Minggu, 16 Juni 2013

Resume Tasawuf Syekh Siti Jenar dan Nuruddin ar Raniri


 Oleh: Muhammad Qamaruddin

A.    MUQADDIMAH
Masuknya tasawuf ke Indonesia tidak bisa lepas dari masuknya agama Islam itu sendiri. Hal ini dikarenakan secara kebetulan, Islam pertama kali menyebar di Indonesia terbaur dengan ajaran tasawuf yang lebih cenderung pada ajaran moral.[1] Oleh karena itulah, ajaran Islam mudah diterima di masyarakat.
Dalam Islam sendiri, ilmu tasawuf merupakan kajian ilmu yang mempunyai varian yang bermacam-macam. Dalam perkembangannya, definisi tasawuf muncul begitu banyak. Dari definisi-definisi tersebut belum didapati sebuah pengertian yang dapat menggambarkan tasawuf secara menyeluruh.
Ibrahim Basyuni menyatakan hal ini terjadi karena para ahli tasawuf tidak ada yang memberikan defenisi tentang ilmunya sebagaimana para filsuf.  Ahli tasawuf hanya menggambarkan tentang suatu keadaan yang dialami dalam kehidupan ruhaninya pada waktu tertentu. Menurutnya, beberapa definisi yang ada dapat dikelompokkan menjadi tiga, pertama al-bidayah, kedua al-mujahadah, dan ketiga al-mazaqah.[2]
            Tasawuf mempunyai peranan dan pengaruh besar pada perkembangan Islam di Indonesia. Tasawuf merupakan salah satu bagian dari metode penyebaran ajaran Islam. Dari sinilah kemudian mempermudah berkembangnya Islam di  Indonesia.

A.    SEJARAH TASAWUF DI INDONESIA
Ada beberapa pendapat mengenai kapan tepatnya tasawuf masuk ke Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf mulai berperan dalam penyebaran agama islam sejak abad ke-12 Masehi. Kitab tasawuf paling awal yang muncul di Nusantara ialah karangan Abdullah Arif dengan tajuk Bahar al-Lahut (Lautan Ketuhanan). Isi kitab ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran wujudiyah Ibn' Arabi dan ajaran persatuan mistikal (fana) Al Hallaj. Syekh Abdullah Arif adalah pemuka tasawuf dari Arab. Beliau tiba di Sumatera (perulak Pasai) pada tahun 1177 M. Menurut T Arnol dalam bukunya yang berjudul The Preaching of Islam, Syekh Abdullah Arif termasuk sufi paling awal yang menyebarkan Islam bercorak tasawuf di Sumatera.[3]
            Hamka menyebutkan bahwa pengaruh madzhab Syafi’i lebih besar daripada pengaruh Al-Hallaj Asy-Syi’i di awal sejarah perkembangan tasawuf di Indonesia. Syekh Yusuf bin Isma’il An-Nabhany dalam kitabnya yang berjudul “Jami’ Karamatil Auliya” menjelaskan bahwa Syekh Abdullah bin As’ad Al-Yafi’i, seorang guru tasawuf di Mekkah pernah berguru dengan seorang “al-Jawy” (bangsa Jawa). Nama gurunya adalah Syekh Abu ‘Abdillah Mas’ud bin Abdillah al-Jawy.[4]
            Memang tidak disebutkan secara pasti kapan wafatnya Syekh Abu ‘Abdillah Mas’ud bin Abdillah al-Jawy. Tetapi dari masa wafatnya Syekh Yafi’i sendiri (678 H/1367 M), dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa Syekh  Yafi’i hidup sezaman dengan Ibnu Bathuthah yang meninggal pada tahun 770 H/1369 M. Oleh karena itu, bisa jadi Syekh Mas’ud bin Abdullah al-Jawy hidup di zaman kejayaan Kerajaan Pasai Sumatera yang disebut oleh Ibnu Bathuthah sebagai “Negeri Jawa”.[5] Ibnu Bathuthah sendiri pernah berkunjung ke Aceh pada tahun 746 H/1345 M.[6]
            Secara umum memang tasawuf mulai dikenal secara luas pada rentang abad ke-13 sampai ke-14. Hal ini dibuktikan dengan munculnya paham-paham tarekat yang berkembang di Indonesia, seperti Naqsabandiyah, Qadariyah, Idrusiyah, Rifa’iyah, Syatariyah, dan yang lainnya antara abad ke-7 Hijriyah (abad 13 M).[7]
Terdapat pertalian yang sedemikian erat antara tasawwuf dan tarekat. Di antara keduanya tampak sulit dibedakan dan tak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Tasawwuf adalah sebuah ideologi dari institusi yang menaunginya, yaitu tarekat. Atau dengan kata lain, tarekat merupakan madzhab-madzhab dalam tasawwuf. Dan tarekat merupakan implementasi dari suatu ajaran tasawwuf yang kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi sufi dalam rangka mengimplementasikan suatu ajaran tasawwuf secara bersama-sama.[8]
            Setelah itu, dari abad ke abad bermunculanlah para ahli tasawuf di Indonesia. Di antaranya adalah Hamzah Fansuri (hidup pada pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17)[9], Nuruddin ar-Raniri (meninggal 1658 M)[10], Syekh Abdur Rauf al-Sinkili (1606-1637 M)[11], Muhammad Nafis al-Banjari (lahir 1735 M)[12], para wali songo, dan tak lupa juga tokoh fenomenal Syekh Siti Jenar  (1348-1439 H/1426-1517 M).[13] Dalam makalah ini hanya membicarakan beberapa tokoh sufi. Mereka adalah Nuruddin ar-Raniri dan Syekh Siti Jenar.

