Selasa, 11 Oktober 2011

KUTERBITKAN MATAHARIKU SENDIRI


Kujajaki tanah asing ini. Hembusan angin bercampur serpihan debu menerpa wajahku yang pastinya terlihat sangat letih. Kutatapi mega awan yang beriringan mencari tempat yang paling tepat baginya menebarkan pesona alam. Brunei Darussalam! Sebuah Negara dengan sejuta janji ini telah menjadi tempat persinggahanku. Negara dengan kultur melayu islam beraja, Negara kecil namun melayani rakyatnya dengan penuh khidmat ini, begitu syahdu, damai, dan aman sentosa. Kadang aku berkhayal, akankah Negaraku bisa menjelma sepertinya? Ah! Suatu saat! Aku yakin suatu saat nanti negaraku tercinta pasti menjadi sebuah Negara seperti yang telah diimpikan segenap pahlawan nasional.
Sebenarnya aku pun tak tahu, apa yang aku inginkan dengan ketibaanku di sini. Semuanya masih berkelebat tak jelas di hadapanku. Ada yang berkata aku akan disekolahkan, ada yang berkata aku akan mengajar di sekolah, bahkan ada yang berkata aku akan menjadi seorang pembantu (Tenaga Kerja Indonesia). Kata-kata orang yang tak jelas, tidak bisa dijadikan patokan.
Aku tak bisa menafikan tutur hati kecilku menyatakan rasa rindu kepada bangku sekolah. Ya! Aku ingin sekali melanjutkan sekolahku. Aku tak ingin bekerja! Itu terlalu dini bagiku. Tapi jika memang keadaaan memaksaku untuk bekerja, aku tak bisa berbuat apa-apa. Apalah artinya diriku di hadapan Tuhan yang mempunyai kuasa atas makhluqnya yang lemah ini.
Akhirnya aku menyadari bahwa keinginan tersebut hanyalah angan belaka. Sangat amat tidak mungkin aku dapat melanjutkan sekolah, apalagi di negeri yang pastinya mempunyai pemasukan yang ketat bagi pelajarnya. Bahkan aku melihat sendiri betapa sulitnya masuk universitas di negeriku sendiri, Indonesia. Yang kupunya hanyalah sebuah ijazah aliyah dengan nilai yang pas-pasan, tak lebih dari itu.
Tapi apa yang diucapkan Abahku kepadaku membuat diriku terharu. Kamu harus sekolah Bagaimanapun caranya! Sungguh, inilah ucapan yang kunanti-nantikan. Tapi muncul sebuah pertanyaan baru, bagaimana caranya? Di sinilah Abahku menjadi sang motivator bagiku, beliau berkata bahwa tak ada yang tak mungkin.
Di sinilah perjuanganku dimulai. Kusingsing lengan tanganku untuk mendapatkan yang terbaik, walaupun kadang aku merasa risih dengan pemikiran orang-orang di kampungku, baik dari keluargaku maupun dari teman-temanku Mereka semua berpendapat bahwa aku sangat bahagia. Mereka kira aku mendapatkan semua itu semudah membalikkan tangan. Mereka mengira bahwa aku mendapatkannya secara instant. Seandainya mereka menjadi diriku, maka mungkin kebanyakan dari mereka yang akan menyerah dan balik ke kampung halaman. Namun aku telah membuktikan sesuatu yang tidak menjadi tidak mungkin. Kuterbitkan matahariku sendiri! (Muhammad Qamaruddin)

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?