Rabu, 12 Oktober 2011

SELIMUT IMAN




            Betapa pedih hatiku jika mengingat kejadian malam itu. sungguh hanya Allah yang menjadi pelindungku. Sudah tiga hari aku menginap di rumah Mahmud. Dia sudah kuanggap layaknya saudaraku sendiri. Kami berteman baik semenjak SD. Walaupun kami berbeda keyakinan. Mahmud beragama islam, sedangkan aku beragama Kristen. Masih teringat saat itu, waktu kami masih duduk di sekolah dasar, banyak teman-teman yang beragama Kristen menghinanya karena agamanya, begitu pula karena kemiskinannya. Mereka begitu merendahkan Mahmud. Tapi anggapanku lain dari mereka. Menurutku dia mempunyai karakter yang spesial dibandingkan teman-temanku yang lain. Dia tak pernah menghina, tak pernah marah, bahkan hinaan yang dilontarkan dibalasnya dengan senyuman. Sungguh dia selalu mengamalkan hadist rasulullah, ‘tersenyumlah, itu adalah ibadah bagi kalian
. Oleh karena sikap baikku kepada Mahmud, akupun juga sering mendapatkan hinaan. Aku tak terlalu menanggapinya. Aku rasa tidak ada agama yang mengajarkan penganutnya untuk saling menghina.
            Persahabatan kami terputus setelah kami lulus dari sekolah dasar. aku meneruskan studiku ke sekolah Kristen hingga aku kuliah. Sedangkan Mahmud meneruskan studinya di sebuah pondok pesantren yang aku pun tidak tahu tempatnya. Diapun tidak lagi tinggal di rumah yang sering kali kukunjungi. Entah ke mana orang tuanya, aku pun tak tahu. Setelah itu tak ada kabar lagi dari dia. Namun Allah mempunyai ketentuan-Nya sendiri. Kami bertemu lagi setahun yang lalu, setelah tujuh tahun berlalu. Secara tak sengaja aku lewat di sebuah perkampungan. Ketika itu aku melihat seorang laki-laki sedang menjemur pakaian. Aku merasa tak asing dengan wajah itu. kupanggil laki-laki itu,ternyata dia menoleh. Tak kuragukan lagi, dialah Mahmud. Temanku sewaktu duduk di sekolah dasar dulu. Wajahnya yang putih bersinar tak pernah berubah meski di makan zaman. Aku sangat senyumannya. Menghangatkan jiwa. Dia menceritakan kalau setelah lulus dari pondok, dia masuk lagi ke sekolah tahfizh Qur’an . Dicerikannya juga kalau semenjak  lulus SD, dia sudah pindah ke rumah ini.
            Sejak persahabatan kami berlanjut, aku mulai tertarik dengan agamanya islam. Terus terang, tak pernah hatiku terpuaskan oleh doktrin-doktrin yang ada di agamaku terdahulu. Semuanya hanya membuatku pusing. Berbeda dengan Mahmud yang benar-benar menikmati manisnya iman bersama islam. Kulihat hidupnya lebih terarah. Bertolak belakang denganku yang tak karuan. Akhirnya setelah memikirkan segala resikonya, aku pun menyatakan keinginanku untuk masuk islam. Lima bulan yang lalu aku menyatakan keislamanku di depan seorang imam mesjid.
            Semua yang berhubungan dengan islam selalu kutanyakan dengan Mahmud. Aku pun masih menyembunyikan keislamanku dari orang tuaku. Aku tahu mereka pasti marah kalau mengetahui anaknya telah murtad dari agama yang dianut turun temurun ini. Aku berniat suatu saat nanti aku akan memberitahu hal ini kepada seluruh keluargaku tentang keislamanku. Tapi bukan saat ini.
            Sampai kejadian tiga hari yang lalu itu menimpaku. Ayahku telah mengetahui keislamanku sebelum aku memberitahunya.
            “Sekarang jawab dengan jujur! Apakah yang dikatakan oleh kawan-kawanmu itu benar bahwa kau telah murtad hah! Jawab dengan jujur! Jawab!” teriakan ayahku membuatku serasa kehilangan tubuh. Mulutku pun masih belum mempunyai keberanian untuk mengeluarkan suara.
