Kamis, 14 Maret 2013

INDAHNYA SAAT ITU...


Oleh: Muhammad Qamaruddin

Indahnya saat itu...
Aku menemuimu dengan rasa malu-malu. Kutundukkan kepalaku. Kau pun menundukkan kepalamu jua. Mata tak bertemu mata. Hanya kadang mencuri pandang sedetik dua detik. Dengan terbata-bata aku mencoba untuk menyampaikan maksud hati. ‘Dengarkan wahai pujaan hatiku, aku ingin melamarmu’, ucapku sedikit gugup. Mendengar hal itu, kita pun saling memandang. Kau hanya tersenyum manis. Seketika itu pula kau menjawab, ‘Jemputlah aku...’


Indahnya saat itu...
ketika aku datang ke rumahmu bersama dengan keluargaku. Aku mengajak Ibuku, adikku, pamanku, dan yang lainnya. Beberapa orang dari keluargamu menyambut kami. Ibumu, Kakak-kakakmu, Abangmu, dan beberapa anak kecil yang ku tak hapal namanya. Aku duduk di tengah-tengah mereka. Sesekali mataku liar memandangi sekeliling. Hingga tiba-tiba abangmu bertanya, ‘Nyari siapa?’ sambil tersenyum. Akhirnya semua orang tertawa melihat tingkah lakuku. Mereka tahu, aku sedang mencari kamu. Sampai aku mengetahui bahwa kamu masih di dapur sedang membuatkan minuman untuk kami. Setelah berbasa-basi, salah satu dari keluargaku menyampaikan maksud dari kedatangan kami. ‘Melamarmu...’

indahnya saat itu...
Sejak hari aku datang untuk melamarmu, aku jadi sering sms kamu. Kadang-kadang jika ada waktu, aku telepon kamu, meskipun hanya sebentar. Kulakukan itu semua hanya untuk menekan perasaan rindu ini. Aku harus sedikit bersabar untuk menunggu waktu kita duduk bersanding bersama. Itulah kesepakatan dari kedua keluarga besar kita. kehidupan baru akan segera membersamai kita...

Indahnya saat itu...
Aku mengenakan jas hitam terbaikku. Kupandangi diriku sendiri di cermin. Lihatlah, akulah orang yang paling bahagia di dunia ini. Aku telah menemukan tulang rusukku. Sebentar lagi tulang rusuk itu akan kembali bersatu di bawah ucapan ijab kabul. Seketika itu pula adikku datang dan berteriak, ‘Bang, ayo cepat, jangan lama-lama di depan cermin’. Sesegera itu pula aku bergegas mendatangi dia. Ia menungguku dengan muka cemberut. Dirapikannya lagi jasku sambil berbisik, ‘Abang adalah laki-laki tergagah di keluarga kita, dan Abang  mendapatkan wanita tercantik di dunia ini. Jaga dia baik-baik, sebagaimana Abang menjaga kehormatan keluarga ini...’

Indahnya saat itu...
Sedari tadi aku menunggu kedatanganmu. Gelisah aku dibuatnya. Kenapa belum datang juga? Akhirnya kamu datang bersama keluargamu. Cantik sekali. Bidadari pun tak dapat menandingi kecantikan itu. Tak lama kemudian kamu duduk di sampingku. Seorang penghulu duduk bersimpuh di hadapan kita. Ingatlah! Inilah momen sakral yang harus kita ingat sampai kita mati. Aku bersyukur dapat menyempurnakan agama. ‘Saya terima nikah....dengan mahar...’. Ah...mataku basah karenanya. Air mata bahagia. Kamu?



Indahnya saat itu...
Kita mendiskusikan kapan dan di mana akan mengadakan walimatul ursy. Kamu mempertimbangkan banyak hal untuk memutuskannya. kamu bicara ini, bicara itu, bicara kesana, bicara kemari, ah, pusing aku mendengar ocehanmu. Akhirnya aku tidak  lagi memperdulikan perkataanmu. Aku hanya memandangi wajahmu. Wajah manis yang akan menjadi Ibu dari anak-anakku. Seolah-olah wajah inilah yang menghiasi seluruh alam ini. aku pun tersenyum-senyum sendiri. Hingga kamu menyadari bahwa aku tidak lagi mendengarkanmu, kamu akhirnya mencubit lenganku. Wajah itu pun berganti muka cemberut. Melihat hal itu, langsung saja kugelitiki pinggangku. Kamu meronta. Kita pun tertawa bersama...

Indahnya saat itu...
Kita bersama-sama menuliskan nama-nama di undangan walimah kita. Banyak sekali yang kita undang. Pastinya kita ingin sekali membagi kebahagiaan ini kepada semua yang kita kenal. Aku mengingat-ingat lagi, siapa yang belum kita tulis namanya. Lalu tiba-tiba kau menunjukkanku satu nama yang telah ia tulis sendiri dan berkata, ‘A’, temanku ini udah punya anak satu’. Sejenak aku memandanginya dan tertawa keras. Kemudian aku berkata, ‘Temanku ini malah sudah punya anak dua’, ujarku membalasnya sambil memperlihatkan satu undangan. Kami pun lagi-lagi tertawa bersama.

