Rabu, 12 Oktober 2011

KARNA-MU TUHAN




Tahun 2006
“Kriiiiiing!”Bunyi jam weker itu membangunkan tidurku. Kulirik jam mungil yang kuletakkan di atas meja kecil di samping tempat tidurku.
“Hmm….jam 3 dini hari,”hatiku berujar seraya meyakinkan diriku. Kupaksakan diri untuk bangun dari tempat tidur yang benar-benar merayu untuk melanjutkan belaian mimpi yang indah. Pandangan ini masih buyar, badan pun masih terasa pegal-pegal. Aku ingat, malam tadi aku baru tidur pukul 12.00. Syarif masih tertidur pulas. Aku tersenyum melihat raut mukanya yang aneh saat itu, walaupun aku tahu dia takkan mungkin melihat senyum manisku saat itu. Rasanya tak tega membangunkannya. Aku yakin dia sangat letih setelah bekerja seharian.
Tak selang beberapa lama kemudian, aku sudah duduk bersimpuh di atas sebuah sajadah butut yang selama ini selalu menemaniku di kala aku menghadap Sang Khaliq. Memang shalat tahajjud ini sudah mulai kubiasakan sejak aku mengenal Syarif, orang yang sangat berarti untukku.
Bagiku, pada saat beginilah aku dapat mencurahkan isi hatiku kepada-Nya. Tenang dan damai. Tiada seorang pun mengganggu. Dan menurutku, tidaklah pantas manusia berkeluh kesah selain kepada-Nya. Tidak kepada yang diciptakan, tidak kepada yang berhajat, tidak pula kepada yang tidak kuasa atas segala sesuatu. Hanya Allah-lah tempat kita bergantung, hanya Dia!
            Dengan penuh kerendahan hati, kumenengadahkan tanganku seraya berkata,”Ya Allah! Dahulu aku bergelimang dosa dan tak tahu menahu tentang agamamu, yang kutahu hanyalah kesenangan belaka. Namun sekarang, pada jam ini, pada menit ini, pada detik ini, aku meminta belas kasihan yang tiada berbatas itu. Ya Allah! Lihatlah dan dengarkanlah! Hamba-Mu nista ini, yang berlumur dosa ini menghadap kepada-Mu. Bukalah pintu taubat untuk hamba-Mu ini. Ampunilah segala dosa-dosa yang telah hamba lakukan di masa lalu, hamba…………….,”aku tak bisa lagi meneruskan kata-kata lagi. Tanpa kusadari, tetesan air mata pun mengalir dari kedua mataku. Masa lalu yang kelam menghadirkan penyesalan yang bagiku pribadi sampai saat ini tidak bisa terkikis. Sekiranya saat ini masa lalu itu dapat diperjualbelikan, maka akan aku bayar berapapun harganya, sehingga aku dapat menguburnya ke dalam tanah yang paling dalam dan bahkan Tuhanpun tak dapat melihatnya, tapi apakah itu mungkin?
            “Suf!”
            Suara itu mengejutkanku. Syarif bangun.
            “Kamu dengar nggak sih! Dari tadi kupanggil kok nggak dijawab?”
            “Maaf…..,”ujarku sambil menghapus air mataku yang ada di pipi.
            “Jam berapa sekarang?”Suaranya tak jelas karena mulutnya masih cuap-cuap. Aku yakin dia masih mengantuk.
            “Jam…….,”hei! Sudah jam pukul 04.00 lebih sedikit! Tak terasa!
            “Baru jam 4, kalau kamu masih mengantuk, teruskan sajalah tidurnya. Subuh kan masih sekitar satu jam lagi, nanti kalau sudah masuk waktunya, aku bangunin deh.”
            “Suf…..mikirin masa lalumu lagi ya?”
            Glek! Aku terkejut mendengar pertanyaan tersebut.
            “Kamu kira aku tidak tahu apa yang selalu yang kau pikirkan pada saat-saat seperti ini. Masa lalu itu kan?”
            “Aku ingin memperbaiki diriku sekarang,”kataku lirih.
            “Semoga Allah selalu bersamamu.” Syarif berdiri sambil merapikan bajunya.”Tapi aku masih penasaran dengan satu hal.”
            “Baju itu?”Sambungku. ia menganggukkan kepalanya. Aku mengingat-ingat sebuah jaket hitam usang yang sudah bertahun-tahun kusimpan dan kugantung di dalam lemari pakaianku. Memang sejak dulu Syarif selalu menanyakan perihal kenapa aku masih menyimpan jaket usang berbau itu.
            “Maaf Rif, tapi aku tak bisa menceritakannya kepadamu.”
            “Selalu saja!”Ketusnya. Aku tersenyum melihat tingkah pongahnya, tak lama kemudian, Syarif bersegera pergi ke belakang. Tampaknya ia juga mau mengambil wudhu dan bersendawa bersama Sang Kekasih. Hmm….Sohib yang saleh, walaupun lelah menghinggapinya, namun ‘qiyamul-l-lail’ selalu diusahakannya agar terlaksana di setiap malam yang dipersembahkan Tuhan untuk para pencari cinta-Nya, Syariflah salah satunya!
            Kini pertanyaan Syarif kembali mengiang di pikiranku. Jaket! Ya! Hidayah itu memang datang melalui benda ini. Sebuah kejadian yang tak pernah terbayangkan olehku sebelumya, bahkan telah mengubah jalan hidupku 180 derajat. Biarlah hanya aku dan Rabb-ku yang mengetahuinya.

