Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi
Dari Negeri Keling ke Hujung Tanah
Dalam buku Negara Kertagama disebutkan bahwa di Jawa Timur terdapat suatu
daerah bernama Keling, yang pada saat itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Majapahit. Sebagai daerah kekuasaan Majapahit maka negeri
ini tentunya mempunyai kewajiban menyampaikan upeti kepada raja Majapahit.
Adanya kewajiban yang dirasakan memberatkan itulah menyebabkan penduduk negeri
kecil ini tidak merasa tenteram. Usaha kaum pedagang umumnya sudah tidak
menguntungkan lagi. Hal inilah yang menyebabkan seorang saudagar yang sudah
berusia lanjut di negeri Keling ini, bernama Mangkubumi dan isterinya Sitira
pada suatu hari berwasiat kepada anaknya yang bernama Empu Jatmika. Dalam
wasiatnya itu Mangkubumi mengatakan bahwa apabila ia meninggal nanti supaya
Empu Jatmika beserta isteri, anak-anak dan pengikutnya meninggalkan negeri
Keling ini berpindah mencari suatu tempat kediaman yang tanahnya panas dan
wangi baunya.
Demikianlah ketika
peristiwa kematian orang tuanya tersebut telah berlalu, Empu Jatmika bersama
keluarga dan sejumlah pengiringnya meninggalkan negeri Keling di daerah Jawa
Timur sesuai wasiat orang tuanya. Pelayaran ke utara untuk mencari negeri yang
tanahnya panas dan berbau wangi tersebut dipimpin sendiri oleh Empu Jatmika
dengan menggunakan kapal layar bernama Prabayaksa dan beberapa buah kapal layar
lainnya. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit terakhir.
Setelah berlayar lama mengarungi lautan,
rombongan kapal layar yang dipimpin oleh Mpu Jatmika tersebut akhirnya sampai
di Pulau Hujung Tanah. Rombongan kemudian memasuki muara sungai Barito.
Mengingat bahwa sesuai dengan pesan orang tuanya untuk mencari lokasi yang
tanahnya panas dan berbau wangi, Empu Jatmika yang memperhatikan keadaan tanah
di sepanjang tepi Sungai Barito tersebut merupakan rawa-rawa yang senantiasa
digenangi air, sehingga selama beberapa hari mereka harus meneruskan
pelayarannya menuju ke daerah hulu sungai tersebut. Karena setelah lama
berlayar belum juga menemui lokasi tepi sungai yang bebas dari rawa, akhirnya
mereka mencoba membelok menyusuri anak Sungai Barito yang kemudian dikenal
sebagai Sungai Negara. Dengan harapan agar segera mendapatkan lokasi sesuai
dengan petunjuk orang tuanya, yakni tanah yang panas dan berbau harum, yang
ditafsirkan sebagai daerah yang tanahnya subur.
Demikianlah ketika
rombongan sampai pada lokasi yang menjadi pertemuan antara Sungai Negara dan
Sungai Balangan, konon Empu Jatmika dan rombongannya memutuskan untuk bermukim
di sekitar daerah tersebut. Di bawah pimpinan
Empu Jatmika mereka mulai membuka hutan di daerah tersebut. Selanjutnya mereka
kemudian mendirikan tempat tinggal (astana) dengan balairung dan pengadapan
serta beberapa buah rumah perbendaharaan. Bahkan sebagai kelompok yang berasal
dari masyarakat beragama Hindu, mereka juga mendirikan sebuah candi yang
kemudian disebut Candi Agung. Candi ini untuk tempat menyelenggarakan
upacara-upacara yang berkaitan dengan kepercayaan yang dianut di daerah
asalnya.
Tempat pemukiman keluarga Empu Jatmika tersebut
sekarang terdapat di lokasi Sungai Malang, di pinggiran kota Amuntai, Kabupaten
Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Pemukiman tersebut seperti diceriterakan
dalam buku Hikayat Lambung Mangkurat, kemudian terus berkembang dan bertambah
luas karena makin ramainya perdagangan dengan datangnya pedagang-pedagang dari
Jawa maupun pedagang-pedagang dari Tanah Melayu.