A.    NURUDDIN AR-RANIRI
1.      Riwayat Hidup Nuruddin ar-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hanif al-Hanif  al-Raniri al-Quraisyi al-Syafi’i[14]. Dalam literatur yang lain, disebutkan bahwa nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Hasanjin al-Hamid al-Syafi’i al-Raniri.[15] Tidak ada yang mengetahui tahun kelahirannya secara pasti, tetapi kemungkinan besar ada yang berpendapat bahwa ia hidup menjelang akhir abad ke-16.[16]  
            Ia dilahirkan di Ranir (sekarang Rander) yang letaknya berdekatan dengan Surat di Gujarat. Setelah mendapatkan pendidikan agama di Ranir, ia melanjutkan pelajarannya ke Tarim, wilayah Hadramaut,  Arab Selatan. Di sanalah ia masuk dalam Tarekat Rifa’iyyah. Salah satu guru yang banyak mempengarui pemikirannya adalah Syekh Said Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban.[17]
            Ar-Raniri merupakan tokoh pembaharuan di Aceh. Ia merantau ke Aceh pada tanggal 6 Muharram 1047 H (31 Mei 1637 M), yaitu pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Sani. Sebelumnya, pamannya telah terlebih dahulu berdakwah di Aceh. Ia adalah Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan ibn Muhammad Hamid ar-Raniri yang tiba ke ke Aceh (untuk kedua kalinya) pada tahun 996 H (1588 M).[18]
            Ada beberapa dugaan bahwa ar-Raniri sebelum tahun 1637 M telah mendatangi Aceh. Namun karena belum adanya penerimaan yang layak dari pihak Istana Sultan Iskandar Muda (meninggal 1636 M), maka ia memilih Pahang sebagai tempat menetapnya. Beberapa alasan kenapa ar-Raniri saat itu belum diterima sepenuhnya di Aceh adalah adanya paham wujudiyyah yang masih sangat menonjol kala itu. Tokohnya adalah Syekh Syamsuddin as-Sumatrani (meninggal 1630 M) yang bertindak sebagai penasihat dan mufti kerajaan. Dapat disimpulkan bahwa kemungkinan besar ajaran wujudiyyah sangat berbeda dengan ajaran (baru) yang dibawa oleh ar-Raniri.[19]
            Setelah mendapatkan tempat dari pihak istana, ar-Raniri menjadi seorang Syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran wujudiyyah. Bahkan lebih jauh, ia mengeluarkan fatwa yang mengarah pada perburuan terhadap orang-orang beraliran wujudiyyah.

