Minggu, 17 Maret 2013

BELAJAR


Oleh: Samsul Zakaria

D
alam khazanah kebahasaan kita (Indonesia), kata “belajar” termasuk kategori unik. Apa pasal? Kata dasar yang mendapat awalan (prefiks) “bel” seperti dalam kata belajar tidak ditemukan “saudaranya”. Ia ­–sekali lagi– termasuk ketegori kata yang langka. Dengan keunikannya, wajar jika kata belajar memiliki kandungan makna yang luar biasa. Sejak pertama kali manusia “menatap” kehidupan sudah mengenal/dikenalkan “kata” yang satu ini.
Belajar memang sebuah istilah yang general. Dalam kaitannya dengan advice agama, belajar dapat dikaitkan dengan perintah membaca (iqra’!). Perintah membaca dalam Alquran tidak diiringi dengan objek yang seharusnya dibaca. Dalam konteks ini, banyak yang menafsirkan kemudian bahwa membaca (baca, belajar) itu sangatlah luas maknanya. Bacaan apapun yang sedang kita kaji sesungguhnya termasuk bagian dari pengejewantahan firman Allāh tersebut.
Budaya belajar selayaknya teruslah dipupuk. Jangan sampai ia terkubur dalam kubangan kehidupan. Tentu Allāh tidak main-main dengan firman-Nya. Apalagi firman tersebut turun pertama kali, yang artinya memiliki nilai yang sangat urgen. Jika kemudian masalah ini diremehkan akan menyebabkan kemunduran peradaban manusia. Pastinya, kita ingin terus maju dan bangkit. Karenanya, kita harus terus belajar, dan belajar.
Saya teringat bagaimana –dahulu– kedua orang tua saya mengajarkan betapa pentingnya belajar. Dalam hal ini, ibu saya berperan lebih –sebenarnya. Dalam banyak kasus, saya merasa bahwa sejatinya saya sedang “dipaksa” untuk belajar. Tak jarang pastinya, timbul keengganan dalam jiwa. Mengapa saya harus berhadapan dengan buku bacaan sementara teman saya yang lain asyik dengan dunia permainannya.
Itulah konflik sederhana yang saya hadapi ketika itu. Hingga, tanpa saya sadari ternyata apa yang awalnya terpaksa menjadi sebuah kebutuhan. Apa yang pernah saya lakukan dengan ketidaknyamanan berubah menjadi yang sebaliknya, kenyamanan yang saya rasakan. Di titik inilah saya harus berterima kasih kepada kedua orang tua. Kebaikan itu memang harus dipaksakan awalnya. Jika dilakukan dengan kadar yang benar akan menimbulkan efek yang “mantap” pula.

Belajar=Makan
                Mungkin banyak orang yang berfikiran sempit. “Mengapa saya harus belajar, harus membaca, jika akhirnya apa yang saya pelajari hilang dari ingatan. Ia raib ditelan zaman…” Kita tidak buru-buru menghakimi penuturan (fiktif) tersebut. Sebab, wajar jika orang merasa bosan dengan yang namanya belajar. Apalagi jika ia ingat betapa mudahnya ia lupa/melupakan apa yang ia pelajari. Tentu, menimbulkan pesimisme sehingga ia malas dan enggan untuk terus belajar.
                Namun, kemalasan yang demikian kalau dibiarkan efeknya tentulah tidak baik. Coba kita lihat dari katanya saja, malas. Iya, malas (kasl) adalah salah satu sifat tercela. Rasulullāh pernah mengajarkan beberapa doa yang salah satunya agar kita terhindah dari rasa malas tadi. Artinya, kemalasan (belajar) harusnya dilawan. Kemalasan tersebut yang menjadi penghambat kemajuan. Jika dibiarkan ia akan merebak bagai virus yang dengan bebas tumbuh dan berkembang (biak).
Alkisah, ada seorang anak yang diperintah ayahnya untuk mencuci piring. Dengan amat kesal ia justru balik “menasihati” ayahnya. “Kenapa harus dicuci sich, Ayah. Nanti juga bakal kotor lagi…” Sang ayah yang memang bijak tersebut tidak lantas “naik pitam” karena sikap buah hatinya. Ia merasa perlu untuk menyadarkan putranya dengan cara yang tepat. Hingga, suatu ketika ia tidak bisa mengelak lagi saat diperintah untuk melakukan hal yang sama.
Di kesempatan lain, sang ayah mencoba untuk menguji putranya kembali. “Fulan, coba kamu sirami bunga mawar di depan rumah itu…” Sang ayah sebenarnya sudah bisa menebak bahwa anaknya akan “beralasan” kembali. Benar sekali dugaan sang ayah. “Kenapa harus disirami sich, Ayah. Nanti bakal mati juga…” Sekali lagi, sang ayah tidak lantas memarahi putranya. Ia ingin memberinya pelajaran suatu saat nanti.
Sampailah pada saat dimana sang ayah menemukan momen yang tepat. Sang anak meminta izin padanya untuk makan di luar. “Ayah, Fulan mau makan di luar ya,” kata sang anak. Dengan nada yang disamakan dengan intonasi sang anak, sang ayah membalas. “Kenapa sich makan, Nak. Nanti juga bakal lapar lagi...,” kata sang ayah. Seketika sang anak tersadarkan. Bahwa selama ini ia telah berani “melawan” titah ayahnya.
Sang anak selalu sukses memberikan alasan kepada ayahnya saat diperintah. Namun ternyata ia tidak bisa berkata apa-apa saat mendapatkan “perlakuan” yang sama. Benar bahwa piring yang dicuci itu akan kotor kembali. Namun bukan berarti bahwa piring yang kotor tidak dicuci dulu sebelum dipakai kembali. Begitu juga dengan perihal konsumsi (makan). Walaupun sudah tahu bakal lapar kembali, kita tetap makan juga bukan?
Sekarang, sudah tidak alasan bermalas-malasan untuk belajar. Kita memang tahu bahwa apa yang kita pelajari kalau tidak semua ya sebagiannya akan terlupakan. Tapi, itu bukanlah alasan yang logis hingga kita tidak mau belajar. Sama halnya makan, belajar adalah kebutuhan. Jika tubuh membutuhkan asupan makanan untuk bertahan, maka otak kita juga butuh asupan bacaan untuk tujuan yang sama.
Dengan membaca kita juga meng-update pengetahuan kita. Kita tidak pernah tahu bacaan yang keberapa yang akan tertancap dalam ingatan kita. Boleh jadi, kita sudah mengulangi bacaan yang sama sebanyak sepuluh kali. Tapi sayangnya, masih belum terangkai pemahaman yang total dalam otak kita. Jika kita berhenti mengulangi sementara Allāh memberikan pemahaman di pembacaan yang ke-11, tentulah kita menjadi orang yang merugi.

