Senin, 10 Juni 2013

Syekh Siti Jenar (Tasawuf Nusantara)



 Oleh: Muhammad Qamaruddin

A.    MUQADDIMAH
Dalam perjalannya, Islam mempunyai sejarah yang panjang. Dari sanalah lahir beragam cabang ilmu di bidang keagamaan. Masing-masing dari cabang ilmu tersebut mempunyai ranah pembahasannya masing-masing. Salah satu cabang ilmu tersebut adalah ilmu tasawuf.

Dalam Islam sendiri, ilmu tasawuf merupakan kajian ilmu yang mempunyai varian yang bermacam-macam. Dalam perkembangannya, definisi tasawuf muncul begitu banyak. Dari definisi-definisi tersebut belum didapati sebuah pengertian yang dapat menggambarkan tasawuf secara menyeluruh.
Ibrahim Basyuni menyatakan hal ini terjadi karena para ahli tasawuf tidak ada yang memberikan defenisi tentang ilmunya sebagaimana para filsuf.  Ahli tasawuf hanya menggambarkan tentang suatu keadaan yang dialami dalam kehidupan ruhaninya pada waktu tertentu. Menurutnya, beberapa definisi yang ada dapat dikelompokkan menjadi tiga, pertama al-bidayah, kedua al-mujahadah, dan ketiga al-mazaqah.[1]
            Tasawuf mempunyai peranan dan pengaruh besar pada perkembangan Islam di Indonesia. Tasawuf merupakan salah satu bagian dari metode penyebaran ajaran Islam. Dari sinilah kemudian mempermudah berkembangnya Islam di  Indonesia.
            Seiring berkembangnya zaman, maka bermunculan tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia. Dari merekalah lahir berbagai pemikiran ajaran tasawuf. Tokoh-tokoh tersebut adalah Hamzah al-Fansury, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry, Abdul Rawf as-Singkil, Abdus Samad al-Palimbani, Muhammad Nawawi al-Bantani, Muhammad Nafis al-Banjary, Syekh Siti Jenar, dan masih banyak lagi. Dalam kesempatan ini, penulis akan membahas pemikiran dan ajaran tasawuf Syekh Siti Jenar.

B.     MENGENAL SYEKH SITI JENAR
            Syekh Siti Jenar merupakan salah satu tokoh sufi di Indonesia. Namanya telah akrab di telinga umat Islam di Indonesia, khususnya masyarakat Islam Jawa. Beliau hidup pada abad ke-16 masehi (1348-1439 H/1426-1517 M). Ia dilahirkan di lingkungan Pakuwuan Caruban (Cirebon sekarang). Dalam sejarahnya, ia memiliki banyak nama. Terhitung ada 16 nama gelar yang ia miliki. Di antara beberapa nama yang terkenal adalah San Ali, Syekh Abdul Jalil, Syekh Lemah Abang, dan Syekh Siti Jenar. Nama terakhir merupakan nama filosofis yang menggambarkan ajarannya tentang “Sangkan-Paran” yakni bahwa manusia –secara biologis –hanya diciptakan dari sekedar tanah merah, dan selebihnya adalah Zat Allah SWT. [2]
            Ada yang menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon. Konon dikatakan bahwa ia merupakan putra dari seorang raja Pendeta yang bernama Resi Bungsu.[3] Ada pula riwayat yang menyebutkan Syekh Siti Jenar merupakan penjelmaan dari cacing.[4] Hanya saja banyak yang menyalahkan riwayat yang terakhir ini. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat Jati, cerita yang masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas.[5]
Dari beberapa penelitian berbagai sumber, KH. Muhammad Sholikhin menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar merupakan salah satu keturunan ulama dari Malaka.[6] Dari sumber inilah dijelaskan bahwasanya pada akhir tahun 1424 M, di Kesultanan Malaka telah terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Mudzaffar Syah (1424-1458) kepada Sultan lama Muhammad Iskandar Syah (1414-1424). Beberapa saat setelah Mudzaffar Syah melakukan kudeta dan berhasil menaiki tahta, maka terjadilah “pembersihan” bekas orang-orang dekat Iskandar Syah.
            Pada saat bersamaan, terjadi pula perselisihan antara bangsawan keturunan Tamil yang dipimpin Tun Ali dengan bangsawan Melayu. Ketika Tun Ali memenangkan perselisihan, maka banyak ulama dan pejabat Melayu yang dibunuh. Syekh Datuk Shaleh[7] adalah ayah kandung Syekh Siti Jenar sekaligus seorang ulama terkenal di Malaka. Ia memilih meninggalkan Malaka dan memutuskan untuk pergi ke Palembang. Ternyata di Palembang masih terdapat orang Malaka yang memusuhinya. Ia pun memutuskan untuk pergi ke Kota Cirebon. Ia tinggal di sana beberapa bulan lamanya sebelum akhirnya meninggal. Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, di bawah asuhan Syekh datuk Kahfi.[8]
            Setelah berumur lima tahun, Syekh Siti Jenar diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Padepokan Giri Amparan Jati. Pada tahun 1445 M, setelah 15 tahun menimba ilmu di Padepokan amparan Jati (kala itu ia berumur 19 tahun), ia berniat untuk keluar dari pondok dan mendalami kerohaniannya (sufi). Pengembaraan spritualnya pun dimulai. Beberapa tempat yang telah ia datangi, yaitu (kerajaan) Pajajaran, Palembang, Malaka, dan kemudian ke Timur Tengah. Ia singgah ke Baghdad dan kemudian ke kota suci Mekkah. Sekembalinya dari Timur Tengah (1463 M), Syekh Siti Jenar mulai menyebarkan ajaran dan pandangannya. Pada saat itu ia telah berumur 37 tahun. Ia kembali ke Caruban Larang, Cirebon, tempat kelahirannya yang sempat ia tinggalkan kurang lebih 17 tahun lamanya.[9]

