Selasa, 11 Oktober 2011

RASULULLAH MAKAN NASI?


            Tv menampilkan tayangan bersiri dari Negara ginseng, Korea. Aku, Pinong, Alai, dan idang duduk bersimpuh di hadapan hidangan makan malam sambil menyaksikan tayangan siuk tersebut. Relak, tak ada beban, malah dari tadi aku senyum-senyum sendiri saat mengamati tingkah laku adik-adikku ini.
            Selesai membaca doa makan, kami pun menyantap hidangan yang sudah tersedia. Ada ayam masak habang (makanan khas banjar) yang konon mama (yang di sini) berusaha keras mempelajari masakan tersebut supaya dapat memanjakan lidahku (begitu pula abah) yang asli orang banjar, ada sayur kangkung, ada telur masak merah, ada buah zaitun, ada abon, dan lainnya. Betapa besar nikmat yang dilimpahkan Allah kepada kami semua.
            Aku berkonsentrasi dengan apa yang kumakan. Tak banyak berbicara. Adik-adikku pun tak banyak bercakap. Mata mereka masih tersihir oleh tayangan TV pada saat itu. Tak selang beberapa lama, Aliah setengah berteriak memanggilku, “Bang, si Idang makan berantakan!”  aku mengalihkan perhatianku kepada si Idang, sang objek pembicaraan, dan benarlah apa yang dikatakan Alai, nasi berhamburan di samping-samping bawah piringnya. Eh, yang dibicarakan malah cuek bebek. Dengan sikapnya, membuatku jadi geleng-geleng kepala. Alai semakin sebal dengan Idang. Pinong cuma menengok sebentar, lalu meneruskan makannya. Matanya pun kembali menjelajahi layar TV.
            Setelah beberapa lama kudiamkan, aku pun mengambil tindakan. Aku berkata kepada Idang, “Idang…..,” ujarku lembut.”makan jangan macam tu. Tak baik! Nasi jadi banyak berhamburan di bawah piring.” Tanpa menolehku, dia memandangi nasi-nasi yang berjatuhan di bawah piringnya. Tak ada tindakan selanjutnya. Dia mendengarkan nasehatku, tapi sepertinya masih belum mengerti apa yang harus dia lakukan. Idang meneruskan makannya.
            “Idang….., Rasulullah selalu makan makanannya dengan bersih tak bersisa. Karena ini menandakan kesyukuran Beliau terhadap apa yang diberikan oleh Tuhan. Kalau Idang makan macam tu, nasinya banyak terbuang, artinya Idang tidak bersyukur,” jelasku. Idang menghentikan makannya. Pelan-pelan dia mulai membersihkan nasi-nasi yang berjatuhan. Dikumpulkannya nasi-nasi tersebut di satu tempat. Lebih bersih dari yang tadi.
            Pinong akhirnya tertarik dengan perbincangan yang berlangsung tadi. TV kehilangan satu penontonnya. Alai bersuka cita seakan-akan ia menang suatu perlombaan. Aku menambahkan lagi, “Idang…..Jika makan nanti, kalau bisa jangan berhamburan lagi ya! Karena dikatakan di dalam sekumpulan nasi yang kita makan, hanya ada satu yang ada berkahnya. Nah! Apakah Idang tahu kira-kira yang mana yang ada berkahnya?” tak ada jawaban. Sepertinya ada rasa bersalah menghinggapinya. Matanya liar memandangi nasi yang ada di depannya. Rupanya dia mencari nasi berkah yang kumaksud tadi.
            “Makan dulu lah Dang! Intinya makan jangan berhamburan lagi ya! Supaya nasi yang beberkah tersebut Idang dapatkan,” ujarku. Keadaan kembali tenang. Kami melanjutkan acara makan. Tiba-tiba Pinong bertanya kepadaku,” Bang…..zaman dulu, Rasulullah makan nasi jua kah?”

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?