Oleh: Muhammad Husnul Faruq
!يَا
أَبَا ذَرٍّ, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَ تَعَاهَدْ
جِيْرَانَكَ
“Wahai, Abu Dzar! Jika kamu memasak kuah, maka
perbanyaklah airnya (kuah) dan bagilah kepada tetanggamu”.
Dalam
kehidupan bermasyarakat, tetangga
menduduki pada tatanan kehidupan yang terpenting. Tetangga dapat diibaratkan
sebagai saudara terdekat yang posisinya berada di sekitar tepat tinggal kita.
Selain itu, tetangga juga menjadi penolong kita di kala kita memperlukan
bantuan dalam bentuk apapun itu. Tetangga ibarat saudara sedarah bagi kita. Saudara
sedarah mungkin tidak akan bisa menolong di saat kita memerlukan pertolongan di
waktu mendesak dan getir. Pada kondisi seperti demikian biasanya tetanggalah
yang akan membantu kita. Maka tidak salah bila ada perintah agar berlaku baik
terhadap tetangga. Bila sikap kita terhadap tetangga baik, maka Insya Allah
kehidupan kita akan berjalan baik pula. Rasulullah SAW bersabda “Jika kamu
memasak kuah, maka perbanyaklah airnya (kuah) dan bagilah kepada tetanggamu”.
Dalam hadis ini sesungguhnya Rasulullah SAW mengajari kita bagaimana cara hidup
bermasyarakat. ‘perbanyaklah airnya’ memiliki pesan moral yang begitu tinggi,
yakni salah satu cara mendekatkan diri kita terhadap tetangga. Berbagi
kebahagiaan yang Allah SWT berikan kepada tetangga akan memberikan ketentraman tersendiri
bagi kita. Jika Allah SWT Maha Pemurah dengan memberikan begitu banyak
kenikmatan kepada hamba-hambanya, mengapa kita enggan berbagi kepada tetangga?
Tetangga dan Pluralitas
Perbedaan
acap kali menjadi permasalahan yang krusial sejak zaman Nabi Adam AS sampai
abad millennium sekarang. Konon dulu, terjadi perbedaan pendapat hebat antara
dua anak Nabi Adam; Habil dan Qabil tentang perempuan mana yang nantinya akan
dijadikan istri. Nabi Adam AS berkata kepada kedua anaknya tersebut bahwa
mereka harus menikah dengan cara bersilang; Habil dengan Labuda dan Qabil
dengan Iklima. Ternyata, espektasi yang diharapkan Habil untuk mendapatkan
Iklima tidak membuahkan hasil yang akhirnya membuatnya kemudian mencari
berbagai macam cara agar mendapatkan Iklima yang notabene perempuan yang tidak
boleh ia
nikahi. Sementara Qabil menerima apa adanya -qana’ah- tanpa ada konplain
sedikitpun. Karena Habil kesal dengan keputusan seperti dikatakan Nabi Adam AS,
maka kemudian pada akhirnya Ia membunuh Qabil.
Sepenggal
cerita singkat di atas sedikit menggambarkan dua karakter yang berbeda. Habil
dengan keegoisannya, dan Habil dengan kerendahan (legowo) hatinya. Sikap
tetangga yang ada di sekitar kita berbagai macam tipikalnya. Biasanya selisih
pendapat yang sebenarnya itu hanya masalah kecil, terkadang menjadi masalah
besar dalam kehidupan bermasyarakat, yang implikasinya dapat merusak tali
persaudaraan. Selisih pendapat seharusnya menjadi sebuah ajang kita dalam
mencari kemufakatan. Perlu kita ketahui juga bahwa sebenarnya perselisihan itu
adalah rahmat ‘al-Ikhtilafu Rahmatun’ yang Allah SWT berikan kepada
manusia, di mana dengan adanya perselisihan itu kita dapat lebih terjalin
ikatan secara emosionalnya dengan tetangga sekitar yang harapannya perselisihan
pendapat itu dapat dimaklumi dan dianggap lumrah dalam kehidupan bermasyarakat.
Tanpa adanya perselisihan kehidupan akan menjadi hambar, karena kehidupan yang tanpa
ada cek-cok juga termasuk monoton. Dengan adanya sedikit selisih
pendapat kehidupan dalam bermasyarakat akan lebih berwarna. Maka, dari itu
perbedaan seyogianya tidaklah menjadi permasalahan lagi bagi kita. Lebih dari
itu, perbedaan diharapkan menjadi kebahagiaan bagi kita. Setidaknya perbedaan
yang ada pada level atau cakupan masyarakat ‘bertetangga’, dapat dipraktikkan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekalipun pada tatanan teoritis kita
sadar sebagai warga negara Indonesia yang merupakan negara plural ‘keberagaman‘
baik itu agama, etnis, budaya, dan lain sebagainya, namun pada tatanan praktis,
menurut sumber dipercaya, kita belum mampu untuk mempraktikkan paham
keberagaman ‘pluralisme’.