Negeri baru yang tadinya
dibangun oleh Empu Jatmika beserta pengikut-pengikutnya tersebut kemudian
diberi nama Negara Dipa, dan Empu Jatmika sendiri kemudian bergelar Maharaja di
Candi. Diceriterakan bahwa oleh karena Mpu Jatmika takut "ketulahan"
(kualat) bergelar Maharaja di Candi, sebab ia bukan keturunan raja, maka ia
memerintahkan kepada pembantu-pembantunya untuk membikin patung dari kayu
cendana dan patung itu ditaruhnya di dalam candi untuk dipuja sebagai ganti
raja di negeri Negara Dipa tersebut.
Bersamaan dengan itu pula
beberapa daerah di sekitarnya seperti daerah Batang Tabalong, Batang Balangan,
Batang Alai, Batang Hamandit dan Labuan Amas, telah melakukan hubungan dengan
Negara Dipa.
Diceriterakan juga bahwa
dalam mengatur negeri, Empu Jatmika memakai adat istiadat yang berlaku di
Kerajaan Majapahit. Selain itu Empu Jatmika juga kemudian menyuruh beberapa
pengikutnya untuk kembali ke Negeri Keling guna mengambil harta benda milik
keluarganya yang masih ketinggalan di negerinya.
Sementara itu ketika
Patung Kayu Cendana yang diletakkan di dalam Candi Agung sebagai perlambang
raja di negeri Negara Dipa tersebut telah lapuk, maka untuk menggantikannya
Empu Jatmika memesan sebuah patung "gangsa" bikinan orang Cina. Patung itupun
kemudian diantarkan sendiri oleh utusan dari Tiongkok ke Negara Dipa.
Lambung Mangkurat
membangun kerajaan
Setelah beberapa tahun
memimpin masyarakat yang dibangunnya tersebut, Empu Jatmika di akhir usianya
sempat berpesan kepada kedua anaknya yang bernama Empu Mandastana dan Lambung
Mangkurat. Ia mengingatkan kepada kedua anaknya bahwa
apabila ia meninggal nanti supaya patung gangsa yang ditempatkan di dalam Candi
Agung itu supaya dibuang ke laut, dan anaknya berdua agar pergi bertapa memohon
kepada Dewa Batara supaya menunjukkan seorang raja untuk bertahta di Negara
Dipa dan negeri-negeri sekitarnya. Diingatkan pula oleh Empu Jatmika bahwa
jangan sekali-kali keduanya mengangkat diri sebagai raja, karena keluarga
mereka bukan turunan raja.
Demikianlah setelah Empu Jatmika meninggal
kedua anaknya tersebut melakukan apa yang dipesankan orang tuanya. Sementara
untuk mencari petunjuk Dewa Batara guna menemukan raja bagi negeri Negara Dipa,
Empu Mandastana melakukan pertapaan di darat sedangkan Lambung Mangkurat
melakukan pertapaan di atas air. Dua tahun lamanya mereka melakukan pertapaan
namun tidak juga mendapatkan petunjuk apa-apa.
Dalam keadaan putus asa
tersebut pada suatu malam Lambung Mangkurat bermimpi, di mana ayahnya mmenyuruh
ia membuat rakit yang dihiasi mayang pinang. Agar ia
(Lambung Mangkurat) duduk di rakit tersebut yang dihayutkan di sungai pada
waktu malam hari. Nanti ia akan bertemu dengan seorang putri yang akan menjadi
raja di Negara Dipa.
Dari petunjuk mimpi itu
Lambung Mangkurat memang kemudian menemukan seorang putri, yang kemudian
terkenal dengan nama Putri Junjung Buih (Tunjung Buih), karena ia ditemukan di
"ulak" sungai (bagian sungai yang arusnya berputar) sehingga menimbulkan
buih. Setelah Lambung Mangkurat berdialog dengan putri tersebut, dan setelah
segala permintaan putri termasuk upacara dalam rangka penyambutannya di istana
dipenuhi oleh Lambung Mangkurat, putri tersebut bersedia dibawa ke istana
Negara Dipa.