            “Kenapa kau diam? Atau memang semua ini benar? Hei! Kenapa diam? Jawab pertanyaan Ayah!” Ayah mencengkram kerah bajuku. Tampaknya kemarahan ayahku mulai tidak bisa dikendalikan. Ibuku menangis kejadian itu.
            “Hei! Jawab dengan jujur pertanyaan Ayah, apakan kau…….,”
            “Iya! Aku memang telah masuk islam!”Potongku dengan cepat. Bagaikan disambar petir mendengar jawabanku ini, ayahku tak bisa lagi menahan amarahnya. Aku didampratnya habis-habisan. Pukulan demi pukulan kuterima tanpa adanya perlawanan. Tapi itu semua tak akan bisa mengurangi keimananku. Aku yakin jalan yang kupilih ini benar. Tidak salah!
            “Anak durhaka! Bertahun-tahun aku mendidikmu! Tak ada doa kecuali berharap engkau menjadi anak yang berbakti! Sekarang kau telah memutuskan itu semua! Anak tak tahu diuntung!” Teriak ayahku. Tidak ayah! hal ini tidak ada hubungannya dengan kedurhakaan. Sampai matiku pun aku akan tetap berbakti kepada ayah dan ibu. Tapi ini berhubungan dengan keyakinan. Sesuatu yang setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menentukan pilihannya sendiri. Dan aku pun tak pernah memutuskan hubungan sama sekali. Aku masih tetap menganggap ayah ibu sebagai orang tuaku.
            “Pak! Hentikan Pak! Dia anak kita! Darah daging kita! Jangan Kau pukuli dia!”Kulihat ibu menangis sejadi-jadinya. Dia berusaha menarik ayah agar menjauh dariku. Kurasa wajahku tidak berbentuk lagi. Perih rasanya.
            “Kau masih menganggapnya anak? Bu! Anak ini telah menghianati Tuhannya! Tuhan yang telah memberinya kehidupan yang layak! Dengan semua perbuatannya itu, kau masih menganggapnya anak?” Sejurus kemudian ibu memandangku dengan mata berkaca-kaca.
            “Katakan pada Ayahmu Nak, kau hanya bercanda, kau hanya main-main. Semua yang kau katakan itu tidak benar. Tuhan akan mengampuni dosamu.”
            “Tidak Bu……aku berkata yang sejujurnya. Aku tidak berbohong tentang semua ini,:”jawabku tegas. Plak! Tamparan ayahku telak mengenai wajahku.
            “Keluar kau dari rumah ini! Jangan pernah injak kakimu lagi di sini! Kau bukan anakku lagi! Kau haram berada di sini! Keluar!”
            tubuhku lunglai. Jantungku berdetak cepat. Ucapan ayahku membuatku tak berdaya. Oh Tuhanku! Ya Rahman! Inikah cobaan yang harus kuhadapi?
            “Pak! Kumohon jangan kau usir dia. Nico anak kita Pak! Anak semata wayang kita! Kita bisa membicarakannya secara baik-baik, kan?”Kulihat ibu yang serta-merta memeluk kaki ayah. ingin rasanya aku mendekatinya kemudian mengangkat tubuhnya dari kaki ayahku yang keras kepala itu. tapi sepertinya kakiku bak tertanam di dalam injakan, tak sedikitpun bergeming dari tempatnya. Ibu adalah orang yang sangat kusayangi. Rasanya aku tak tega melihat orang yang sangat kusayangi ini menangis dan meminta pengampunan pada ayahku. Ayahku pun tetap pada pendiriannya. Semua pembelaan ibuku tak dihiraukannya. Ayahku masih tetap menatapku dengan amarah yang meluap-luap. Ibuku semakin keras menangis.
            “Lepaskan aku, Ma!” Perintah ayah. perlahan-lahan ibu melepaskan dekapannya. Ayahku berjalan cepat menuju kamarku yang berada tak jauh dari tempat perselisihan itu. ibuku segera berlari menuju tempatku berdiri.
            “Nico! Kau masih ingin tinggal di sini kan? Paling tidak berbohonglah kepada Ayahmu kalau kau masih beragama Kristen. Ibu mohon nak! Ibu masih sayang kepadamu nak! Ibu tak mau berpisah denganmu. Kau adalah anak ibu satu-satunya. Apakah kau tega meninggalkan ibumu yang sudah renta ini?”Ujar Ibu sambil memegang pundakku. Tangisannya membuat hatiku luluh. Oh Tuhan! Apakah aku telah durhaka kepada orang tuaku? Tampaknya hari ini aku harus menahan kepedihan. Aku harus membela imanku. Keputusan ada di tanganku!