C.    KONSEP DAN AJARAN SYEKH SITI JENAR
            Pemikiran Syekh Siti Jenar dianggap amat liberal dan kontroversial. Ia dinilai melawan arus besar keagamaan yang dibangun oleh kolaborasi kekuasaan Kerajaan Demak Bintara pimpinan Raden Fatah dan agamawan yang terdiri dari Wali Songo.[10] Para wali kerajaan menganggap Syekh Siti Jenar telah menyebarkan pemahaman agama berdasar hawa nafsu, menyiarkan dan mengajarkan agama Islam menurut pandangannya sendiri.[11]
            Secara garis besar, dalam buku Falsafah Siti Jenar (Brotokesowo) terdapat gambaran ajaran yang secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Bahwa dalam diri manusia terdapat potensi kuat akan penerapan sifat-sifat Ilahi.
2.      Hyang Widi (Tuhan Yang Kuasa Penuh) sebagai suatu wujud dengan segala sifat-Nya (keilahian-Nya). Semuanya ada dalam diri yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya.
3.      Bahwa dalam diri manusia yang luhur dan luhung terkandung unsur esensial dari Zat Yang Luhur.
4.      Segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Zat Allah, Mahasuci.
5.      Sebagai akibat dari itu semua, maka wujud lahiriah manusia dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah “Muhammad”.
6.      Kehendak, angan-angan, dan ingatan insaniah merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, dan sifat-sifat buruk lainnya.
7.      Bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan manusia.[12]
Dalam buku Suluk Wali Songo (R. Tanojo) disebutkan beberapa elemen dasar ajaran Syekh Siti Jenar.
1.      Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila dilihat dengan warna memancar yang sangat indah.
2.      Syekh Siti Jenar sebagai Sosok Yang Ilahi, mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan, melebihi makhluk lain, karena ia telah “manunggal” di dalam Tuhan.
3.      Posisi Tuhan ada di dalam diri manusia dan keseluruhan semesta, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihat-Nya.
4.      Hidup yang sesungguhnya adalah tidak mengalami mati, dan hidup itu adalah kekal. Dunia itu bukanlah kehidupan, tapi kehidupan dunia itu kematian.
5.      Jiwa yang bersifat kekal, atau langgeng setelah manusia mati adalah suara hati nurani yang merupakan ungkapan dari Zat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa, sedangkan raga adalah wajah Hyang Widi yang harus ditaati perintahnya.[13]

