Oleh: Muhammad Qamaruddin
A.
MUQADDIMAH
Masuknya
tasawuf ke Indonesia tidak bisa lepas dari masuknya agama Islam itu sendiri.
Hal ini dikarenakan secara kebetulan, Islam pertama kali menyebar di Indonesia
terbaur dengan ajaran tasawuf yang lebih cenderung pada ajaran moral.[1]
Oleh karena itulah, ajaran Islam mudah diterima di masyarakat.
Dalam
Islam sendiri, ilmu tasawuf merupakan kajian ilmu yang mempunyai varian yang
bermacam-macam. Dalam perkembangannya, definisi tasawuf muncul begitu banyak.
Dari definisi-definisi tersebut belum didapati sebuah pengertian yang dapat
menggambarkan tasawuf secara menyeluruh.
Ibrahim
Basyuni menyatakan hal ini terjadi karena para ahli tasawuf tidak ada yang
memberikan defenisi tentang ilmunya sebagaimana para filsuf. Ahli tasawuf hanya menggambarkan tentang
suatu keadaan yang dialami dalam kehidupan ruhaninya pada waktu tertentu.
Menurutnya, beberapa definisi yang ada dapat dikelompokkan menjadi tiga,
pertama al-bidayah, kedua al-mujahadah, dan ketiga al-mazaqah.[2]
Tasawuf mempunyai peranan dan
pengaruh besar pada perkembangan Islam di Indonesia. Tasawuf merupakan salah
satu bagian dari metode penyebaran ajaran Islam. Dari sinilah kemudian
mempermudah berkembangnya Islam di
Indonesia.
A.
SEJARAH TASAWUF DI INDONESIA
Ada
beberapa pendapat mengenai kapan tepatnya tasawuf masuk ke Indonesia. Ada yang
berpendapat bahwa tasawuf mulai berperan dalam penyebaran agama islam sejak
abad ke-12 Masehi. Kitab tasawuf paling awal yang muncul di Nusantara ialah
karangan Abdullah Arif dengan tajuk Bahar al-Lahut (Lautan Ketuhanan).
Isi kitab ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran wujudiyah Ibn' Arabi dan
ajaran persatuan mistikal (fana) Al Hallaj. Syekh Abdullah Arif adalah pemuka
tasawuf dari Arab. Beliau tiba di Sumatera (perulak Pasai) pada tahun 1177 M.
Menurut T Arnol dalam bukunya yang berjudul The Preaching of Islam, Syekh
Abdullah Arif termasuk sufi paling awal yang menyebarkan Islam bercorak tasawuf
di Sumatera.[3]
Hamka menyebutkan bahwa pengaruh
madzhab Syafi’i lebih besar daripada pengaruh Al-Hallaj Asy-Syi’i di awal
sejarah perkembangan tasawuf di Indonesia. Syekh Yusuf bin Isma’il An-Nabhany
dalam kitabnya yang berjudul “Jami’ Karamatil Auliya” menjelaskan bahwa
Syekh Abdullah bin As’ad Al-Yafi’i, seorang guru tasawuf di Mekkah pernah
berguru dengan seorang “al-Jawy” (bangsa Jawa). Nama gurunya adalah Syekh Abu
‘Abdillah Mas’ud bin Abdillah al-Jawy.[4]
Memang tidak disebutkan secara pasti
kapan wafatnya Syekh Abu ‘Abdillah Mas’ud bin Abdillah al-Jawy. Tetapi dari
masa wafatnya Syekh Yafi’i sendiri (678 H/1367 M), dapat ditarik kesimpulan
sementara bahwa Syekh Yafi’i hidup
sezaman dengan Ibnu Bathuthah yang meninggal pada tahun 770 H/1369 M. Oleh
karena itu, bisa jadi Syekh Mas’ud bin Abdullah al-Jawy hidup di zaman kejayaan
Kerajaan Pasai Sumatera yang disebut oleh Ibnu Bathuthah sebagai “Negeri Jawa”.[5]
Ibnu Bathuthah sendiri pernah berkunjung ke Aceh pada tahun 746 H/1345 M.[6]
Secara umum memang tasawuf mulai
dikenal secara luas pada rentang abad ke-13 sampai ke-14. Hal ini dibuktikan
dengan munculnya paham-paham tarekat yang berkembang di Indonesia, seperti
Naqsabandiyah, Qadariyah, Idrusiyah, Rifa’iyah, Syatariyah, dan yang lainnya