2.      Ajaran Tasawuf Nurruddin Ar-Raniri[20]
a)      Tentang Tuhan
Pendirian Ar-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakalimmin dengan paham para sufi yang  diwakili Ibn ‘Arabi. Ia berpendapat bahwa ungkapan” wujud Allah dan Alam Esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin, yaitu Allah, sebagaimana yang dimaksud Ibn ‘Arabi. Namun, ungkapan itu pada hakikatnya menjelaskan bahwa alam ini tidak ada. yang ada hanyalah wujud Allah Yang Esa. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu dengan Allah. Pandangan Al-Raniri hampir sama dengan Ibn ‘Arabi bahwa alam ini merupakan tajalli Allah. Namun, tafsiranya di atas membuatnya terlepas dari label panteisme Ibn ‘Arabi.  
b)      Tentang Alam
Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah melalui tajalli. Ia menolak teori  Al-faidh (emanasi) Al-Farabi karena hal itu dapat memunculkan pengakuan bahwa alam ini qadim  sehingga menjerumuskan pada kemusyrikan. Alam dan falak, menurutnya, merupakan wadah tajalli asma dan sifat Allah dalam bentuk yang kongkret. Sifat ilmu ber-tajalli pada alam akal; Nama Rahman ber-tajalli pada arsy; Nama Rahim ber-tajalli pada kursy; Nama Raziq ber-tajalli pada falak ketujuh; dan seterusnya.
c)      Tentang Manusia
Manusia, menurut Ar-Raniri, merupakan mahluk Allah yang paling sempurna di dunia sebab manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan  dengan citra-Nya. Juga, karena ia mazhhar ( tempat kenyataan asma dan sifat Allah paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insan kamil, katanya, pada dasarnya hampir sama dengan apa yang telah digariskan Ibnu ‘Arabi.
d)      Tentang Wujudiyyah
Inti ajaran wujudiyyah, menurut Ar-Raniri, berpusat pada wahdat Al-wujud dapat membawa kepada kekafiran. Ar-Raniri  berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan mahluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia dan jadilah seluruh mahluk sebagai Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau baik, Allah turut serta melakukanya. Jika demikian halnya, maka manusia mampu mempunyai sifat-sifat Tuhan.
e)      Tentang Hubungan Syari’at dan Hakikat
Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut Ar-Raniri merupakan sesuatu yang tidak benar. Untuk menguatkan argumentasinya, ia mengajukan beberapa pendapat pemuka sufi, di antaranya adalah Syeikh Abdullah Al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah, kecuali melalui syari’at yang merupakan pokok dan cabang islam.

B.     SYEKH SITI JENAR
1.      Riwayat Hidup Syekh Siti Jenar
            Syekh Siti Jenar hidup pada abad ke-16 M (1348-1439 H/1426-1517 M). Ia dilahirkan di lingkungan Pakuwuan Caruban (Cirebon sekarang). Ia memiliki banyak nama. Terhitung ada 16 nama gelar yang ia miliki. Di antara beberapa nama yang terkenal adalah San Ali, Syekh Abdul Jalil, Syekh Lemah Abang, dan Syekh Siti Jenar. Nama terakhir merupakan nama filosofis yang menggambarkan ajarannya tentang “Sangkan-Paran” yakni bahwa manusia –secara biologis –hanya diciptakan dari sekedar tanah merah, dan selebihnya adalah Zat Allah SWT. [21]
            Ada yang menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon. Konon dikatakan bahwa ia merupakan putra dari seorang raja Pendeta yang bernama Resi Bungsu.[22] Ada pula riwayat yang menyebutkan Syekh Siti Jenar merupakan penjelmaan dari cacing.[23] Hanya saja banyak yang menyalahkan riwayat yang terakhir ini. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat Jati, cerita yang masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas.[24]
KH. Muhammad Sholikhin memberi kesimpulan bahwa Syekh Siti Jenar merupakan salah satu keturunan ulama dari Malaka.[25] Syekh Datuk Shaleh[26] adalah ayah kandung Syekh Siti Jenar sekaligus seorang ulama terkenal di Malaka. Ia memutuskan untuk pergi ke Kota Cirebon. Ia tinggal di sana beberapa bulan lamanya sebelum akhirnya meninggal. Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, di bawah asuhan Syekh datuk Kahfi.[27]
            Setelah berumur lima tahun, Syekh Siti Jenar diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Padepokan Giri Amparan Jati. Pada tahun 1445 M, setelah 15 tahun menimba ilmu di Padepokan amparan Jati (kala itu ia berumur 19 tahun), ia berniat untuk keluar dari pondok dan mendalami kerohaniannya (sufi). Pengembaraan spritualnya pun dimulai. Beberapa tempat yang telah ia datangi, seperti (kerajaan) Pajajaran, Palembang, Malaka, dan kemudian ke Timur Tengah. Ia singgah ke Baghdad dan kemudian ke kota suci Mekkah. Sekembalinya dari Timur Tengah (1463 M), Syekh Siti Jenar mulai menyebarkan ajaran dan pandangannya. Pada saat itu ia telah berumur 37 tahun. Ia kembali ke Caruban Larang, Cirebon, tempat kelahirannya yang sempat ia tinggalkan kurang lebih 17 tahun lamanya.[28]
Mengenai kematian Syekh Siti Jenar, ada dua pendapat umum mengenai tahun kematian Syekh Siti Jenar. Pertama, ia wafat pada tahun 1517 M. Ini mengacu pada asumsi vonis hukuman mati oleh Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Giri pada masa pemerintahan Raden Fatah.[29] Kedua, Syekh Siti Jenar wafat pada tahun 1530 M, yaitu ada masa Kesultanan Demak diperintah oleh Sultan Trenggono.[30]
            Terkait proses kematiannya, berbagai sumber memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Paling tidak terdapat tujuh versi mengenai proses meninggalnya Syekh Siti Jenar, ini dengan mengecualikan pendapat yang mengatakan ia wafat pada tahun 1530 M.[31]