D.    AJARAN DAN JALAN KEMATIAN SYEKH SITI JENAR
            Pemikiran Syekh Siti Jenar dalam masalah hidup dan mati memiliki makna berbeda dari apa yang diajarkan para Wali Songo. Siti Jenar menerangkan tentang kematian, kehidupan, dan jalan menuju kebebasan serta bagaimana cara meraih dua hal itu, hidup dan mati. konsep ini dikenal dengan sebagai ‘Lima Langkah Kebebasan’.[14] Masing-masing langkah itu ialah sebagai berikut:
1.      Ia mengajarkan tentang asal usul kehidupan.
2.      Ia mengajarkan tentang masalah yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai pintu kehidupan.
3.      Ia menunjukkan tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal dan abadi.
4.      Ia menunjukkan tempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani manusia sekarang.
5.      Ia mengajarkan tentang adanya Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa.[15]
Syekh Siti Jenar beranggapan bahwa dunia ini adalah alam kematian. Maka, manusia yang hidup di dunia bersifat mayat atau bangkai. Kehidupan di dunia sekarang ini bukanlah kehidupan yang sejati, karena masih akan dihampiri oleh kematian. Sedangkan kehidupan sejati adalah kehidupan yang sudah tidak tersentuh lagi oleh kematian. Hidup sejati adalah kehidupan yang tidak lagi menumpang pada badan wadak yang bisa rusak atau musnah. Kehidupan sejati tidak membutuhkan pemenuhan nafsu-nafsu badaniah.[16] KH. Muhammad Sholikhin lebih lanjut menjelaskan dalam bukunya:
            Dalam al-Qur’an terdapat pernyataan “Innaka mayyitun wa innahum mayyitun” , yang artinya ‘Sesungguhnya kamu itu hanya mayat, bangkai, dan mereka pun juga hanya mayat’ (QS. Al-Zumar 39: 30). Dalam al-Qur’an dibedakan antara kata mayat dengan maut. Maut bermakna kematian, sedang mayat adalah benda yang mengalami kematian alias bangkai. Kata mayat juga terdapat dalam QS. 23: 15 dan 37: 58. Intinya sama, penekatan sifat mati, atau sebagai mayat, atau bangkai. Itu semua adalah penyandangan sifat kehidupan dan kematian di dunia.
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa “Hayyun daaimun laa yamuut Abadan”, hidup itu bersifat daim, kekal selamanya, tidak pernah ada kematian. Inilah hakikat hidup. Allah sendiri menyandang nama al-Hayyu. Roh manusia berasal dari kehidupan yang hakiki dan akan kembali kepada kehidupan hakaki. Namun, di dunia ini, zat hidup memerlukan awak (ahlab: wadah) yang bersifat bangkai sesuai kondisi duniawi. Maka, begitu roh tergiring ke alam wujud, maka ia akan menempati bangkai sebagai sarana persemayamannya. Syekh Siti Jenar menandaskan bahwa ”Kullu aalamin mawujuuduun”, setiap alam ada eksistansinya. Peragaan roh dalam “Bangkai” di dunia tidak lain agar sang roh yang azali itu bisa bereksistensi di alam kematian dunia.[17]
            Karena itu, Siti Jenar begitu merindukan hidupnya yang dulu sebelum ia lahir ke dunia, tatkala masih dalam keadaan suci. Baginya,kelahiran di dunia di dalam alam kematian, membuat manusia begitu susah payah dan amat berat. Manusia terikat pancaindra, menggunakan keinginan hidup yang dua puluh sifatnya, sehingga manusia hampir tergila-gila di dalam alam kematian. Di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa seluruh alam ini adalah mayyitun.
Kekuasaan dan semua harta benda yang terdapat di dunia ini akan musnah menjadi tanah. Manusia juga sering merasa dirinya yang paling cukup dan pandai. Padahal sejatinya mereka hanyalah berupa mayat. Siti Jenar memandang kehidupan di dunia ini sebagai kematian yang singgah di dalam raganya. Inilah yang membuat manusia tersesat di dunia di dalam neraka yang dahsyat. Kehidupan abadi yang sesungguhnya itu hanya bisa dijalani setelah seorang manusia menemui ajalnya. Dalam alam kehidupan yang nyata itulah, ketentuan syariah baru bisa berlaku.[18]

E.     MANUNGGALING KAWULA GUSTI ( WARONGKO MANJING CURIGO )
Manunggaling Kawula Gusti sering diartikan bahwa menyatunya manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti). Anggapan bahwa Gusti sebagai personifikasi Tuhan kurang tepat. Gusti (Pangeran, Ingsun) yang dimaksud adalah personifikasi dari Dzat Urip (Kesejatian Hidup), atau (emanasi, pancaran) Tuhan.[19] 
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia:
“Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." (Q.S. Shaad: 71-72).
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti.[20] Padahal jika diamati, sebetulnya ajaran ini merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah. Sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain adalah bersatunya manusia dengan manusia (Manunggaling Kawula Gusti).[21]

