Sabtu, 15 Oktober 2011

SETITIK AIR MATA UNTUK NADIA





Siang begitu terik. Cahaya matahari seakan mencoba menembus celah-celah kecil yang bertaburan di atap usang yang menaunginya. Peluh terus merembes, mengalir pelan di atas kulit Nadia. Hari yang melelahkan. Tungking[1]-nya masih tersusun rapi di hadapan. Entah mengapa hari ini tak ada yang bergiur untuk membeli jualannya. Padahal ia sudah menunggu dari jam 9 pagi. Nihil.
            Perlahan ia bangkit dari tempat duduknya. Dipandanginya kiri kanan jalan. Sepi. ‘Pada kemana orang hari ini?’ Batinnya berujar. Ia pun kembali menuju tempat duduk seraya mengambil kipas tangan yang dari tadi teronggok di samping tempat jualannya.
            Tak lama kemudian, sebuah mobil Mazda berwarna merah berhenti tepat di depan jualannya. Dengan tergesa-gesa, sang sopir keluar dan membuka pintu mobil belakang. Seorang wanita paruh baya yang memakai kaca mata hitam besar keluar dari mobil tersebut. Ada rasa girang muncul dari hati nadia. Pembeli pertama! Batinnya.
            “Barape ani satu?”[2] Ujarnya dengan nada datar.
            “1 ringgit saja,” jawab Nadia dengan menyunggingkan senyum termanisnya.
            “Aku beli 5,” timpalnya dengan cepat.
            “Sekejap hajjah.”[3] Dengan sigap Nadia membungkusnya dan kemudian menyerahkannya. “ane jah…[4]
            “Ngam tu sudah duitnya, 5 ringgit.[5]
            “awu. Makaseh.”[6] Ujar Nadia.
            Tanpa menoleh, pembeli pertama tersebut beranjak dari tempat ia berdiri. Dengan sigap sang sopir kembali membukakan pintu mobil belakang. Nadia sempat memandang sopir tersebut. Sang sopir menyunggingkan senyumnya. ‘Pasti orang indonesia juga!’ katanya dalam hati. Mobil itu pun beranjak pergi meninggalkan Nadia bersama jualannya.

* * *

            “Indonesia kan?” Tanya Fadli.
            “Iya,”  jawab Nadia.
            “Dari awal juga aku yakin, kalau kamu itu juga dari Indonesia,” lanjutnya. Tangannya mengambil satu tungking dari atas meja dan kemudian memakannya.
            “ Sudah lama kerja dengan Hajjah yang kemarin itu?” Nadia melanjutkan percakapan.
            “Sudah dua tahun. Tapi InsyaAllah, 7 bulan lagi kontrak kerjaku habis,” jawabnya. Suaranya agak tidak jelas karena makanan yang ada di mulutnya. “Lalu, bagaimana dengan kamu? Sudah lama kerja begini?” Lanjutnya.
            “Lumayan lama……”
            Telepon berdering. Dengan tergesa-gesa Fadli menjawab telepon tersebut.
            “Assalamualaikum….awu…….sekarang?........awu, saya ke sana.” Percakapan terhenti. Telepon kembali dimasukkan ke dalam saku bajunya.
            “Kenapa?” Tanya Nadia. Ada rasa ingin tahu.
            “Hajjah….minta jemput.” Ujarnya. “Aku jalan dulu, nih…uangnya.” Fadli mengeluarkan uang dari dompet yang ia letakkan di kantong belakang celananya. ia berjalan menjauh sambil melambaikan tangannya.
            “Besok-besok beli lagi ya…,” Kata Nadia setengah berteriak. Fadli hanya mengacungkan ibu jarinya.  
            Mobil Mazda merah berlalu dari hadapan Nadia.
           
