Rabu, 13 Maret 2013

DZULHIJJAH, MOMENT MUHASABAH UNTUK BERUBAH

Oleh: Priyo Sudibyo

سيدنا عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول: "حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا، وزنوا أعمالكم قبل أن توزن عليكم، واعلموا أن ملك الموت قد تخطاكم إلى غيركم، وسيتخطى غيركم إليكم، فخذوا حذركم".

Saat ini kita di penghujung tahun Hijriyah, tepatnya di bulan Dzulhijjah. Bulan terakhir dalam tahun Hijriyah ini mengandung berbagai macam rahasia Maha Agung. Rahasia yang harus digali oleh setiap muslim. Ada apa di balik keistimewaan Dzulhijjah? Mengapa Ibadah Haji dan qurban ada dalam bulan yang sama, yaitu Dzulhijjah? Adakah hubungan antara bulan Dzulhijjah dengan Muharram?

Seperti yang sudah mafhum diketahui banyak orang. Dalam teori manajemen ada perencanaan dan evaluasi. Perencanaan pada umumnya dilakukan di awal tahun sedangkan evaluasi  dan laporan kerja dilaksanakan pada akhir bulan dan tahun. Hal inilah yang sebenarnya juga harus terjadi dalam kehidupan seorang muslim. Bukan hanya bulan atau tahun, namun juga harian. Karena nilai tambah (khoirun yatazaiyad) setiap harinya menjadi tolak ukur sukses atau rugi kehidupan yang dijalani. Barang siapa yang hari ini lebih baik maka ia adalah orang yang beruntung. Namun, bagaimana jika sebaliknya?
Kehidupan seorang muslim sudah sepatutnya semakin baik dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun  ke tahun. Bulan Dzulhijjah mengandung moment evalusi tersebut. Moment itu Allah sisipkan dalam kemuliaan dua ibadah agung yang hanya terjadi pada bulan ini. Yaitu; Idhul Adha yang juga disebut idhul Qur’an dan Ibadah Haji.

Rahasia di Balik Idhul Qurban
Beberapa minggu yang lalu, kita disibukkan dengan penyembelihan hewan qurban yang kemudian dibagikan kepada fuqara’. Adakah manfaat bagi Allah dari hewan yang disembelih itu? Tidak, sama sekali tidak. Allah tak pernah membutuhkan darah, daging dan kulit dari hewan yang disembelih pada hari raya Idhul Qurban. Sesungguhnya kita yang mendapatkan hadiah dari hewan qurban yang disembelih. Yaitu, taqwa dan keihlasan. Qurban merupakan kata serapan dari bahasa arab, yang berasal dari kata Qurba yang mempunyai makna  dekat sedangkan Idhul sendiri dari kata âda yang berarti kembali. Sehingga secara lughowi makna idhul qurban adalah kembali mendekat (pada allah).
Hakikatnya manusia dengan Allah adalah dekat. Allah Aqrobu min hablil warid (lebih dekat dari urat nadi) adalah ungkapan yang digunakan untuk mengibaratkan kedekatan Allah dengan hambanya. Namun, meski begitu dekat mengapa seringkali hal-hal yang kurang baik menghiasi perbuatan kita. Bergosip, sombong atas anugrah yang diberinya hingga melupakan sang pemberi hadiah tersebut. Maka momen Idhul Qurban adalah bukti bagaimana seorang hamba mendekat pada rabbnya. Mendekat sedekat-dekatnya dengan menyisihkan sebagian harta yang dimiliki untuk berqurban.
Nabi Ibrahim sebagai salah satu ibrah bagaimana ia mendekat pada Allah. Saat itu Allah minta pada Ibrahim pengorbanan bukan dari hewan ternak kambing, sapi atau unta sebagaimana saat ini kita berqurban. Allah meminta anak satu-satunya yang dimiliki untuk ia sembelih. Akhirnya karena semua adalah milik Allah Nabi Ibrahim merelakan putranya untuk Ia sembelih. Tanpa ragu. Tanpa banyak babibu. Ia menyembelih Ismail. Allah mengetahui keikhlasan Ibrahim saat itu mengirim kambing kibas dari surga menggantikan Ismail. Pengorbanan Ibrahim tersebut menjadikan Allah mengangkat derajatnya. Ia mendapat gelar kholilullah.
Allah sendiri dalam salah satu hadist qudsi yang diriwayatkan oleh bukhori muslim berfirman; “Jika ia (hambaku) mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat”. Maka Idhul Qurban yang terbais dalam bulan dzulhijjah salah satu nilai yang diajarkan adalah kembali (mendekat) pada Allah.

