Minggu, 30 Juni 2013

KERETA

Oleh: Muhammad Qamaruddin

Pemandangan di Bandar Seri Begawan
Dari hasil pengamatanku, hampir semua orang yang ada di Brunei Darussalam, khususnya penduduk asli di sana mempunyai kereta (baca: mobil). Paling tidak, satu kereta untuk satu keluarga. Namun tidak sedikit aku menemukan beberapa keluarga yang mempunyai kereta untuk setiap anggota keluarga. Dari kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, anak, bahkan cucu mereka pun mempunyai mobil. Maka aku tidak merasa aneh apabila banyak menemukan halaman rumah yang luas di sana, karena bisa jadi itu digunakan untuk parkiran mobil.

            Berbeda dengan Indonesia, mungkin mempunyai mobil itu merupakan sebuah identitas dengan label ‘orang kaya’. Hanya segelintir orang yang mempunyai mobil. Selebihnya, motor menjadi andalan orang Indonesia sebagai alat transportasi. Di Brunei, akan sangat sulit menemukan motor (di sana disebut motorsikal). Jikapun ada, maka motorsikal yang berkeliaran hanyalah jenis-jenis motor besar yang harganya kadang dapat melebihi harga kereta. Seluruh jalan yang ada di Brunei hampir 90% ‘dilalu lalangi’ oleh kereta. Aku memang menemukan beberapa motor bebek yang sering dipakai di Indonesia. Tapi mohon maaf, karena motor-motor tipe ini hanya dipakai oleh pekerja-pekerja rendahan, misalnya pekerja makanan siap saji.
            Hal itu tidak perlu kita pedulikan. Ini hanyalah masalah perbedaan budaya. Toh aku juga pernah berpikir, sangat tidak mungkin mengganti seluruh alat transportasi di Indonesia dengan mobil, dan kemudian menimalisir pemakaian motor. Selain dari masalah pendapatan penduduk, Indonesia akan terkendala pada permasalahan jalan yang sering macet. Indonesia sekarang sudah terlalu banyak mempunyai mobil. Aku lebih setuju apabila Indonesia mengoptimalkan penggunaan alat transportasi umum. Selain dapat mengurangi polusi udara, hal ini juga dapat mengurangi kepadatan lalu lintas, karena kendaraan pribadi yang berkeliaran di jalan akan berkurang.
           
Pemandangan di Bandar Seri Begawan
Kembali ke permasalahan kereta di negeri Brunei. Aku rasa, memang mempunyai kereta di sana adalah sebuah ‘tuntutan budaya’. Seseorang yang mempunyai kereta di sana tidak akan pernah dianggap ‘orang kaya’ seperti halnya di Indonesia, kecuali jika setiap anggota keluarga mempunyai kereta satu orang satu. Oleh karena itu, mempunyai kereta di sana adalah hal yang wajar dan biasa. Ayahku pun, karena tuntutan pekerjaan, ia mau tak mau membeli sebuah kereta murah. Hal ini dikarenakan jarak dari tempat tinggal kami ke tempat kerja ayah lumayan jauh. Jadi, bagi orang di Indonesia, motor tetaplah menjadi pilihan utama, tapi tidak di Brunei. Inilah yang aku maksud dengan ‘tuntutan budaya’. Mempunyai kereta adalah suatu kebutuhan.
            Saat aku masih menjadi mahasiswa non-graduating Programme di Universiti Brunei Darussalam (UBD), semua teman-temanku mempunyai kereta masing-masing. Hanya satu dua orang yang tidak punya, termasuk aku yang statusnya bukan penduduk asli. Ketika itu, aku tinggal di asrama mahasiswa. Jika aku ingin pulang ke rumah, maka aku harus naik bis, atau ayahku yang akan menjemputku di asrama, tentunya dengan kereta kesayangannya.
            Terakhir, sebelum aku berangkat ke Brunei dan sempat tinggal sebentar di sana selama satu tahun, ayahku menyuruhku untuk membuat SIM A yang dipergunakan untuk mengendarai mobil. Aku yang saat itu belum sama sekali pernah belajar mobil merasa aneh. Kenapa aku harus membuat SIM A? Aku pikir, apa benar SIM ini dapat dipakai di sana. Ternyata memang begitulah adanya. Aku memang tidak terlalu paham permasalahan ini. Namun yang pastinya, kata ayahku, orang yang bisa mengendarai mobil di Indonesia, maka ia juga akan diakui di Brunei. SIM keluaran Indonesia dapat dipakai di sana. Tentunya melalui proses yang panjang untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah setempat. Mungkin orang Brunei berpendapat bahwa jalan di Indonesia lebih ‘mengerikan’ dari jalan yang ada di Brunei. Oleh karena itulah, SIM Indonesia masih dapat dipakai dan diakui.
            Dari pembuatan SIM itulah, maka aku di sana mulai diajari oleh ayahku bagaimana caranya mengendarai kereta. SIM keluaran Indonesia itu pun kemudian di proses lebih lanjut di pemerintahan setempat. akhirnya, aku mempunyai SIM sendiri di sana. Sayangnya, ayahku tidak lama mengajariku memakai kereta. Kesibukannya bekerja adalah salah satu alasannya. Sampai aku pulang kembali ke tanah air, aku belum dapat mengendarai kereta. Mungkin suatu saat nanti, ketika aku telah mempunyai mobil sendiri.

1 komentar:

  1. berarti bukan kereta apa di sini?
    lucuuuu lah klo sebutannya kereta, ehmm.. semoga juga bisa dapat pengalaman naik 'kereta' di sana ^^

    BalasHapus

apa komentar anda tentang bacaan ini?