan waktu sekitar dua jam. Alat transfortasi “motor kol” ini pun tidak sulit dicari. Kandangan adalah “palaluan” orang-orang yang ingin ke Banua Anam. Oleh karena itu, anda mudah untuk menemukan “Kol-kol” yang Berseliweran menuju kota-kota di Banua Anam.

Berkaitan hal di atas, ada satu tradisi yang unik ada di Kalimantan Selatan. Nantinya akan aku kaitkan dengan tradisi yang ada di kotaku, Kandangan. Kebiasaan ini –katanya– masih bertahan sampai hari ini. Di kota manapun anda berada, maka anda menemukan hal ini. Seluruh kota yang ada di Banua Anam, Kabupaten Banjar, kawasan Banjarmasin, sampai ke daerah Kotabaru sekalipun, kebiasaan ini pasti akan didapatkan dengan mudah. Tradisi ini disebut “mewarung”.
Mewarung  berarti pergi ke warung makan, baik untuk makan atau hanya sekedar berbincang-bincang dengan orang yang ditemui di sana. Warung yang ada di Kalimantan Selatan biasanya menyediakan nasi bungkus dan berbagai macam wadai seperti untuk, roti pisang, lempeng, gaguduh, wadai cincin, bingka berandam, dan masih banyak lagi. Model nasi bungkus yang disediakan pun beragam macamnya. Ada yang masih dibungkus dengan daun pisang. Ada pula yang telah berganti menjadi kertas koran. Bahkan ada pula yang telah memakai kertas khusus untuk bungkusan. Lauk yang biasanya disediakan adalah hayam (bastik dan masak habang), haruan, hintalu, hati, sambal hati, dan yang lainnya. Jangan lupa memesan teh hangat untuk menemani santapan tersebut.
Warung-warung ini terletak di beberapa sudut di kota-kota Kalimantan Selatan. Ada yang dipinggir jalan, ada pula yang berada di depan rumah. Saat pagi telah tiba, maka warung itu yang awalnya sepi akan berubah menjadi ramai. bangku-bangku yang disediakan akan ramai dengan pengunjung yang membeli keperluan mereka untuk santapan pagi. Beberapa warung hanya buka sampai siang (sekitar pukul 10-12 siang), ada juga yang sampai barang dagangan mereka telah habis, bahkan ada pula yang buka sampai sore hari dan malam hari.
Terkait mewarung, maka ada tradisi yang sedikit berbeda antara mewarung di kotaku dengan kota-kota lainnya yang ada di Kalimantan Selatan. Dari hasil pengamatanku, tradisi ini hanya aku temukan di kota Kandangan, yaitu mewarung di pagi buta.
Apabila di kota-kota lain, warung baru siap berjualan paling cepat setelah shalat subuh. Maka di kotaku, warung telah siap berjualan bahkan sebelum shalat subuh! Artinya sekitar jam 2 atau jam 3-an, sang pemilik warung telah siap-siap untuk membuka warungnya. Hal ini berimbas pada kebiasaan mewarung masyarakat kota Kandangan, karena warung-warung tersebut telah ramai didatangi pengunjung sebelum shalat subuh!
Kadang mereka mewarung hanya sekedar untuk berbincang-bincang. Di tempat inilah biasanya orang-orang akan menemukan teman mengobrol. Akan tetapi tidak sedikit pula yang telah melaksanakan “sarapan pagi” (baca: sarapan subuh) kala itu. Kebiasaan mewarung ini telah turun-temurun menjadi kebiasaan masyarakat Kandangan. Sampai detik ini, kebiasaan ini masih terus berlanjut.
Terdapat banyak warung di sekitar daerah tempat tinggalku. Warung-warung ini –seperti yang sudah aku jelaskan di atas– telah buka dan siap berjualan jauh sebelum adzan subuh berkumandang. Para pembeli pun telah asyik dengan santapannya, meskipun pada pagi buta, jumlah pembeli lebih sedikit jika dibanding dengan di pagi hari. Hal ini tidak mengurangi bahkan menghapus kebiasaan masyarakat Kandangan, yaitu mewarung di pagi buta.
Hanya saja, ada satu tradisi pengekor di kotaku yang kurang kusukai dengan adanya mewarung di pagi buta ini. Aku merasa bahwa beberapa orang yang mewarung melupakan shalat subuh mereka. Saat adzan subuh dikumandangkan hingga shalat subuh selesai dilaksanakan. Orang-orang tersebut tetap kokoh duduk di warung. Dalam kata lain, mereka melupakan kewajiban mereka untuk melaksanakan shalat subuh. Mereka keasyikan dengan obrolan santai tersebut.
            Satu hal yang perlu diingat, tidak semua orang melakukan hal ini. Aku juga banyak menemukan orang-orang yang mewarung, lalu kemudian mereka pergi ke tempat ibadah untuk melaksanakan shalat. Setelah shalat selesai, mereka kembali melanjutkan kegiatan mewarung mereka dan mencari teman bicara. Aku rasa, seperti inilah hal seharusnya terjadi. Tradisi mewarung di pagi buta tetap berjalan tanpa meninggalkan kewajiban shalat.
            Aku berdoa semoga tradisi ini tidak mempengaruhi semangat untuk shalat subuh. Lebih baik lagi jika shalat dilaksanakan di mesjid. Semoga juga tradisi mewarung di pagi buta ini tetap bertahan hingga cucu,cicit, dan seterusnya. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?