Minggu, 16 Juni 2013

BANGGALAH DENGAN BAHASAMU



Oleh: Muhammad Qamaruddin

aku bersama salah satu teman Ayahku di sudut kota Bandar Seri Begawan
–BSB, Brunei Darussalam– Pada suatu hari di akhir pekan, Ayahku mengajakku pergi keluar rumah. Hari ini ia ingin menemui seseorang. Karena aku tidak terlalu sibuk, maka aku pun mengiyakan ajakan Ayahku. Sambil bersiap-siap, Ayah memanaskan mesin mobilnya.
            Orang yang ingin ditemuinya hari ini berasal dari Banjar. Begitulah Ayahku yang selama ini kukenal saat berada di negeri orang. Apabila ia mendapatkan sebuah info tentang keberadaan urang banjar, maka dengan segera akan menuju ke alamat yang ia dapatkan. Di  manapun orang itu berada, jika masih berada di kawasan Brunei Darussalam, ia pasti akan mendatanginya..

            Niat ayahku sangat mulia. Ia ingin menyatukan semua urang Banjar dalam satu wadah komunitas. Oleh karena itu, ayahku termasuk salah satu orang yang memprakasai terbentuknya komunitas bubuhan Banjar di Brunei. Sayangnya, hanya beberapa orang yang tersaring. Bahkan jumlahnya tidak lebih dari 20 orang. Ayahku tidak menyerah. Sampai detik ini, ia masih saja terus mencari urang Banjar yang tinggal di Brunei.
            Singkat cerita, sampailah kami di sebuah kedai olahraga (baca: toko olahraga). Saat kami memasuki kedai tersebut, kami bertemu dengan seorang wanita muda berjilbab. Aku rasa, ia hanya lebih tua dariku satu atau dua tahun.  Waktu itu ia sedang memasang tali pada sebuah rakit bulu tangkis yang berwarna kusam. Ia bekerja di kedai tersebut.
            Ketika ayahku menyapanya, ia tersenyum sambil menanyakan apa yang bisa dibantu. Ia melayani kami yang awalnya mungkin dianggap sebagai pelanggan. Setelah sedikit basa-basi, akhinya ia mengetahui bahwa kami berasal dari Banjar, satu suku dengan dia.
            Aku masih ingat saat itu kami memulai percakapan dengan bahasa melayu (Brunei) yang menjadi bahasa utama di sini. Setelah Ayahku memastikan bahwa kami sama-sama berasal dari Banjar, maka selanjutnya Ayahku mulai berbicara dengan bahasa Banjar. Aku mengamati barang-barang yang dijual di kedai tersebut. ada bermacam-macam alat olahraga yang ingin sekali kumiliki. Meskipun perhatianku teralih, aku masih memperhatikan percakapan mereka.
            Ayahku mulai menanyakan banyak hal. Dari kabupaten mana ia berasal, tentang awal kedatangannya, bagaimana pekerjaannya di sini, siapa majikannya, berapa gajinya, berapa tahun ia dikontrak, siapa yang menjaminnya, fasilitas apa yang ia dapatkan di sini, dan masih banyak lagi. Seperti yang aku jelaskan di depan tadi, sebelum Ayahku mengatakan bahwa kami dari Banjar, percakapan itu berlangsung dengan memakai bahasa Melayu. Tetapi setelah saling mengenal, maka Ayahku tidak lagi memakai bahasa tersebut. Ia memakai bahasa nenek moyangnya, bahasa banjar.
            Ada hal menarik yang kudapat dari kunjungan kami tersebut. Ketika Ayahku memakai bahasa Banjar, wanita muda tersebut tetap saja menjawabnya dengan bahasa Melayu. Ada keanehan yang aku dapat di sana. Terlihat jelas sekali wanita itu nampak enggan memakai bahasa Banjar. Percakapan seperti itu berlanjut hingga 10 menit lamanya. Ayahku terus saja memakai bahasa Banjar. Akhirnya wanita itu pun menjawab dengan bahasa Banjar walaupun terlihat agak terpaksa. Aku melihat sedikit kekecewaan di wajahnya. Sebaliknya, aku melihat senyum renyah di wajah Ayahku.
Ayahku di ruang kerjanya
Setengah jam berlalu. Kami pun pamit diri untuk pulang. Sebelum pulang, tak lupa Ayahku memperkenalkan diriku yang baru datang ke Brunei Darussalam. Tak lama kemudian, kami pun pulang. Ia melanjutkan pekerjaannya.
            Dalam perjalanan, aku menanyakan perihal percakapan tadi. Aku juga menanyakan tentang keanehan yang tadi sempat terjadi, yaitu tentang keengganan wanita tadi untuk berkomunikasi dengan bahasa Banjar. Ayahku mulai menjelaskan sesuatu yang terus kuingat sampai sekarang. “Banggalah dengan bahasamu,” ucapnya penuh ketegasan.
            Ayahku mengatakan kepadaku bahwa wanita yang ditemui tadi sudah tinggal di Brunei selama dua tahun. Mungkin dapat dimaklumi ia lancar dan fasih berbahasa melayu. Tetapi ayaku merasa sedikit kecewa dengan sikapnya tadi. Sudah jelas sekali orang yang ditemuinya ini –ayah dan aku– adalah orang Banjar. Sudah sewajarnya saja apabila sesama orang Banjar memakai bahasa Ibu daerah. Tapi ia tetap saja memakai bahasa Melayu, seakan-akan agak malu berbahasa Banjar. Bahkan dari percakapan aku sempat mendengar wanita itu mengatakan agak sedikit lupa dengan bahasa Banjar karena sudah lama (2 tahun) tinggal di Brunei.
            Bandingkan dengan Ayahku yang sudah tinggal di Brunei selama 15 tahun lebih. Seandainya Ayahku berkata tidak terlalu fasih lagi berbahasa Banjar, aku masih dapat menerimanya. “Terlalu kejam menghilangkan bahasa ibumu sendiri di tanah orang, apalagi dengan waktu sesingkat itu,” ucap ayahku menanggapi sikap wanita tadi.
Inilah yang sangat aku banggakan dari Ayahku. Ia tetap lancar sekali berbahasa Banjar sekaligus dengan logat-logat asli bahasa ini. Selain itu, ia pasti akan berkomunikasi dengan bahasa Banjar ketika bertemu dengan urang Banjar. Inilah kebanggaan Ayahku. Walaupun berada perantauan, apabila bertemu dengan sesama daerah, maka ia adalah saudaramu. Tetaplah berkomunikasi dengan bahasa ibumu. Jangan malu menunjukkan identitasmu. Junjung tinggi budayamu. Banggalah dengan bahasamu.

2 komentar:

  1. Assalamualaikum..Dangsanak kai...

    Himung banar ako... tahaba alias tahaga situs nang di ulah ikam nang ngini...tagal ako ni Banjar Malaysia...wahini bagana di MIRI Sarawak...umpat mambaca awan bakajal di siya haja nar ai...

    BalasHapus
  2. mantap banar. Aq pernah dengar dari abah baisi keluarga dari palajau barabai nang sdh lawas merantau di brunei.

    BalasHapus

apa komentar anda tentang bacaan ini?