            “Tidak ibu! Aku tidak bisa berbohong. Hidup dan matiku telah kuserahkan pada-Nya. Apabila semua ini adalah kehendak-Nya, maka akan kujalani dengan seikhlas-ikhlasnya. Seandainya anakmu ini harus pergi, maka aku akan pergi dengan niat agar aku tidak menjadi beban untuk ayah dan ibu. Maafkan anakmu ini yang tak bisa membahagiakan hati Ibu. Relakanlah kepergian anakmu ini, janganlah Ibu tangisi. Insya Allah, bila Tuhan berkehendak, maka kita akan bertemu lagi,” jelasku pada ibu. Tetesan air mataku tak bisa lagi kutahan. Ibu menatapku dengan penuh kasih sayang. Matanya yang merah menandakan air matanya yang terlalu banyak menetes. diamnya mengisyarakatkan kepadaku bahwa dia pasrah akan pilihanku sekarang. Semoga Allah memberikan hidayah kepada ibuku, juga kepada ayahku.
            Buk! Lemparan tas tepat mengenai punggungku.
            “Ambil tasmu! Dan segera pergi dari rumah ini!”Teriak ayahku. Kupandangi wajah ayahku yang menyimpan kemarahan. Ayah! sekeras apapun kau, kau tetap ayahku. Aku akan selalu menghormatimu.
            Kucoba untuk tersenyum di hadapan ibuku. Walaupun sebenarnya hatiku hancur berkeping-keping. Aku harus tegar menghadapi semua ini. Jalan yang sudah kupikirkan resikonya.
            “Bu……,”ujarku lembut kepada Ibu agar melepaskan pegangan tangannya. Perlahan-lahan beliau melepaskan tangannya. Cegukan beliau masih jelas terdengar di telingaku. Ibu! Bersabarlah!
            “Keluar!” Teriakan ayahku semakin nyaring. beliau tak memberikanku kesempatan untuk berlama-lama tinggal di rumah ini. Padahal jam telah menunjukkan pukul 10.00 malam lebih. Kukuatkan diriku untuk melangkahkan kaki. Aku tak ingin kalau sampai ayahku sendiri yang menyeretku keluar dari rumah ini. Rumah yang menjadi tempat naunganku selama kurang lebih sembilan belas tahun. Kini rumah ini pun tampak menyeringai terhadapku. Rumah ini seakan mentertawakan penderitaan yang kualami ini. ‘Sekarang kau tak punya apa-apa!’ itulah perkataan yang terngiang-ngiang dalam hatiku. Tidak! Aku masih punya iman! Aku masih punya Tuhan Yang Maha Pengasih! Dia tak akan membiarkan hamba-Nya menderita. Kuyakini itu semua.
            Aku sudah berada di luar rumah. Kupandangi wajah ayahku yang masih penuh amarah. Kupandangi wajah ibuku. Raut mukanya menahan kepedihan yang luar biasa melepas kepergianku. Rasanya ingin sekali mencium kakinya, meminta ampun atas kesalahan yang telah kuperbuat.
            Kupandangi rumah megah yang ada di hadapanku ini. buat apa aku berharap banyak. Toh, rumah ini pun juga bukan milikku. Rumah ini milik orang tuaku, atau lebih tepatnya milik Sang Khaliq. Aku hanya menginap di sini. Tak lebih dari itu.
            Buak! Pintu ditutup keras. Terdengar jelas tangisan  ibuku di dalam rumah. Perih rasanya. Namun inilah jalan yang harus kutempuh. Angin berhembus deras menerpa wajahku seakan berucap kepadaku,’inilah tempatmu sebenarnya!’