Indahnya saat itu...
Walimatul Ursy. Kita duduk bersanding di tengah-tengah orang yang lalu lalang. Mereka memberikan selamat kepada kita. Tak lupa mereka memberikan doa agar kita menjadi menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Tamu terus saja datang bergantian. Aku berbisik kepadamu, ‘Sepertinya teman-temanku yang datang ke sini lebih banyak daripada teman-temanmu’. Kamu langsung memandangiku sedikit melotot, ‘Salah besar. Teman-temanku lebih banyak dari pada teman-teman Aa’. Lagi-lagi ia mencubitku. Aku mengaduh. Kami tak sadar, beberapa orang melihat tingkah laku kami. mereka hanya senyum-senyum. Mungkin mereka berkata, ‘Dasar, pengantin baru!’

Indahnya saat itu...
Kita membuka hadiah bersama-sama. Beragam hadiah kita dapatkan. Ada kue-kue kering, figura, album, baju, gelas, perabotan rumah tangga, dan masih banyak yang lain. Setiap hadiah yang kita buka, selalu saja kamu komentari. aku hanya menanggapinya sedikit. Aku capek, tidakkah kamu merasa capek? Aku pun merebahkan diriku hingga tertidur pulas. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya. Saat aku bangun tidur, kau memeluk erat diriku seakan tidak mau berpisah untuk selamanya...

Indahnya saat itu...
Aku bersiap-siap untuk pergi kerja. kamu memanggilku dari luar kamar, ‘A, makan....’. tahukah kamu, masakanmulah yang terbaik di dunia ini. tak ada yang menandingi kelezatan masakanmu. Aku menuju tempat makan. Kamu sudah duduk di sana sembari menuangkan teh. Ah...betapa cantiknya istriku ini. Sebelum berangkat, sekali lagi kamu merapikan bajuku. Tak sadarkah kamu, aku terus menatapmu ketika itu. Seketika itu pula aku mencium keningmu tulus. Aku berjanji akan selalu membahagiakanmu.
Indahnya saat itu...
Aku turun dari motor setelah bekerja seharian. Kamu telah menantiku di depan rumah. Segala kepenatan hilang setelah melihat senyummu itu. Indah sekali. Menyejukkan jiwaku yang seharian kelelahan menghadapi kerasnya perjuangan hidup. Kamu cium tanganku. Kamu sambut suamimu ini dengan penuh suka cita. Kamu bantu aku melepaskan sepatu. Segalanya kamu lakukan untuk menghilangkan kepenatanku, kepenatan suamimu ini. Istriku, kamu juga capek kan? Seharian di rumah mengurus ini, itu, dan lain sebagainya. Tapi demi aku, kamu rela simpan itu semua. Hanya surgaNyalah sebagai hadiah dari pengabdianmu.

Indahnya saat itu...
Akhir pekan, Kamu mengajakku makan malam di luar rumah. Aku suruh kamu memilih tempat mana saja yang disuka. Restoran, seafood, warung sate, Fried chiken, lalapan, Soto banjar, nasi kuning, semua tempat makan kutawarkan kepadamu. Tak ada yang kamu pilih. Lalu mau makan kemana? Kamu membiarkan aku dalam kebingungan. ‘Masih ingat tempat di mana kita pertama kali makan malam?’ Tanya kamu kepadaku. Ah! Aku ingat! Kita makan di sana saat buka puasa. kita memesan lauk Pais bukan? Ok...ok...aku setuju dengan pilihan kamu...nostalgia...

Indahnya saat itu...
Kita sama-sama menonton TV. Seringkali kita rebutan remote TV. Aku mau menonton bola, kamu mau nonton yang lain. Bahkan pernah kamu menyuruh aku untuk membeli TV lagi. Ada-ada saja. Namun, Kali ini aku harus mengalah denganmu. Pertandingan klub kesayanganku harus kukorbankan karena ancamanmu, ‘mau tidur di luar?’. Kadang kamu nampak mengerikan, sayang. Aku menemanimu menonton sinetron. Kamu bersandar di bahuku. Dua jam  kemudian kamu pun tertidur. Tapi, Tunggu dulu..Hei! Sejak kapan kamu suka menonton sinetron?. Aku pun langsung meraih remote TV, kuganti channel. Sayang seribu sayang, pertandingan klub kesayanganku telah usai. Sayang...kamu berhasil mempermainkanku...