* * *

            Waktu merambat pasti. Layaknya sebuah sungai yang mengalir dari hilir ke hulu, ia takkan mungkin kembali lagi ke hilir.
Kedekatan Fadli dan Nadia semakin jelas terlihat. Rasa suka sama suka itu muncul tanpa adanya paksaan. Inilah yang terjadi pada kedua insan ini. Walaupun sama-sama berada di tanah perantauan, tak ada yang bisa menghalangi cinta bersemi di dalam hati mereka.
            “Bersediakan kamu untuk menjadi istriku,” tanya Fadli suatu hari dengan wajah serius. Nadia hanya menatap Fadli tenang. Sebelumnya, ia memang telah menduga kalau Fadli akan mengatakan hal ini kepadanya.
            “Fadli…bukannya aku tak mau. Tapi…” Nadia tak meneruskan percakapannya.
            “Tapi apa?” Dada Fadli agak sesak. Kenapa harus ada kata ‘tapi’, batinnya berujar.
            “hmm….Aku harus minta izin dulu dengan orang tuaku.” Nada datar namun tegas tersemburat dari mulut Nadia. Suasana kembali sunyi. Mereka pun saling memandang. “Kita harus pulang ke Indonesia, ke tanah kelahiranku, Banjarmasin….” Nadia melanjutkan percakapannya.
            Fadli masih mematung. Namun, jelas matanya menunjukkan kesungguhan yang mendalam. Dengan perlahan Fadli memegang tangan Nadia.
            “Kamu percaya aku kan?” Ucapnya dengan sedikit mengeja. Nadia mengangguk lemah, namun matanya tetap saling beradu. Fadli menghembuskan nafasnya dalam-dalam.
            “Kita pulang ke kampung halamanmu…,” ujarnya tegas.
           
* * *

            Hidup di Tanah Lambung Mangkurat memang tak semudah yang dibayangkan orang, apalagi jika berasal dari kebudayaan yang berbeda. inilah yang terjadi pada Fadli. Sebagai orang Jawa tulen, memang agak sedikit susah untuk menyesuaikan diri. Namun apalah artinya semua itu, jika melihat senyum manis Nadia. Harapan yang dimiliki Nadia untuk bahagia digantungkannya di pundak Fadli. tentu saja Fadli akan mengenyampingkan semua masalah yang menimpanya demi orang yang dikasihinya.
            Dua tahun sudah mereka berumah tangga. Sebelumnya, Fadli membulatkan hatinya untuk tetap tinggal di Banjarmasin bersama Nadia, istri tercintanya. mereka hidup tenang dan damai. Kebahagiaan mereka pun dilengkapi dengan kehadiran sang buah hati, Muhammad Ridho Hafizi, anak mereka yang kini telah berumur 1 tahun lebih. Ia seakan menjadi motivasi bagi mereka. Tuhan memberikan kebahagiaan bagi mereka berdua.
            Sejak datang ke Banjarmasin, Fadli yang memang mempunyai jiwa seorang bisnisman mencoba peruntungannya di tanah tempat kelahiran Pangeran Antasari ini. Pada saat itu, ia memutuskan untuk membuka sebuah toko serba ada. Dengan bermodalkan uang yang didapatnya dari hasil kerja kerasnya waktu ia masih di perantauan, ia mewujudkan keinginannya tersebut. Sebagai seorang istri, Nadia selalu mendukung suaminya, apapun itu.
            Awalnya, Fadli mengelola Tokonya tersebut bersama Istrinya. Namun sejak Nadia mengandung, Fadli menyuruhnya untuk beristirahat di rumah, hal ini bertujuan untuk menjaga kandungannya. Tentu Fadli tidak ingin terjadi apa-apa dengan istrinya, begitu pula dengan kandungannya.
            Hingga kemudian sang buah hati hadir dipermukaan bumi. Betapa bahagianya kedua pasangan ini dengan kehadirannya. Bahkan sejak kehadiran sang buah hati, perlahan-lahan usaha Fadli semakin maju. Saat ini pun Fadli berencana untuk merenovasi ulang tokonya. Ia membuatnya lebih besar, bahkan mungkin ia akan membuka cabang baru di daerah yang lain.
            kebahagiaan masih menyelimuti…..