Dunia ini pinjaman yang harus kau kembalikan
Pesonanya sesaat, fana dan hanya fatamorgana
Yang berakal takkan terkecoh kilau-kemilaunya
Karena ia tahu ada kehidupan abadi di sana
Orang beriman tak betah di negeri
Karna,negeri persinggahan bukanlah tujuan
Dunia tak terpikir,akhiratlah yang jadi tujuan
(kutipan)

* * *

Tahun 1994, 12 tahun yang lalu

            “Brengsek!”Ketusku.
            “Kenapa Cup?”
            “Masa dompet segini bagusnya, isinya cuma uang recehan!”
            “Lu masih untung, gue malah nggak dapat sepeserpun hari ini.”Jawab Icong dengan nada kecewa. Tetapi dengan pernyataan itu, aku lebih bisa berbangga diri dengan hasil copetku hari ini.
            Suasana hening beberapa saat. Akhirnya Icong membuka pembicaraan.
            “Cup…..!”
            Kuangkat alisku pertanda aku menanggapi panggilannya. Ada sedikit keraguan terpancar di raut wajah kawanku ini untuk menyampaikan sesuatu.
            “Kenapa?”Kuajukan pertanyaan ini karena dia terlalu lama diam setelah memanggilku tadi.
            “Lu pernah nggak berpikir untuk berhenti dari pekerjaan ini?”
            Glek! Pertanyaan apa ini!
            “Kenapa sih lu?” Nada bicaraku sedikit naik.
            “Nggak,gue…..gue cuma heran saja pada lu….”
            “Heran? Apa ada yang salah dengan gue?”
            “Nggak ada, hanya………gue rasa kita tidak cocok dengan pekerjaan ini.”
            Bagai petir menyambar telingaku. Emosi langsung naik drastis. Kudekatkan wajahku tepat di depan wajahnya.
            “Hei Icong! Gue beritahukan kepadamu ya! Gue sudah melakukan pekerjaan ini lebih lama dari lu!. Ini sudah menjadi jalan hidup gue! Suratan takdir yang harus gue jalanin! Apa hak lu melarang gue!”
            “Ya…..Ya gue kan hanya…hanya tanya….,” Icong merintih.
            “Tidak seharusnya lu tanyakan hal itu kepada gue.”
            “Maaf…”
            “Tinggalkan gue sendiri….”Ucapku tenang tapi dengan wajah sinis.Icong tampak tergesa-gesa sekali keluar dari kamar.
            Tak pernah sedikitpun terbesit di hatiku untuk meninggalkan pekerjaan yang sedang kugeluti sekarang ini, walaupun sebenarnya keadaan ini membuatmu tersiksa. Mau tak mau aku harus menjalaninya.
            Itulah jalan takdirku!
            Jalan takdirlah yang telah membuatku hidup seperti ini. Ibuku sudah lama meninggal karena penyakit jantung yang dideritanya. Aku masih ingat, saat itu umurku masih tujuh tahun, ketika aku masih haus dengan kasih sayang, ketika aku perlu tempat bergantung, ketika semua terlihat menyenangkan di mataku, aku malah kesepian dan sendirian di dunia ini. Ibuku, satu-satunya orang yang kumiliki dan kusayangi, pergi untuk selama-lamanya. Sejak saat itulah aku mengamen bersama anak-anak jalanan lainnya untuk mencari uang.
            Barulah pada saat umurku menginjak sepuluh tahun, aku mulai mengenal dunia baru. Ya! Aku mulai belajar mencopet! Anehnya, sampai saat ini, sampai umurku telah menginjak lima belas tahun, tak pernah sekalipun perbuatanku ketahuan. Bahkan aku sering menyebut diriku sendiri dengan julukan ‘Raja Copet’, menurutku julukan tersebut memang pantas untukku.