Kehadiran Putri Junjung
Buih yang disiapkan untuk menjadi raja di Negara Dipa ternyata meragukan bagi
Lambung Mangkurat. Kehawatiran Lambung Mangkurat tersebut karena
kedua kedua keponakannya yang bernama Patmaraga dan Sukmaraga (putra Mpu
Mandastana) telah saling jatuh cinta dengan Putri Junjung Buih. Di mana apabila terjadi perkawinan dengan salah
satu keponakannya dengan putri tersebut, berarti kekuasaan sebagai raja di
Negara Dipa masih ada sangkut-pautnya dengan keturunan Empu Jatmika, orang
tuanya. Sehubungan dengan itulah kemudian terjadi peristiwa berdarah, yakni
dengan dalih mengajak kedua keponakannya naik perahu pergi "melunta"
(menjala ikan) Lambung Mangkurat membunuh Sukmaraga dan Patmaraga keponakannya
sendiri.
Setelah peristiwa tersebut Lambung Mangkurat
berusaha agar kekuasaan di Negara Dipa supaya betul-betul orang yang mempunyai
tutus (turunan) raja. Karena itulah ia kemudian bersama dengan beberapa
pembantunya berlayar ke tanah Jawa untuk menghadap raja Majapahit, meminta
salah seorang putra raja Majapahit untuk menjadi raja di Negara Dipa.
Permohonan Lambung Mangkurat tersebut ternyata disambut baik oleh raja
Majapahit. Sehubungan dengan itu kemudian berangkatlah putra raja Majapahit
yang bernama Pangeran Suryanata bersama Lambung Mangkurat menuju Negara Dipa.
Setelah berlayar empat hari empat malam kapal
yang membawa Pangeran Suryanata dan Lambung Mangkurat beserta pengiringnya
sampai di muara Sungai Barito. Tetapi ketika memasuki sungai Barito kapal yang
membawa mereka kandas. Dalam Hikayat Banjar digambarkan dengan bahasa
"kias" di mana kedatangan
Pangeran Suryanata disambut oleh tetuha-tetuha adat dengan berbagai upacara
adat daerah serta saling sapa dan berdialog, yang digambarkan dalam Hikayat
Banjar perahu yang dipakai Suryanata karena dicegat oleh beberapa Naga Putih
rakyatnya Putri Junjung Buih. Karena itu Pangeran Suryanata turun menyelam ke
dalam air untuk mengatasi masalah tersebut. Sehingga setelah delapan hari
delapan malam dalam air, Pangeran Suryanata melakukan pertemuan dengan beberapa
Naga Putih tersebut, kemudian ia (yang digambarkan tidak punya kaki dan tangan
tersebut sebagai perlambang belum punya kekuasaan) muncul di permukaan air
sambil berdiri di atas gong, lengkap kaki tanganya, serta telah memakai keris
(sebagai perlambang telah mendapat restu dari tetuha-tetuha dan tokoh-tokoh
adat di daerah tersebut).
Demikianlah ketika
Pangeran Suryanata beserta Lambung Mangkurat dan para pengiringnya sampai di
Negara Dipa, mereka disambut oleh rakyat yang berduyun-duyun datang dari daerah-daerah
yang menjadi wilayah kekuasaan Negara Dipa.
Peristiwa selanjutnya
adalah pelaksanaan "pedudusan" (pelantikan) raja di Balai Pedudusan.
Kepada Pangeran Suryanata lebih dahulu dipakaikan mahkota, kemudian
"bedudus" dan "berarak" Mahkota yang ternyata cocok dengan
kepala Pangeran Suryanata, mengisyaratkan bahwa yang memakainya telah direstui
untuk menjadi raja di negeri tersebut. Peristiwa ini
sekaligus juga pelaksanaan perkawinan Pangeran Suryanata dengan Putri Junjung
Buih. Karena itu Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih dibawa kedalam
pedudusan, keduanya berdiri di atas kepala empat ekor kerbau. Lambung Mangkurat
sebagai pemimpin upacara pelantikan Pangeran Suryanata menjadi raja dan
sekaligus perkawinannya dengan Putri Junjung Buih, kemudian menyiramkan air ke
ubun-ubun Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih sebagai pemberian selamat
kepada keduanya. Pembertian selamat ini selanjutnya diikuti oleh para pemuka
masyarakat antara lain Arya Magatsari, Tumenggung Tatah Jiwa dan tokoh-tokoh tua
lainnya. Selanjutnya keduanya, raja dan permaisuri duduk bersanding di astana
sambil menyantap nasi "adap-adap". Sementara itu bunyi-bunyian dipalu
serta beberapa meriam disulut sehingga menimbulkan bunyi yang gemuruh. Upacara
pedudusan dan perkawinan Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih tersebut
dirayakan selama tiga hari tiga
malam. (Demikian digambarkan tentang kedatangan dan pelantikan Pangeran
Suryanata sebagai raja serta perkawinannya dengan Putri Junjung Buih
sebagaimana termuat dalam buku Hikayat Lambung Mangkurat).