Indahnya saat itu...
Aku sedang menyelesaikan pekerjaan kantor di rumah. Kamu datang seraya membawakan Teh hangat. Kamu letakkan di meja kerjaku. ‘Terima kasih, sayang’, ucapku penuh cinta. Kamu tersenyum mesra kepadaku dan mencium keningku. Kemudian kamu berkata, ‘A, ada yang ingin aku sampaikan kepadamu’. ‘Sampaikanlah,’ balasku tanpa menoleh. Kamu diam tanpa kata. aku masih berkutat dengan pekerjaanku. Tiba-tiba saja kamu langsung berbalik dan keluar tanpa permisi kepadaku. Hei! Kenapa sayang? Tanyaku pada diri sendiri. Segera saja kususul kamu. kutangkap tanganmu dan langsung kukatakan, ‘Iya..iya...Aa’ dengerin. Ada apa?’. ‘Aa selesain aja dulu pekerjaannya’, ujarmu sedikit cemberut. Perlahan-lahan kulepaskan genggamanku. Kamu langsung berjalan keluar. Ketika aku berbalik, kamu tiba-tiba berkata, ‘kira-kira laki-laki atau perempuan ya...?’. Jantungku berdegup kencang. Sekali lagi aku datangi kamu sedikit berlari. Meskipun terengah-engah, aku tak sabar menanyakan hal ini, ‘Kamu....hamil??’. ‘Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang Ayah...’, ucapmu sembari memelukku.


Indahnya saat itu...
Aku tidak tahu apakah ini benar-benar keinginanmu atau hanya sekedar mempermainkanku. Sejak kehamilanmu yang semakin tua, permintaanmu semakin aneh saja. Aku kerepotan dibuatnya. tidak...tidak...bukannya aku tidak tulus dan ikhlas. Hanya saja, kamu jangan minta yang aneh-aneh. ‘Kalau tidak dituruti, bakal bermasalah dengan anaknya nanti’, kata Ibuku suatu hari menasehatiku. Sayang...apa benar kamu sedang ngidam??

Indahnya saat itu...
Kelahiran anak pertama. Laki-laki. Tampan dan gagah sekali. ‘Seperti ayahnya’, ucapmu lemah sembari memeluk bayi itu di sampingmu. air mataku berlinang melihatnya. Istriku, betapa menderitanya kamu harus menanggung ini semua selama sembilan bulan. Bahkan ketika kamu akan melahirkan bayi ini, kamu harus mempertaruhkan nyawa antara hidup dan mati. Aku bersyukur karena Allah masih memberikan kesehatan kepadamu. Lihatlah....dia anak kita, darah daging kita. Dialah yang akan menjadi pelita dalam hidup kita. Allah menitipkannya kepada kita. ‘A...’, panggilmu membuyarkan lamunanku. ‘Apa nama yang pantas untuk bayi mungil ini, sayang?’

Indahnya saat itu...
‘Ibu! Ayah! Aku dapat rangking satu!’ ucapnya kepada kami. Kami saling pandang. Anak ini sudah besar, anak ini telah bersekolah, dan anak ini telah mendapatkan yang terbaik di sekolahnya. Aku pegang kepalanya penuh arti. Kamu pun mencium pipinya penuh kasih sayang. Tentunya kita ingin dia menjadi anak yang shaleh bukan....

Indahnya saat itu...
Kamulah orang terakhir yang akan menemaniku ketika aku akan menghadapNya. Hanya tanganmulah yang akan aku pegang. Hanya matamulah yang akan kutatap ketika aku merasa ketakutan. Peluklah aku ketika aku menggigil. Topanglah aku ketika aku lemah. Saat mata tuaku tidak mampu lagi melihat, maka kamulah mataku. Saat telinga tuaku tidak mampu lagi mendengar, maka kamulah telingaku. Saat mulut tuaku tidak mampu lagi berucap, maka kamulah mulutku. Ketika tangan tuaku tak mampu lagi menggapai, maka kamulah tanganku. Saat kaki tuaku tak mampu lagi melangkah, maka kamulah kakiku. Aku adalah kamu, dan kamu adalah aku.
Lihatlah...kita telah melaluinya bersama-sama. Susah senang kita hadapi itu semua. Kini aku telah tua renta, begitu pula dirimu. Namun satu hal yang ingin aku sampaikan kepadamu, kamu tetaplah cantik seperti saat aku pertama kali melihatmu. Tak ada yang berubah, betiu pula rasa cintaku. Meskipun ajal telah menjemput. Kamu adalah bidadariku di dunia. Kamu pun juga akan menjadi bidadariku di surga kelak. Siapapun yang mendahului, maka ialah yang akan menanti. Biarkanlah cinta kita menjadi sejarah bagi cucu-cucu kita kelak. Biarkanlah mereka belajar dari kita, bagaimana wujud dari cinta sejati itu. Cinta yang abadi dan tak akan pernah hilang ditelan oleh zaman...

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?