Oleh: Muhammad Qamaruddin
Indahnya saat itu...
Aku menemuimu dengan rasa malu-malu. Kutundukkan kepalaku. Kau pun
menundukkan kepalamu jua. Mata tak bertemu mata. Hanya kadang mencuri pandang
sedetik dua detik. Dengan terbata-bata aku mencoba untuk menyampaikan maksud
hati. ‘Dengarkan wahai pujaan hatiku, aku ingin melamarmu’, ucapku sedikit
gugup. Mendengar hal itu, kita pun saling memandang. Kau hanya tersenyum manis.
Seketika itu pula kau menjawab, ‘Jemputlah aku...’
Indahnya saat itu...
ketika aku datang ke rumahmu bersama dengan keluargaku. Aku
mengajak Ibuku, adikku, pamanku, dan yang lainnya. Beberapa orang dari
keluargamu menyambut kami. Ibumu, Kakak-kakakmu, Abangmu, dan beberapa anak
kecil yang ku tak hapal namanya. Aku duduk di tengah-tengah mereka. Sesekali
mataku liar memandangi sekeliling. Hingga tiba-tiba abangmu bertanya, ‘Nyari
siapa?’ sambil tersenyum. Akhirnya semua orang tertawa melihat tingkah lakuku.
Mereka tahu, aku sedang mencari kamu. Sampai aku mengetahui bahwa kamu masih di
dapur sedang membuatkan minuman untuk kami. Setelah berbasa-basi, salah satu
dari keluargaku menyampaikan maksud dari kedatangan kami. ‘Melamarmu...’
indahnya saat itu...
Sejak hari aku datang untuk melamarmu, aku jadi sering sms kamu. Kadang-kadang
jika ada waktu, aku telepon kamu, meskipun hanya sebentar. Kulakukan itu semua
hanya untuk menekan perasaan rindu ini. Aku harus sedikit bersabar untuk
menunggu waktu kita duduk bersanding bersama. Itulah kesepakatan dari kedua keluarga
besar kita. kehidupan baru akan segera membersamai kita...
Indahnya saat itu...
Aku mengenakan jas hitam terbaikku. Kupandangi diriku sendiri di
cermin. Lihatlah, akulah orang yang paling bahagia di dunia ini. Aku telah
menemukan tulang rusukku. Sebentar lagi tulang rusuk itu akan kembali bersatu
di bawah ucapan ijab kabul. Seketika itu pula adikku datang dan berteriak,
‘Bang, ayo cepat, jangan lama-lama di depan cermin’. Sesegera itu pula aku
bergegas mendatangi dia. Ia menungguku dengan muka cemberut. Dirapikannya lagi
jasku sambil berbisik, ‘Abang adalah laki-laki tergagah di keluarga kita, dan
Abang mendapatkan wanita tercantik di
dunia ini. Jaga dia baik-baik, sebagaimana Abang menjaga kehormatan keluarga
ini...’
Indahnya saat itu...
Sedari tadi aku menunggu kedatanganmu. Gelisah aku dibuatnya.
Kenapa belum datang juga? Akhirnya kamu datang bersama keluargamu. Cantik
sekali. Bidadari pun tak dapat menandingi kecantikan itu. Tak lama kemudian
kamu duduk di sampingku. Seorang penghulu duduk bersimpuh di hadapan kita.
Ingatlah! Inilah momen sakral yang harus kita ingat sampai kita mati. Aku
bersyukur dapat menyempurnakan agama. ‘Saya terima nikah....dengan mahar...’.
Ah...mataku basah karenanya. Air mata bahagia. Kamu?
Indahnya saat itu...
Kita mendiskusikan kapan dan di mana akan mengadakan walimatul
ursy. Kamu mempertimbangkan banyak hal untuk memutuskannya. kamu bicara ini,
bicara itu, bicara kesana, bicara kemari, ah, pusing aku mendengar ocehanmu.
Akhirnya aku tidak lagi memperdulikan
perkataanmu. Aku hanya memandangi wajahmu. Wajah manis yang akan menjadi Ibu
dari anak-anakku. Seolah-olah wajah inilah yang menghiasi seluruh alam ini. aku
pun tersenyum-senyum sendiri. Hingga kamu menyadari bahwa aku tidak lagi
mendengarkanmu, kamu akhirnya mencubit lenganku. Wajah itu pun berganti muka
cemberut. Melihat hal itu, langsung saja kugelitiki pinggangku. Kamu meronta.
Kita pun tertawa bersama...
Indahnya saat itu...
Kita bersama-sama menuliskan nama-nama di undangan walimah kita.
Banyak sekali yang kita undang. Pastinya kita ingin sekali membagi kebahagiaan
ini kepada semua yang kita kenal. Aku mengingat-ingat lagi, siapa yang belum
kita tulis namanya. Lalu tiba-tiba kau menunjukkanku satu nama yang telah ia
tulis sendiri dan berkata, ‘A’, temanku ini udah punya anak satu’. Sejenak aku
memandanginya dan tertawa keras. Kemudian aku berkata, ‘Temanku ini malah sudah
punya anak dua’, ujarku membalasnya sambil memperlihatkan satu undangan. Kami
pun lagi-lagi tertawa bersama.
