Sabtu, 15 Oktober 2011

KENYATAAN YANG TIDAK NYATA




            Langit begitu cerah. Sinar matahari menyelinap di sela-sela awan yang tidak sepenuhnya menyelimuti angkasa. Sungguh panorama pagi yang sangat indah. Namun tidak bagi Ari. Keindahan itu terlihat hampa di matanya. Penyebabnya adalah ibunya. Hari ini dia benar-benar kesal kepada ibunya.
            “Huh! Apa sulitnya sih mengabulkan permintaanku! Nggak punya perasaan!” Ketusnya.
            Dua jam lalu, Ari merengek kepada ibunya agar ulang tahunnya yang kedua belas dirayakan dengan mengadakan pesta yang dihadiri oleh seluruh teman-temannya,  sebuah pesta yang dipenuhi lampu yang terang benderang, dipenuhi kue-kue yang enak, sambil bernyanyi bersama-sama, begitulah kira-kira yang diinginkan Ari.  Namun sayang, ibunya menolak usulan tersebut. Ibunya lebih setuju kalau diadakan selamatan saja seperti tahun-tahun sebelumnya. Selain tidak boros, acara tersebut juga sesuai dengan ajaran agama islam sebagai wujud mensyukuri nikmat umur yang telah diberikan Tuhan kepada kita sehingga kita masih bisa berbuat kebaikan lebih banyak lagi. Tapi dasar Ari, ia sepertinya telah terpengaruh oleh cerita teman-temannya yang mempunyai uang berlebih dan selalu menyombongkan diri, yang mengadakan pesta ulang tahun dengan kue ulang tahun yang sangat besar. Pikirnya, apa sih bedanya acara ulang tahun sambil meniup lilin dengan acara selamatan, keduanya sama-sama mengeluarkan duit, paling juga nambah dikit. dia berpikir, ibunya terlalu sayang duit. kini dia sangat sebal kepada ibunya. Padahal ulang tahunnya tinggal dua hari lagi.
            Kini Ari sedang duduk di samping danau di dekat rumahnya. Dia melampiaskan kekesalannya dengan melemparkan batu sekuat tenaganya ke arah danau.
            “Mama peliiiiit!” Teriaknya.
            Wah! Ari benar-benar marah!
            Setelah beberapa menit berlalu, kekesalannya mulai berkurang. Dalam hatinya, dia berharap ibunya mau memikirkan usulannya sekali lagi. Dia memutuskan untuk pergi ke rumah Kabir, teman sekelasnya. Dia ingin menginap di sana. Ari berpikir, mungkin dengan kepergiannya dari rumah, hati ibunya akan luluh dan mengubah keputusannya.
            “Kabir pasti bisa membantuku!”ujarnya pada diri sendiri. Sejurus kemudian Ari bergegas pergi ke sana. Rumah Kabir tidak begitu jauh dari danau. Ia hanya perlu berjalan untuk sampai ke sana. Tak selang beberapa lama kemudian, Ari sudah melihat rumah Ari di seberang jalan.
           “Itu dia rumahnya! Yup! Ayo kita ke sana!” Ari menyeberang jalan tanpa menoleh ke samping kiri dan kanan. Ari tidak menyadari kalau sebuah sepeda motor melaju dengan cepatnya. Dan…..
            bruak!
            Tubuhnya terlampir ke samping jalan. Pandangannya buyar. Kepalanya berdarah! Dan…..akh! tangannya tertindih badan dan…..patah! kepalanya sakit tak tertahankan. Selanjutnya kegelapan menyelubungi pandangannya. Gelap….gelap sekali…..