            Ayahku? Jangan pernah bertanya tentang orang brengsek itu. Aku masih ingat saat umurku baru lima tahun, ketika itu dia menghajar ibuku habis-habisan. Semua harta simpanan diambil dan dibawa. Habis tak bersisa. Aku pun saat itu hanya bisa diam terpaku melihat ibuku menangis sambil memelukku. Sejak saat itu aku tak pernah lagi melihat tampangnya. Beberapa kali aku menanyakan perihal ayah kepada ibu, namun selalu saja dijawab,’ayahmu akan segera kembali’. Nyatanya, saat tragedi itulah terakhir kalinya aku melihatnya. Seandainya saat ini aku masih bisa bertemu dengannya, hanya ada satu hal yang ingin kulakukan padanya….
            Membunuhnya!
            Dengan keadaan fisikku sekarang, sudah pasti hal tersebut bisa kulakukan. Apalagi yang pantas bagi orang yang telah mendamprat ibuku habis-habisan lalu pergi begitu saja selain…dibunuh!
            Seiring dengan berjalannya waktu, seakan semuanya pergi satu-persatu meninggalkanku. Tapi masih ada satu barang peninggalan ibuku yang sampai detik ini masih bersamaku.
            Jaket!
            Ya! Jaket hitam yang diberikan ibuku saat aku berumur enam tahun. Jaket hitam yang dibeli ibuku setelah bekerja keras sebagai buruh cuci. Awalnya jaket itu ingin diberikan kepada ayahku, namun dia keburu pergi sebelum ibu menyerahkannya. Karena itulah, ibuku memberikannya kepadaku. Memang saat itu badanku masih sangat kecil. Ibu menyuruhku untuk menyimpannya. Kelak jika badanku sudah besar, aku dapat memakainya.
            Sekarang jaket ini sangat pas di badanku. Dan entah mengapa aku sangat menyayangi jaket ini. Kadang pada saat beroperasi aku pun memakainya. Jaket ini sering membantuku lolos dari para korban pencopetan. Mereka tak bisa mengenaliku. Namun di satu sisi, dengan jaket inilah aku dapat mengingat masa kecil bersama ibuku.
            Sekarang aku hidup bersama Icong. Aku masih ingat peristiwa yang terjadi  tiga tahun yang lalu. Saat itu Icong kecil selalu membuntutiku ke mana-mana. Tentu saja hal itu membuatku tak habis pikir. Tapi apa yang dikatakannya kepadaku membuatku merasa aneh.’aku menyukaimu dan aku ingin tinggal bersamamu’.aku merasa aneh, hal apa yang membuatnya suka kepadaku. Berapa kali aku menyuruhnya untuk menjauhiku, namun sepertinya dia benar-benar ingin mengikutiku kemanapun kupergi. Pernah satu kali aku menanyakan perihal orang tuanya, dengan senyum polosnya dia menjawab,’aku tidak punya orang tua lagi. Mereka sekarang sudah di surga. Kaulah orang tuaku sekarang’. Sejak saat itu akupun tak pernah menanyakan perihal orang tuanya, aku pun tak melarangnya untuk mengikutiku. Aku malah senang karena mendapatkan patner dalam bekerja. Apa boleh buat, sepertinya kami telah ditulis untuk hidup bersama. Walaupun tidak memiliki tempat tinggal, kami selalu tersenyum bahagia menatap dunia. Bagi kami, di manapun kami berada, di situlah tempat tinggal kami. Kami bebas melakukan apapun tanpa ada yang mengatur.
            “Cup…..,”Suara itu mengejutkanku. Aku tersadar dari lamunanku. Kulihat Icong sudah berdiri di depanku.
            “gue minta maaf atas ucapan gue tadi….”
            “Nggak apa-apa….”
            “Nih!”Icong menyodorkan sebuah bungkusan. “Tadi gue keluar sebentar dan membeli dua bungkus nasi. Kita makan yuk!” Tuturnya seraya tersenyum kepadaku. Sekarang aku merasa sedikit terhibur. Kadang aku berpikir, aku rasa bahwa aku masih termasuk orang yang beruntung.alasannya, aku masih punya teman baik. Orang yang sudah kuanggap saudaraku sendiri. Dia sekarang ada di depanku! Terima kasih Icong!

