Oleh: Muhammad Qamaruddin
A.
MUQADDIMAH
Dalam
perjalannya, Islam mempunyai sejarah yang panjang. Dari sanalah lahir beragam
cabang ilmu di bidang keagamaan. Masing-masing dari cabang ilmu tersebut mempunyai
ranah pembahasannya masing-masing. Salah satu cabang ilmu tersebut adalah ilmu
tasawuf.
Dalam
Islam sendiri, ilmu tasawuf merupakan kajian ilmu yang mempunyai varian yang
bermacam-macam. Dalam perkembangannya, definisi tasawuf muncul begitu banyak.
Dari definisi-definisi tersebut belum didapati sebuah pengertian yang dapat
menggambarkan tasawuf secara menyeluruh.
Ibrahim
Basyuni menyatakan hal ini terjadi karena para ahli tasawuf tidak ada yang
memberikan defenisi tentang ilmunya sebagaimana para filsuf. Ahli tasawuf hanya menggambarkan tentang suatu
keadaan yang dialami dalam kehidupan ruhaninya pada waktu tertentu. Menurutnya,
beberapa definisi yang ada dapat dikelompokkan menjadi tiga, pertama al-bidayah,
kedua al-mujahadah, dan ketiga al-mazaqah.[1]
Tasawuf mempunyai peranan dan
pengaruh besar pada perkembangan Islam di Indonesia. Tasawuf merupakan salah
satu bagian dari metode penyebaran ajaran Islam. Dari sinilah kemudian
mempermudah berkembangnya Islam di
Indonesia.
Seiring berkembangnya zaman, maka
bermunculan tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia. Dari merekalah lahir berbagai
pemikiran ajaran tasawuf. Tokoh-tokoh tersebut adalah Hamzah al-Fansury,
Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry, Abdul Rawf as-Singkil, Abdus Samad
al-Palimbani, Muhammad Nawawi al-Bantani, Muhammad Nafis al-Banjary, Syekh Siti
Jenar, dan masih banyak lagi. Dalam kesempatan ini, penulis akan membahas pemikiran
dan ajaran tasawuf Syekh Siti Jenar.
B.
MENGENAL SYEKH SITI JENAR
Syekh Siti Jenar merupakan salah
satu tokoh sufi di Indonesia. Namanya telah akrab di telinga umat Islam di
Indonesia, khususnya masyarakat Islam Jawa. Beliau hidup pada abad ke-16 masehi
(1348-1439 H/1426-1517 M). Ia dilahirkan di lingkungan Pakuwuan Caruban
(Cirebon sekarang). Dalam sejarahnya, ia memiliki banyak nama. Terhitung ada 16
nama gelar yang ia miliki. Di antara beberapa nama yang terkenal adalah San
Ali, Syekh Abdul Jalil, Syekh Lemah Abang, dan Syekh Siti Jenar. Nama terakhir
merupakan nama filosofis yang menggambarkan ajarannya tentang “Sangkan-Paran”
yakni bahwa manusia –secara biologis –hanya diciptakan dari sekedar tanah
merah, dan selebihnya adalah Zat Allah SWT. [2]
Ada yang menyebutkan bahwa Syekh
Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon. Konon dikatakan bahwa ia merupakan
putra dari seorang raja Pendeta yang bernama Resi Bungsu.[3] Ada
pula riwayat yang menyebutkan Syekh Siti Jenar merupakan penjelmaan dari
cacing.[4] Hanya
saja banyak yang menyalahkan riwayat yang terakhir ini. Dalam sebuah naskah
klasik, Serat Candhakipun Riwayat Jati, cerita yang masih sangat populer
tersebut dibantah secara tegas.[5]
Dari
beberapa penelitian berbagai sumber, KH. Muhammad Sholikhin menyimpulkan bahwa
Syekh Siti Jenar merupakan salah satu keturunan ulama dari Malaka.[6]
Dari sumber inilah dijelaskan bahwasanya pada akhir tahun 1424 M, di Kesultanan
Malaka telah terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Mudzaffar Syah
(1424-1458) kepada Sultan lama Muhammad Iskandar Syah (1414-1424). Beberapa
saat setelah Mudzaffar Syah melakukan kudeta dan berhasil menaiki tahta, maka
terjadilah “pembersihan” bekas orang-orang dekat Iskandar Syah.