* * *

            “Aku tidak tahan lagi…..,” ucap Fadli kepada Istrinya sambil memegang kepalanya.
            “Sabar Ka’….,” Nadia mencoba menghibur suaminya.
            “Kemarin usahaku sudah bangkrut…..Tak ada yang tersisa….Sekarang keluargamu memusuhiku….Aku dikatakan sebagai orang yang  memalukan keluarga…Di mana salahku?” Lanjutnya. Titik air mata mengalir dari mata Nadia. Betapa pilu hatinya mendengar suaminya dicemooh keluarganya sendiri hanya karena usahanya bangkrut. Terlebih lagi Kakaknya Nadia, Zurkani.
            “Dari awal aku memang sudah tidak setuju kamu kawin dengan orang Jawa itu,” ucap Zurkani kepada Nadia ketika jelas usaha yang dimiliki Fadli bangkrut. “Dia itu tidak bisa apa-apa! Sekarang….coba kau lihat! apa yang bisa kau dapatkan dari seorang pendatang yang usahanya bangkrut tak bersisa?” Pandangan sinis dari Kakaknya tertuju kepada Nadia.
            “Ka’ Zur! Tidak seharusnya kamu berkata seperti itu…”  Tak terasa air mata Nadia jatuh mendengar kecaman dari Kakaknya sendiri.
            “Seharusnya kau menerima pinangan dari Kawanku saat itu…,” kata Zurkani sambil menyalakan sebilah rokok.
            “Kak!” Teriak Nadia. Emosi Nadia naik saat mendengar ucapan Kakaknya tersebut. “Teganya Ka’ Zur berkata seperti itu.” Air mata Nadia semakin deras mengalir.
            “Aku hanya menyampaikan apa yang ingin kukatakan saat ini….” Dengan santainya Zurkani keluar dari rumah. Saat itu, Nadia menangis sejadi-jadinya.

 * * *

            “Demi Allah Ka’! Apa kau tega meninggalkan aku di sini bersama anak semata wayang kita….” Rintihan tersebut begitu jelas tersirat dari wajah Nadia.
            “Aku sudah beristikharah. Dan keputusanku sudah bulat….aku akan pergi lagi merantau ke Brunei Darussalam.” Fadli mengucapkannya pelan.
            “Dengan meninggalkan aku di sini?” Tanya Nadia lagi. Fadli diam sejenak.
            “Ding…Kamu orang asli Banjar. Semua keluargamu ada di sini…Kamu tidak sendirian di sini.” Fadli menghentikan pembicaraaannya sejenak. “Aku pergi bukan berarti aku akan meninggalkanmu. Aku hanya pergi untuk sementara. ingat…Semua ini kulakukan hanya untuk kamu, dan juga Ridho…” Fadli menengok anaknya yang sedang bermain di luar rumah. “Kelak…aku pasti akan kembali lagi…Aku akan kembali membuka usaha di sini…Aku ingin membuktikan kepada keluargamu, aku pasti bisa mengembalikan kesuksesanku dulu.”
            “Aku mau ikut…” ucap Nadia rintih.
            “Lalu siapa yang akan menjaga Ridho?” Suara Fadli sedikit meninggi. “Tidak…tidak…Aku tidak akan membawa kalian ke sana. Terlalu beresiko. Keputusanku sudah jelas, ding[7]
            “Tapi Ka’…”
            “Kamu percaya aku kan….?” Ucapan yang dulu juga pernah didengar Nadia. Kenapa ia harus dihadapkan dengan pertanyaan seperti ini? Batinnya berujar.
            Hujan turun. Semakin deras, mengiringi kesedihan yang dialami oleh Nadia.
           