* * *

            Ibu Ari tampak sedih menunggui Ari yang sedang terbaring di ranjang. Ibunya tak menyangka akan begini jadinya. Sebuah peristiwa yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
            Beberapa jam kemudian, Ari telah sadar. Ditangannya terbungkus gips. Dia tak bisa menggerakkannya. Rasanya sakit sekali. Kepalanya pun dipenuhi kain perban. Badannya masih lemah tak berdaya.
            “Mana Ayah,Bu?” Tanya Ari dengan suara lemah.
            “Ayahmu sedang menjemput adikmu di sekolah. Sebentar lagi Ayahmu pasti datang. Istirahatlah dulu….,” ucap ibunya dengan lemah lembut seraya membelai rambut Ari. “Seharusnya kau lebih berhati-hati dalam bertindak, Ri….,”lanjut ibunya.”Ibu tahu kau pasti kesal dengan Ibu karena kejadian itu. Tapi kalau hanya karena itu, lalu kau tidak bisa lagi mengendalikan diri, itu namanya keterlaluan, Ri…..,” nasehat ibunya.
            “Ibu jangan menyalahkan aku terus,” Ari membela diri. Ibunya menghembuskan nafas dalam-dalam melihat anaknya itu. Dia memandang anaknya dengan penuh kasih sayang.
            “Ibu sayang kamu, Ri….Ibu tak mau terjadi apa-apa denganmu,”ujar ibunya. Ari tersenyum mendengar ucapan ibunya. Dia sangat bahagia karenanya. Tak selang beberapa saat kemudian Hp ibunya berbunyi. Ibunya bergegas mengangkatnya.
            “Halo! Wa’alaikumsalam….iya, saya sendiri….,” ibu Ari menjawab. Hening beberapa saat. Namun tiba-tiba raut muka ibu Ari berubah drastis. “Astagfirullah-al-azhim!” Ujar ibunya tiba-tiba.
            Ada apa gerangan? Ari bertanya-tanya. Ari memandangi ibunya. Hp-sudah tergelatak di bawah lantai. Ibunya pun terduduk sambil menangis menutup muka.
            “Kenapa Bu?” Tanya Ari. Dia menjadi cemas.
            “Ayah dan Adikmu, Ri…….!” Rintih ibunya.
            “Ayah dan Adik? Kenapa mereka Bu?” Kecemasan Ari semakin bertambah.
            “Mereka……mengalami…… kecelakaan……!” Jawab ibunya. Tangis ibunya semakin menjadi-jadi. Seperti langit jatuh ke kepala Ari. Jantung Ari berdegup dua kali lebih cepat. Dunia serasa gelap semuanya. Semua terjadi begitu cepat. Belum lagi cobaan habis, cobaan yang lain datang menerpa.
            “Mobil Ayahmu terbalik setelah bertabrakan dengan truk. Mereka sekarang sedang dibawa ke sini,” lanjut ibunya.”Ya Allah! Selamatkanlah suamiku dan anakku! Aku tak mau kehilangan mereka…..!” Ibu Ari berucap sambil menangis. Ari pun mulai berlinang air matanya. Ari tak menyangka kalau musibah akan beruntun menimpa keluarganya. Dia tidak tahu bagaimana keadaan kedua sosok manusia yang sangat disayangi itu sekarang. Padahal, besok adalah hari ulang tahunnya. Namun, hal itu kini hanya akan disambut dengan kesedihan yang luar biasa. Apakah ini karena kesalahannya terlalu banyak meminta kepada orang tuannya, sehingga Tuhan marah kepadanya? Tak lama kemudian, dilihatnya ibunya berdiri sambil menyapu air matanya. Tampaknya ibunya sudah mulai bisa mengendalikan kesedihannya.
            “Sudahlah Ri….yang terjadi biarlah terjadi. Yang penting kamu berdoa semoga ayahmu dan adikmu baik-baik saja. Pikirkan dulu dirimu, kamu masih belum sembuh juga sayang….” Ibunya kembali menyeka air matanya.”Ibu mau keluar dulu menunggu Ayah dan Adikmu datang,”tutur ibunya kembali. Ari menganggukkan kepalanya. Tak lupa ibunya mencium kening anaknya yang juga masih dalam keadaan lemah. Ibunya pun pergi meninggalkan Ari sendirian di dalam kamar yang hampir seluruh barangnya berwarna putih. Ari berdoa semoga tidak terjadi apa-apa dengan ayah dan adiknya.
            Dia kembali merenung, pikirannya menerawang jauh. Sebenarnya, apa maksud dari ini semua? Apa ini hukumannya atas apa yang dilakukannya tempo hari? Hanya Tuhan yang mempunyai jawabannya.