F.     KEMATIAN SYEKH SITI JENAR
            Ada dua pendapat umum mengenai tahun kematian Syekh Siti Jenar. Pertama, ia wafat pada tahun 1517 M. Ini mengacu pada asumsi vonis hukuman mati oleh Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Giri pada masa pemerintahan Raden Fatah.[22] Kedua, tahun wafat Syekh Siti Jenar 1530 M. Pada masa Kesultanan Demak diperintah oleh Sultan Trenggono.[23]
            Terkait proses kematiannya, berbagai sumber memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Paling tidak terdapat tujuh versi mengenai proses meninggalnya Syekh Siti Jenar, ini dengan mengecualikan pendapat yang mengatakan ia wafat pada tahun 1530 M.
1.      Ia wafat karena dihukum mati oleh Sultan Demak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, yang dilaksanakan di alun-alun Kesultanan Demak. Sebagian versi ini mengacu pada “Serat Syekh Siti Jenar” oleh Ki Sosrowidjojo.
2.      Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati yang juga sekaligus menjadi algojo. Hukuman dilaksanakan di Masjid Ciptarasa Cirebon. Hal ini tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39 terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana (alih bahasa pada tahun 1994).
3.       Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Giri, dan algojo pelaksanan hukuman mati tersebut adalah Sunan Gunung Jati.
4.      Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh Sunan Giri, dan yang menjadi algojo adalah Sunan Giri sendiri. Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam Babad Demak.
5.      Vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan yang menjalankan eksekusi adalah Sunan Kudus. Versi ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi.
6.      Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo. Akan tetapi hukuman tersebut tidak jadi dilaksanakan, karena ia memilih cara kematiannya sendiri. Ia memohon kepada Allah agar diwafatkan tanpa harus dihukum. Versi ini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar.
7.      Terdapat dua tokoh yang memiliki nama asli yang berdekatan dengan nama Kecil Syekh Siti Jenar. Tokoh pertama adalah Hasan Ali[24], sedangkan tokoh kedua adalah San Ali Anshar al-Isfahani dari Persia[25]. Ketika usia Syekh Siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini bekerjasama untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa. Kedua tokoh ini memalsukan ajaran Syekh Siti Jenar. Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang dan beroperasi di Jawa bagian barat, sementara San Ali Anshar mengaku sebagai Syekh Siti Jenar dan beroperasi di Jawa bagian timur. Kedua orang ini dihukum mati oleh anggota Wali Songo. Kemungkinan karena silang silang sengkarut kemiripan nama itulah, maka dalam berbagai Serat dan Babad di daerah Jawa, cerita tentang Syekh Siti Jenar menjadi simpang siur.[26]

G.    KESIMPULAN
Syekh Siti Jenar merupakan sosok fenomenal dalam sejarah keislaman di Indonesia. Ia mempunyai ajaran yang sedikit berbeda dengan para tokoh Wali Songo yang pada saat itu menjadi basis Islam Indonesia. Atas dasar inilah, banyak yang mengklaim ajaran yang ia bawa adalah sesat. Terlepas dari itu semua, konsep dan ajaran Syekh Siti Jenar menjadi hal yang patut untuk dikaji. Ini menjadi bukti betapa kayanya khazanah keilmuan yang dimiliki oleh Islam.
            Beragam pemikiran keagamaan lahir dari seorang Syekh Siti Jenar. Salah satu yang paling dikenal masyarakat adalah tentang ajaran dan jalan kematian. Dalam ajaran ini, konsep yang ia kenalkan kepada murid dan masyarakat setempat adalah ‘Lima Langkah Kebebasan.
            Selain itu terdapat satu istilah yang sangat akrab dengan Syekh Siti Jenar. Istilah itu adalah Manunggaling Kawula Gusti (Warongko Manjing Curigo). Ada sedikit perbedaan antara apa yang dimaksud oleh Syekh Siti Jenar dengan apa yang dipahami oleh murid-muridnya. Dari sinilah muncul polemik terhadap pemikiran Syekh Siti Jenar yang berujung pada klaim sesat terhadap ajarannya.
            Tidak sampai di situ saja. kematian Syekh Siti Jenar sampai saat ini masih menjadi misteri bagi masyarakat Muslim Indonesia. Setidaknya terdapat tujuh versi proses kematian yang didasari pada Babad dan Serat Syekh Siti Jenar. Semua sumber memiliki dasar dan alasan masing-masing. Terlepas dari itu semua, Syekh Siti Jenar adalah seorang ulama besar yang telah memberikan warna dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia.