Indahnya saat itu...
Walimatul Ursy. Kita duduk bersanding di tengah-tengah orang yang
lalu lalang. Mereka memberikan selamat kepada kita. Tak lupa mereka memberikan
doa agar kita menjadi menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Tamu
terus saja datang bergantian. Aku berbisik kepadamu, ‘Sepertinya teman-temanku
yang datang ke sini lebih banyak daripada teman-temanmu’. Kamu langsung
memandangiku sedikit melotot, ‘Salah besar. Teman-temanku lebih banyak dari
pada teman-teman Aa’. Lagi-lagi ia mencubitku. Aku mengaduh. Kami tak sadar,
beberapa orang melihat tingkah laku kami. mereka hanya senyum-senyum. Mungkin
mereka berkata, ‘Dasar, pengantin baru!’
Indahnya saat itu...
Kita membuka hadiah bersama-sama. Beragam hadiah kita dapatkan. Ada
kue-kue kering, figura, album, baju, gelas, perabotan rumah tangga, dan masih
banyak yang lain. Setiap hadiah yang kita buka, selalu saja kamu komentari. aku
hanya menanggapinya sedikit. Aku capek, tidakkah kamu merasa capek? Aku pun
merebahkan diriku hingga tertidur pulas. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi
setelahnya. Saat aku bangun tidur, kau memeluk erat diriku seakan tidak mau
berpisah untuk selamanya...
Indahnya saat itu...
Aku bersiap-siap untuk pergi kerja. kamu memanggilku dari luar
kamar, ‘A, makan....’. tahukah kamu, masakanmulah yang terbaik di dunia ini.
tak ada yang menandingi kelezatan masakanmu. Aku menuju tempat makan. Kamu
sudah duduk di sana sembari menuangkan teh. Ah...betapa cantiknya istriku ini.
Sebelum berangkat, sekali lagi kamu merapikan bajuku. Tak sadarkah kamu, aku
terus menatapmu ketika itu. Seketika itu pula aku mencium keningmu tulus. Aku
berjanji akan selalu membahagiakanmu.
Indahnya saat itu...
Aku turun dari motor setelah bekerja seharian. Kamu telah menantiku
di depan rumah. Segala kepenatan hilang setelah melihat senyummu itu. Indah
sekali. Menyejukkan jiwaku yang seharian kelelahan menghadapi kerasnya
perjuangan hidup. Kamu cium tanganku. Kamu sambut suamimu ini dengan penuh suka
cita. Kamu bantu aku melepaskan sepatu. Segalanya kamu lakukan untuk
menghilangkan kepenatanku, kepenatan suamimu ini. Istriku, kamu juga capek kan?
Seharian di rumah mengurus ini, itu, dan lain sebagainya. Tapi demi aku, kamu
rela simpan itu semua. Hanya surgaNyalah sebagai hadiah dari pengabdianmu.
Indahnya saat itu...
Akhir pekan, Kamu mengajakku makan malam di luar rumah. Aku suruh
kamu memilih tempat mana saja yang disuka. Restoran, seafood, warung sate,
Fried chiken, lalapan, Soto banjar, nasi kuning, semua tempat makan kutawarkan
kepadamu. Tak ada yang kamu pilih. Lalu mau makan kemana? Kamu membiarkan aku
dalam kebingungan. ‘Masih ingat tempat di mana kita pertama kali makan malam?’
Tanya kamu kepadaku. Ah! Aku ingat! Kita makan di sana saat buka puasa. kita
memesan lauk Pais bukan? Ok...ok...aku setuju dengan pilihan
kamu...nostalgia...
Indahnya saat itu...
Kita sama-sama menonton TV. Seringkali kita rebutan remote TV. Aku
mau menonton bola, kamu mau nonton yang lain. Bahkan pernah kamu menyuruh aku
untuk membeli TV lagi. Ada-ada saja. Namun, Kali ini aku harus mengalah
denganmu. Pertandingan klub kesayanganku harus kukorbankan karena ancamanmu,
‘mau tidur di luar?’. Kadang kamu nampak mengerikan, sayang. Aku menemanimu
menonton sinetron. Kamu bersandar di bahuku. Dua jam kemudian kamu pun tertidur. Tapi, Tunggu
dulu..Hei! Sejak kapan kamu suka menonton sinetron?. Aku pun langsung meraih
remote TV, kuganti channel. Sayang seribu sayang, pertandingan klub
kesayanganku telah usai. Sayang...kamu berhasil mempermainkanku...
Indahnya saat itu...
