Oleh: Muhammad Qamaruddin
133. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan
kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa.”
134. “(yaitu) orang-orang
yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(QS Ali Imran [3]: 133-134)
Pembaca yang
dirahmati oleh Allah SWT.
Manusia tidak
pernah luput dari kesalahan dan kekhilafan. Godaan dan tipu daya setan
sangatlah kuat. Hal inilah yang kadang menyebabkan manusia terjerumus pada
lembah kemaksiatan. Namun Allah senantiasa menunjukkan Rahman dan Rahim-Nya.
Apabila seorang Muslim telah sadar dan menyesal atas kesalahannya, lalu ia
pun kemudian bertobat, maka Allah akan memberikan pintu ampunan kepadanya.
Seorang muslim
yang bertaqwa, maka ia akan senantiasa menaati perintah Allah dan rasul-Nya
serta menjauhi segala larangan-Nya. Allah akan memberikan surga yang luasnya
seluas langit dan bumi. hal ini sesuai dengan apa yang Allah SWT firmankan
dalam surat Ali Imran [3]: 133. Dalam ayat tersebut, Allah SWT memerintahkan
kepada kaum Muslim agar bersegera menuju ampunan-Nya. Allah SWT juga menegaskan
bahwa surga yang luasnya seluas langit dan bumi hanya akan disediakan bagi
orang-orang yang bertaqwa (al-Muttaqin).
Pada ayat
selanjutnya (QS Ali Imran [3]: 134), Allah SWT menerangkan ciri-ciri dan
karakteristik orang-orang yang bertaqwa. Dengan gambaran inilah, seorang
manusia akan mudah untuk menjadi orang yang bertaqwa. Setidaknya ada tiga
karakter yang diterangkan dalam ayat tersebut. Yaitu 1) orang-orang yang
menafkahkan hartanya, 2) orang-orang yang menahan amarahnya, dan 3) orang-orang
yang memaafkan kesalahan orang lain.
Orang-Orang Yang Suka Menafkahkan Harta
Dalam
penggalan ayat 134 surat Ali Imran, Allah SWT berfirman yang artinya, “(yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” Dalam
ayat ini digambarkan bahwa orang-orang yang bertaqwa akan senantiasa
menafkahkan hartanya dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan as-sarrâ’
(lapang) maupun adh-dharrâ (sempit). Saat kaya ataupun miskin, senang
ataupun susah, dan pada saat mendapatkan kebahagiaan ataupun ujian.
Berinfak (harta)
tidak hanya pada terbatas pada kehalalannya, tetapi juga pada kelayakannya.
Sayangnya banyak yang melupakan hal tersebut. Seringkali kita menemukan
orang-orang yang berinfak, namun bukanlah sesuatu yang layak dan kondisinya
sangat menyedihkan. Sehingga yang diberikan itu hanya menjadi sesuatu yang
tidak kita perlukan lagi. Justru Allah SWT menganjurkan kita untuk menginfakkan
dan menafkahkan sebagian harta kita yang sangat dicintai. Sebagaimana Allah
menerangkannya dalam ayat yang lain, “Kalian sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang
kalian cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya.” (QS Ali Imran [3]: 92).
Senang bersedekah
dan bersedekah mempunyai banyak keutamaan. Banyak sekali ayat dalam al-Qur’an
yang menyinggung tentang sedekah dan infak selain surat Ali Imran [3]: 134.
Misalnya al-Baqarah [1]: 261 yang menyebutkan pahala sedekah dilipatgandakan
sampai 700 kali, al-Baqarah [1]: 271 yang menyebutkan bahwa sedekah dapat
menghapus dosa, at-Taubah [9]: 103 tentang sedekah yang dapat membersihkan dan
mensucikan, al-Ma’arij [70]: 18-25 tentang sedekah yang menyembuhkan penyakit
kejiwaan, al-Lail [92]: tentang sedekah yang memudahkan kesulitan, dan masih
banyak lagi.
Selain itu kita
harus tetap menjaga keikhlasan dalam berinfak, tidak riya, atau mencari
ketenaran dengan infak yang diberikan tersebut. Terlebih lagi kita juga harus
menghindari dari menyakiti hati orang yang kita beri.
Orang-Orang Yang Menahan Amarah
Karakter
kedua yang disebutkan di dalam firman Allah (Ali Imran [3]: 134) yaitu
orang-orang yang menahan amarahnya (wa al-kâzhimîn
al-ghayzh). Beberapa mufassir berpendapat bahwa kata al-ghayzh di
dalam ayat ini berarti al-ghadab (marah). Perasaan marah dapat
diwujudkan dalam bentuk ucapan seperti celaan, umpatan, menghina, dan
semacamnya. Perasaan marah dapat juga dalam bentuk perbuatan seperti memukul,
menendang, mencubit, menampar, dan semacamnya. Oleh karena itu, menahan marah
berarti menahan diri dari ucapan atau perbuatan yang menjadi bentuk pelampiasan
rasa amarah tersebut.
