Oleh: Muhammad Qamaruddin
aku bersama salah satu teman Ayahku di sudut kota Bandar Seri Begawan |
–BSB, Brunei
Darussalam– Pada suatu hari di akhir pekan, Ayahku mengajakku pergi keluar
rumah. Hari ini ia ingin menemui seseorang. Karena aku tidak terlalu sibuk,
maka aku pun mengiyakan ajakan Ayahku. Sambil bersiap-siap, Ayah memanaskan
mesin mobilnya.
Orang yang ingin
ditemuinya hari ini berasal dari Banjar. Begitulah Ayahku yang selama ini
kukenal saat berada di negeri orang. Apabila ia mendapatkan sebuah info tentang
keberadaan urang banjar, maka dengan segera akan menuju ke alamat yang
ia dapatkan. Di manapun orang itu
berada, jika masih berada di kawasan Brunei Darussalam, ia pasti akan
mendatanginya..
Niat ayahku sangat
mulia. Ia ingin menyatukan semua urang Banjar dalam satu wadah komunitas.
Oleh karena itu, ayahku termasuk salah satu orang yang memprakasai terbentuknya
komunitas bubuhan Banjar di Brunei. Sayangnya, hanya beberapa orang yang
tersaring. Bahkan jumlahnya tidak lebih dari 20 orang. Ayahku tidak menyerah. Sampai
detik ini, ia masih saja terus mencari urang Banjar yang tinggal di
Brunei.
Singkat cerita,
sampailah kami di sebuah kedai olahraga (baca: toko olahraga). Saat kami
memasuki kedai tersebut, kami bertemu dengan seorang wanita muda berjilbab. Aku
rasa, ia hanya lebih tua dariku satu atau dua tahun. Waktu itu ia sedang memasang tali pada sebuah
rakit bulu tangkis yang berwarna kusam. Ia bekerja di kedai tersebut.
Ketika ayahku
menyapanya, ia tersenyum sambil menanyakan apa yang bisa dibantu. Ia melayani
kami yang awalnya mungkin dianggap sebagai pelanggan. Setelah sedikit
basa-basi, akhinya ia mengetahui bahwa kami berasal dari Banjar, satu suku
dengan dia.
Aku masih ingat
saat itu kami memulai percakapan dengan bahasa melayu (Brunei) yang menjadi
bahasa utama di sini. Setelah Ayahku memastikan bahwa kami sama-sama berasal
dari Banjar, maka selanjutnya Ayahku mulai berbicara dengan bahasa Banjar. Aku
mengamati barang-barang yang dijual di kedai tersebut. ada bermacam-macam alat
olahraga yang ingin sekali kumiliki. Meskipun perhatianku teralih, aku masih memperhatikan
percakapan mereka.
Ayahku mulai
menanyakan banyak hal. Dari kabupaten mana ia berasal, tentang awal
kedatangannya, bagaimana pekerjaannya di sini, siapa majikannya, berapa
gajinya, berapa tahun ia dikontrak, siapa yang menjaminnya, fasilitas apa yang
ia dapatkan di sini, dan masih banyak lagi. Seperti yang aku jelaskan di depan
tadi, sebelum Ayahku mengatakan bahwa kami dari Banjar, percakapan itu
berlangsung dengan memakai bahasa Melayu. Tetapi setelah saling mengenal, maka
Ayahku tidak lagi memakai bahasa tersebut. Ia memakai bahasa nenek moyangnya,
bahasa banjar.
Ada hal menarik
yang kudapat dari kunjungan kami tersebut. Ketika Ayahku memakai bahasa Banjar,
wanita muda tersebut tetap saja menjawabnya dengan bahasa Melayu. Ada keanehan
yang aku dapat di sana. Terlihat jelas sekali wanita itu nampak enggan memakai
bahasa Banjar. Percakapan seperti itu berlanjut hingga 10 menit lamanya. Ayahku
terus saja memakai bahasa Banjar. Akhirnya wanita itu pun menjawab dengan
bahasa Banjar walaupun terlihat agak terpaksa. Aku melihat sedikit kekecewaan
di wajahnya. Sebaliknya, aku melihat senyum renyah di wajah Ayahku.
Ayahku di ruang kerjanya |
Setengah jam
berlalu. Kami pun pamit diri untuk pulang. Sebelum pulang, tak lupa Ayahku
memperkenalkan diriku yang baru datang ke Brunei Darussalam. Tak lama kemudian,
kami pun pulang. Ia melanjutkan pekerjaannya.
Dalam perjalanan,
aku menanyakan perihal percakapan tadi. Aku juga menanyakan tentang keanehan
yang tadi sempat terjadi, yaitu tentang keengganan wanita tadi untuk berkomunikasi
dengan bahasa Banjar. Ayahku mulai menjelaskan sesuatu yang terus kuingat
sampai sekarang. “Banggalah dengan bahasamu,” ucapnya penuh ketegasan.
Ayahku mengatakan
kepadaku bahwa wanita yang ditemui tadi sudah tinggal di Brunei selama dua
tahun. Mungkin dapat dimaklumi ia lancar dan fasih berbahasa melayu. Tetapi
ayaku merasa sedikit kecewa dengan sikapnya tadi. Sudah jelas sekali orang yang
ditemuinya ini –ayah dan aku– adalah orang Banjar. Sudah sewajarnya saja
apabila sesama orang Banjar memakai bahasa Ibu daerah. Tapi ia tetap saja
memakai bahasa Melayu, seakan-akan agak malu berbahasa Banjar. Bahkan dari
percakapan aku sempat mendengar wanita itu mengatakan agak sedikit lupa dengan
bahasa Banjar karena sudah lama (2 tahun) tinggal di Brunei.
Bandingkan dengan
Ayahku yang sudah tinggal di Brunei selama 15 tahun lebih. Seandainya Ayahku
berkata tidak terlalu fasih lagi berbahasa Banjar, aku masih dapat menerimanya.
“Terlalu kejam menghilangkan bahasa ibumu sendiri di tanah orang, apalagi dengan
waktu sesingkat itu,” ucap ayahku menanggapi sikap wanita tadi.
Inilah yang sangat
aku banggakan dari Ayahku. Ia tetap lancar sekali berbahasa Banjar sekaligus
dengan logat-logat asli bahasa ini. Selain itu, ia pasti akan berkomunikasi
dengan bahasa Banjar ketika bertemu dengan urang Banjar. Inilah
kebanggaan Ayahku. Walaupun berada perantauan, apabila bertemu dengan sesama
daerah, maka ia adalah saudaramu. Tetaplah berkomunikasi dengan bahasa ibumu.
Jangan malu menunjukkan identitasmu. Junjung tinggi budayamu. Banggalah dengan
bahasamu.
Assalamualaikum..Dangsanak kai...
BalasHapusHimung banar ako... tahaba alias tahaga situs nang di ulah ikam nang ngini...tagal ako ni Banjar Malaysia...wahini bagana di MIRI Sarawak...umpat mambaca awan bakajal di siya haja nar ai...
mantap banar. Aq pernah dengar dari abah baisi keluarga dari palajau barabai nang sdh lawas merantau di brunei.
BalasHapus