antara abad ke-7 Hijriyah (abad 13 M).[7]
Terdapat
pertalian yang sedemikian erat antara tasawwuf dan tarekat. Di antara keduanya
tampak sulit dibedakan dan tak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang
lain. Tasawwuf adalah sebuah ideologi dari institusi yang menaunginya, yaitu
tarekat. Atau dengan kata lain, tarekat merupakan madzhab-madzhab dalam
tasawwuf. Dan tarekat merupakan implementasi dari suatu ajaran tasawwuf yang
kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi sufi dalam rangka
mengimplementasikan suatu ajaran tasawwuf secara bersama-sama.[8]
Setelah itu, dari abad ke abad
bermunculanlah para ahli tasawuf di Indonesia. Di antaranya adalah Hamzah
Fansuri (hidup pada pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17)[9],
Nuruddin ar-Raniri (meninggal 1658 M)[10],
Syekh Abdur Rauf al-Sinkili (1606-1637 M)[11],
Muhammad Nafis al-Banjari (lahir 1735 M)[12],
para wali songo, dan tak lupa juga tokoh fenomenal Syekh Siti Jenar (1348-1439 H/1426-1517 M).[13] Dalam
makalah ini hanya membicarakan beberapa tokoh sufi. Mereka adalah Nuruddin
ar-Raniri dan Syekh Siti Jenar.
A.
NURUDDIN AR-RANIRI
1.
Riwayat Hidup Nuruddin ar-Raniri
Nama
lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hanif
al-Hanif al-Raniri al-Quraisyi
al-Syafi’i[14].
Dalam literatur yang lain, disebutkan bahwa nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad
bin Hasanjin al-Hamid al-Syafi’i al-Raniri.[15]
Tidak ada yang mengetahui tahun kelahirannya secara pasti, tetapi kemungkinan
besar ada yang berpendapat bahwa ia hidup menjelang akhir abad ke-16.[16]
Ia dilahirkan di Ranir (sekarang
Rander) yang letaknya berdekatan dengan Surat di Gujarat. Setelah mendapatkan
pendidikan agama di Ranir, ia melanjutkan pelajarannya ke Tarim, wilayah
Hadramaut, Arab Selatan. Di sanalah ia
masuk dalam Tarekat Rifa’iyyah. Salah satu guru yang banyak mempengarui
pemikirannya adalah Syekh Said Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban.[17]
Ar-Raniri merupakan tokoh
pembaharuan di Aceh. Ia merantau ke Aceh pada tanggal 6 Muharram 1047 H (31 Mei
1637 M), yaitu pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Sani. Sebelumnya,
pamannya telah terlebih dahulu berdakwah di Aceh. Ia adalah Syekh Muhammad
Jailani Ibn Hasan ibn Muhammad Hamid ar-Raniri yang tiba ke ke Aceh (untuk
kedua kalinya) pada tahun 996 H (1588 M).[18]
Ada beberapa dugaan bahwa ar-Raniri
sebelum tahun 1637 M telah mendatangi Aceh. Namun karena belum adanya
penerimaan yang layak dari pihak Istana Sultan Iskandar Muda (meninggal 1636
M), maka ia memilih Pahang sebagai tempat menetapnya. Beberapa alasan kenapa
ar-Raniri saat itu belum diterima sepenuhnya di Aceh adalah adanya paham wujudiyyah
yang masih sangat menonjol kala itu. Tokohnya adalah Syekh Syamsuddin
as-Sumatrani (meninggal 1630 M) yang bertindak sebagai penasihat dan mufti
kerajaan. Dapat disimpulkan bahwa kemungkinan besar ajaran wujudiyyah sangat
berbeda dengan ajaran (baru) yang dibawa oleh ar-Raniri.[19]
Setelah mendapatkan tempat dari
pihak istana, ar-Raniri menjadi seorang Syekh Islam yang mempunyai otoritas
untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran wujudiyyah. Bahkan lebih jauh,
ia mengeluarkan fatwa yang mengarah pada perburuan terhadap orang-orang
beraliran wujudiyyah.