Suryanata dan Putri Junjung Buih mempunyai dua
orang putra, yakni Pangeran Surya Ganggawangsa dan Pangeran Suryawangsa. Tidak
disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat berapa lamanya Suryanata memerintah.
Hanya dikatakan bahwa setelah raja dan permaisurinya tersebut wafat, ia
digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Pangeran Surya Ganggawangsa. Raja
baru ini ketika naik tahta ia masih membujang, dan ia menyatakan baru akan
kawin dengan anak seorang perempuan yang bernama Diang Dipraja. Karena itu pula
Lambung Mangkurat sebagai Patih kerajaan yang setia, kemudian berusaha mencari
wanita yang namanya Diang Dipraja tersebut. Dan setelah ditemukan ternyata
Diang Dipraja tersebut seorang wanita yang belum bersuami dan masih perawan. Tetapi
untuk kepentingan raja wanita tersebut tetap dibawa oleh Lambung Mangkurat ke
istana. Walaupun kedua orang tuanya semula keberatan, tetapi akhirnya
mengijinkan juga dengan pesan agar anak mereka jangan disia-siakan.
Usaha Lambung Mangkurat
barsama-sama para pejabat istana lainnya untuk menjodohkan raja dengan gadis
tersebut ditolak oleh Surya Ganggawangsa dan tetap baru bersedia kawin dengan
anak dari wanita tersebut. Sehubungan dengan itu para pejabat istana
sepakat agar Lambung Mangkurat mengawini gadis dimaksud. Demi pengorbanan untuk
raja dan Kerajaan Negara Dipa maka Lambung Mangkurat bersedia mengawininya.
Dari perkawinan Lambung Mangkurat dengan Diang
Dipraja tersebut kemudian lahir seorang anak perempuan yang diberi nama Putri
Kuripan (Putri Kabuwaringin). Sesuai dengan maksud semula maka ketika putri ini
cukup usianya, ia dikawinkan dengan raja Surya Ganggawangsa. Dan dari
perkawinan mereka ini selanjutnya lahir seorang perempuan yang bernama Putri
Kalarangsari. Tidak disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat siapa yang
menjadi suami Putri Kalarangsari, namun tercatat bahwa ia mempunyai seorang
anak yang bernama Putri Kalungsu. Disebutkan bahwa Putri Kalungsu lah yang
kemudian menggantikan Surya Ganggawangsa sebagai raja di Negara Dipa. Demikian
pula dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Putri Kalungsu tersebut jabatan
Patih di Kerajaan Negara Dipa masih dipegang oleh Lambung Mangkurat.
Masa sesudah Lambung
Mangkurat
Dalam silsilah Lambung
Mangkurat terlihat bahwa Putri Kalungsu bersuamikan seorang pria sepupu ibunya
bernama Raden Carang Lalean, yakni anak Suryawangsa (saudara Surya
Ganggawangsa). Dari perkawinan Putri Kalungsu dengan Raden
Carang Lalean inilah kemudian lahir seorang putra mahkota bernama Raden Sekar
Sungsang, yang kemudian setelah naik tahta menggantikan ibunya dikenal pula
dengan nama Maharaja Sari Kaburungan. Disebutkan juga bahwa pada masa
pemerintahan Sekar Sungsang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke daerah
selatan, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Negara Daha. Sementara itu
Putri Kalungsu sendiri memilih tidak ikut pindah ke lokasi baru tersebut. Ia
tetap tinggal di Negara Dipa sampai dengan akhir hayatnya.
Demikian pula halnya dengan Patih Lambung
Mangkurat, tidak lama setelah perpindahan pusat kerajaan tersebut, ia pun juga
meninggal dunia. Untuk menggantikannya sebagai Patih Kerajaan Negara Daha
kemudian diangkat Patih Aria Taranggana, seorang yang cerdik dan bijaksana.