2.      Ajaran Tasawuf Seykh Siti Jenar
a.      Ajaran Kematian Syekh Siti Jenar
Pemikiran Syekh Siti Jenar dianggap amat liberal dan kontroversial. Ia dinilai melawan arus besar keagamaan yang dibangun oleh kolaborasi kekuasaan Kerajaan Demak Bintara pimpinan Raden Fatah dan agamawan yang terdiri dari Wali Songo.[32] Para wali kerajaan menganggap Syekh Siti Jenar telah menyebarkan pemahaman agama berdasar hawa nafsu, menyiarkan dan mengajarkan agama Islam menurut pandangannya sendiri.[33]
            Pemikiran Syekh Siti Jenar dalam masalah hidup dan mati memiliki makna berbeda dari apa yang diajarkan para Wali Songo. Siti Jenar menerangkan tentang kematian, kehidupan, dan jalan menuju kebebasan serta bagaimana cara meraih dua hal itu, hidup dan mati. konsep ini dikenal dengan sebagai ‘Lima Langkah Kebebasan’.[34] Masing-masing langkah itu ialah sebagai berikut:
1.      Ia mengajarkan tentang asal usul kehidupan.
2.      Ia mengajarkan tentang masalah yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai pintu kehidupan.
3.      Ia menunjukkan tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal dan abadi.
4.      Ia menunjukkan tempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani manusia sekarang.
5.      Ia mengajarkan tentang adanya Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa.[35]
Syekh Siti Jenar beranggapan bahwa dunia ini adalah alam kematian. Maka, manusia yang hidup di dunia bersifat mayat atau bangkai. Kehidupan di dunia sekarang ini bukanlah kehidupan yang sejati, karena masih akan dihampiri oleh kematian. Sedangkan kehidupan sejati adalah kehidupan yang sudah tidak tersentuh lagi oleh kematian. Hidup sejati adalah kehidupan yang tidak lagi menumpang pada badan wadak yang bisa rusak atau musnah. Kehidupan sejati tidak membutuhkan pemenuhan nafsu-nafsu badaniah.[36]
            Karena itu, Siti Jenar begitu merindukan hidupnya yang dulu sebelum ia lahir ke dunia, tatkala masih dalam keadaan suci. Baginya,kelahiran di dunia di dalam alam kematian, membuat manusia begitu susah payah dan amat berat. Manusia terikat pancaindra, menggunakan keinginan hidup yang dua puluh sifatnya, sehingga manusia hampir tergila-gila di dalam alam kematian. Di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa seluruh alam ini adalah mayyitun.
Kekuasaan dan semua harta benda yang terdapat di dunia ini akan musnah menjadi tanah. Manusia juga sering merasa dirinya yang paling cukup dan pandai. Padahal sejatinya mereka hanyalah berupa mayat. Siti Jenar memandang kehidupan di dunia ini sebagai kematian yang singgah di dalam raganya. Inilah yang membuat manusia tersesat di dunia di dalam neraka yang dahsyat. Kehidupan abadi yang sesungguhnya itu hanya bisa dijalani setelah seorang manusia menemui ajalnya. Dalam alam kehidupan yang nyata itulah, ketentuan syariah baru bisa berlaku.[37]

b.      Manunggaling Kawula Gusti ( Warongko Manjing Curigo )
Manunggaling Kawula Gusti sering diartikan bahwa menyatunya manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti).[38]  Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia:
“Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." (Q.S. Shaad: 71-72).
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan di kala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti.[39] Padahal jika diamati, sebetulnya ajaran ini merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah. Sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain adalah bersatunya manusia dengan manusia (Manunggaling Kawula Gusti).[40]        