* * *

            “Bu, jangan main-main! Ini pasti kesalahan! Aku tidak percaya! Ini tidak mungkin! Ini tidak mungkin!” Teriak Ari.
            “Inilah kenyataannya, Ri…..”
            “Ya Allah! Aku masih sayang Ayah! Aku masih sayang adik! Kenapa Kau ambil mereka! Ukh……!” Teriakan Ari semakin kencang. Dia tidak bisa lagi menahan air mata yang merembes keluar begitu saja.
            “Sabar nak…..! Ibu juga sangat sedih….., Ibu…..Ibu juga sangat sayang pada Ayahmu…..Ibu juga sangat sayang pada Adikmu….. Tapi….ini…..ini kehendak Ilahi….,” ujar Ibunya terbata-bata.
            “Tuhan tidak adil! Ini kan hari ulang tahunku! Tapi kenapa Dia mengambil mereka yang kusayangi di hari yang seharusnya kita dalam keadaan bahagia! Di mana kasih sayang-Nya? Di mana, Bu? “ Emosi Ari tidak terkontrol lagi. Dia kehilangan dua sosok manusia yang paling dikasihinya sekaligus.
            “Istighfar Ari! Istighfar! Kau tidak boleh berkata begitu!” Ibunya menegur perkataan Ari. “Mungkin ada hikmah di balik ini semua. Sepatutnyalah kita bersabar,”lanjut ibunya lemah seraya membelai rambut anaknya. Setelah itu ibunya berdiri dan berkata,”Ari….., Ibu mau pergi dulu untuk mengurus jenazah Ayah dan Adikmu, kau istirahatlah dulu di sini.”
            “Aku ikut Bu!” Sambung Ari cepat. Dia tidak mau berpisah dengan Ibunya. Terlebih lagi membiarkan pemakaman Ayah dan Adiknya tanpa kehadirannya. Ibunya tampak ragu. Ia berpikir untuk mempertimbangkan keinginan anaknya.
            “Ibu minta izin dulu apakah kau boleh keluar atau tidak. Tunggulah sebentar….,”jawab Ibunya. Ibunya segera saja keluar. Tak selang beberapa lama kemudian, ibunya kembali bersama seorang dokter. Dokter itu langsung memeriksa denyut nadi Ari, mendengarkan detak jantungnya dengan stetoskop, melihat matanya, serta tidak lupa memeriksa tangan Ari yang masih digips.
            “Kalau melihat anak anda sekarang ini, saya menganjurkan lebih baik Ibu meninggalkannya saja di sini untuk istirahat. Kondisinya masih belum sehat benar. Apalagi kalau melihat tangannya, Bu.” Dokter menghentikan pembicaraannya sebentar, kemudian meneruskannya kembali, “saya pun memahami perasaannya sekarang ini, seandainya saya menjadi dia, saya pun akan meminta izin untuk keluar.” Dokter menghirup nafas sejenak, lalu melanjutkannya lagi. “Hmm…oke…saya akan memberi izin. Tapi kami tidak bertanggung jawab jika terjadi apa-apa di luar sana. Saya sudah memberikan usulan yang terbaik untuk anda, jadi terserah anda.
            “Terima kasih, Dok!” Ujar Mama Ari.
            “Terima kasih, Dok!” Sambung Ari. Dokter menyambutnya dengan senyum yang manis sekali.
            “Sama-sama. Tapi saya mohon, mohon anak Ibu dijaga betul-betul. Jangan sampai dia terpisah dari Ibu. Dan lebih baik Ibu memakai kursi roda untuk membawanya. Kondisinya masih lemah untuk dibiarkan berjalan sendiri. Atau….apa perlu disertai suster?”
            “Oh! Tidak usah Dokter! Biar saya sama Ibu saya!” Belum sempat Ibu menjawab, Ari sudah menjawabnya. Dia memang tidak mau kalau sampai ada suster di sampingnya. Dia hanya ingin bersama dengan ibunya.
            “Kalau begitu baiklah, silahkan ambil kursi rodanya. Tolong hati-hati ya Bu! Saya permisi dulu…,” ucap Dokter itu serta menjabat tangan ibu.
            “Sekali lagi saya ucapkan terima kasih!” Dokter itu pun berlalu dari hadapan ibu Ari. Ibu Ari mengalihkan pandangannya kepada anak tersayangnya.
            “Tunggu sebentar, Ibu mau mengambil kursi roda.” Ari membalas ucapan tersebut dengan senyuman.
           