            Kutelusuri jalan yang ada di komplekku. Hendak ke mana aku? Aku pun masih bingung. Aku tak mungkin aku menginap di rumah tetanggaku yang ada di sini. Ini adalah perumahan yang dihuni seluruhnya oleh orang Kristen. Tak satupun saudara semuslim ada di tempat ini. rasanya aku hidup seorang diri di dunia. Aku  yakin mereka tak akan sudi menerimaku. Mereka tak mau berurusan dengan ayahku yang keras kepala. Allah! Dengarkanlah rintihan hamba-Mu ini. apakah ini hukuman dari ketidak tulusanku mendekat kepada-Mu? Jika ya, maka persaksikanlah oleh-Mu, Engkau telah mengambil apa yang sangat kudamba. Maka tak ada lagi dambaan bagiku dengan ilmu yang ada padaku selain berharap aku diri-Mu mau mencintaiku sekali lagi.(kutipan)
            Untunglah aku masih mempunyai orang yang mungkin bisa menolongku, Mahmud. Malam itu aku hanya mempunyai satu tujuan, rumah Mahmud! Mahmud menerimaku dengan airmata berurai.
            “Kamu berjuang mempertahankan iman. Tak ada yang pantas kecuali pahala atas perbuatanmu. Jazakallahu khaira!”Ucap Mahmud mencoba menghibur diriku. Semoga Allah mengumpulkannya bersama rasulullah beserta para sahabatnya. Begitu pula aku.

* * *

            “Assalamu’alaikum!”
            “Wa’alaikumsalam!” Jawabku. Kulihat Mahmud masuk ke dalam kamar. Selama aku menginap, aku tidur bersama Mahmud di dalam kamar ini. Ah, rasanya malu diri ini. Aku pasti sangat menggangu ketenangan keluarga Mahmud. Aku tahu itu, walaupun dia tak pernah menunjukkannya. Aku harus tahu diri. Tak mungkin aku selamanya tinggal di sini. Aku harus mencari pekerjaan. Aku harus bisa hidup sendiri tanpa harus menyulitkan orang lain. Aku harus bisa menggeluti hidup baru bersama agama baruku, islam!
            “Maaf mengganggu istirahatmu,” ujar Mahmud sopan.
            “Ah Mahmud, tak pernah kau mengganggu ketenanganku. Malah kurasa akulah yang mengganggu ketenangan kau dan keluargamu.”
            “Nico……ada suatu hal yang harus kusampaikan kepadamu.” Raut mukanya menunjukkan kesedihan yang ditutup-tutupi. Ada apa gerangan?
            “Kenapa wahai saudaraku? Jikalau kau mempunyai masalah, katakanlah kepadaku. Insya Allah, aku akan membantumu semampuku.”Mahmud menundukkan kepalanya. Walaupun aku tak bisa melihat jelas wajahnya yang putih bersih itu, tapi aku bisa merasakan dari matanya yang sedikit berkaca-kaca itu kalau dia sekarang sedang dirundung masalah.
            “Maafkan aku! Bukan maksudku tak menerimamu di sini, bukan niatku mengusirku dari sini. Demi Allah! Seandainya langit jatuh ke bumi, dan musuh-musuh Allah itu menghadangmu, sungguh aku tak akan lari darinya. Akan kutemani dirimu. Tak akan kubiarkan dirimu menghadapinya sendiri. Tak ada yang lebih indah kecuali melindungi saudaranya seagama,” ucap Mahmud seraya menahan kesedihan yang ada di hatinya. Sepertinya aku sudah bisa membaca permasalahan yang menjadi pikirannya. Ini pasti menyangkut dengan kehadiranku di rumah ini. Aku memegang pundaknya seraya memberikan senyuman termanisku kepadanya. Aku ingin membuatnya merasa lebih nyaman. Setelah merasa agak tenang, dia melanjutkan percakapannya. “Beberapa jam lalu aku pergi ke toko bunga Ibuku. Namun apa yang kudapat? Seluruh bunga-bunga yang akan dijual Ibuku tak lagi tertata rapi lagi. Semuanya berantakan. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang suruhan…….ayahmu!” astaghfirullahal azhim! Mereka suruhan ayahku? Ayah! Kenapa kau melakukan ini? Mahmud melanjutkan kembali.”Ibuku menangis sejadi-jadinya sambil meminta tolong kepada orang-orang yang ada di jalanan. Namun, sepertinya mereka tak mau ikut campur masalah itu. Mereka takut. Mereka membiarkan saudaranya sesama muslim dianiaya. Andaikan aku ada di tempat itu, akan kubela Ibuku. Namun aku terlambat. Semuanya telah terjadi.”