* * *
            Sudah tiga tahun Nadia tinggal satu atap dengan Ridho, anak semata wayangnya. Suaminya, fadli sudah lama pergi ke perantauan.
            “Kapan kamu balik lagi ke Banjarmasin?” Tanyanya suatu kali di telepon.
            “Belum saatnya…Aku pasti balik ke Banjarmasin…dan kita akan hidup bahagia,” ucap Fadli kepada Istrinya. Berpuluh-puluh kali, bahkan beratus-ratus kali Nadia menanyakan hal itu kepada Fadli. Namun jawabannya selalu sama.
            Sekarang Ridho sudah besar. Kadang ia bertanya kepada ibunya, “Ma, Abah mana?” Iris hati Nadia mendengar ucapan lugu dari anaknya tersebut. Pedih rasanya melihat anak yang seharusnya mendapat kasih sayang dari seorang bapak, kini hanya dapat melihat photo Abahnya yang tertempel di dinding rumah.
            “Abah kerja, nak…,” kata Nadia kepada anaknya.
            “Kenapa tidak pernah pulang ke rumah?” Tanyanya lagi.
            “Abah kerja jauh, Nak. di Brunei Darussalam.”
            “Lalu, kapan Abah pulang?” Ya Allah! Ingin rasanya Nadia menjerit. Pertanyaan itu juga selalu diucapkannya di dalam kalbunya. ‘Fadli! Kapan kamu pulang? Anakmu sudah besar…’
            “Kenapa Mama menangis? Ridho buat Mama sedih ya?” Tanyanya dengan wajah lugu. Dengan sigap menghapus air matanya.
            “Tidak….Ridho tidak buat Mama sedih. Mama menangis karena memang mata Mama lagi sakit.” Nadia mencoba untuk berbohong. Ia tidak mau Ridho tahu tentang kesedihan yang sedang dialaminya.
            Nadia berjuang sendirian demi anak semata wayangnya. Dengan sedikit uang yang ditinggalkan oleh Fadli dulu, Nadia mencoba untuk membuka warung kecil-kecilan di depan rumahnya. Hal ini dilakukan agar ia tidak terlalu jenuh di rumah.
            Fadli tetap mengirimkan uang kepada Nadia setiap bulannya. Ia kembali bekerja sebagai sopir di Brunei Darussalam. Namun, kiriman uang tersebut semakin berkurang setelah memasuki tahun ketiga. Nadia  tak pernah mempermasalahkannya. Ia hanya mengharapkan suaminya kembali pulang dan tinggal bersamanya di Banjarmasin.
            Ridho menjadi motivasi Nadia untuk terus berjuang menghadapi kehidupan meskipun tanpa kehadiran seorang suami di sampingnya.
            ‘Allah ada bersamaku…selamanya,’ ujarnya kepada dirinya sendiri