* * *

            Mereka sudah berada di depan rumah. Tapi ada yang aneh, tak seorang pun yang berkeliaran di sekitar rumah itu.
            “Aneh…..padahal Ibu sudah menghubungi Pak Amin untuk mengurus jenazah….”
            “Mungkin sudah dibawa ke mushalla….,”timpal Ari. “Coba kita lihat ke sana Bu!” Lanjutnya.
            “Kita ke dalam sebentar…., Ibu ada yang mau diambil.”
            Ketika sampai di depan rumah, ibu Ari semakin bingung. Sangat jelas, tempat kunci rumah tersebut terlihat seperti bekas dicongkel.
            “Kenapa ya? Padahal Ibu sudah berikan kunci duplikatnya kepada Pak Amin….” Tampak terlihat dari raut muka Ibu keraguan untuk masuk ke dalam rumah. Namun Ari langsung memegang tangan Ibunya
            “Kita harus ke dalam Bu….,” ucap Ari tiba-tiba. Akhirnya mereka masuk ke dalam. Tak ada apa-apa. Sunyi.
            “Mungkin katamu betul juga, bisa jadi jenazah Ayah dan Adikmu sudah dibawa ke mushalla untuk disholatkan. Tunggu sebentar….Kita ke kamar dulu, baru ke sana.” Ibunya mendorong kursi roda Ari perlahan-lahan. Namun betapa terkejutnya mereka ketika sampai di dalam kamar, mereka melihat seorang lelaki berpakaian preman sedang menggeledah lemari pakaian.
            Astaghfirullah-al-azhim! Apa yang sedang kau lakukan di rumah ini? Siapa kamu?” Teriak Ibu Ari. Lelaki itu terkejut mendengar teriakan tersebut. Namun Ibu Ari lebih terkejut ketika tahu kalau itu membawa pisau!
            “Kau pasti bukan orang baik-baik! Kau pasti perampok! Ya Allah, tolong kami! Tol…..!” Belum sempat Ibunya menghabiskan kata-kata, perampok tersebut telah menangkap ibunya dan menutup mulutnya. Ari ingin berteriak dan menolong ibunya, tetapi perampok itu menyeringai kepadanya sambil berkata,” jangan coba-coba berteriak kalau mau Ibumu selamat!” Ari tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak ingin ibunya terluka.
 “Kalau kau dan Anakmu ingin selamat,Tunjukkan di mana kau letakkan barang-barang berhargamu!”Bisik lelaki itu. Dengan ketakutan Ibunya menunjuk lemari yang telah diobrak abrik oleh perampok itu. Perampok itu tersenyum. Senyum yang sangat mengerikan!