Tanah adalah rumah, langit adalah atapku
Pelitaku bulan, tungganganku kedua kaki
Bantalku kedua belah tangan
Ketika aku tidur, aku tak punya apa-apa
Ketika aku bangun, aku pun tak punya apa-apa
Kujadikan kemiskinan sebagai pelindung diri
Dari kepongahan dan kebejatan yang menghinakan diri
Telah berlalu hari lalu, dan lusaku tak tahu
Masih hidupkah aku atau malah matiku
Sungguh aku tak peduli semua itu
Tidakkah ada di muka bumi ini orang sekaya aku?
(kutipan)

* * *

“Apa yang sedang kau lakukan? Hah! Itukan dompet Ibu!”
Brengsek! Bagaimana Ibu ini bisa tahu!
“Tolong! Tolong! Copet! Copet!”
Aduh! Pakai teriak lagi! Hari tersial sepanjang hidupku! Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan diri kecuali…..kabur!
Bapak tua yang ada di samping ibu itu berusaha menangkapku, tapi aku masih sempat menghindar. Orang mulai berlari mengejarku, namun dengan keadaan pasar yang sangat ramai membuatku mudah meloloskan diri  dari kejaran.
Tidak ada gunanya kalian mengejarku!aku sudah hafal jalan rahasia yang ada di pasar ini! Dasar orang-orang tolol!
Tak selang beberapa lama kemudian, aku tiba di sebuah lorong sempit yang terletak di belakang pasar. Kuambil jaket hitam yang kugantung tak jauh dari sana. Hal ini kulakukan agar orang yang mengejarku tidak mengenaliku lagi, sesuatu yang selalu kusiapkan dalam operasi yang kulakukan. Tempat ini pun menjadi markas rahasiaku. Hanya aku dan Icong yang tahu tempat strategis ini. Bukan hanya para pembasmi kejahatan yang memakai otak untuk menjebak para penjahat, para penjahat pun juga memakai otak untuk lolos darinya!
            Cucuran keringat menitik ke tanah.nafasku masih belum teratur. Sepertinya aku berhasil meloloskan diri. Aneh! Aneh sekali! Ini pertama kalinya aku ketahuan! Sumpah! Sebelumnya aku tidak pernah mengalami kejadian seburuk ini. Semua aksiku licin bak licinnya badan ular. Namun kali ini….
            Oh! Tidak apa-apa! Tidak seburuk yang kupikirkan karena dompet Ibu itu sekarang………..
            Hei! Mana dompet itu!
            Aku mencarinya di seluruh kantong yang ada di badanku. Nihil. Raib tak tahu kemana perginya. Lengkap sudah kesialanku hari ini!
             Oke! Aku akui kekalahan hari ini, tapi besok takkan terulang lagi. Takkan pernah!
            Hampir tiga jam aku berdiam diri di lorong tersebut. Ratu kegelapan telah menenggelamkan Sang Raja Matahari. Bintang-bintang seakan mengejipkan mata kepada seluruh penghuni bumi. Keadaan pasar sudah normal seperti sedia kala, walaupun para pelancong sudah mulai membubarkan diri. Aku baru ingat, aku harus menemui Icong di tempat yang telah dijanjikan. Aku segera keluar dari tempat itu. Aku tak mau membuat Icong menunggu lebih lama. Tidak ada yang mencurigaiku. Inilah aku! Sang Raja Copet!