2. Ajaran Tasawuf Nurruddin Ar-Raniri[20]
a) Tentang Tuhan
Pendirian Ar-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat
kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakalimmin dengan paham para
sufi yang diwakili Ibn ‘Arabi. Ia berpendapat bahwa ungkapan” wujud
Allah dan Alam Esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriah
dari hakikatnya yang batin, yaitu Allah, sebagaimana yang dimaksud Ibn ‘Arabi.
Namun, ungkapan itu pada hakikatnya menjelaskan bahwa alam ini tidak ada. yang
ada hanyalah wujud Allah Yang Esa. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa alam ini
berbeda atau bersatu dengan Allah. Pandangan Al-Raniri hampir sama dengan Ibn
‘Arabi bahwa alam ini merupakan tajalli Allah. Namun, tafsiranya di
atas membuatnya terlepas dari label panteisme Ibn ‘Arabi.
b) Tentang Alam
Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah melalui tajalli.
Ia menolak teori Al-faidh (emanasi) Al-Farabi karena hal
itu dapat memunculkan pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga
menjerumuskan pada kemusyrikan. Alam dan falak, menurutnya, merupakan
wadah tajalli asma dan sifat Allah dalam bentuk yang kongkret.
Sifat ilmu ber-tajalli pada alam akal; Nama Rahman ber-tajalli pada arsy;
Nama Rahim ber-tajalli pada kursy; Nama
Raziq ber-tajalli pada falak ketujuh; dan seterusnya.
c) Tentang Manusia
Manusia, menurut Ar-Raniri, merupakan mahluk Allah yang paling sempurna di
dunia sebab manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan
dengan citra-Nya. Juga, karena ia mazhhar ( tempat kenyataan
asma dan sifat Allah paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insan kamil,
katanya, pada dasarnya hampir sama dengan apa yang telah digariskan Ibnu ‘Arabi.
d) Tentang Wujudiyyah
Inti ajaran wujudiyyah, menurut Ar-Raniri, berpusat pada wahdat
Al-wujud dapat membawa kepada kekafiran. Ar-Raniri berpandangan
bahwa jika benar Tuhan dan mahluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa
manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia dan jadilah seluruh mahluk
sebagai Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau baik, Allah turut
serta melakukanya. Jika demikian halnya, maka manusia mampu mempunyai
sifat-sifat Tuhan.
e) Tentang Hubungan Syari’at dan Hakikat
Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut Ar-Raniri merupakan sesuatu
yang tidak benar. Untuk menguatkan argumentasinya, ia mengajukan beberapa
pendapat pemuka sufi, di antaranya adalah Syeikh Abdullah Al-Aidarusi yang
menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah, kecuali melalui syari’at yang
merupakan pokok dan cabang islam.
B.
SYEKH SITI JENAR
1.
Riwayat Hidup Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar hidup pada abad
ke-16 M (1348-1439 H/1426-1517 M). Ia dilahirkan di lingkungan Pakuwuan Caruban
(Cirebon sekarang). Ia memiliki banyak nama. Terhitung ada 16 nama gelar yang
ia miliki. Di antara beberapa nama yang terkenal adalah San Ali, Syekh Abdul
Jalil, Syekh Lemah Abang, dan Syekh Siti Jenar. Nama terakhir merupakan nama
filosofis yang menggambarkan ajarannya tentang “Sangkan-Paran” yakni
bahwa manusia –secara biologis –hanya diciptakan dari sekedar tanah merah, dan
selebihnya adalah Zat Allah SWT. [21]
Ada yang menyebutkan bahwa Syekh
Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon. Konon dikatakan bahwa ia merupakan
putra dari seorang raja Pendeta yang bernama Resi Bungsu.[22]
Ada pula riwayat yang menyebutkan Syekh Siti Jenar merupakan penjelmaan dari
cacing.[23]
Hanya saja banyak yang menyalahkan riwayat yang terakhir ini. Dalam sebuah
naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat Jati, cerita yang masih sangat
populer tersebut dibantah secara tegas.[24]
KH.