            Ayah! Apa yang ada di dalam pikiranmu sehingga kau begitu tega melakukan ini semua? Mereka tak bersalah! Mereka hanya memberiku tempat bernaung. Apakah hanya karena itu kau tega melakukannya? Ya Rahman! Berikanlah hidayah kepada ayahku!
            “Aku bersabar Co! aku dan Ibuku bersabar atas itu semua. Namun aku tak dapat menahan kepedihan ketika melihat Fatimah adikku……,” air mata Mahmud semakin jelas terlihat.
            “Kenapa dengan adikmu?”
            “Mereka membawa Fatimah! Mereka mengancam kalau kami tidak menyuruhmu pergi dari rumah ini, maka Fatimah tidak akan pernah dikembalikan……,” ungkap Mahmud. Ya Allah! Betapa kejinya perbuatan ayahku. Apa yang diinginkannya sehingga aku pun tak boleh tinggal di rumah Mahmud? Mau mengusirku dari muka bumi ini? Ingatlah! Bumi ini milik Allah! Bukan milik siapa-siapa!
            “Maafkan aku Mahmud…..aku telah membuat keluargamu menderita. Sudah seharusnya aku tak berlama-lama di sini. Aku tahu diri Mahmud. Semua pengorbananmu sudah melebihi batasnya. Biarlah sekarang aku berusaha untuk menggapai cahaya iman,”ujarku menimpali perkataan Mahmud.
            “Tak ada niatan untuk mengusirmu, pun tak ada rasa benci dalam hatiku padamu. Kamu saudaraku, namun hal ini harus kusampaikan kepadamu demi Ibuku yang sangat kucintai,”ucap Mahmud. Ibu! Oh, aku jadi teringat ibuku. Bagaimana kabar beliau sekarang? Semoga baik-baik saja. Jika aku jadi dia. Akupun akan berbuat seperti apa yang dia lakukan sekarang kalau itu demi ibu tercinta. Siapa yang tega melihat ibunya menderita? Selanjutnya kulihat Mahmud menuliskan sesuatu di atas secarik kertas. Kemudian memberikannya kepadaku.
            “Pergilah ke pondok pesantren ini! Pondok pesantren Hidayaturrahman, tempat aku belajar dulu. Sekolahku dulu. Di sanalah aku menjadi santri. Pergilah ke sana! Insya Allah Kiai Abdul Razak akan menerimamu dengan baik. Katakanlah bahwa kau berteman baik denganku. Ceritakanlah semua kejadian yang telah kau alami. Insya Allah, beliau akan membantumu,” Jelas Mahmud seraya memberikan secarik kertas. Rasanya diri ini tak dapat lagi membendung air mata yang memaksa untuk keluar. aku sangat sedih karena harus berpisah dengan teman baikku. Teman yang telah menunjukkan jalan sebenarnya meraih cahaya iman. Dan aku yakin dia pun pasti merasakan apa yang kurasakan. Sangat berat berpisah dengan Mahmud. Tapi aku harus menepikan perasaan ini. Keselamatan Fatimah, adik Mahmud ada di keputusanku sekarang.
            “Berdoalah kepada Allah selalu! Jangan pernah kau melupakan-Nya walau sedetikpun. Allah bersamamu Nico! Allah bersamamu!” Tutur Mahmud seraya memelukku.
            “Terima kasih Mahmud…..Allah akan membalas semua kebaikanmu,”
            “Pergilah sekarang! Aku takut orang-orang itu akan mencarimu ke sini. Dan yang lebih kutakutkan kalau terjadi apa-apa dengan adikku./…..    ”
            “Apakah tidak lebih baik kalau kita mencarinya bersama-sama?”
            “Tidak usah Nico! Mereka sekarang sedang memburumu. Jangan kau malah mau masuk ke dalam sarang singa. Utamakanlah dulu keselamatanmu.”
            “Apa kau yakin mereka akan melepaskan adikku setelah kepergianku ini?”
            “Allah meyakinkanku. Sudahlah! Segera berangkat! Hari sudah mulai gelap. Allah bersama orang-orang yang bersabar. Kalau tidak di dunia ini kita berkumpul, biarlah surga-Nya yang jadi tempat perkumpulan yang terakhir.” Perkataan Mahmud itu membuatku lebih bersemangat untuk menempuh hidup. Segera saja kuambil tas yang kuletakkan di samping pintu. Ada beberapa buah baju di dalam tas itu. Tapi entah kenapa sejak kejadian malam itu, aku jadi enggan memakai baju yang telah dimasukkan ke dalam tas itu. Aku lebih senang memakai baju yang di berikan imam mesjid yang mengislamkanku dulu. Kulirik Mahmud. Air matanya berlinang. Dia tersenyum kepadaku.