            Husss! Angin berhembus kencang sekali. Angin seperti ingin menyuruhku untuk pergi menjauhi tempat yang kutuju. Tampaknya malam ini akan turun hujan. Aku beruntung mempunyai jaket ini. Dengannya, badanku terasa hangat.
            Tapi tunggu dulu! Rasanya ada yang mau keluar. Aku ingin buang air kecil. Oh ya! Aku ingat, di belakang pasar ini ada sungai. Sepertinya di sana lebih pas untuk menyelesaikan tuntutan jasmani ini.
            Aku bergegas pergi ke sana. Kutinggalkan keramaian pasar. Tak selang beberapa lama, Aliran sungai pun terlihat di depanku. Tampak menyeramkan, apalagi dalam keadaan gelap gulita. Entah mengapa aku merasa ada yang mengikutiku. Ah…..! mungkin cuma perasaanku saja. Kugantung jaketku di atas ranting pohon dan segera menuju ke pinggiran sungai. Hmm…lega rasanya. Tak ada lagi yang mengganjal.
            Byuuur!
            Seseorang mendorongku dari belakang! Aku pun tercebur ke sungai. Brengsek! Siapa yang berani mencari masalah denganku! Sekilas aku melihat seseorang berlari menjauh dariku. Dengan sigap aku menuju tepi sungai dan….mana jaketku? Mungkinkah…?
            Bangsat! Orang ini benar-benar mencari masalah denganku! Kemarahanku meluap dan mencapai titik yang paling tinggi. Kukejar sosok itu sekuat tenaga. Aku masih dapat melihat punggungnya. Apa kau mau mengambil barang berhargaku! Langkahi dulu mayatku!
            Dia berlari ke arah hutan kecil. Larinya sangat cepat, hampir saja aku kehilangan jejaknya. Huh!
            Tak selang beberapa lama kemudian, dia masuk ke dalam sebuah gubuk. Sepertinya dia tidak menyadari kalau aku mengikutinya. Brengsek! Dia kira aku akan melepaskannya! Tidak akan! Dia telah mengambil jaket kesayanganku! Dan lihatlah! Aku basah kuyub karenamu! Kau harus mempertanggung jawabkannya!
            Dia masih di dalam gubuk reyot tersebut. Bersembunyi dalam remang-remang cahaya lilin. Aku berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Kurasa dia tidak akan ke mana-mana. Tapi samar-samar aku mendengar suara gadis kecil yang terbatuk-batuk. Suara siapa itu? Apa dia juga penculik? Atau apakah dia pemerkosa?  Huh! Siapa takut!
            Bruukk! Dengan mudah kuhancurkan pintu gubuk itu. Laki-laki itu sedang duduk di atas sebuah kursi usang. Nah! Ini dia orangnya!
            “Hei lu! Cari masalah ya sama gue!” Ujarku tiba-tiba seraya berjalan ke arahnya.
Buk!
Rasakan tinjuku! Enak bukan! Salah sendiri! Mencari masalah denganku, sama saja mencari mati!
“ampun……! Ampun………!” Dia meminta belas kasihan padaku. Tiada ampun bagimu! Engkau telah mencuri jaket kesayanganku!
“Lepaskan kakakku! Lepaskan!”
Hei! Gadis kecil itu menarik bajuku dari belakang.