Ari hanya bisa menatap kejadian itu. Ia tak ingin ibunya disakiti. Namun ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Ia sekarang pun masih dalam keadaan sakit. Tak terasa air matanya menetes keluar. Terpikir olehnya kejadian demi kejadian menyedihkan menimpanya. Betapa menderitanya ia sekarang.
Ibunya berjalan perlahan-lahan bersama perampok itu. Pisau masih menempel di leher. Waktu berjalan begitu mencekam. Tiba-tiba saja Ibunya menendang perampok itu tepat di bawah selangkangnya. Dekapan pun terlepas. Perampok itu kesakitan seraya mengucapkan kata-kata sumpah serapah. Ibu Ari segera berlari menuju Ari.
“Ayo kita lari!” Teriak Ibu Ari cepat. Ibunya segera mendorong kursi roda Ari secepat mungkin. Ari tampak cemas dengan keadaan ini. Perampok itu sudah berdiri dan mulai mengacungkan pisau ke arah mereka. Dia tampak marah sekali.
“Cepat Bu! Dia sudah berdiri!” Teriak Ari ketakutan. Ibunya berusaha untuk mendorong kursi roda Ari lebih cepat. Namun….
Croot!
Perampok itu mengayunkan pisaunya ke punggung ibunya. Tak ayal lagi Ibunya jatuh tersungkur ke lantai. Darah berceceran dari punggungnya.
“Bu!” Teriak Ari. Dia menangis melihat Ibunya yang terjatuh.
“Larilah, Ari! Kau bisa berdiri! Larilah!” suruh ibunya dengan suara lantang.
Croooott!
Lagi-lagi perampok itu tanpa ada rasa kasihan menusuk punggung ibunya. Ari berteriak histeris. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Dia sangat ketakutan. Dia bingung. Apa yang harus dialakukannya.
“Larilah!” Teriak Ibunya sekali lagi. Perampok itu dengan cepat mengalihkan pandangannya kepada Ari. Ari semakin ketakutan. Dicobanya untuk berdiri dari kursi roda, dan….dia bisa! Tapi ibunya? Apakah dia harus meninggalkannya sendirian di sini.
“Cepat Ari! Lari! Uhuk…uhuk!” Darah keluar dari mulut ibu Ari. Dengan sangat terpaksa Ari menuruti keinginan ibunya tersebut. Tetapi apa daya, dengan gerakan Ari yang lamban, sangat gampang mengejar dan menangkap Ari.
“Mau ke mana? He…he!” Seringainya semakin menyeramkan.
“Akh!” Perampok tersebut memegang tangannya yang masih sakit, spontan saja Ari berteriak.
Bruk! Kini perampok tersebut mendorong Ari hingga terjatuh. Tanpa memberi kesempatan kepada Ari, perampok itu mencekik leher Ari.
“Mati kau!” Kata perampok itu nyaring. Ari tak bisa berbuat apa-apa. Pandangannya mulai kabur. Tak ada harapan lagi…..tak ada harapan lagi…..