Marah merupakan
sifat alami yang dimiliki oleh setiap manusia. Apalagi jika itu timbul karena
perbuatan salah dan jahat. Namun Islam tidak mengajarkan para penganutnya untuk
melampiaskan rasa amarah tersebut. apalagi jika pelampiasan tersebut dapat
membawa pelaku melanggar norma-norma syari’ah. Menahan amarah jauh lebih baik
daripada melampiaskannya.
Sehubungan dengan
menahan amarah, penulis teringat cerita sahabat nabi, Ali bin Abi Thalib RA.
Pada suatu ketika dalam sebuah peperangan (ada yang mengatakan dalam Perang
Khandaq) berhasil memojokkan musuhnya. Saat Ali RA ingin menghunuskan
pedangnya, tiba-tiba saja musuh meludahi muka Ali RA. Ia pun mengurungkan
niatnya untuk membunuhnya. Sang musuh menjadi bingung melihat hal tersebut. Ia
pun bertanya kenapa Ali RA urung membunuhnya, padahal ia sudah tidak mungkin
lagi lari ataupun membela diri. Maka Ali bin Abi Thalib RA menjawab, “”Ketika
aku menjatuhkanmu aku ingin membunuhmu karena Allah akan tetapi ketika engkau
meludahiku maka niatku membunuhku karena amarahku kepadamu”. Subhanallah!
Bahkan kemarahan itu pun ditahan oleh Ali RA, sekalipun dengan musuhnya!
Lain dari pada
itu, Rasulullah SAW mengajarkan beberapa metode untuk meredakan Sesungguhnya
marah itu dari setan dan sesungguhnya setan itu diciptakan dari api, sementara
api bisa dipadamkan oleh air. Karena itu, jika salah seorang di antara kalian
sedang marah, hendaklah dia berwudhu” (HR Abu Dawud dari Athiyah).
Orang-Orang Yang Memaafkan
Adapun karakter
ketiga yang termaktub dalam surat Ali Imran ayat 134 adalah –orang-orang– yang
memaafkan (kesalahan) orang lain (wa al-‘âfîna ‘an al-nâs). Seorang
muslim yang bertaqwa adalah orang yang yang mampu berbuat baik kepada orang
lain, dengan cara tidak menyakitinya, baik dengan perkataan ataupun dengan
perbuatan. Ia selalu menyebarkan kebaikan dan kedamaian, memberikan maaf
sebelum orang meminta maaf. Bahkan ia adalah orang yang akan selalu berbuat
baik meskipun kepada orang yang pernah menyakitinya atau yang pernah berbuat
jahat kepadanya sekalipun. Dalam ayat
lain, Allah SWT berfirman, “jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang yang
mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”
(QS Al-A’raf [7]: 199).
Orang yang mudah
tersinggung atau marah hanya karena masalah sepele, maka sesungguhnya ia adalah
cermin seorang yang mempunyai kepribadian rapuh. Ia tidak dapat mengendalikan
dirinya sendiri sehingga mudah marah. Inilah sebab kadang orang dapat melakukan
sesuatu di luar kendalinya. Ingatlah ketika seseorang datang kepada Rasulullah
SAW untuk meminta nasihat, maka Rasulullah SAW, “Jangan marah.” (HR. Bukhari).
Hal itu diulangi sampai tiga kali. Bahkan Rasulullah SAW pun menyatakan bahwa
orang kuat itu bukanlah orang yang selalu menang bergulat, berkelahi, atau
sebagainya. Namun, orang yang kuat itu sesungguhnya orang yang dapat menguasai
dirinya ketika marah.
Epilog
Dari firman Allah
di atas, kita telah mendapatkan tiga karakter orang yang bertaqwa, yaitu ia
yang suka menafkahkan hartanya, menahan amarahnya, dan memafkan kesalahan orang
lain. Penulis juga telah mencoba untuk menguraikan ketiga karakter tersebut. semoga
kita semua termasuk daripada orang-orang yang bertaqwa. Semoga kita dapat
mewujudkan karakter orang yang bertaqwa dalam diri kita, sehingga surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan oleh Allah SWT, diberikan
untuk kita kelak. Semoga Allah selalu memberikan ampunan bagi kita semua. Amin.
Wallahu ‘Alamu Bishshawab.
Muhammad
Qamaruddin
Staff Divisi
PSDS OSPP UII
& Santri PP
UII
0 komentar:
Posting Komentar
apa komentar anda tentang bacaan ini?