G.    KESIMPULAN
Ada beberapa pendapat mengenai kapan tepatnya tasawuf masuk ke Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf mulai berperan dalam penyebaran agama islam sejak abad ke-12 Masehi. Yang pastinya, secara umum memang tasawuf mulai dikenal secara luas pada rentang abad ke-13 sampai ke-14. Hal ini dibuktikan dengan munculnya paham-paham tarekat yang berkembang di Indonesia, seperti Naqsabandiyah, Qadariyah, Idrusiyah, Rifa’iyah, Syatariyah, dan yang lainnya antara abad ke-7 Hijriyah (abad 13 M). Dari abad ke abad bermunculanlah para ahli tasawuf di Indonesia.
Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hanif al-Hanif  al-Raniri al-Quraisyi al-Syafi’i merupakan tokoh pembaharuan di Aceh. Ada yang berpendapat bahwa ia hidup menjelang akhir abad ke-16. Ia merantau ke Aceh pada tanggal 6 Muharram 1047 H (31 Mei 1637 M), yaitu pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Sani. Ajaran Tasawuf Nurruddin Ar-Raniri menyinggung beberapa permasalahan seperti tentang Tuhan, alam, manusia, wujudiyyah, hubungan syariat dan hakikat, dan masih banyak lagi.
Syekh Siti Jenar merupakan sosok fenomenal dalam sejarah keislaman di Indonesia. Ia mempunyai ajaran yang sedikit berbeda dengan para tokoh Wali Songo yang pada saat itu menjadi basis Islam Indonesia. Atas dasar inilah, banyak yang mengklaim ajaran yang ia bawa adalah sesat. Terlepas dari itu semua, konsep dan ajaran Syekh Siti Jenar menjadi hal yang patut untuk dikaji. Ini menjadi bukti betapa kayanya khazanah keilmuan yang dimiliki oleh Islam.
            Beragam pemikiran keagamaan lahir dari seorang Syekh Siti Jenar. Beerapa ajaran yang dikenal masyarakat adalah tentang ajaran dan jalan kematian dan tentang Manunggaling Kawula Gusti (Warongko Manjing Curigo).

H.    DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, dkk. 2006. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Hadi, Hadi. 2001. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina.
Hamka. 1994. Tasauf, Perkembangan dan Permuniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Huda, Sokhi. 2008. Tasawuf Kultural: Fenomena Shalat Wahidiyah. Yogyakarta: Lkis
Karim, M. Abdul. 2007. Islam Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Mulkhan, Abdul Munir. 2006. Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Mulyani, Sri. 2006. Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana
Sholikhin, Muhammad. 2011. Ternyata Syekh Siti Jenar tidak Dieksekusi Wali Songo. Jakarta: Erlangga.

http://didinpratama.blogspot.com/2012/10/sejarah-perkembangan-tasawuf-dan.html  diakses pada hari senin, 29 April 2013 pada pukul 10.22 WIB


