Oleh: Samsul Zakaria
D
|
alam khazanah
kebahasaan kita (Indonesia), kata “belajar” termasuk kategori unik. Apa pasal? Kata
dasar yang mendapat awalan (prefiks) “bel” seperti dalam kata belajar tidak
ditemukan “saudaranya”. Ia –sekali lagi– termasuk ketegori kata yang langka.
Dengan keunikannya, wajar jika kata belajar memiliki kandungan makna yang luar
biasa. Sejak pertama kali manusia “menatap” kehidupan sudah mengenal/dikenalkan
“kata” yang satu ini.
Belajar memang sebuah istilah yang general. Dalam kaitannya dengan advice
agama, belajar dapat dikaitkan dengan perintah membaca (iqra’!).
Perintah membaca dalam Alquran tidak diiringi dengan objek yang seharusnya
dibaca. Dalam konteks ini, banyak yang menafsirkan kemudian bahwa membaca (baca,
belajar) itu sangatlah luas maknanya. Bacaan apapun yang sedang kita kaji
sesungguhnya termasuk bagian dari pengejewantahan firman Allāh tersebut.
Budaya belajar selayaknya teruslah dipupuk. Jangan sampai ia terkubur dalam
kubangan kehidupan. Tentu Allāh tidak main-main dengan firman-Nya. Apalagi firman
tersebut turun pertama kali, yang artinya memiliki nilai yang sangat urgen.
Jika kemudian masalah ini diremehkan akan menyebabkan kemunduran peradaban
manusia. Pastinya, kita ingin terus maju dan bangkit. Karenanya, kita harus
terus belajar, dan belajar.
Saya teringat bagaimana –dahulu– kedua orang tua saya mengajarkan betapa
pentingnya belajar. Dalam hal ini, ibu saya berperan lebih –sebenarnya. Dalam
banyak kasus, saya merasa bahwa sejatinya saya sedang “dipaksa” untuk belajar.
Tak jarang pastinya, timbul keengganan dalam jiwa. Mengapa saya harus
berhadapan dengan buku bacaan sementara teman saya yang lain asyik dengan dunia
permainannya.
Itulah konflik sederhana yang saya hadapi ketika itu. Hingga, tanpa saya
sadari ternyata apa yang awalnya terpaksa menjadi sebuah kebutuhan. Apa yang
pernah saya lakukan dengan ketidaknyamanan berubah menjadi yang sebaliknya,
kenyamanan yang saya rasakan. Di titik inilah saya harus berterima kasih kepada
kedua orang tua. Kebaikan itu memang harus dipaksakan awalnya. Jika dilakukan
dengan kadar yang benar akan menimbulkan efek yang “mantap” pula.
Belajar=Makan
Mungkin banyak orang yang berfikiran sempit. “Mengapa
saya harus belajar, harus membaca, jika akhirnya apa yang saya pelajari hilang
dari ingatan. Ia raib ditelan zaman…” Kita tidak buru-buru menghakimi
penuturan (fiktif) tersebut. Sebab, wajar jika orang merasa bosan dengan yang
namanya belajar. Apalagi jika ia ingat betapa mudahnya ia lupa/melupakan apa
yang ia pelajari. Tentu, menimbulkan pesimisme sehingga ia malas dan enggan
untuk terus belajar.
Namun, kemalasan yang demikian
kalau dibiarkan efeknya tentulah tidak baik. Coba kita lihat dari katanya saja,
malas. Iya, malas (kasl) adalah salah satu sifat tercela. Rasulullāh
pernah mengajarkan beberapa doa yang salah satunya agar kita terhindah dari
rasa malas tadi. Artinya, kemalasan (belajar) harusnya dilawan. Kemalasan
tersebut yang menjadi penghambat kemajuan. Jika dibiarkan ia akan merebak bagai
virus yang dengan bebas tumbuh dan berkembang (biak).