            “Pergilah! Allah takkan pernah meninggalkanmu!” Ujarnya terus memberikan sokongan.
            “Terima kasih…..,Mahmud,”ucapku seraya memeluk Mahmud. Ikatan batin telah terjalin di antara kami berdua. Kulepaskan pelukan perlahan-lahan.
            “Assalamu’alaikum!”
            “wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh! Hati-hati di jalan!”
            Kukuatkan diriku menghadapi semua ini. Satu perpisahan lagi yang harus kuhadapi. Ya Allah! Betapa berat cobaan-Mu ini! Yakinkan hatiku! Kuatkan imanku! Selimutilah aku dengan cahaya iman. Selimutilah Ya Allah!

* * *

            ‘Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan “innalillahi wa’inna ilaihi raaji’un”. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah 155-157)

            Perutku lapar. Sudah seharian semalaman aku tak makan. Ada sedikit penyesalan kenapa aku tidak menerima uang pemberian Mahmud. Yang pastinya aku tak mau lebih menyulitkannya. Aku berpikir mungkin aku bisa menutupi biaya perjalanan ke pondok pesantren dengan mencari pekerjaan. Apapun pekerjaan itu. Kuli bangunan, pelayan, mencuci piring, asalkan halal akan kulakukan. Tapi jangankan mendapatkan upah untuk biaya perjalanan, untuk uang makanpun aku tak mendapatkannya. Aku tak ubahnya batu kecil yang tak dihiraukan oleh siapapun, biarpun jatuh ke dalam selokan.
            Gelap mulai menyelimuti hari. Sebentar lagi waktu maghrib tiba. Aku duduk disamping mesjid sambil menahan perihnya  lapar. Aku tak ingin mengemis selama badanku masih kuat untuk bekerja. Imanku benar-benar diuji.
            Kenapa aku harus berharap kepada manusia? Toh manusia juga mempunyai batasan. Kenapa aku tidak memohon kepada Allah? Betapa bodohnya aku! Adzan berkumandang. Kulakukan shalat jamaah dengan khusuk. Entah kenapa hatiku merasa tenang ketika melakukan shalat berjamaah walaupun dalam keadaan lapar. Sangat berbeda dengan keadaanku waktu masih belum beragama islam, walaupun aku tidak lapar, hatiku masih diliputi keresahan yang mendalam.
            Selesai shalat berjamaah aku duduk di pelataran mesjid. Sambil memegang perut yang perih, kulantunkan dzikir di mulutku terus-menerus.
            “Ambillah ini, Nak!” Aku terkejut. Seorang ibu berjilbab menghampiriku. Sebungkus nasi bungkus sudah berada di hadapanku.”Ambillah! kau terlihat sangat lemah. Apakah kau belum makan dari tadi?” Lanjut ibu itu. Kuanggukkan kepalaku. “Di mana rumahmu?” Kali ini aku menggelengkan kepalaku.” Kau tak punya rumah?” Aku memandang wajah ibu itu syahdu.
            “Saya mau pergi ke…………..,”
            “Bu! ayo! Kita sudah mau pulang ke rumah!” Seorang bapak memotong pembicaraanku. Beliau memanggil ibu itu dari mobilnya. Mungkin dia adalah suaminya. Sekilas kulihat seorang gadis berjilbab di dalam mobil itu. Seumuran denganku. Aku tak dapat melihat mukanya dengan jelas. Anak gadis itu pasti anak mereka.
            “Maaf Nak! Ibu tak bisa berlama-lama. Kamu mau pergi ke mana tadi?”
            “Saya mau…….”
            “Ibu! Ayo cepat!” Sekali lagi bapak itu memotong pembicaraanku.
            “Ya sudah, kamu mau ke mana itu tak penting.”Ibu itu mengambil dompetnya dan mengeluarkan uang lima puluh ribuan.”Ini ambil! Untuk ongkosmu!”Ujar ibu itu sambil tersenyum.”Hati-hati, Nak! Ibu pergi dulu ya. Assalamu’alaikum!”

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?