Oleh: Hamzah al-Bantany
"Nikmat manakah yang kalian dustai." (QS.Al-Rahman)
Sudahkah
kita bersyukur hari ini?
Sudahkah kita bersyukur hari ini? Ya, pertanyaan itu pantas ditanyakan
kepada diri kita masing-masing. Apakah bersyukur ataukah malah kufur atas
nikmat Allah tersebut. Secara tidak sadar mungkin lebih condong kepada tidak
mensyukuri nikmat ketimbang mensyukuri nikmat. Misalnya saja kita diberikan kesehatan, tetapi dengan kesehatan
tersebut malah digunakan untuk bermaksiat atau melaksanakan hal-hal yang
dilarang oleh agama. Naudzubilah...
Bersyukur merupakan gambaran mu’min sejati. Karena syukur merupakan
gambaran diri seseorang yang mampu menerima keadaan secara ikhlas, ridha serta
tawakkal. Allah berfirman dalam al-Qur’an (QS. Ibrahim : 7-8 ) yang artinya : dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih". dan Musa berkata: "Jika kamu dan orang-orang
yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) Maka Sesungguhnya
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
Janji Allah
pada ayat di atas menjelaskan bahwa jika kita bersyukur maka kenikmatan
tersebut akan Allah tambah, tetapi jika sebaliknya yaitu ingkar dan malah kufur
nikmat maka balasannya adalah azab yang sangat pedih. Azab tersebut berlaku di
dunia atau di akhirat kelak. Kita tidak tahu azab itu kapan ditimpakan.
Perbanyak bersyukur atas pemberian allah, termasuk atas nikmat kehidupan saat
ini.
Mensyukuri
hidup
Hidup itu adalah sebuah perjalanan dari masa ke masa, dengan berbagai
lika-liku yang ada di dalamnya. Dalam hidup ini kita biasa menemukan orang yang
menjabat sebagai direktur, manager, karyawan, office boy, tukang parkir
dan lain sebagainya. Semua jabatan itu dalam kacamata agama Islam adalah berupa
amanat dan tanggung jawab. Ditakdirkan menjadi orang miskin bukanlah musibah,
tetapi disyukuri serta dijalani. Se-miskin apapun tidak seyogyanya mencari
rizki dengan cara yang diharamkan. Rizki Allah sangat luas, asalkan mau
mencarinya dan tidak mudah putus asa.
Kaya atau miskin sebetulnya hanyalah status sosial, jika diberikan
kemiskinan seyogyanya menikmati kemiskinan layaknya orang kaya yang menikmati
kekayaannya. Tidak menyesali nasib yang dijalani, tetapi menerimanya dengan
ridha kepada Allah dengan penuh ketegaran. Orang yang kaya bersyukur itu sudah
seharusnya, tetapi orang yang hidup dalam kemiskinan kemudian ia bersyukur atas kemiskinannya adalah orang yang luar
biasa di mata Allah bahkan kedudukanya lebih mulia.
Allah melarang setiap hambanya
untuk berkeluh kesah, apalagi sampai menyalahkan Allah swt atas takdir yang
diberikan kepada kita. Seharunya menganggap semua ini sebagai ujian agar lebih
dekat dengan Allah dan merasa ada ketergantungan dengan Allah sebagai penolong
dalam hidup. Hingga kita meyakini bahwa tidak bisa hidup tanpa pertolongan yang
diberikan-NYA.
Hendaknya optimis dalam
menjalani kehidupan ini, dengan tetap berusaha semaksimal mungkin. Tidak
melalaikan perintah Allah ketika berusaha, sehingga hasil akhir semuanya
diserahkan kepada-NYA karena Dia-lah yang tahu apa yang terbaik bagi kita.
Dengan demikian kita tidak akan pernah berputus ada menghadapi kehidupan ini,
dengan segala kondisi apapun. Allah berfirman : dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik. (QS. Al-Ankabut : 69)
Nabi bersabda
: “kana al-faqru an yakuna kufran” artinya kefakiran lebih dekat
kepada kekufuran. Apa yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW memang begitu
adanya. Seseorang yang kekurangan harta (miskin) sangat rentan untuk menukar
keimanan mereka dengan uang. Bahkan ada selintingan yang bahwa agama ditukar
dengan satu dus mie. Naudzubillah
Hidup dalam kekurangan memang berat, tetapi harus dilandasi dengan
sikap tawakkal kepada allah, janji allah
di dalam al-Qur’an “dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”(QS.