Alkisah, ada seorang
anak yang diperintah ayahnya untuk mencuci piring. Dengan amat kesal ia justru
balik “menasihati” ayahnya. “Kenapa harus dicuci sich, Ayah. Nanti juga
bakal kotor lagi…” Sang ayah yang memang bijak tersebut tidak lantas “naik
pitam” karena sikap buah hatinya. Ia merasa perlu untuk menyadarkan putranya
dengan cara yang tepat. Hingga, suatu ketika ia tidak bisa mengelak lagi saat
diperintah untuk melakukan hal yang sama.
Di kesempatan lain, sang ayah mencoba untuk menguji putranya kembali. “Fulan,
coba kamu sirami bunga mawar di depan rumah itu…” Sang ayah sebenarnya
sudah bisa menebak bahwa anaknya akan “beralasan” kembali. Benar sekali dugaan
sang ayah. “Kenapa harus disirami sich, Ayah. Nanti bakal mati juga…”
Sekali lagi, sang ayah tidak lantas memarahi putranya. Ia ingin memberinya
pelajaran suatu saat nanti.
Sampailah pada saat dimana sang ayah menemukan momen yang tepat. Sang
anak meminta izin padanya untuk makan di luar. “Ayah, Fulan mau makan di
luar ya,” kata sang anak. Dengan nada yang disamakan dengan intonasi sang
anak, sang ayah membalas. “Kenapa sich makan, Nak. Nanti juga bakal lapar
lagi...,” kata sang ayah. Seketika sang anak tersadarkan. Bahwa selama ini
ia telah berani “melawan” titah ayahnya.
Sang anak selalu sukses memberikan alasan kepada ayahnya saat
diperintah. Namun ternyata ia tidak bisa berkata apa-apa saat mendapatkan
“perlakuan” yang sama. Benar bahwa piring yang dicuci itu akan kotor kembali.
Namun bukan berarti bahwa piring yang kotor tidak dicuci dulu sebelum dipakai
kembali. Begitu juga dengan perihal konsumsi (makan). Walaupun sudah tahu bakal
lapar kembali, kita tetap makan juga bukan?
Sekarang, sudah tidak alasan bermalas-malasan untuk belajar. Kita memang
tahu bahwa apa yang kita pelajari kalau tidak semua ya sebagiannya akan
terlupakan. Tapi, itu bukanlah alasan yang logis hingga kita tidak mau belajar.
Sama halnya makan, belajar adalah kebutuhan. Jika tubuh membutuhkan asupan
makanan untuk bertahan, maka otak kita juga butuh asupan bacaan untuk tujuan
yang sama.
Dengan membaca kita juga meng-update pengetahuan kita. Kita tidak
pernah tahu bacaan yang keberapa yang akan tertancap dalam ingatan kita. Boleh
jadi, kita sudah mengulangi bacaan yang sama sebanyak sepuluh kali. Tapi
sayangnya, masih belum terangkai pemahaman yang total dalam otak kita. Jika
kita berhenti mengulangi sementara Allāh memberikan pemahaman di pembacaan yang
ke-11, tentulah kita menjadi orang yang merugi.
Used in Future
Apa yang kita pelajari saat ini tidak berarti berguna
saat ini pula. Bahkan terkadang, boleh jadi kita pernah mempelajari ilmu yang
kita tidak tahu apa manfaatnya. Titik pentingnya adalah bagaimana kita
konsisten dalam belajar. Selama apa yang kita pelajari tidak bertentangan
dengan aturan yang ada, termasuk agama maka sah-sah saja untuk terus
belajar. Bukankah indah hidup ini ketika belajar menjadi hobi, sebuah aktivitas
yang menyenangkan bagi diri.