Pada saat bersamaan, terjadi pula
perselisihan antara bangsawan keturunan Tamil yang dipimpin Tun Ali dengan
bangsawan Melayu. Ketika Tun Ali memenangkan perselisihan, maka banyak ulama
dan pejabat Melayu yang dibunuh. Syekh Datuk Shaleh[7]
adalah ayah kandung Syekh Siti Jenar sekaligus seorang ulama terkenal di
Malaka. Ia memilih meninggalkan Malaka dan memutuskan untuk pergi ke Palembang.
Ternyata di Palembang masih terdapat orang Malaka yang memusuhinya. Ia pun
memutuskan untuk pergi ke Kota Cirebon. Ia tinggal di sana beberapa bulan
lamanya sebelum akhirnya meninggal. Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti
Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau
Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, di bawah asuhan Syekh
datuk Kahfi.[8]
Setelah
berumur lima tahun, Syekh Siti Jenar diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi,
pengasuh Padepokan Giri Amparan Jati. Pada tahun 1445 M, setelah 15 tahun
menimba ilmu di Padepokan amparan Jati (kala itu ia berumur 19 tahun), ia
berniat untuk keluar dari pondok dan mendalami kerohaniannya (sufi).
Pengembaraan spritualnya pun dimulai. Beberapa tempat yang telah ia datangi,
yaitu (kerajaan) Pajajaran, Palembang, Malaka, dan kemudian ke Timur Tengah. Ia
singgah ke Baghdad dan kemudian ke kota suci Mekkah. Sekembalinya dari Timur
Tengah (1463 M), Syekh Siti Jenar mulai menyebarkan ajaran dan pandangannya.
Pada saat itu ia telah berumur 37 tahun. Ia kembali ke Caruban Larang, Cirebon,
tempat kelahirannya yang sempat ia tinggalkan kurang lebih 17 tahun lamanya.[9]
C.
KONSEP DAN AJARAN SYEKH SITI JENAR
Pemikiran Syekh Siti Jenar dianggap
amat liberal dan kontroversial. Ia dinilai melawan arus besar keagamaan yang
dibangun oleh kolaborasi kekuasaan Kerajaan Demak Bintara pimpinan Raden Fatah
dan agamawan yang terdiri dari Wali Songo.[10]
Para wali kerajaan menganggap Syekh Siti Jenar telah menyebarkan pemahaman
agama berdasar hawa nafsu, menyiarkan dan mengajarkan agama Islam menurut
pandangannya sendiri.[11]
Secara garis besar, dalam buku Falsafah
Siti Jenar (Brotokesowo) terdapat gambaran ajaran yang secara singkat dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1.
Bahwa
dalam diri manusia terdapat potensi kuat akan penerapan sifat-sifat Ilahi.
2.
Hyang
Widi (Tuhan Yang Kuasa Penuh) sebagai
suatu wujud dengan segala sifat-Nya (keilahian-Nya). Semuanya ada dalam diri
yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya.
3.
Bahwa
dalam diri manusia yang luhur dan luhung terkandung unsur esensial dari Zat
Yang Luhur.
4.
Segala
sesuatu yang terjadi adalah kehendak Zat Allah, Mahasuci.
5.
Sebagai
akibat dari itu semua, maka wujud lahiriah manusia dalam pandangan Syekh Siti
Jenar adalah “Muhammad”.
6.
Kehendak,
angan-angan, dan ingatan insaniah merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal
atas kegilaan, dan sifat-sifat buruk lainnya.
7.
Bumi,
langit, dan sebagainya adalah kepunyaan manusia.[12]
Dalam
buku Suluk Wali Songo (R. Tanojo) disebutkan beberapa elemen dasar
ajaran Syekh Siti Jenar.
1.
Tuhan
itu adalah wujud yang tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi dilambangkan
seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila dilihat
dengan warna memancar yang sangat indah.
2.
Syekh
Siti Jenar sebagai Sosok Yang Ilahi, mengetahui segala-galanya sebelum
terucapkan, melebihi makhluk lain, karena ia telah “manunggal” di dalam Tuhan.
3.
Posisi
Tuhan ada di dalam diri manusia dan keseluruhan semesta, tetapi hanya orang
terpilih (orang suci) yang bisa melihat-Nya.
4.