[1] Prof. Dr. M. Abdul Karim, Double MA, Islam Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm.51.
[2] Al-bidayah adalah definisi yang membicarakan tentang pengalaman pada tahap awal. Al-mujahadah adalah definisi yang membicarakan tentang pengalaman ruhani yang menyangkut kesungguhan dan kegiatan. Sedangkan al-mazaqah adalah definisi yang membericarakan pengalaman dari segi perasaan: Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalat Wahidiyah (Jakarta: Lkis, 2008), hlm. 25-27.
[3]http://wwwruanggelappenuhperenungancom.blogspot.com/2011/12/sekilas-sejarah-tasawuf-di-indonesia.html diakses pada tanggal 29 April 2013 pukul 09.23 WIB
[4] Prof. Dr. Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Permuniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), hlm. 211.
[5][5] Ibid., hlm. 212.
[6] Ibid., hlm. 213.
[7] Ibid., hlm. 213.
[8] http://didinpratama.blogspot.com/2012/10/sejarah-perkembangan-tasawuf-dan.html diakses pada hari senin, 29 April 2013 pada pukul 10.22 WIB
[9] Dr. Abdul Hadi W. M, Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 116.
[10] Dr Rosihan Anwar, M.Ag,dkk, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 177
[11] Ibid, hlm. 180.
[12] Dr. Hj. Sri mulyati, MA., Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkenal (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 113.
[13] KH. Muhammad Sholikhin, Ternyata Syekh Siti Jenar tidak Dieksekusi Wali Songo (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 2.
[14] Dr. Hj. Sri mulyati, MA., Tasawuf, hlm. 87.
[15] Dr. Rosihan Anwar, M.Ag, dkk, Ilmu, hlm. 177.
[16] Ibid. hlm. 177. Lihat juga Dr. Hj. Sri mulyati, MA., Tasawuf, hlm. 87.
[17] Dalam referensi lain gurunya bernama Abu Nafs Sayyid Imam bin ‘Abdullah bin Syaiban. Lihat Dr. Rosihan Anwar, M.Ag, dkk, Ilmu, hlm. 177.
[18] Dr. Hj. Sri mulyati, MA., Tasawuf, hlm. 90.
[19] Ibid., hlm. 90.
[20] Dr. Rosihan Anwar, M.Ag, dkk, Ilmu, hlm. 178-181.
[21] KH. Muhammad Sholikhin, Ternyata, hlm. 2.
[22] Dr. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2006), hlm. 3 dan Dr. Hj. Sri Mulyanti, MA, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 59.
[23] Konon cerita ini bermula ketika sang ayah, Resi Bungsu yang marah besar atas kesalahan yang dilakukan Syekh Siti Jenar (kala itu masih bernama Ali Hasan alias Abdul Jalil). Sang ayah kemudian menyihirnya sehingga berubah menjadi seorang cacing.  Ia kemudian dibuang ke sungai. Pada waktu itu, Sunan Bonang sedang berperahu mengajarkan ilmu gaib kepada Sunan Kalijaga. Ketika perahunya bocor, maka Sunan Bonang mengambil tanah yang kebetulan menjadi tempat beradanya Siti Jenar. Ketika Sunan Bonang mengetahui ada makhluk jadian yang menguping ajarannya, maka sang cacing pun diubah kembali ke wujud asalnya.  Dr. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran, hlm. 3-4.
[24]Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” Yang artinya: [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]: http://kanzunqalam.wordpress.com/2010/09/16/rasionalisasi-kisah-syaikh-siti-jenar/ diakses pada tanggal 10 April2013 pukul 16.00 WIB
[25] KH. Muhammad Sholikhin, Ternyata, hlm. 2.
[26] Ia mempunyai silsilah sebagai berikut: Syekh Datuk Saleh bin Syekh Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid Abdul Malik al-Qazam yang merupakan salah satu keturunan ulama terkenal Syekh Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi. Silsilah ini berpuncak pada Sayyidina Husain bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW: KH. Muhammad Sholikhin, Ternyata, hlm. 6-7.
[27] Ibid., hlm. 7.
[28] Ibid., Hal 21
[29] Ibid., hlm. 58.
[30] Dalam pernyataan Alam Babad Tanah Sunda terbitan Sulaeman Sulendraningrat (1982), pada bagian ke-44 yang menyatakan bahwa peristiwa wafatnya Syekh Siti jenar terjadi pada hari Rabu, bulan Safar tahun 1529 M. Berdasarkan konversi komputer Program Hijri-Gregorian Converter oleh Adel A. Al-Rumaih (1996-1997), hari Rabu bulan Safar 1529 M bertepatan dengan tanggal: (1) 3 Safar 936 H atau 6 Oktober 1529; (2) 10 Safar 936 H atau 13 Oktober 1529; (3) 17 Safar 936 H atau 20 Oktober 1529; (4) 24 Safar 936 H atau 20 Oktober 1529: Ibid., hlm. 58-59.
[31] KH. Muhammad Sholikhin, Ternyata, hlm. 63.
[32] Dr. Hj. Sri Mulyanti, MA, Tasawuf, hlm. 59.
[33] Dr. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran, hlm. 62.
[34] Dr. Hj. Sri Mulyanti, MA., Tasawuf, hlm. 61.
[35] Dr. Abdul Munir Mulkhan., Ajaran, hlm. 74.
[36] KH. Muhammad Sholikhin., Ternyata, hlm. 166.
[37] Dr. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran, hlm. 70-72 dan Dr. Hj. Sri Mulyanti, MA., Tasawuf, hlm. 61-62.
[39] Ibid.
[40] KH. Muhammad Sholikhin, Ternyata, hlm. 53.

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?