Muhammad Sholikhin memberi kesimpulan bahwa Syekh Siti Jenar merupakan salah
satu keturunan ulama dari Malaka.[25]
Syekh Datuk Shaleh[26]
adalah ayah kandung Syekh Siti Jenar sekaligus seorang ulama terkenal di
Malaka. Ia memutuskan untuk pergi ke Kota Cirebon. Ia tinggal di sana beberapa
bulan lamanya sebelum akhirnya meninggal. Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti
Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau
Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, di bawah asuhan Syekh
datuk Kahfi.[27]
Setelah
berumur lima tahun, Syekh Siti Jenar diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi,
pengasuh Padepokan Giri Amparan Jati. Pada tahun 1445 M, setelah 15 tahun
menimba ilmu di Padepokan amparan Jati (kala itu ia berumur 19 tahun), ia
berniat untuk keluar dari pondok dan mendalami kerohaniannya (sufi).
Pengembaraan spritualnya pun dimulai. Beberapa tempat yang telah ia datangi, seperti
(kerajaan) Pajajaran, Palembang, Malaka, dan kemudian ke Timur Tengah. Ia
singgah ke Baghdad dan kemudian ke kota suci Mekkah. Sekembalinya dari Timur
Tengah (1463 M), Syekh Siti Jenar mulai menyebarkan ajaran dan pandangannya.
Pada saat itu ia telah berumur 37 tahun. Ia kembali ke Caruban Larang, Cirebon,
tempat kelahirannya yang sempat ia tinggalkan kurang lebih 17 tahun lamanya.[28]
Mengenai
kematian Syekh Siti Jenar, ada dua pendapat umum mengenai tahun kematian Syekh
Siti Jenar. Pertama, ia wafat pada tahun 1517 M. Ini mengacu pada asumsi vonis
hukuman mati oleh Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Giri pada masa
pemerintahan Raden Fatah.[29]
Kedua, Syekh Siti Jenar wafat pada tahun 1530 M, yaitu ada masa Kesultanan
Demak diperintah oleh Sultan Trenggono.[30]
Terkait proses kematiannya, berbagai
sumber memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Paling tidak terdapat tujuh
versi mengenai proses meninggalnya Syekh Siti Jenar, ini dengan mengecualikan
pendapat yang mengatakan ia wafat pada tahun 1530 M.[31]
2.
Ajaran Tasawuf Seykh Siti Jenar
a.
Ajaran Kematian Syekh Siti Jenar
Pemikiran
Syekh Siti Jenar dianggap amat liberal dan kontroversial. Ia dinilai melawan
arus besar keagamaan yang dibangun oleh kolaborasi kekuasaan Kerajaan Demak
Bintara pimpinan Raden Fatah dan agamawan yang terdiri dari Wali Songo.[32]
Para wali kerajaan menganggap Syekh Siti Jenar telah menyebarkan pemahaman
agama berdasar hawa nafsu, menyiarkan dan mengajarkan agama Islam menurut
pandangannya sendiri.[33]
Pemikiran Syekh Siti Jenar dalam
masalah hidup dan mati memiliki makna berbeda dari apa yang diajarkan para Wali
Songo. Siti Jenar menerangkan tentang kematian, kehidupan, dan jalan menuju
kebebasan serta bagaimana cara meraih dua hal itu, hidup dan mati. konsep ini
dikenal dengan sebagai ‘Lima Langkah Kebebasan’.[34]
Masing-masing langkah itu ialah sebagai berikut:
1.
Ia
mengajarkan tentang asal usul kehidupan.
2.
Ia
mengajarkan tentang masalah yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang
disebut sebagai pintu kehidupan.
3.
Ia menunjukkan
tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal dan abadi.
4.
Ia
menunjukkan tempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani manusia sekarang.
5.
Ia
mengajarkan tentang adanya Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa.[35]
Syekh
Siti Jenar beranggapan bahwa dunia ini adalah alam kematian. Maka, manusia yang
hidup di dunia bersifat mayat atau bangkai. Kehidupan di dunia sekarang ini
bukanlah kehidupan yang sejati, karena masih akan dihampiri oleh kematian.
