Minggu, 30 Juni 2013

INILAH KARAKTER ORANG YANG BERTAQWA



 Oleh: Muhammad Qamaruddin

133. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
134. “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(QS Ali Imran [3]: 133-134)


            Pembaca yang dirahmati oleh Allah SWT.
            Manusia tidak pernah luput dari kesalahan dan kekhilafan. Godaan dan tipu daya setan sangatlah kuat. Hal inilah yang kadang menyebabkan manusia terjerumus pada lembah kemaksiatan. Namun Allah senantiasa menunjukkan Rahman dan Rahim-Nya. Apabila seorang Muslim telah sadar dan menyesal atas kesalahannya, lalu ia pun kemudian bertobat, maka Allah akan memberikan pintu ampunan kepadanya.

Seorang muslim yang bertaqwa, maka ia akan senantiasa menaati perintah Allah dan rasul-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. Allah akan memberikan surga yang luasnya seluas langit dan bumi. hal ini sesuai dengan apa yang Allah SWT firmankan dalam surat Ali Imran [3]: 133. Dalam ayat tersebut, Allah SWT memerintahkan kepada kaum Muslim agar bersegera menuju ampunan-Nya. Allah SWT juga menegaskan bahwa surga yang luasnya seluas langit dan bumi hanya akan disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa (al-Muttaqin).
            Pada ayat selanjutnya (QS Ali Imran [3]: 134), Allah SWT menerangkan ciri-ciri dan karakteristik orang-orang yang bertaqwa. Dengan gambaran inilah, seorang manusia akan mudah untuk menjadi orang yang bertaqwa. Setidaknya ada tiga karakter yang diterangkan dalam ayat tersebut. Yaitu 1) orang-orang yang menafkahkan hartanya, 2) orang-orang yang menahan amarahnya, dan 3) orang-orang yang memaafkan kesalahan orang lain.

Orang-Orang Yang Suka Menafkahkan Harta
            Dalam penggalan ayat 134 surat Ali Imran, Allah SWT berfirman yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” Dalam ayat ini digambarkan bahwa orang-orang yang bertaqwa akan senantiasa menafkahkan hartanya dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan as-sarrâ’ (lapang) maupun adh-dharrâ (sempit). Saat kaya ataupun miskin, senang ataupun susah, dan pada saat mendapatkan kebahagiaan ataupun ujian.
            Berinfak (harta) tidak hanya pada terbatas pada kehalalannya, tetapi juga pada kelayakannya. Sayangnya banyak yang melupakan hal tersebut. Seringkali kita menemukan orang-orang yang berinfak, namun bukanlah sesuatu yang layak dan kondisinya sangat menyedihkan. Sehingga yang diberikan itu hanya menjadi sesuatu yang tidak kita perlukan lagi. Justru Allah SWT menganjurkan kita untuk menginfakkan dan menafkahkan sebagian harta kita yang sangat dicintai. Sebagaimana Allah menerangkannya dalam ayat yang lain, “Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran [3]: 92).
            Senang bersedekah dan bersedekah mempunyai banyak keutamaan. Banyak sekali ayat dalam al-Qur’an yang menyinggung tentang sedekah dan infak selain surat Ali Imran [3]: 134. Misalnya al-Baqarah [1]: 261 yang menyebutkan pahala sedekah dilipatgandakan sampai 700 kali, al-Baqarah [1]: 271 yang menyebutkan bahwa sedekah dapat menghapus dosa, at-Taubah [9]: 103 tentang sedekah yang dapat membersihkan dan mensucikan, al-Ma’arij [70]: 18-25  tentang sedekah yang menyembuhkan penyakit kejiwaan, al-Lail [92]: tentang sedekah yang memudahkan kesulitan, dan masih banyak lagi.
            Selain itu kita harus tetap menjaga keikhlasan dalam berinfak, tidak riya, atau mencari ketenaran dengan infak yang diberikan tersebut. Terlebih lagi kita juga harus menghindari dari menyakiti hati orang yang kita beri.  

