Oleh: Muhammad Qamaruddin
Pemandangan di Bandar Seri Begawan |
Dari hasil
pengamatanku, hampir semua orang yang ada di Brunei Darussalam, khususnya
penduduk asli di sana mempunyai kereta (baca: mobil). Paling tidak, satu
kereta untuk satu keluarga. Namun tidak sedikit aku menemukan beberapa
keluarga yang mempunyai kereta untuk setiap anggota keluarga. Dari
kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, anak, bahkan cucu mereka pun mempunyai
mobil. Maka aku tidak merasa aneh apabila banyak menemukan halaman rumah yang
luas di sana, karena bisa jadi itu digunakan untuk parkiran mobil.
Berbeda dengan
Indonesia, mungkin mempunyai mobil itu merupakan sebuah identitas dengan label
‘orang kaya’. Hanya segelintir orang yang mempunyai mobil. Selebihnya, motor
menjadi andalan orang Indonesia sebagai alat transportasi. Di Brunei, akan
sangat sulit menemukan motor (di sana disebut motorsikal). Jikapun ada,
maka motorsikal yang berkeliaran hanyalah jenis-jenis motor besar yang harganya
kadang dapat melebihi harga kereta. Seluruh jalan yang ada di Brunei
hampir 90% ‘dilalu lalangi’ oleh kereta. Aku memang menemukan beberapa motor
bebek yang sering dipakai di Indonesia. Tapi mohon maaf, karena motor-motor
tipe ini hanya dipakai oleh pekerja-pekerja rendahan, misalnya pekerja makanan
siap saji.
Hal itu tidak
perlu kita pedulikan. Ini hanyalah masalah perbedaan budaya. Toh aku
juga pernah berpikir, sangat tidak mungkin mengganti seluruh alat transportasi
di Indonesia dengan mobil, dan kemudian menimalisir pemakaian motor. Selain
dari masalah pendapatan penduduk, Indonesia akan terkendala pada permasalahan
jalan yang sering macet. Indonesia sekarang sudah terlalu banyak mempunyai
mobil. Aku lebih setuju apabila Indonesia mengoptimalkan penggunaan alat
transportasi umum. Selain dapat mengurangi polusi udara, hal ini juga dapat
mengurangi kepadatan lalu lintas, karena kendaraan pribadi yang berkeliaran di
jalan akan berkurang.
Pemandangan di Bandar Seri Begawan |
Saat aku masih
menjadi mahasiswa non-graduating Programme di Universiti Brunei
Darussalam (UBD), semua teman-temanku mempunyai kereta masing-masing.
Hanya satu dua orang yang tidak punya, termasuk aku yang statusnya bukan
penduduk asli. Ketika itu, aku tinggal di asrama mahasiswa. Jika aku ingin
pulang ke rumah, maka aku harus naik bis, atau ayahku yang akan menjemputku di
asrama, tentunya dengan kereta kesayangannya.
Terakhir, sebelum
aku berangkat ke Brunei dan sempat tinggal sebentar di sana selama satu tahun,
ayahku menyuruhku untuk membuat SIM A yang dipergunakan untuk mengendarai
mobil. Aku yang saat itu belum sama sekali pernah belajar mobil merasa aneh.
Kenapa aku harus membuat SIM A? Aku pikir, apa benar SIM ini dapat dipakai di
sana. Ternyata memang begitulah adanya. Aku memang tidak terlalu paham
permasalahan ini. Namun yang pastinya, kata ayahku, orang yang bisa mengendarai
mobil di Indonesia, maka ia juga akan diakui di Brunei. SIM keluaran Indonesia
dapat dipakai di sana. Tentunya melalui proses yang panjang untuk mendapatkan
pengakuan dari pemerintah setempat. Mungkin orang Brunei berpendapat bahwa
jalan di Indonesia lebih ‘mengerikan’ dari jalan yang ada di Brunei. Oleh
karena itulah, SIM Indonesia masih dapat dipakai dan diakui.
Dari pembuatan SIM
itulah, maka aku di sana mulai diajari oleh ayahku bagaimana caranya
mengendarai kereta. SIM keluaran Indonesia itu pun kemudian di proses
lebih lanjut di pemerintahan setempat. akhirnya, aku mempunyai SIM sendiri di
sana. Sayangnya, ayahku tidak lama mengajariku memakai kereta. Kesibukannya
bekerja adalah salah satu alasannya. Sampai aku pulang kembali ke tanah air,
aku belum dapat mengendarai kereta. Mungkin suatu saat nanti, ketika aku
telah mempunyai mobil sendiri.
berarti bukan kereta apa di sini?
BalasHapuslucuuuu lah klo sebutannya kereta, ehmm.. semoga juga bisa dapat pengalaman naik 'kereta' di sana ^^