Periode Negara Daha ini hanya berlangsung
selama dua masa pemerintahan, yakni pemerintahan Raden Sekar Sungsang (Maharaja
Sari Kaburungan) dan pemerintahan putranya yang bernama Maharaja Sukarama.
Disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat bahwa setelah Maharaja Sukarama
meninggal dunia terjadi perebutan tahta kerajaan antara anak-anaknya.
Peristiwa kekacawan di Kerajaan Negara Daha
sepeninggal Sukarama tersebut, sekaligus merupakan proses lahirnya Kerajaan
Banjar, sebuah kerajaan besar di daerah Kalimantan Selatan. Diceritakan bahwa
Maharaja Sukarama mempunyai seorang cucu yang bernama Raden Samudera. Raden
Samudera pewaris darah murni dari Maharaja Sari Kaburungan pendiri Kerajaan
Negara Daha, karena ia cucu dari dari kedua putranya, yakni cucu dari Maharaja
Sukarama dan Raden Suryawangsa. Yakni Maharaja Sukarama mempunyai anak
perempuan bernama Putri Galuh yang kawin dengan putra dari Raden Suryawangsa
yang bernama Mantri Alu. Dari perkawinan Putri Galuh dan Mantri Alu itulah
lahir Raden Samudera. Karena Mantri Alu ayahnya meninggal ketika ia masih belum
dewasa, maka Raden Samudera bersama ibunya tinggal di istana bersama Maharaja
Sukarama kakeknya.
Sebenarnya Maharaja Sukarama sendiri juga
mempunyai dua orang anak laki-laki masing-masing bernama Pangeran Mangkubumi
dan Pangeran Tumenggung. Tetapi karena melihat kepribadian Raden Samudera yang
melebihi dari kepribadian kedua putranya, maka Maharaja Sukarama mewasiatkan
kepada Patih Aria Taranggana bahwa apabila ia meninggal maka nanti yang
menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden Samudera. Wasiat tersebut
lambat laun akhirnya sampai juga beritanya kepada anak-anak Maharaja Sukarama.
Karena itulah tidak berapa lama setelah Maharaja Sukarama wafat terjadi
kekacawan di istana Kerajaan Negara Daha. Melihat keadaan tersebut maka demi
keselamatan jiwa Raden Samudera, Patih Aria Taranggana menasihatkan kepadanya
agar sesegeranya meninggalkan istana. Sehubungan dengan itulah Raden Samudera
kemudian secara diam-diam pergi meninggalkan istana, untuk kemudian hidup
"menyungaian" (tinggal dalam sebuah perahu) menyamar sebagai seorang nelayan
di daerah muara Sungai Martapura.
Sementara itu di Kerajaan Negara Daha terjadi
perebutan kekuasaan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Dengan
menghilangnya Raden Samudera sebagai putra mahkota sebagaimana wasiat Maharaja
Sukarama, maka pewaris kerajaan jatuh kepada Pangeran Mangkubumi sebagai anak
tertua. Tetapi adiknya yang bernama Pangeran Tumenggung, yang haus kekuasaan
kemudian membunuh kakaknya untuk selanjutnya menduduki tahta Kerajaan Negara
Daha.
Peristiwa terjadinya
kekacauan dan perebutan kekuasaan di pusat Kerajaan Negara Daha tersebut
menambah keyakinan rakyat Negara Daha mengapa Sukarama pada akhir masa hidupnya
mewasiatkan agar yang menggantikannya adalah Raden Samudera. Karena itulah
ketika tersiar kabar bahwa Raden Samudera telah meninggalkan istana dan hidup
menyamar sebagai seorang nelayan, para pemuka masyarakat di daerah muara Sungai
Martapura berusaha menemukan putra mahkota kerajaan yang menyamar tersebut.
Usaha pencarian akhirnya juga berhasil menemukan seorang pemuda yang diduga
sebagai Raden Samudera. Semula yang bersangkutan tidak mengakui bahwa dirinya
adalah putra mahkota. Tetapi setelah dijelaskan bahwa mereka adalah
pemuka-pemuka masyarakat yang akan menyelamatkannya, akhirnya yang bersangkutan
mengakui bahwa dirinya adalah Raden Samudera.