Hidup
yang sesungguhnya adalah tidak mengalami mati, dan hidup itu adalah kekal.
Dunia itu bukanlah kehidupan, tapi kehidupan dunia itu kematian.
5.
Jiwa
yang bersifat kekal, atau langgeng setelah manusia mati adalah suara hati
nurani yang merupakan ungkapan dari Zat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi
di dalam jiwa, sedangkan raga adalah wajah Hyang Widi yang harus
ditaati perintahnya.[13]
D.
AJARAN DAN JALAN KEMATIAN SYEKH SITI JENAR
Pemikiran Syekh Siti Jenar dalam
masalah hidup dan mati memiliki makna berbeda dari apa yang diajarkan para Wali
Songo. Siti Jenar menerangkan tentang kematian, kehidupan, dan jalan menuju
kebebasan serta bagaimana cara meraih dua hal itu, hidup dan mati. konsep ini
dikenal dengan sebagai ‘Lima Langkah Kebebasan’.[14] Masing-masing
langkah itu ialah sebagai berikut:
1.
Ia
mengajarkan tentang asal usul kehidupan.
2.
Ia
mengajarkan tentang masalah yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang
disebut sebagai pintu kehidupan.
3.
Ia
menunjukkan tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal dan abadi.
4.
Ia
menunjukkan tempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani manusia sekarang.
5.
Ia
mengajarkan tentang adanya Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa.[15]
Syekh
Siti Jenar beranggapan bahwa dunia ini adalah alam kematian. Maka, manusia yang
hidup di dunia bersifat mayat atau bangkai. Kehidupan di dunia sekarang ini
bukanlah kehidupan yang sejati, karena masih akan dihampiri oleh kematian.
Sedangkan kehidupan sejati adalah kehidupan yang sudah tidak tersentuh lagi
oleh kematian. Hidup sejati adalah kehidupan yang tidak lagi menumpang pada
badan wadak yang bisa rusak atau musnah. Kehidupan sejati tidak membutuhkan
pemenuhan nafsu-nafsu badaniah.[16] KH.
Muhammad Sholikhin lebih lanjut menjelaskan dalam bukunya:
Dalam al-Qur’an terdapat pernyataan “Innaka mayyitun wa innahum
mayyitun” , yang artinya ‘Sesungguhnya kamu itu hanya mayat, bangkai, dan
mereka pun juga hanya mayat’ (QS. Al-Zumar 39: 30). Dalam al-Qur’an dibedakan
antara kata mayat dengan maut. Maut bermakna kematian, sedang mayat adalah
benda yang mengalami kematian alias bangkai. Kata mayat juga terdapat dalam QS.
23: 15 dan 37: 58. Intinya sama, penekatan sifat mati, atau sebagai mayat, atau
bangkai. Itu semua adalah penyandangan sifat kehidupan dan kematian di dunia.
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa “Hayyun daaimun laa yamuut
Abadan”, hidup itu bersifat daim, kekal selamanya, tidak pernah ada
kematian. Inilah hakikat hidup. Allah sendiri menyandang nama al-Hayyu. Roh
manusia berasal dari kehidupan yang hakiki dan akan kembali kepada kehidupan
hakaki. Namun, di dunia ini, zat hidup memerlukan awak (ahlab: wadah)
yang bersifat bangkai sesuai kondisi duniawi. Maka, begitu roh tergiring ke
alam wujud, maka ia akan menempati bangkai sebagai sarana persemayamannya.
Syekh Siti Jenar menandaskan bahwa ”Kullu aalamin mawujuuduun”, setiap
alam ada eksistansinya. Peragaan roh dalam “Bangkai” di dunia tidak lain agar
sang roh yang azali itu bisa bereksistensi di alam kematian dunia.[17]
Karena itu, Siti Jenar begitu
merindukan hidupnya yang dulu sebelum ia lahir ke dunia, tatkala masih dalam
keadaan suci. Baginya,kelahiran di dunia di dalam alam kematian, membuat
manusia begitu susah payah dan amat berat. Manusia terikat pancaindra,
menggunakan keinginan hidup yang dua puluh sifatnya, sehingga manusia hampir
tergila-gila di dalam alam kematian. Di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa
seluruh alam ini adalah mayyitun.
Kekuasaan
dan semua harta benda yang terdapat di dunia ini akan musnah menjadi tanah.