Sedangkan kehidupan sejati adalah kehidupan yang sudah tidak tersentuh lagi
oleh kematian. Hidup sejati adalah kehidupan yang tidak lagi menumpang pada
badan wadak yang bisa rusak atau musnah. Kehidupan sejati tidak membutuhkan
pemenuhan nafsu-nafsu badaniah.[36]
Karena itu, Siti Jenar begitu
merindukan hidupnya yang dulu sebelum ia lahir ke dunia, tatkala masih dalam
keadaan suci. Baginya,kelahiran di dunia di dalam alam kematian, membuat
manusia begitu susah payah dan amat berat. Manusia terikat pancaindra,
menggunakan keinginan hidup yang dua puluh sifatnya, sehingga manusia hampir
tergila-gila di dalam alam kematian. Di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa
seluruh alam ini adalah mayyitun.
Kekuasaan
dan semua harta benda yang terdapat di dunia ini akan musnah menjadi tanah.
Manusia juga sering merasa dirinya yang paling cukup dan pandai. Padahal
sejatinya mereka hanyalah berupa mayat. Siti Jenar memandang kehidupan di dunia
ini sebagai kematian yang singgah di dalam raganya. Inilah yang membuat manusia
tersesat di dunia di dalam neraka yang dahsyat. Kehidupan abadi yang
sesungguhnya itu hanya bisa dijalani setelah seorang manusia menemui ajalnya.
Dalam alam kehidupan yang nyata itulah, ketentuan syariah baru bisa berlaku.[37]
b.
Manunggaling Kawula Gusti (
Warongko Manjing Curigo )
Manunggaling
Kawula Gusti sering
diartikan bahwa menyatunya manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti).[38] Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat
bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling
Kawula Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya,
melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan
kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam
ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri
manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran
yang menerangkan tentang penciptaan manusia:
“Ketika Tuhanmu
berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari
tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya
roh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." (Q.S. Shaad: 71-72).
Dengan
demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan di kala penyembahan terhadap
Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an dari para murid Syekh Siti
inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh
Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti.[39] Padahal
jika diamati, sebetulnya ajaran ini merupakan ajaran kebatinan dalam artian
luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah. Sehingga
ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain
adalah bersatunya manusia dengan manusia (Manunggaling Kawula Gusti).[40]
G.
KESIMPULAN
Ada
beberapa pendapat mengenai kapan tepatnya tasawuf masuk ke Indonesia. Ada yang
berpendapat bahwa tasawuf mulai berperan dalam penyebaran agama islam sejak
abad ke-12 Masehi. Yang pastinya, secara umum memang tasawuf mulai dikenal
secara luas pada rentang abad ke-13 sampai ke-14. Hal ini dibuktikan dengan
munculnya paham-paham tarekat yang berkembang di Indonesia, seperti
Naqsabandiyah, Qadariyah, Idrusiyah, Rifa’iyah, Syatariyah, dan yang lainnya
antara abad ke-7 Hijriyah (abad 13 M). Dari abad ke abad bermunculanlah para
ahli tasawuf di Indonesia.
Nuruddin
Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hanif al-Hanif al-Raniri al-Quraisyi al-Syafi’i merupakan
tokoh pembaharuan di Aceh. Ada yang berpendapat bahwa ia hidup menjelang akhir
abad ke-16. Ia merantau ke Aceh pada tanggal 6 Muharram 1047 H (31 Mei 1637 M),
yaitu pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Sani. Ajaran Tasawuf Nurruddin Ar-Raniri menyinggung beberapa permasalahan
seperti tentang Tuhan, alam, manusia, wujudiyyah, hubungan syariat dan hakikat,
dan masih banyak lagi.
Syekh
Siti Jenar merupakan sosok fenomenal dalam sejarah keislaman di Indonesia. Ia
mempunyai ajaran yang sedikit berbeda dengan para tokoh Wali Songo yang pada
saat itu menjadi basis Islam Indonesia. Atas dasar inilah, banyak yang
mengklaim ajaran yang ia bawa adalah sesat. Terlepas dari itu semua, konsep dan
ajaran Syekh Siti Jenar menjadi hal yang patut untuk dikaji. Ini menjadi bukti
betapa kayanya khazanah keilmuan yang dimiliki oleh Islam.