Used in Future
                Apa yang kita pelajari saat ini tidak berarti berguna saat ini pula. Bahkan terkadang, boleh jadi kita pernah mempelajari ilmu yang kita tidak tahu apa manfaatnya. Titik pentingnya adalah bagaimana kita konsisten dalam belajar. Selama apa yang kita pelajari tidak bertentangan dengan aturan yang ada, termasuk agama maka sah-sah saja untuk terus belajar. Bukankah indah hidup ini ketika belajar menjadi hobi, sebuah aktivitas yang menyenangkan bagi diri.
                Suatu ketika saya berbincang dengan salah satu juru kebersihan kampus. Sebelumnya, saya akan sedikit bercerita tentang beliau. Di usianya yang sudah tidak lagi muda, beliau masih tampak segar dan bersemangat. Sering saya saksikan beliau bersimpuh di mushalla sembari melafalkan dzikir setelah menunaikan shalat Dhuha. Sungguh, sebuah pemandangan yang tidak biasa. Di tengah aktivitasnya, beliau masih menyempatkan diri untuk menyambangi Ilahi.
                Dalam perbincangan tersebut, beliau bercerita kepada saya. Di masa muda, ia pernah belajar salah satu kitab (klasik, turāts). Salah satu isi kitab tersebut adalah bahwa seorang tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan 6 hal. Saat mempelajarinya, beliau tidak faham apa manfaatnya. Namun, seiring berjalannya waktu beliau terus meng-update ilmunya. Beliau rutin mengikuti pengajian, sampai saat ini.
                 Hatta, suatu ketika beliau menyadari, oh ternyata ada gunanya juga. Benar bahwa tidak ada yang sia-sia dari apa yang pernah dipelajari. Dari situlah seharusnya kita juga bisa mengambil pelajaran. Tidak patut terlalu mempertanyakan manfaat praktis ilmu yang kita tekuni, saat ini. Tenang saja, pada saatnya kita akan merasa bahwa kegunaannya sungguh sangat membantu. Persis, seperti yang dirasakan bapak yang saya ceritakan tadi. Semoga!

Belajar dengan Mengajar
                Ada ungkapan yang cukup menarik untuk dikaji lebih mendalam. “Khairu at-ta’allumi at-ta’limu.” Sebaik-baik belajar adalah mengajar, artinya. Kaidah ini pastinya tidak berlaku mutlak. Ini adalah salah satu cara belajar yang efektif. Ketika kita mengajarkan sesuatu sejatinya kita juga sedang belajar. Belajar kan tidak berarti mempelajari hal yang baru. Mengingat kembali apa yang kita pelajari juga bagian dari belajar/pembelajaran bukan?
                Nasihat Rasulullāh, sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat. Poinnya adalah penting untuk mengajarkan apa yang sudah kita pelajari. Itu akan menjadi sedekah keilmuan kita. sedikit yang kita pahami kalau disebarluaskan pastinya akan menjadi banyak, dan berkah. Dengan begitu, semangat keilmuan tumbuh dan berkembang. Dengan mengajar berarti kita mewariskan ilmu yang berharga kepada kehidupan. Itulah sebaik-baik belajar, dengan mengajar.

Ikhtitām             
Guru sosiologi kami ketika di Aliyah dulu pernah membuat garis-garis yang lumayan banyak di papan tulis. Kami diperintahkan untuk menghitung garis-garis itu dengan cepat lantas menyebut hasilnya. Muncul jawaban yang beragam, alias berbeda. Akhirnya, kami hitung bersama dan terjadilah kesepakatan terkait jumlah garis-garis itu. Kata guru kami tadi, belajar itu harus diulang-ulang agar pemahaman kita tepat. Kalau hanya (se)sekali seringkali masih keliru.
Sebagai penutup, mengafal Alquran itu memang mudah. Melupakannya juga tidak kalah mudahnya. Katanya, hikmahnya adalah agar Alquran terus dibaca, diulang(-ulang). Sebab, jika sekali dihafal tidak pernah hilang bisa jadi berkurang orang yang membaca Alquran. Itu karena ia sudah merasa cukup dengan hafalan yang masih tertata rapi dalam hati. Yuk, kita terus belajar karena tidak ada kata henti dalam belajar. Rabby zidny ilmā. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
               
Samsul Zakaria,
Santri Pondok Pesantren UII,
Mahasiswa S1 Syarī’ah FIAI ‘09.

 Buletin Al-Lu'lu
dapat di akses di sini

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?