* * *

“Ari! Kamu sudah bangun? Ari! Ini Ibu!”
Ari terbangun. Samar-samar dia melihat ibunya melihatnya dengan wajah cemas. Kepalanya masih terasa sakit.
“Alhamdulillah! Akhirnya kau sadar….” Ibunya senang sekali melihat Ari telah membuka matanya. Tapi tidak bagi Ari. Dia dilanda kebingungan yang luar biasa.
“sudah dua hari kau tidak sadarkan diri. Ibu sangat mencemaskanmu. Baru saja kau berteriak tak karuan layaknya orang yang sedang meminta tolong,” jelas ibunya. Ibunya menarik nafas dalam-dalam. “Maafkan Ibu. Ibu tak menyangka akan begini jadinya.” Pandangan ibunya beralih ke tangan Ari yang digips. Dari sorot mata ibunya, Ari dapat menebak kalau ibunya ingin memberitahukan kalau tangannya kini telah patah.
“Tenanglah…..tanganmu akan segera sembuh dan bisa bergerak seperti dulu lagi. Tapi itu memerlukan waktu yang lama.” Ari masih diam seribu bahasa. Ia masih memikirkan tentang kejadian yang menimpanya. Mimpi? Ibunya berkata bahwa Ari berteriak-teriak pada waktu tidur. Jadi, apa itu semua hanya rmimpi? Di mata Ari, semuanya terasa nyata sekali.
“Kamu kenapa Ri? Apa kamu mimpi aneh? Dari bangun tadi, kau belum berbicara sedikitpun,” tutur ibunya cemas.” Ibu panggilkan Dokter ya.” Namun Ari langsung memegang tangan ibunya pertanda dia ingin ibunya untuk tidak meninggalkannya sendiri.
“Aku takut Bu…..aku….aku mimpi buruk, dan….dan mimpi itu tampak nyata sekali….”Ari mulai menangis.
“Beristighfarlah Ari! Sekarang mimpi itu tidak ada lagi. Sekarang kau berada di dunia nyata, sekarang kau berada di samping Ibu,” ucap ibunya seraya mendekap anaknya yang sedang sakit. Ari mulai tersenyum. Dihapusnya air mata yang menetes sedikit demi sedikit. Dia merasa nyaman sekali di dalam pelukan ibunya. Tapi tiba-tiba dia melepaskan pelukannya. Dia seperti teringat sesuatu.
“Mana Ayah dan Adik, Bu?” Tanya Ari cepat.
“Ayahmu dan Adikmu ada di depan, sedang membelikanmu buah.”
“Mereka baik-baik saja?”
“Kamu ini kenapa, Ri? Yang sakit itu kan kamu, bukan Ayah dan Adikmu,”ucap ibunya sambil tersenyum. “Berbaringlah, dan ceritakan apa yang kau rasakan sewaktu kau tidak sadarkan diri,” terang ibunya. Perlahan-lahan Ari merebahkan tubuhnya yang masih sakit.
“Aku…aku melihat Ayah dan Adik meninggal karena kecelakaan. Tidak hanya itu, aku juga melihat Ibu…..Ibu dibunuh di hadapanku sendiri,” jelas Ari. Dari suaranya, jelas terlihat ketakutan menghantuinya.
“Sekarang kau lihat yang sebenarnya kan. Ayahmu sehat, Adikmu sehat, dan Ibu ada di hadapanmu, tidak kekukarangan sesuatu apapun. Tidak usahlah kau pikirkan mimpi itu lagi. Dia hanya bunga tidur. Tidak usah takut,” ujar ibunya menenangkan. Dia mencium kening Ari dengan penuh kasih sayang. Ari merasa tenang dengan perkataan ibunya. Semua yang diaminya sebelumnya ternyata bukanlah suatu kenyataan. Tak lama kemudian ayah dan adiknya. mereka membawa buah-buahan
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam!” Jawab ibu Ari.
“Ari sudah sadar ya! Alhamdulillah!” Ayahnya senang ketika melihat Ari sudah siuman. Adiknya mendekatinya.
“Tangannya sakit ya Kak?” Tanyanya polos. Ari menganggukkan kepalanya. Ari mengalihkan pandangannya kepada ayahnya. Ia tersenyum kepada ayahnya. Ayahnya membalas senyuman tersebut. Kemudian ayahnya berjalan menuju tempat ibunya duduk. Ayahnya mengisyaratkan sesuatu. Ibunya paham dengan isyarat yang diberikan suaminya tersebut. Ibunya bergegas mengambil sesuatu di bawah ranjang. Ternyata sebuah kado.
“selamat ulang tahun!” Ujar ibunya. Ari sangat terkejut melihatnya. Ia baru ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya,
“Selamat ulang tahun, Ari!” Sambung ayahnya. Adiknya cengengesan.
“Bukalah….!” Ibunya menyuruh. Ari segera membuka kado tersebut sedikit demi sedikit dibantu adiknya. Dia hanya bisa menggerakkan tangan kirinya yang masih normal. Dia begitu senang dengan hadiah yang ada di dalamnya. Dia mendapatkan sebuah baju koko baru, sarung baru, peci baru, dan tak ketinggalan sebuah Al-Qur’an kecil yang juga masih baru! Alhamdulillah! Selamat ulang tahun, Ari!




                                                                                       Darul Hijrah, 2 April 2007





                                                                                        Muhammad Qamaruddin

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?