Aku sedang menyelesaikan pekerjaan kantor di rumah. Kamu datang
seraya membawakan Teh hangat. Kamu letakkan di meja kerjaku. ‘Terima kasih,
sayang’, ucapku penuh cinta. Kamu tersenyum mesra kepadaku dan mencium
keningku. Kemudian kamu berkata, ‘A, ada yang ingin aku sampaikan kepadamu’. ‘Sampaikanlah,’
balasku tanpa menoleh. Kamu diam tanpa kata. aku masih berkutat dengan
pekerjaanku. Tiba-tiba saja kamu langsung berbalik dan keluar tanpa permisi
kepadaku. Hei! Kenapa sayang? Tanyaku pada diri sendiri. Segera saja kususul
kamu. kutangkap tanganmu dan langsung kukatakan, ‘Iya..iya...Aa’ dengerin. Ada
apa?’. ‘Aa selesain aja dulu pekerjaannya’, ujarmu sedikit cemberut.
Perlahan-lahan kulepaskan genggamanku. Kamu langsung berjalan keluar. Ketika
aku berbalik, kamu tiba-tiba berkata, ‘kira-kira laki-laki atau perempuan
ya...?’. Jantungku berdegup kencang. Sekali lagi aku datangi kamu sedikit
berlari. Meskipun terengah-engah, aku tak sabar menanyakan hal ini,
‘Kamu....hamil??’. ‘Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang Ayah...’, ucapmu
sembari memelukku.
Indahnya saat itu...
Aku tidak tahu apakah ini benar-benar keinginanmu atau hanya
sekedar mempermainkanku. Sejak kehamilanmu yang semakin tua, permintaanmu
semakin aneh saja. Aku kerepotan dibuatnya. tidak...tidak...bukannya aku tidak
tulus dan ikhlas. Hanya saja, kamu jangan minta yang aneh-aneh. ‘Kalau tidak
dituruti, bakal bermasalah dengan anaknya nanti’, kata Ibuku suatu hari
menasehatiku. Sayang...apa benar kamu sedang ngidam??
Indahnya saat itu...
Kelahiran anak pertama. Laki-laki. Tampan dan gagah sekali.
‘Seperti ayahnya’, ucapmu lemah sembari memeluk bayi itu di sampingmu. air
mataku berlinang melihatnya. Istriku, betapa menderitanya kamu harus menanggung
ini semua selama sembilan bulan. Bahkan ketika kamu akan melahirkan bayi ini,
kamu harus mempertaruhkan nyawa antara hidup dan mati. Aku bersyukur karena
Allah masih memberikan kesehatan kepadamu. Lihatlah....dia anak kita, darah
daging kita. Dialah yang akan menjadi pelita dalam hidup kita. Allah menitipkannya
kepada kita. ‘A...’, panggilmu membuyarkan lamunanku. ‘Apa nama yang pantas
untuk bayi mungil ini, sayang?’
Indahnya saat itu...
‘Ibu! Ayah! Aku dapat rangking satu!’ ucapnya kepada kami. Kami
saling pandang. Anak ini sudah besar, anak ini telah bersekolah, dan anak ini
telah mendapatkan yang terbaik di sekolahnya. Aku pegang kepalanya penuh arti.
Kamu pun mencium pipinya penuh kasih sayang. Tentunya kita ingin dia menjadi
anak yang shaleh bukan....
Indahnya saat itu...
Kamulah orang terakhir yang akan menemaniku ketika aku akan
menghadapNya. Hanya tanganmulah yang akan aku pegang. Hanya matamulah yang akan
kutatap ketika aku merasa ketakutan. Peluklah aku ketika aku menggigil.
Topanglah aku ketika aku lemah. Saat mata tuaku tidak mampu lagi melihat, maka
kamulah mataku. Saat telinga tuaku tidak mampu lagi mendengar, maka kamulah
telingaku. Saat mulut tuaku tidak mampu lagi berucap, maka kamulah mulutku.
Ketika tangan tuaku tak mampu lagi menggapai, maka kamulah tanganku. Saat kaki
tuaku tak mampu lagi melangkah, maka kamulah kakiku. Aku adalah kamu, dan kamu
adalah aku.
Lihatlah...kita telah melaluinya bersama-sama. Susah senang kita
hadapi itu semua. Kini aku telah tua renta, begitu pula dirimu. Namun satu hal
yang ingin aku sampaikan kepadamu, kamu tetaplah cantik seperti saat aku
pertama kali melihatmu. Tak ada yang berubah, betiu pula rasa cintaku. Meskipun
ajal telah menjemput. Kamu adalah bidadariku di dunia. Kamu pun juga akan
menjadi bidadariku di surga kelak. Siapapun yang mendahului, maka ialah yang
akan menanti. Biarkanlah cinta kita menjadi sejarah bagi cucu-cucu kita kelak.
Biarkanlah mereka belajar dari kita, bagaimana wujud dari cinta sejati itu. Cinta
yang abadi dan tak akan pernah hilang ditelan oleh zaman...
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?