H.    DAFTAR PUSTAKA
Mulkhan, Abdul Munir. 2006. Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Mulyani, Sri. 2006. Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana
Sholikhin, KH. Muhammad. 2011. Ternyata Syekh Siti Jenar tidak Dieksekusi Wali Songo. Jakarta: Erlangga.
Sokhi Huda. 2008. Tasawuf Kultural: Fenomena Shalat Wahidiyah. Yogyakarta: Lkis


[1] Al-bidayah adalah definisi yang membicarakan tentang pengalaman pada tahap awal. Al-mujahadah adalah definisi yang membicarakan tentang pengalaman ruhani yang menyangkut kesungguhan dan kegiatan. Sedangkan al-mazaqah adalah definisi yang membericarakan pengalaman dari segi perasaan: Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalat Wahidiyah (Jakarta: Lkis, 2008), hlm. 25-27.
[2] KH. Muhammad Sholikhin, Ternyata Syekh Siti Jenar tidak Dieksekusi Wali Songoz (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 2.
[3] Dr. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2006), hlm. 3 dan Dr. Hj. Sri Mulyanti, MA, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 59.
[4] Konon cerita ini bermula ketika sang ayah, Resi Bungsu yang marah besar atas kesalahan yang dilakukan Syekh Siti Jenar (kala itu masih bernama Ali Hasan alias Abdul Jalil). Sang ayah kemudian menyihirnya sehingga berubah menjadi seorang cacing.  Ia kemudian dibuang ke sungai. Pada waktu itu, Sunan Bonang sedang berperahu mengajarkan ilmu gaib kepada Sunan Kalijaga. Ketika perahunya bocor, maka Sunan Bonang mengambil tanah yang kebetulan menjadi tempat beradanya Siti Jenar. Ketika Sunan Bonang mengetahui ada makhluk jadian yang menguping ajarannya, maka sang cacing pun diubah kembali ke wujud asalnya.  Dr. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran, hlm. 3-4.
[5]Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” Yang artinya: [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]: http://kanzunqalam.wordpress.com/2010/09/16/rasionalisasi-kisah-syaikh-siti-jenar/ diakses pada tanggal 10 April2013 pukul 16.00 WIB
[6] KH. Muhammad Sholikhin, Ternyata, hlm. 2.
[7] Ia mempunyai silsilah sebagai berikut: Syekh Datuk Saleh bin Syekh Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid Abdul Malik al-Qazam yang merupakan salah satu keturunan ulama terkenal Syekh Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi. Silsilah ini berpuncak pada Sayyidina Husain bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW: KH. Muhammad Sholikhin, Ternyata, hlm. 6-7.
[8] Ibid., hlm. 7.
[9] Ibid., Hal 21
[10] Dr. Hj. Sri Mulyanti, MA, Tasawuf, hlm. 59.
[11] Dr. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran, hlm. 62.
[12] KH. Muhammad Sholikhin, Ternyata, hlm. 44-47.
[13] Ibid., hlm. 47-48.
[14] Dr. Hj. Sri Mulyanti, MA., Tasawuf, hlm. 61.
[15] Dr. Abdul Munir Mulkhan., Ajaran, hlm. 74.
[16] KH. Muhammad Sholikhin., Ternyata, hlm. 166.
[17] Ibid., hlm. 167-168.
[18] Dr. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran, hlm. 70-72 dan Dr. Hj. Sri Mulyanti, MA., Tasawuf, hlm. 61-62.
[20] Ibid.
[21] KH. Muhammad Sholikhin, Ternyata, hlm. 53.
[22] Ibid., hlm. 58.
[23] Dalam pernyataan Alam Babad Tanah Sunda terbitan Sulaeman Sulendraningrat (1982), pada bagian ke-44 yang menyatakan bahwa peristiwa wafatnya Syekh Siti jenar terjadi pada hari Rabu, bulan Safar tahun 1529 M. Berdasarkan konversi komputer Program Hijri-Gregorian Converter oleh Adel A. Al-Rumaih (1996-1997), hari Rabu bulan Safar 1529 M bertepatan dengan tanggal: (1) 3 Safar 936 H atau 6 Oktober 1529; (2) 10 Safar 936 H atau 13 Oktober 1529; (3) 17 Safar 936 H atau 20 Oktober 1529; (4) 24 Safar 936 H atau 20 Oktober 1529: Ibid., hlm. 58-59.
[24] Nama Islam dari Pangeran Anggaraksa, anak Resi Bungsu yang semula berambisi menguasai Cirebon. Ia kemudian terusir dari Keraton karena kedurhakaan dan pemberontakannya. Ia menaruh dendam kepada Syekh Siti Jenar.
[25] Teman Seperguruan Syekh Siti Jenar. Ia menyimpan dendam pribadi karena kalah dalam hal ilmu kerohanian.
[26] KH. Muhammad Sholikhin, Ternyata, hlm. 64-80.

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?