Rahasia Di Balik Ibadah Haji
Selanjutnya, ibadah yang hanya ada pada bulan dzulhijjah adalah haji. Ibadah dalam Islam yang bersifat internasional. Mempertemukan umat islam seluruh dunia. Bagaimana tidak? Seluruh umat muslim di waktu yang sama, di tempat yang sama berdatang dari seluruh penjuru dunia. Tua-muda, pria-wanita, kaya-miskin semua memakai pakaian ihram yang sama guna menjalakan ibadah haji.
Hakikat haji adalah mengenal diri. Alhajju arafah (Haji adalah {wukuf} di arafah). Arafah sendiri mempunyai arti : pengenalan. Inti dari ibadah haji dari sekian banyak rukun; ihram, tawaf hingga tahallul adalah wukuf di padang arafah. Seluruh rukun dapat digantikan dengan orang lain jika jamaah haji yang bersangkutan mengalami kesuliatan. Akan tetapi mengapa wuquf tidak dapat digantikan. Hal ini karena urgensitas haji dalam wuquf adalah berdiam dan i’tiraf (mengenal diri).
Dalam ibadah haji nilai pengenalan diri menjadi poin terpenting yang harusnya disadari oleh jamaah haji. Mereka melepaskan semua yang mereka miliki, rumah, jabatan, hutang dan hanya menyisakan kain putih (beberapa menggunakan kain hitam) yang tertaut pada diri mereka. Kesadaran bahwa semua yang dimiliki adalah titipan, dan esistensi manusia adalah penghambaan. Haji yang mabrur salah satu diantara sekian banyak tanda-tandanya adalah semakin bertambah baik. Seseorang akan semakin bertambah baik jika benar-benar mengetahui hakikat dirinya. Untuk apa ia diciptakan? Dan apa tanggung jawab yang sedang ia emban?.

Dzulhijjah dan Muhasabah
Dua ibadah di atas mengingatkan kita untuk selalu mendekat diri pada Allah dan mengenal siapa sesunggungnya diri ini. Apa yang sejatinya yang pantas dibanggakan karena apa yang dimiliki sejatinya semua hanya sebuah titipan. Kekayaan bukan selalu menjadi lambang kebaikan, karena kadang itu adalah cara Allah menghinakan hambanya dan Qorun adalah tamasil yang Allah Berikan. Begitu juga kemiskinan bukan merupakan lambang kehinaan, akan tetapi bisa jadi itu adalah sarana yang memang dikarunaiakan allah memuliakan hambanya yang sabar dan tabah.
Dzulhijjah menjadi bulan terakhir dalam bulan Hijriyah sudah seharusnya menjadi momen mawas diri. Melihat apa yang telah kita perbuat beberapa bulan yang lalu. Adakah nilai tambah atau kita hanya semakin memburuk dari hari ke hari. Evaluasi yang dilakukan tak usah terlalu muluk-muluk. Mulailah dari hal hal kecil seperti shalat wajib lima waktu. Sudahkah semua dilaksanakan? Atau sudahkan dilakukan di waktu yang tepat? Dan sudahkah dilakukan secara berjamaah?  Hari hal hal kecil dapat kita evaluasi untuk menciptakan hal hal besar dikemudian hari.
Muhasabah ini sangatlah penting bagi seorang muslim selagi ruh masih dikandung badan. Selagi masih kita yang menghisab amal yang diperbuat dan masih bisa untuk mengadakan perbaikan atas hal hal yang dianggap kurang baik. Ingatlah bagaimana nanti jika yang manghisab bukan lagi kita. Mulut tak lagi dapat memberikan alasan-alasan atas apa yang diperbuat karena saat itu tangan, kaki menjadi saksi atas kita. Maka pada saat tersebut jangan sampai tangan, dan kaki kita memberi kesaksian yan buruk dengan memperbaiki tindak tanduk selama masih di dunia.  Kedatangan maut itu pasti sehingga yang menjadi tugas kita saat ini adalah mempersiapkannya. Betapa banyak nanti pada saat itu menusia baru menyadari kesalahan yang diperbuat. Meminta dikembaliikan ke alam dunia guna memperbaiki apa yang diperbuat. Namun, bukan kesempatan yang diberikan akan tetapi hukuman karena lalai dengan hari itu.

Ikhtitam

Pada moment bulan Dzulhijjah ini mari kita saling mengingatkan untuk bermuhasabah dan saling nasehat-menasehati (Watawa saubil haq watawa saubil sabr). Mempersiapkan rencana-rencana positif untuk menyambut tahun baru. Jika beberapa orang menghabiskan malam tahun baru dengan berhura-hura, maka mari kita sambut tahun tersebut dengan merenungi apa yang telah telah diperbuat, karena suatu saat nanti akan dimintai pertanggungjawabannya. Semoga esok menjadi lebih baik dari saat ini, dan saat ini menjadi lebih baik dari hari kemarin. Wallahu a’lam bisshowab.

 

Buletin Al-Lu'lu
dapat di akses di sini

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?