Manusia juga sering merasa dirinya yang paling cukup dan pandai. Padahal
sejatinya mereka hanyalah berupa mayat. Siti Jenar memandang kehidupan di dunia
ini sebagai kematian yang singgah di dalam raganya. Inilah yang membuat manusia
tersesat di dunia di dalam neraka yang dahsyat. Kehidupan abadi yang sesungguhnya
itu hanya bisa dijalani setelah seorang manusia menemui ajalnya. Dalam alam
kehidupan yang nyata itulah, ketentuan syariah baru bisa berlaku.[18]
E.
MANUNGGALING KAWULA GUSTI (
WARONGKO MANJING CURIGO )
Manunggaling
Kawula Gusti sering
diartikan bahwa menyatunya manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti).
Anggapan bahwa Gusti sebagai personifikasi Tuhan kurang tepat. Gusti
(Pangeran, Ingsun) yang dimaksud adalah personifikasi dari Dzat Urip
(Kesejatian Hidup), atau (emanasi, pancaran) Tuhan.[19]
Dalam
ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah
menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling Kawula Gusti dianggap
bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta
adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia
telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam
ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri
manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang
menerangkan tentang penciptaan manusia:
“Ketika Tuhanmu
berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari
tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya
roh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." (Q.S. Shaad: 71-72).
Dengan
demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap
Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an dari para murid Syekh Siti
inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh
Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti.[20] Padahal
jika diamati, sebetulnya ajaran ini merupakan ajaran kebatinan dalam artian
luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah. Sehingga
ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain
adalah bersatunya manusia dengan manusia (Manunggaling Kawula Gusti).[21]
F.
KEMATIAN SYEKH SITI JENAR
Ada dua pendapat umum mengenai tahun
kematian Syekh Siti Jenar. Pertama, ia wafat pada tahun 1517 M. Ini mengacu
pada asumsi vonis hukuman mati oleh Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan
Giri pada masa pemerintahan Raden Fatah.[22]
Kedua, tahun wafat Syekh Siti Jenar 1530 M. Pada masa Kesultanan Demak
diperintah oleh Sultan Trenggono.[23]
Terkait proses kematiannya, berbagai
sumber memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Paling tidak terdapat tujuh
versi mengenai proses meninggalnya Syekh Siti Jenar, ini dengan mengecualikan
pendapat yang mengatakan ia wafat pada tahun 1530 M.
1.
Ia
wafat karena dihukum mati oleh Sultan Demak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan
Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman
pancung adalah Sunan Kalijaga, yang dilaksanakan di alun-alun Kesultanan Demak.
Sebagian versi ini mengacu pada “Serat Syekh Siti Jenar” oleh Ki
Sosrowidjojo.
2.
Syekh
Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati yang juga sekaligus
menjadi algojo. Hukuman dilaksanakan di Masjid Ciptarasa Cirebon. Hal ini
tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39 terbitan Emon
Suryaatmana dan T.D. Sudjana (alih bahasa pada tahun 1994).
3.
Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi
hukuman mati oleh Sunan Giri, dan algojo pelaksanan hukuman mati tersebut
adalah Sunan Gunung Jati.
4.
Syekh
Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh Sunan Giri, dan
yang menjadi algojo adalah Sunan Giri sendiri. Hal ini sebagaimana dikisahkan
dalam Babad Demak.
5.
Vonis
hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan yang menjalankan
eksekusi adalah Sunan Kudus. Versi ini dapat ditemukan dalam Serat Negara
Kertabumi.
6.
Syekh
Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo. Akan tetapi hukuman tersebut
tidak jadi dilaksanakan, karena ia memilih cara kematiannya sendiri. Ia memohon
kepada Allah agar diwafatkan tanpa harus dihukum. Versi ini mengacu pada Serat
Seh Siti Jenar.
7.
Terdapat
dua tokoh yang memiliki nama asli yang berdekatan dengan nama Kecil Syekh Siti
Jenar. Tokoh pertama adalah Hasan Ali[24],
sedangkan tokoh kedua adalah San Ali Anshar al-Isfahani dari Persia[25].