At-Talaq :3)
Umar bin khatab mengatakan bahwa Rasulullah bersabda : “Seandainya
engkau bertawakkal kepada Allah swt, niscaya ia akan memberimu rezeki seperti
Ia memberi rezeki kepada burung, di mana burung itu terbang di pagi hari dalam
keadaan lapar dan kembali lagi dalam keadaan kenyang”.
Syukur
dan Tawakal
Diriwayatkan bahwa ketika ditanyakan tentang sesuatu yang paling
mengagumkan dari Rasulullah saw, ‘Aisyah, dengan mengelurakan air matanya, seraya
berkata, “manakah yang tidak mengagumkan dari beliau?” lalu ia menceritakan,
“suatu malam, aku tidur bersama rasulullah saw di tempat tidur. Namun, belum
lama kami tidur, tiba-tiba beliau membangunkanku seraya berkata,’wahai putri
Abu Bakar! Izinkanlah aku bangun untuk beribadah kepada tuhanku!’ aku jawab,
“sebenarnya aku senang kau tetap berada di sampingku, tapi kau lebih
mendahulukan keinginanmu.’ Maka bangunlan beliau dari tidurnya, lalu berwudhu’
dengan sempurna, dan akhirnya melaksanakan shalat malam. Malam itu beliau
shalat sampai subuh, dan selama melaksanakan shalat itu, aku lihat beliau
menitikan air matanya hingga basah bajunya. Aku bertanya ‘apakah gerangan yang
menyebabkan engkau menangis, wahai rasulullah? Bukankan allah telah mengampuni
semua dosamu, baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Rasulullah
menjawab,’tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?”
Abu Utsman berkata, “Syukurnya orang-orang awam adalah syukurnya
terhadap nikmat makanan, minuman, dan pakaian. Sedangkan syukurnya orang yang
khusus adalah syukurnya mereka terhadap nikmat ketakwaan di dalam hatinya”
ketika Nabi Idris mendengar kabar gembira tentang diampunkan segala
dosa-dosanya, baliau memohon kepada Allah swt agar dipanjangkan umurnya.
“Mengapa sampai demikian?” Tanya orang-orang kepadanya. Beliau menjawab, “Agar
aku berkesempatan untuk bersyukur kepada-Nya. Sebab, selama ini aku hanya
beramal untuk mendapatkan ampunan dari-Nya.”
Tawakkal
adalah menyerahkan urusan kepada Allah, dan meyakini bahwa apa pun yang Allah
berikan kepadanya tidak akan berpindah kepada orang lain, atau sebaliknya yang
tidak menjadi jatahnya tidak mungkin ia terima. “...... dan hanya kepada
Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman".(QS. Al-Maidah : 23) Tawakkal
itu bertingkat-tingkat, pertama tawakkal yakni bertawakkal terhadap janji-janji
Allah. Kedua, adalah taslim, yakni bertawakkal terhadap ilmu-Nya dan yang
ketiga adalah tafwid, yakni bertawakkal terhadap takdir-Nya.
Dikatakan bahwa tawakkal merupakan permulaan dari tawakkal, taslim
adalah pertengahannya, sedangkan tafwid adalah klimaksnya. Ada juga yang
mengatakan bahwa tawakkal adalah sikapnya orang-orang awam, taslim adalah
sikapnya orang-orang khusus sedangkan tafwid adalah sikapnya orang-orang yang
lebih khusus lagi. Abu Ali Ar-Rudzbari berkata, “ada tiga tingkatan tawakkal,
yaitu : pertama, bersyukur jika diberi, dan bersabar jika tidak diberi. Kedua,
tetap bersyukur, baik ketika diberi maupun tidak. Ketiga, lebih menyukai
tidak diberi karena tahu bahwa ia ada hikmah dari Allah bagi dirinya.”
Jika ditanya siapakah yang paling bersyukur dan bertawakkal? Jawabannya
adalah Rasulullah saw. Walau sudah mendapat jaminan pengampunan dosa dari Allah
beliau tetap bersyukur. Walau Rasulullah sebagai seorang pemimpin tetapi beliau
hidup dalam kesederhanaan, hartanya digunakan untuk kepentingan dakwah
islamiyah, semuanya beliau serahkan kepada Allah. Jadi, jika ditanya siapakah
yang pantas menjadi panutan kita dalam bersyukur dan bertawakkal maka
Rasulullah saw adalah jawabannya. Wallahu’alam []
Hamzah Albantani
Divisi Pendidikan
Lembaga Pengabdian
Masyarakat
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?