Beragam pemikiran keagamaan lahir
dari seorang Syekh Siti Jenar. Beerapa ajaran yang dikenal masyarakat adalah
tentang ajaran dan jalan kematian dan tentang Manunggaling Kawula Gusti (Warongko
Manjing Curigo).
H.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan,
dkk. 2006. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Hadi, Hadi.
2001. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah
Fansuri. Jakarta: Paramadina.
Hamka. 1994. Tasauf,
Perkembangan dan Permuniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Huda,
Sokhi. 2008. Tasawuf Kultural: Fenomena Shalat Wahidiyah. Yogyakarta:
Lkis
Karim, M.
Abdul. 2007. Islam Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Mulkhan,
Abdul Munir. 2006. Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Mulyani,
Sri. 2006. Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta:
Kencana
Sholikhin,
Muhammad. 2011. Ternyata Syekh Siti Jenar tidak Dieksekusi Wali Songo.
Jakarta: Erlangga.
http://kanzunqalam.wordpress.com/2010/09/16/rasionalisasi-kisah-syaikh-siti-jenar/
diakses pada tanggal 10 April2013 pukul 16.00 WIB
http://amaliazahrah.blogspot.com/2012/03/makalah-syekh-siti-jenar.html?zx=e76612f8f9e12e0f
diakses pada tanggal 10 April 2013 pukul 10.08 WIB
http://sekularis.blogspot.com/2012/05/konsep-ajaran-manunggaling-kawula-gusti.html
diakses pada tanggal 11 April 2013 pukul 12.05 WIB
http://didinpratama.blogspot.com/2012/10/sejarah-perkembangan-tasawuf-dan.html diakses pada hari senin, 29 April 2013 pada
pukul 10.22 WIB
[1] Prof. Dr. M.
Abdul Karim, Double MA, Islam Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2007), hlm.51.
[2] Al-bidayah adalah
definisi yang membicarakan tentang pengalaman pada tahap awal. Al-mujahadah adalah
definisi yang membicarakan tentang pengalaman ruhani yang menyangkut
kesungguhan dan kegiatan. Sedangkan al-mazaqah adalah definisi yang
membericarakan pengalaman dari segi perasaan: Sokhi Huda, Tasawuf Kultural:
Fenomena Shalat Wahidiyah (Jakarta: Lkis, 2008), hlm. 25-27.
[3]http://wwwruanggelappenuhperenungancom.blogspot.com/2011/12/sekilas-sejarah-tasawuf-di-indonesia.html
diakses pada tanggal 29 April 2013 pukul 09.23 WIB
[4] Prof. Dr.
Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Permuniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1994), hlm. 211.
[6] Ibid.,
hlm. 213.
[7] Ibid.,
hlm. 213.
[8] http://didinpratama.blogspot.com/2012/10/sejarah-perkembangan-tasawuf-dan.html
diakses pada hari senin, 29 April 2013 pada pukul 10.22 WIB
[9] Dr. Abdul Hadi
W. M, Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah
Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 116.
[10] Dr Rosihan
Anwar, M.Ag,dkk, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 177
[11] Ibid,
hlm. 180.
[12] Dr. Hj. Sri
mulyati, MA., Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkenal
(Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 113.
[13] KH. Muhammad
Sholikhin, Ternyata Syekh Siti Jenar tidak Dieksekusi Wali Songo
(Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 2.
[14] Dr. Hj. Sri
mulyati, MA., Tasawuf, hlm. 87.
[15] Dr. Rosihan
Anwar, M.Ag, dkk, Ilmu, hlm. 177.
[16] Ibid.
hlm. 177. Lihat juga Dr. Hj. Sri mulyati, MA., Tasawuf, hlm. 87.
[17] Dalam
referensi lain gurunya bernama Abu Nafs Sayyid Imam bin ‘Abdullah bin Syaiban. Lihat
Dr. Rosihan Anwar, M.Ag, dkk, Ilmu, hlm. 177.
[18] Dr. Hj. Sri
mulyati, MA., Tasawuf, hlm. 90.