Ketika usia Syekh Siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini bekerjasama untuk
berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa. Kedua tokoh ini memalsukan ajaran
Syekh Siti Jenar. Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang dan
beroperasi di Jawa bagian barat, sementara San Ali Anshar mengaku sebagai Syekh
Siti Jenar dan beroperasi di Jawa bagian timur. Kedua orang ini dihukum mati
oleh anggota Wali Songo. Kemungkinan karena silang silang sengkarut kemiripan
nama itulah, maka dalam berbagai Serat dan Babad di daerah Jawa, cerita tentang
Syekh Siti Jenar menjadi simpang siur.[26]
G.
KESIMPULAN
Syekh
Siti Jenar merupakan sosok fenomenal dalam sejarah keislaman di Indonesia. Ia
mempunyai ajaran yang sedikit berbeda dengan para tokoh Wali Songo yang pada
saat itu menjadi basis Islam Indonesia. Atas dasar inilah, banyak yang
mengklaim ajaran yang ia bawa adalah sesat. Terlepas dari itu semua, konsep dan
ajaran Syekh Siti Jenar menjadi hal yang patut untuk dikaji. Ini menjadi bukti
betapa kayanya khazanah keilmuan yang dimiliki oleh Islam.
Beragam pemikiran keagamaan lahir
dari seorang Syekh Siti Jenar. Salah satu yang paling dikenal masyarakat adalah
tentang ajaran dan jalan kematian. Dalam ajaran ini, konsep yang ia kenalkan
kepada murid dan masyarakat setempat adalah ‘Lima Langkah Kebebasan.
Selain itu terdapat satu istilah
yang sangat akrab dengan Syekh Siti Jenar. Istilah itu adalah Manunggaling
Kawula Gusti (Warongko Manjing Curigo). Ada sedikit perbedaan antara
apa yang dimaksud oleh Syekh Siti Jenar dengan apa yang dipahami oleh
murid-muridnya. Dari sinilah muncul polemik terhadap pemikiran Syekh Siti Jenar
yang berujung pada klaim sesat terhadap ajarannya.
Tidak sampai di situ saja. kematian
Syekh Siti Jenar sampai saat ini masih menjadi misteri bagi masyarakat Muslim
Indonesia. Setidaknya terdapat tujuh versi proses kematian yang didasari pada
Babad dan Serat Syekh Siti Jenar. Semua sumber memiliki dasar dan alasan
masing-masing. Terlepas dari itu semua, Syekh Siti Jenar adalah seorang ulama
besar yang telah memberikan warna dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia.
H.
DAFTAR PUSTAKA
Mulkhan,
Abdul Munir. 2006. Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Mulyani,
Sri. 2006. Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta:
Kencana
Sholikhin,
KH. Muhammad. 2011. Ternyata Syekh Siti Jenar tidak Dieksekusi Wali Songo.
Jakarta: Erlangga.
Sokhi
Huda. 2008. Tasawuf Kultural: Fenomena Shalat Wahidiyah. Yogyakarta: Lkis
http://kanzunqalam.wordpress.com/2010/09/16/rasionalisasi-kisah-syaikh-siti-jenar/ diakses pada tanggal 10 April2013 pukul 16.00 WIB
http://amaliazahrah.blogspot.com/2012/03/makalah-syekh-siti-jenar.html?zx=e76612f8f9e12e0f diakses pada tanggal 10 April 2013 pukul 10.08 WIB
http://sekularis.blogspot.com/2012/05/konsep-ajaran-manunggaling-kawula-gusti.html diakses pada tanggal 11 April 2013 pukul 12.05 WIB
[1] Al-bidayah adalah
definisi yang membicarakan tentang pengalaman pada tahap awal. Al-mujahadah adalah
definisi yang membicarakan tentang pengalaman ruhani yang menyangkut
kesungguhan dan kegiatan. Sedangkan al-mazaqah adalah definisi yang
membericarakan pengalaman dari segi perasaan: Sokhi Huda, Tasawuf Kultural:
Fenomena Shalat Wahidiyah (Jakarta: Lkis, 2008), hlm. 25-27.
[2] KH. Muhammad
Sholikhin, Ternyata Syekh Siti Jenar tidak Dieksekusi Wali Songoz (Jakarta:
Erlangga, 2011), hlm. 2.
[3] Dr. Abdul
Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (Kreasi
Wacana: Yogyakarta, 2006), hlm. 3 dan Dr. Hj. Sri Mulyanti, MA, Tasawuf
Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.
59.