Orang-Orang Yang Menahan Amarah
            Karakter kedua yang disebutkan di dalam firman Allah (Ali Imran [3]: 134) yaitu orang-orang yang menahan amarahnya (wa al-kâzhimîn al-ghayzh). Beberapa mufassir berpendapat bahwa kata al-ghayzh di dalam ayat ini berarti al-ghadab (marah). Perasaan marah dapat diwujudkan dalam bentuk ucapan seperti celaan, umpatan, menghina, dan semacamnya. Perasaan marah dapat juga dalam bentuk perbuatan seperti memukul, menendang, mencubit, menampar, dan semacamnya. Oleh karena itu, menahan marah berarti menahan diri dari ucapan atau perbuatan yang menjadi bentuk pelampiasan rasa amarah tersebut.
            Marah merupakan sifat alami yang dimiliki oleh setiap manusia. Apalagi jika itu timbul karena perbuatan salah dan jahat. Namun Islam tidak mengajarkan para penganutnya untuk melampiaskan rasa amarah tersebut. apalagi jika pelampiasan tersebut dapat membawa pelaku melanggar norma-norma syari’ah. Menahan amarah jauh lebih baik daripada melampiaskannya.
            Sehubungan dengan menahan amarah, penulis teringat cerita sahabat nabi, Ali bin Abi Thalib RA. Pada suatu ketika dalam sebuah peperangan (ada yang mengatakan dalam Perang Khandaq) berhasil memojokkan musuhnya. Saat Ali RA ingin menghunuskan pedangnya, tiba-tiba saja musuh meludahi muka Ali RA. Ia pun mengurungkan niatnya untuk membunuhnya. Sang musuh menjadi bingung melihat hal tersebut. Ia pun bertanya kenapa Ali RA urung membunuhnya, padahal ia sudah tidak mungkin lagi lari ataupun membela diri. Maka Ali bin Abi Thalib RA menjawab, “”Ketika aku menjatuhkanmu aku ingin membunuhmu karena Allah akan tetapi ketika engkau meludahiku maka niatku membunuhku karena amarahku kepadamu”. Subhanallah! Bahkan kemarahan itu pun ditahan oleh Ali RA, sekalipun dengan musuhnya!
            Lain dari pada itu, Rasulullah SAW mengajarkan beberapa metode untuk meredakan Sesungguhnya marah itu dari setan dan sesungguhnya setan itu diciptakan dari api, sementara api bisa dipadamkan oleh air. Karena itu, jika salah seorang di antara kalian sedang marah, hendaklah dia berwudhu” (HR Abu Dawud dari Athiyah).

Orang-Orang Yang Memaafkan
            Adapun karakter ketiga yang termaktub dalam surat Ali Imran ayat 134 adalah –orang-orang– yang memaafkan (kesalahan) orang lain (wa al-‘âfîna ‘an al-nâs). Seorang muslim yang bertaqwa adalah orang yang yang mampu berbuat baik kepada orang lain, dengan cara tidak menyakitinya, baik dengan perkataan ataupun dengan perbuatan. Ia selalu menyebarkan kebaikan dan kedamaian, memberikan maaf sebelum orang meminta maaf. Bahkan ia adalah orang yang akan selalu berbuat baik meskipun kepada orang yang pernah menyakitinya atau yang pernah berbuat jahat kepadanya sekalipun.    Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, “jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang yang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (QS Al-A’raf [7]: 199).
            Orang yang mudah tersinggung atau marah hanya karena masalah sepele, maka sesungguhnya ia adalah cermin seorang yang mempunyai kepribadian rapuh. Ia tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri sehingga mudah marah. Inilah sebab kadang orang dapat melakukan sesuatu di luar kendalinya. Ingatlah ketika seseorang datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta nasihat, maka Rasulullah SAW, “Jangan marah.” (HR. Bukhari). Hal itu diulangi sampai tiga kali. Bahkan Rasulullah SAW pun menyatakan bahwa orang kuat itu bukanlah orang yang selalu menang bergulat, berkelahi, atau sebagainya. Namun, orang yang kuat itu sesungguhnya orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah.

Epilog
            Dari firman Allah di atas, kita telah mendapatkan tiga karakter orang yang bertaqwa, yaitu ia yang suka menafkahkan hartanya, menahan amarahnya, dan memafkan kesalahan orang lain. Penulis juga telah mencoba untuk menguraikan ketiga karakter tersebut. semoga kita semua termasuk daripada orang-orang yang bertaqwa. Semoga kita dapat mewujudkan karakter orang yang bertaqwa dalam diri kita, sehingga surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan oleh Allah SWT, diberikan untuk kita kelak. Semoga Allah selalu memberikan ampunan bagi kita semua. Amin. Wallahu ‘Alamu Bishshawab.


Muhammad Qamaruddin
Staff Divisi PSDS OSPP UII
& Santri PP UII

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?