Setelah diyakini benar
bahwa yang bersangkutan adalah Raden Samudera yang berhak mewarisi Kerajaan
Negara Daha, maka dibawah pimpinan Patih Masih (patihnya kelompok orang Melayu
di daerah tersebut) bersama-sama para patih kelompok lainnya, kemudian
menobatkan Raden Samudera sebagai Sultan (raja) yang sah. Tindakan para
Patih tersebut menimbulkan reaksi dari Pangeran Tumenggung, sehingga pecah
perang antara rakyat pengikut Pangeran Tumenggung dengan rakyat pengikut Raden
Samudera. Demikianlah terjadi peperangan beberapa lama dan banyak jatuh korban
di kedua belah pihak, dan bahkan Raden Samudera atas usaha Patih Masih telah
mendapatkan bantuan tentara dari Kerajaan Demak di Jawa Tengah. Namun
pertentangan ini kemudian berakhir dengan kesedian Pangeran Tumenggung untuk
menyerahkan Kerajaan Negara Daha kepada Raden Samudera, keponakannya sendiri,
setelah keduanya dipertemukan di atas dua buah perahu telangkasan di muara
Sungai Martapura. Acara perang tanding antara Raden Samudera dan Pangeran
Tumenggung yang merupakan kesepakatan antara Patih Masih dan Patih Aria
Taranggana ini bertujuan untuk mengakhiri perang karena sudah terlalu banyak
rakyat yang tewas sementara perang tak kunjung selesai. Namun ketika kedua
Pangeran yang sudah siap dengan senjata berdiri di depan perahu yang
masing-masing dikayuh di belakangnya oleh Patih Masih dan Patih Aria Taranggana
tersebut bertemu, Raden Samudera berucap menyilahkan pamannya untuk
membunuhnya, "silahkan pamanku tombak", dan mendengar kata-kata itu
Pangeran Tumenggung malah memeluk Raden Samudera. Pangeran Tumenggung dengan
sukarela menyerahkan keraajan kepada keponakanya. Walaupun kemudian perangkat
kerajaan di serahkan untuk di bawa ke daerah Banjar, Raden Samudera masih
memberikan kekuasaan kepada Pangeran Tumenggung untuk mengatur rakyatnya di
Negara Daha.
Dengan demikian lahirlah Kerajaan Banjar dan
sebagai raja pertamanya adalah Raden Samudera, yang setelah memeluk agama Islam
sesuai perjanjian dan permintaan Sultan Demak, dia bernama Sultan Suriansyah.
Disebutkan bahwa Sultan Suriansyah memerintah sekitar tahun 1526 – 1550. Pusat
Kerajaan Banjar terdapat di Kampung Kuin sekarang, dimana terdapat makam beliau
besarta anak dan cucunya yang manggantikannya.
Pusat Kerajaan Banjar kemudian dipindahkan ke daerah Martapura (Teluk Selong) oleh raja Banjar yang keempat Mustakim Billah, karena pada waktu itu sudah terjadi kontak perang dengan Belanda yang telah sampai di Banjarmasin.
Pusat Kerajaan Banjar kemudian dipindahkan ke daerah Martapura (Teluk Selong) oleh raja Banjar yang keempat Mustakim Billah, karena pada waktu itu sudah terjadi kontak perang dengan Belanda yang telah sampai di Banjarmasin.
Demikianlah Kerajaan Banjar berlangsung, yang
kemudian berakhir dengan pecahnya Perang Banjar melawan Kolonial Belanda, yang
dimulai dengan penyerangan Benteng Pengaron (daerah tambang batu bara Oranye
Nassau milik Belanda) pada tanggal 28 April 1859 di bawah pimpinan Pangeran
Antasari. Wafatnya Pangeran Antasari pada tahun 1862 dan diasingkannya Pangeran
Hidayatullah ke Cianjur (Jawa Barat) tidak memadamkan perlawanan rakyat
terhadap Belanda. Perang Banjar terus berlangsung dibawah pimpinan anak-anak
Pangeran Antasari, seperti Mohammad Said yang memimpin perlawanan di daerah
Hulu Sungai (Benua Lima) dan Mohammad Seman yang memusatkan perlawanannya di
daerah Muara Tewe (Kalimatan Tengah sekarang), perlawanan berlangsung hingga
meninggalnya tahun 1905.- (HRN, Peneliti sejarah & nilai tradisional).
jangan lupa sejarah....he...
BalasHapus