[4] Konon cerita
ini bermula ketika sang ayah, Resi Bungsu yang marah besar atas kesalahan yang
dilakukan Syekh Siti Jenar (kala itu masih bernama Ali Hasan alias Abdul
Jalil). Sang ayah kemudian menyihirnya sehingga berubah menjadi seorang
cacing. Ia kemudian dibuang ke sungai.
Pada waktu itu, Sunan Bonang sedang berperahu mengajarkan ilmu gaib kepada
Sunan Kalijaga. Ketika perahunya bocor, maka Sunan Bonang mengambil tanah yang
kebetulan menjadi tempat beradanya Siti Jenar. Ketika Sunan Bonang mengetahui
ada makhluk jadian yang menguping ajarannya, maka sang cacing pun diubah
kembali ke wujud asalnya. Dr. Abdul
Munir Mulkhan, Ajaran, hlm. 3-4.
[5] “Wondene
kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun
inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.”
Yang artinya: [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu
berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan
rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]: http://kanzunqalam.wordpress.com/2010/09/16/rasionalisasi-kisah-syaikh-siti-jenar/ diakses pada
tanggal 10 April2013 pukul 16.00 WIB
[6] KH. Muhammad
Sholikhin, Ternyata, hlm. 2.
[7] Ia mempunyai
silsilah sebagai berikut: Syekh Datuk Saleh bin Syekh Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah
Jamaludin Husain bin Syekh Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid Abdul Malik
al-Qazam yang merupakan salah satu keturunan ulama terkenal Syekh Isa
al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi. Silsilah ini berpuncak pada Sayyidina Husain
bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW: KH. Muhammad Sholikhin, Ternyata, hlm.
6-7.
[8] Ibid.,
hlm. 7.
[9] Ibid.,
Hal 21
[10] Dr. Hj. Sri
Mulyanti, MA, Tasawuf, hlm. 59.
[11] Dr. Abdul
Munir Mulkhan, Ajaran, hlm. 62.
[12] KH. Muhammad
Sholikhin, Ternyata, hlm. 44-47.
[13] Ibid.,
hlm. 47-48.
[14] Dr. Hj. Sri
Mulyanti, MA., Tasawuf, hlm. 61.
[15] Dr. Abdul
Munir Mulkhan., Ajaran, hlm. 74.
[16] KH. Muhammad
Sholikhin., Ternyata, hlm. 166.
[17] Ibid.,
hlm. 167-168.
[18] Dr. Abdul
Munir Mulkhan, Ajaran, hlm. 70-72 dan Dr. Hj. Sri Mulyanti, MA., Tasawuf,
hlm. 61-62.
[19] http://sekularis.blogspot.com/2012/05/konsep-ajaran-manunggaling-kawula-gusti.html diakses pada
tanggal 11 April 2013 pukul 12.05 WIB
[20] Ibid.
[21] KH. Muhammad
Sholikhin, Ternyata, hlm. 53.
[22] Ibid.,
hlm. 58.
[23] Dalam
pernyataan Alam Babad Tanah Sunda terbitan Sulaeman Sulendraningrat (1982),
pada bagian ke-44 yang menyatakan bahwa peristiwa wafatnya Syekh Siti jenar
terjadi pada hari Rabu, bulan Safar tahun 1529 M. Berdasarkan konversi komputer
Program Hijri-Gregorian Converter oleh Adel A. Al-Rumaih (1996-1997), hari Rabu
bulan Safar 1529 M bertepatan dengan tanggal: (1) 3 Safar 936 H atau 6 Oktober
1529; (2) 10 Safar 936 H atau 13 Oktober 1529; (3) 17 Safar 936 H atau 20
Oktober 1529; (4) 24 Safar 936 H atau 20 Oktober 1529: Ibid., hlm.
58-59.
[24] Nama Islam dari
Pangeran Anggaraksa, anak Resi Bungsu yang semula berambisi menguasai Cirebon.
Ia kemudian terusir dari Keraton karena kedurhakaan dan pemberontakannya. Ia
menaruh dendam kepada Syekh Siti Jenar.
[25] Teman
Seperguruan Syekh Siti Jenar. Ia menyimpan dendam pribadi karena kalah dalam
hal ilmu kerohanian.
[26] KH. Muhammad
Sholikhin, Ternyata, hlm. 64-80.
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?