Oleh: Muhammad Qamaruddin
Aku berasal
dari kota Kandangan, Hulu Sungai Selatan, salah satu kabupaten yang ada di
daerah “Banua Anam”, Kalimantan Selatan. Apabila anda datang melalui Bandara,
maka anda hanya perlu mencari “motor kol” (baca: colt) untuk menuju
kesana. Mintalah untuk diantarkan ke kota Kandangan. Seandainya tidak macet,
maka perjalanan hanya akan memerlukan waktu sekitar dua jam. Alat transfortasi
“motor kol” ini pun tidak sulit dicari. Kandangan adalah “palaluan”
orang-orang yang ingin ke Banua Anam. Oleh karena itu, anda mudah untuk
menemukan “Kol-kol” yang Berseliweran menuju kota-kota di Banua
Anam.
Berkaitan hal
di atas, ada satu tradisi yang unik ada di Kalimantan Selatan. Nantinya akan
aku kaitkan dengan tradisi yang ada di kotaku, Kandangan. Kebiasaan ini
–katanya– masih bertahan sampai hari ini. Di kota manapun anda berada, maka
anda menemukan hal ini. Seluruh kota yang ada di Banua Anam, Kabupaten Banjar,
kawasan Banjarmasin, sampai ke daerah Kotabaru sekalipun, kebiasaan ini pasti
akan didapatkan dengan mudah. Tradisi ini disebut “mewarung”.
Mewarung berarti pergi ke warung
makan, baik untuk makan atau hanya sekedar berbincang-bincang dengan orang yang
ditemui di sana. Warung yang ada di Kalimantan Selatan biasanya menyediakan
nasi bungkus dan berbagai macam wadai seperti untuk, roti
pisang, lempeng, gaguduh, wadai cincin, bingka
berandam, dan masih banyak lagi. Model nasi bungkus yang disediakan pun
beragam macamnya. Ada yang masih dibungkus dengan daun pisang. Ada pula yang
telah berganti menjadi kertas koran. Bahkan ada pula yang telah memakai kertas
khusus untuk bungkusan. Lauk yang biasanya disediakan adalah hayam (bastik
dan masak habang), haruan, hintalu, hati, sambal
hati, dan yang lainnya. Jangan lupa memesan teh hangat untuk menemani
santapan tersebut.
Warung-warung
ini terletak di beberapa sudut di kota-kota Kalimantan Selatan. Ada yang
dipinggir jalan, ada pula yang berada di depan rumah. Saat pagi telah tiba,
maka warung itu yang awalnya sepi akan berubah menjadi ramai. bangku-bangku
yang disediakan akan ramai dengan pengunjung yang membeli keperluan mereka
untuk santapan pagi. Beberapa warung hanya buka sampai siang (sekitar pukul
10-12 siang), ada juga yang sampai barang dagangan mereka telah habis, bahkan
ada pula yang buka sampai sore hari dan malam hari.
Terkait mewarung,
maka ada tradisi yang sedikit berbeda antara mewarung di kotaku dengan
kota-kota lainnya yang ada di Kalimantan Selatan. Dari hasil pengamatanku,
tradisi ini hanya aku temukan di kota Kandangan, yaitu mewarung di pagi
buta.
Apabila di
kota-kota lain, warung baru siap berjualan paling cepat setelah shalat subuh.
Maka di kotaku, warung telah siap berjualan bahkan sebelum shalat subuh!
Artinya sekitar jam 2 atau jam 3-an, sang pemilik warung telah siap-siap untuk
membuka warungnya. Hal ini berimbas pada kebiasaan mewarung masyarakat
kota Kandangan, karena warung-warung tersebut telah ramai didatangi pengunjung
sebelum shalat subuh!
Kadang mereka mewarung
hanya sekedar untuk berbincang-bincang. Di tempat inilah biasanya orang-orang
akan menemukan teman mengobrol. Akan tetapi tidak sedikit pula yang telah melaksanakan
“sarapan pagi” (baca: sarapan subuh) kala itu. Kebiasaan mewarung ini
telah turun-temurun menjadi kebiasaan masyarakat Kandangan. Sampai detik ini,
kebiasaan ini masih terus berlanjut.
Terdapat banyak
warung di sekitar daerah tempat tinggalku. Warung-warung ini –seperti yang
sudah aku jelaskan di atas– telah buka dan siap berjualan jauh sebelum adzan
subuh berkumandang. Para pembeli pun telah asyik dengan santapannya, meskipun
pada pagi buta, jumlah pembeli lebih sedikit jika dibanding dengan di pagi
hari. Hal ini tidak mengurangi bahkan menghapus kebiasaan masyarakat Kandangan,
yaitu mewarung di pagi buta.
Hanya saja, ada
satu tradisi pengekor di kotaku yang kurang kusukai dengan adanya mewarung di
pagi buta ini. Aku merasa bahwa beberapa orang yang mewarung melupakan
shalat subuh mereka. Saat adzan subuh dikumandangkan hingga shalat subuh
selesai dilaksanakan. Orang-orang tersebut tetap kokoh duduk di warung. Dalam
kata lain, mereka melupakan kewajiban mereka untuk melaksanakan shalat subuh.
Mereka keasyikan dengan obrolan santai tersebut.
Satu hal yang
perlu diingat, tidak semua orang melakukan hal ini. Aku juga banyak menemukan
orang-orang yang mewarung, lalu kemudian mereka pergi ke tempat ibadah
untuk melaksanakan shalat. Setelah shalat selesai, mereka kembali melanjutkan
kegiatan mewarung mereka dan mencari teman bicara. Aku rasa, seperti
inilah hal seharusnya terjadi. Tradisi mewarung di pagi buta tetap
berjalan tanpa meninggalkan kewajiban shalat.
Aku berdoa semoga
tradisi ini tidak mempengaruhi semangat untuk shalat subuh. Lebih baik lagi
jika shalat dilaksanakan di mesjid. Semoga juga tradisi mewarung di pagi
buta ini tetap bertahan hingga cucu,cicit, dan seterusnya. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?