Tetangga dan Masakan
Sudah barang tentu setiap hari kita mengonsumsi makanan sebagai kewajiban
kita memenuhi amanah Allah SWT, yaitu memenuhi kebutuhan tubuh. Di samping memenuhi kebutuhan tubuh, bagi yang berkecukupan juga
dituntut untuk memenuhi kebutuhan orang lain yang membutuhkan. Hadis tentang perintah
untuk memperbanyak air ketika memasak kuah merupakan salah satu sikap yang paling kecil yang dicontohi oleh Rasulullah SAW
dari sekian banyak sikap yang berkenaan dengan konsep bersosial. Inti dari hadis tersebut yaitu adab dalam
memasak dan perintah bagi setiap muslim yang harus berbuat baik terhadap
tetangganya, dengan memperbanyak kuah serta membagikannya kepada tetangga di
sekitar rumahnya. Setiap kita seharusnya menghindari kehidupan individualistis dan seharusnya menjalin hubungan dengan tetangga dan
masyarakat sekitar sebaik-baik mungkin.
Saling berbagi merupakan salah satu cara yang baik diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Saling berbagi yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah saling
berbagi kebahagiaan. Dengan demikian jalinan hubungan dengan tetangga akan terus
terjalin baik. Jangan sampai tetangga hanya mencium harum bau masakan yang kita
masak. Dan yang lebih parah lagi bila tetangga yang berdekatan dengan rumah
kita adalah tetangga yang secara finansial cenderung lebih rendah. Tidak
dapat dipungkiri lagi bahwa kejadian
seperti ini benar-benar terjadi
dalam kehidupan bermasyarakat.
Tetangga dan
Konsep Bermasyarakat
Hadis
di atas merupakan salah satu ilmu cara bermasyarakat yang diajarkan Rasulullah
SAW. Hadis di atas mengajarkan kepada manusia pentingnya saling berbagi, tolong menolong, dan peduli antar sesama masyarakat. Mengapa demikian? Karena tetangga adalah aset yang sangat
penting dalam
kehidupan bermasyarakat. Jika sewaktu-waktu kita membutuhkan pertolongan yang pertolongan itu
sangat mendesak, apakah mungkin meminta pertolongan kepada orang yang lebih
jauh posisi rumahnya, seperti saudara yang ada di kampung? Tidak! Orang yang sejatinya yang harus dimintai pertolongan adalah
tetangga. Oleh sebab itu berbaik-baiklah terhadap tetangga, karena memang
konsekwensi setiap perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan pula. Memang harus demikian, adanya saling berbagi
dan peduli antar sesama masyarakat memupuk solidaritas sehingga ikatan
kekeluargaan antar sesama
masyarakat selalu
terjalin, dan yang demikianlah merupakan salah satu kehidupan masyarakat yang ideal.
Kehidupan kekinian yang sarat dengan akulturasi budaya ‘global’, menjadikan
protipe masyarakat yang diperkenalkan Rasulullah SAW dalam hadis yang tersebut
di atas seakan prototipe kehidupan masyarakat ‘ortodoks’. Padahal jika
diperhatikan seksama, pluralitas; baik itu bahasa, budaya, etnik, dan lain
sebagainya, yang kita lihat hari ini tidak jauh berbeda dengan pluralitas yang
ada pada era Rasulullah SAW. Problem
pluralitas saat itu cukup dijawab Piagam Madinah. Masyarakat perkotaan, seperti
yang terlihat saat ini, yang sarat dengan kehidupan individualistis, seolah
menjadi tipikal kehidupan masyarakat yang ideal. Sebenarnya, jika diteliti, kebanyakan
orang tidak menyadari bahwa adanya pergeseran budaya Indonesia yang dikenal
dengan keramahannya.
Epilog
Individualisme
hari ini menjadi kiblat masyarakat dunia, terkhusus Indonesia. Konsep
bermasyarakat rasa-rasanya memang perlu disegarkan kembali di tengah
masyarakat. Karena prototipe indivualistis realitanya menjadi penyakit
masyarakat. Implikasinya kemudian adalah minimnya ikatan persaudaraan
antar-masyarakat. Jangankan untuk mengikuti kumpul rutin warga, saling sapa pun
nyaris hilang.
Globalisasi
yang saat ini menjadi primadona, walaupun sejatinya itu merupakan budaya Barat
yang pada dasarnya tidak bersalah sama sekali. Hanya saja perlu disikapi secara
arif dan bijaksana, tanpa menciderai kearifan lokal. Yang perlu dibenahi kemudian
adalah rasa memiliki terhadap budaya yang kini kian luntur. Kebanyakan orang lupa
dengan warna bendera sendiri yang kini nyaris sulit untuk membedakannya, sehingga
bukan hal tabu lagi jika ada bendera negara lain bertengger di atas tiang
bendera kita.[]
Muhammad Husnul Faruq
santri
ppuii
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?