* * *

            Nadia sedang melipat baju yang telah kering di jemuran. Hari ini ia tidak membuka warungnya. Ia merasa kurang enak badan. Ridho ketiduran di sampingnya setelah asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Nadia tersenyum melihat buah hatinya tersebut. Ia berdoa semoga kelak anaknya tersebut bisa menjadi seperti Abahnya, yang tak pantang menyerah menghadapi kehidupan. Semoga.
            Tuk tuk tuk! Seseorang mengetuk pintu depan. Nadia beranjak dari tempat duduknya seraya mengelus kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.
            “Iya sebentar,” ujarnya sambil berjalan ke pintu rumah.
“Ya Allah!” Jantung Nadia seakan berhenti berdetak. Waktu seakan berhenti sejenak.  
            “Ding…,” ucap laki-laki itu lirih sambil berjalan memasuki rumah. Tak digubrisnya tas yang tergeletak di sampingnya. Nadia berdiri mematung. perasaaannya bercampur aduk tak karuan. Senang, sedih, benci, semua perasaan itu kini ada di dalam hatinya dalam satu waktu. Tak terasa air matanya jatuh menitik membasahi pipinya.
            Laki-laki itu telah berdiri tepat di hadapannya. Dengan wajah sembab, laki-laki itu pun perlahan-lahan memeluk Nadia. Tak ada respon dari Nadia. Ia tetap berdiri membisu.
            “Kenapa Ka’…Kenapa?” Ucap Nadia dengan suara yang hampir tak terdengar.
            “Aku…Aku minta maaf…,” Fadli pun rupanya tak kuasa menahan air matanya.
            “Kamu terlalu lama meninggalkan aku di sini…Kenapa…?” Seakan-akan tak memperdulikan pelukan Fadli, Nadia terus mengigaukan hal tersebut. pandangannya tetap kosong. Air matanya seakan menjadi simbol kesedihannya yang paling mendalam.
            “Ding…Sekali lagi aku meminta maaf…” Fadli semakin erat memeluk. Perlahan-lahan pun Nadia juga memeluk Fadli seakan ingin menyampaikan keluh kesahnya selama ditinggalkan.
            “Aku sendirian di sini…hiks…hiks…” Begitu sendu, begitu pahit, begitu menyedihkan rasanya jika mendengar suaranya tersebut. Fadli melepaskan pelukannya seraya memegang pundak Nadia, dan kemudian mencium keningnya dengan penuh kasih sayang.
            “Sekarang…Aku disini…bersamamu,” ucapnya tenang. Disunggingkannya senyum kepada kekasih hatinya. “Ding…mana Ridho?” Sambung Fadli. Nadia mencoba untuk menenangkan dirinya. Fadli pun menyapu air mata yang membasahi pipinya.
            “Ridho sedang tidur di dalam. Dia terus menunggu kedatanganmu, Ka’,” jelas Nadia. segera saja ia menarik tangan Fadli. Dengan tergesa-gesa mereka memasuki kamar yang ada di dalam rumah tersebut.  Nampak seorang anak kecil sedang tidur pulas di sana. “Itu anak kita…Ridho…Dia sekarang sudah besar,”  jelas Nadia kepada Fadli. Dengan langkah gontai, Fadli mendekati buah hatinya tersebut. Ia tidak ingin anaknya terganggu tidurnya karena langkahnya. Fadli kemudian duduk di samping Ridho. Dielusnya rambut anaknya tersebut. Nadia hanya berdiri di sampingnya. Linangan air mata kembali berderai dari mata Fadli. ‘Selama inikah aku telah meninggalkanmu bersama Mama­-­mu di sini’? Ya Allah! Ampunilah dosa-dosaku…’ batinnya berujar.
           