Suatu ketika saya berbincang
dengan salah satu juru kebersihan kampus. Sebelumnya, saya akan sedikit
bercerita tentang beliau. Di usianya yang sudah tidak lagi muda, beliau masih
tampak segar dan bersemangat. Sering saya saksikan beliau bersimpuh di mushalla
sembari melafalkan dzikir setelah menunaikan shalat Dhuha. Sungguh, sebuah
pemandangan yang tidak biasa. Di tengah aktivitasnya, beliau masih menyempatkan
diri untuk menyambangi Ilahi.
Dalam perbincangan tersebut,
beliau bercerita kepada saya. Di masa muda, ia pernah belajar salah satu kitab
(klasik, turāts). Salah satu isi kitab tersebut adalah bahwa seorang
tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan 6 hal. Saat mempelajarinya, beliau
tidak faham apa manfaatnya. Namun, seiring berjalannya waktu beliau terus meng-update
ilmunya. Beliau rutin mengikuti pengajian, sampai saat ini.
Hatta, suatu ketika beliau menyadari, oh
ternyata ada gunanya juga. Benar bahwa tidak ada yang sia-sia dari apa yang
pernah dipelajari. Dari situlah seharusnya kita juga bisa mengambil pelajaran.
Tidak patut terlalu mempertanyakan manfaat praktis ilmu yang kita tekuni, saat
ini. Tenang saja, pada saatnya kita akan merasa bahwa kegunaannya sungguh
sangat membantu. Persis, seperti yang dirasakan bapak yang saya ceritakan tadi.
Semoga!
Belajar dengan
Mengajar
Ada ungkapan yang cukup menarik
untuk dikaji lebih mendalam. “Khairu at-ta’allumi at-ta’limu.” Sebaik-baik
belajar adalah mengajar, artinya. Kaidah ini pastinya tidak berlaku mutlak.
Ini adalah salah satu cara belajar yang efektif. Ketika kita mengajarkan
sesuatu sejatinya kita juga sedang belajar. Belajar kan tidak berarti
mempelajari hal yang baru. Mengingat kembali apa yang kita pelajari juga bagian
dari belajar/pembelajaran bukan?
Nasihat Rasulullāh, sampaikanlah
dariku walaupun hanya satu ayat. Poinnya adalah penting untuk mengajarkan
apa yang sudah kita pelajari. Itu akan menjadi sedekah keilmuan kita. sedikit
yang kita pahami kalau disebarluaskan pastinya akan menjadi banyak, dan berkah.
Dengan begitu, semangat keilmuan tumbuh dan berkembang. Dengan mengajar berarti
kita mewariskan ilmu yang berharga kepada kehidupan. Itulah sebaik-baik belajar,
dengan mengajar.
Ikhtitām
Guru sosiologi kami ketika di Aliyah dulu pernah membuat
garis-garis yang lumayan banyak di papan tulis. Kami diperintahkan untuk
menghitung garis-garis itu dengan cepat lantas menyebut hasilnya. Muncul
jawaban yang beragam, alias berbeda. Akhirnya, kami hitung bersama dan
terjadilah kesepakatan terkait jumlah garis-garis itu. Kata guru kami tadi,
belajar itu harus diulang-ulang agar pemahaman kita tepat. Kalau hanya (se)sekali
seringkali masih keliru.
Sebagai penutup, mengafal Alquran itu memang mudah. Melupakannya juga
tidak kalah mudahnya. Katanya, hikmahnya adalah agar Alquran terus dibaca,
diulang(-ulang). Sebab, jika sekali dihafal tidak pernah hilang bisa jadi
berkurang orang yang membaca Alquran. Itu karena ia sudah merasa cukup dengan
hafalan yang masih tertata rapi dalam hati. Yuk, kita terus belajar
karena tidak ada kata henti dalam belajar. Rabby zidny ilmā. Wallāhu
a’lamu bi ash-shawāb. []
Samsul Zakaria,
Santri Pondok Pesantren UII,
Mahasiswa S1 Syarī’ah FIAI ‘09.
Buletin Al-Lu'lu
dapat di akses di sini
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?