[19] Ibid.,
hlm. 90.
[20] Dr. Rosihan
Anwar, M.Ag, dkk, Ilmu, hlm. 178-181.
[21] KH. Muhammad
Sholikhin, Ternyata, hlm. 2.
[22] Dr. Abdul
Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (Kreasi
Wacana: Yogyakarta, 2006), hlm. 3 dan Dr. Hj. Sri Mulyanti, MA, Tasawuf
Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.
59.
[23] Konon cerita
ini bermula ketika sang ayah, Resi Bungsu yang marah besar atas kesalahan yang
dilakukan Syekh Siti Jenar (kala itu masih bernama Ali Hasan alias Abdul
Jalil). Sang ayah kemudian menyihirnya sehingga berubah menjadi seorang
cacing. Ia kemudian dibuang ke sungai.
Pada waktu itu, Sunan Bonang sedang berperahu mengajarkan ilmu gaib kepada
Sunan Kalijaga. Ketika perahunya bocor, maka Sunan Bonang mengambil tanah yang
kebetulan menjadi tempat beradanya Siti Jenar. Ketika Sunan Bonang mengetahui
ada makhluk jadian yang menguping ajarannya, maka sang cacing pun diubah
kembali ke wujud asalnya. Dr. Abdul
Munir Mulkhan, Ajaran, hlm. 3-4.
[24] “Wondene
kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun
inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.”
Yang artinya: [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu
berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan
rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]: http://kanzunqalam.wordpress.com/2010/09/16/rasionalisasi-kisah-syaikh-siti-jenar/ diakses pada
tanggal 10 April2013 pukul 16.00 WIB
[25] KH. Muhammad
Sholikhin, Ternyata, hlm. 2.
[26] Ia mempunyai
silsilah sebagai berikut: Syekh Datuk Saleh bin Syekh Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah
Jamaludin Husain bin Syekh Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid Abdul Malik
al-Qazam yang merupakan salah satu keturunan ulama terkenal Syekh Isa
al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi. Silsilah ini berpuncak pada Sayyidina Husain
bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW: KH. Muhammad Sholikhin, Ternyata,
hlm. 6-7.
[27] Ibid.,
hlm. 7.
[28] Ibid.,
Hal 21
[29] Ibid.,
hlm. 58.
[30] Dalam
pernyataan Alam Babad Tanah Sunda terbitan Sulaeman Sulendraningrat (1982),
pada bagian ke-44 yang menyatakan bahwa peristiwa wafatnya Syekh Siti jenar
terjadi pada hari Rabu, bulan Safar tahun 1529 M. Berdasarkan konversi komputer
Program Hijri-Gregorian Converter oleh Adel A. Al-Rumaih (1996-1997), hari Rabu
bulan Safar 1529 M bertepatan dengan tanggal: (1) 3 Safar 936 H atau 6 Oktober
1529; (2) 10 Safar 936 H atau 13 Oktober 1529; (3) 17 Safar 936 H atau 20
Oktober 1529; (4) 24 Safar 936 H atau 20 Oktober 1529: Ibid., hlm.
58-59.
[31] KH. Muhammad
Sholikhin, Ternyata, hlm. 63.
[32] Dr. Hj. Sri
Mulyanti, MA, Tasawuf, hlm. 59.
[33] Dr. Abdul
Munir Mulkhan, Ajaran, hlm. 62.
[34] Dr. Hj. Sri
Mulyanti, MA., Tasawuf, hlm. 61.
[35] Dr. Abdul
Munir Mulkhan., Ajaran, hlm. 74.
[36] KH. Muhammad
Sholikhin., Ternyata, hlm. 166.
[37] Dr. Abdul
Munir Mulkhan, Ajaran, hlm. 70-72 dan Dr. Hj. Sri Mulyanti, MA., Tasawuf,
hlm. 61-62.
[38] http://sekularis.blogspot.com/2012/05/konsep-ajaran-manunggaling-kawula-gusti.html diakses pada
tanggal 11 April 2013 pukul 12.05 WIB
[39] Ibid.
[40] KH. Muhammad
Sholikhin, Ternyata, hlm. 53.
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?