* * *

20 tahun kemudian
            Sebuah Mobil Mercedes Benz memasuki kawasan rumah yang begitu luas. Di dalam mobil tersebut ada seorang pemuda duduk bersama seorang wanita tua. Wajah mereka kelihatan begitu sangat berseri.
            Setelah sampai tepat di depan pintu rumah, mobil itu berhenti dengan perlahan-lahan. Pemuda itu pun keluar terlebih dahulu. Kemudian ia segera membukakan pintu mobil di sebelahnya. Wanita tua itu keluar dari mobil tersebut ditolong oleh pemuda tersebut.
            “Pelan-pelan, Ma,” ujarnya lembut.
            “Iya…” ucap wanita itu pelan. Pemuda itu dengan sigap menolong Mama-nya. Mereka pun berjalan menuju pintu rumah.
            Rumah itu sangat besar dengan perabotan-perabotan yang juga serba mewah. pemuda itu menuntun wanita tua itu menuju salah satu kamar yang ada di dalam rumah tersebut.
            “Mama  istirahat dulu…,” ucap pemuda itu seraya membukakan pintu kamar.
            “Iya…Mama sepertinya memang perlu istirahat,” jawabnya. Sangat jelas terlihat wajah lelah dari wanita tua itu.
            “Assalamualaikum,” ucap pemuda itu sebelum menutup pintu. Ia menuntun Mama-Nya hingga tempat tidur, kemudian ia tersenyum kepadanya.
            “Wa’alaikumsalam,” jawabnya.
            Pemuda itu kemudian berjalan menuju ruang tamu. Pada saat berjalan, secara tak sengaja ia melihat photo keluarga yang terpampang jelas di ruangan tersebut. Ia pun berjalan mendekati photo tersebut. Kini ia tepat berdiri di bawahnya.
            ‘Seharusnya Abah juga ada di photo ini,’ ujarnya membatin.
            Muhammad Ridho Hafidzi yang kini telah beranjak dewasa. Seorang anak kecil yang dulu hanya bisa merengek kepada Mama-nya, kini telah bisa menjadi tulang punggung keluarganya, semenjak Abahnya meninggal dunia karena sakit jantung.
            Photo yang ada di hadapannya kini adalah photo saat dia wisuda. Hanya dia dan Mamanya ada di sana. Abahnya telah pergi mendahului mereka 10 tahun yang lalu tanpa sempat melihat anaknya kini telah menjadi orang yang sukses.
            Diingat-ingatnya kembali perjuangan Mamanya menghadapi kerasnya kehidupan. Hampir seluruh hidupnya dijalaninya sendiri tanpa seorang suami di sampingnya. Begitu berat beban yang harus dipikul. Namun semuanya dihadapi ibunya dengan tabah.
            Tak terasa air mata Ridho menggenangi matanya. Dialihkannya pandangannya ke kamar tempat ia tadi mengantar Ibunya.
            “Sekarang…saat ini…hanya engkau yang aku punyai. Abah telah lama pergi meninggalkan kita di sini. Aku hanya ingin menjadi pelindung bagimu. Karena aku juga tahu bahwa engkau juga telah berjuang demi keluarga. Sendiri…tanpa ada yang membantu.”
            “Ya Allah…janganlah kau cabut salah satu nyawa dari kami, sebelum aku bisa berbakti kepada dia. Aku berjanji, akan melindunginya sampai ajal datang menjemputku…”
            Di dalam kamar, wanita itu berbaring di atas ranjang. Senyumnya sangat jelas sekali tersungging di wajahnya yang masih menyisakan kecantikan yang mulai memudar. Setitik air matanya mengalir di wajah tuanya. Di atas dadanya, dipeluknya sebuah photo keluarga. Di sana ada dia, anaknya Ridho, dan juga suaminya Fadli.
            “Ya Allah...Telah aku jalani hidup yang Engkau takdirkan atasku. Semuanya…Engkau selalu menyertaiku dalam segala penderitaanku. Sekarang…Engkau telah membuktikan janji-Mu. Ridho sekarang menjadi seperti apa yang aku harapkan…Ia telah menjadi seperti apa yang aku inginkan…”
            “Ya Allah…sertailah selalu ia dalam setiap langkahnya, sebagaimana juga Engkau menyertaiku dalam menghadapi kehidupan ini. Aku tak mau masa laluku yang menyedihkan menimpa kepadanya…’
            Sayup-sayup terdengar suara azan memanggil. Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allah Maha Besar…Allah Maha Besar.

                                                                                    Banjarmasin, 17 April 2010

Muhammad Qamaruddin




[1] makanan yang ada di negara Malaysia dan Brunei Darussalam. dihidangkan dalam bentuk ‘sate’ (dipanggang). Ia adalah bagian dari ayam, yaitu (maaf!) bagian paling belakang ayam.
[2] “Ini berapa satu?”
[3] “Sebentar Hajjah”; Hajjah biasanya dipakai untuk memanggil seorang perempuan tua di Brunei Darussalalam, walaupun sebenarnya perempuan itu belum naik haji.
[4] “Ini Hajjah”
[5] “Uangnya sudah pas, 5 ringgit.”
[6] “Iya. Terima Kasih.” Awu: pemakaian untuk mengiyakan (Jawaban sopan).
[7] dik; adik. panggilan untuk seorang adik atau seseorang yang disayang.

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?