“Kakakku bukan pencuri! Kakakku bukan pencuri!”
Gadis itu jatuh pingsan.
“Dina!”Teriak anak laki-laki tersebut. Kulepaskan cengkramanku. Segera saja dia mendatangi anak gadis yang jatuh tersebut. Dan…..aku baru saja menyadarinya! Jaketku! Anak gadis itu memakai jaketku!
“Tolong ampuni aku! Adikku sedang sakit, badannya panas sekali. Dia menggigil dari tadi. Aku tak tega melihatnya seperti ini,”akunya. Aku diam menatapnya. “demi Tuhan! Aku tak berniat untuk mencuri, namun ketika melihat engkau melepaskan jaketmu di sungai tadi, aku teringat akan adikku yang sakit. Muncullah niat buruk itu di kepalaku. Segera saja kudorong kau ke sungai sebelum aku mengambil jaket tersebut,”ujarnya sambil meringis. “Aku tahu aku salah. Kalau memang kamu mau memukulku silahkan, aku tidak akan membalas. Tapi satu hal aku pinta, tolong pinjamkan jaket ini sebentar untuk menghangatkan badan adikku.” Cecegukannya semakin terdengar keras. Aku semakin terpaku melihat mereka. Entah mengapa aku merasa kasihan kepada mereka berdua.
“mana orang tua kalian?”
“Orang tua kami sudah lama meninggalkan kami. Kami ditelantarkan mereka…..”
Ternyata masih ada orang-orang yang kehidupannya mirip denganku. Perlahan-lahan aku duduk bersila di hadapan mereka. Sangat jelas di mataku, noda hitam seperti bekas terbakar di leher kanan anak laki-laki itu.  Anak laki-laki itu masih ketakutan melihatku. Dia mundur sedikit ke belakang. aku merasa iba. Entah kenapa aku menjadi serba salah.
“Ambillah jaket ini kalau adikmu memerlukannya,”ujarku. Tak ada salahnya aku memberikan jaket itu kepada adiknya. Pikirku mungkin ibuku di alam baka akan lebih senang jikalau kulakukan hal ini. Toh, aku masih bisa membeli yang baru. Walaupun sebenarnya aku masih sayang dengan jaket ini, tapi sungguh kali ini aku ikhlas memberikan jaket ini untuk adiknya. Tapi setelah kuucapkan hal ini kepada anak laki-laki itu, dia malah menatapku dalam-dalam kemudian tersenyum kepadaku seraya berkata, “tidak…….malam ini juga aku akan mengembalikannya kepadamu.”

* * *

“Kenapa sih lu murung terus?” Tanya Icong kepadaku.
“Tidak apa-apa……gue hanya merasa sedikit tidak enak badan,” jawabku.” Lu nggak kerja?”
“Males ah!”
“Ya udah, tidur aja sana,” suruhku padanya. Icong pun berjalan menjauhiku. Tampaknya dia tidak ingin menggangguku lebih lama lagi.
Sejak peristiwa di gubuk yang terjadi pada malam itu, aku mulai mencoba untuk berpikir jernih tentang apa yang kulakukan saat ini. Aku masih ingat, malam itu juga, setelah adiknya sadar, dia langsung mengembalikan jaket itu kepadaku. Sesuai dengan janji yang telah diucapkan sebelumnya.
Sesegera itu pula diangkatnya adiknya kecilnya yang masih sakit itu. Aku bertanya kepadanya, ke mana dia akan membawa adiknya, ia menjawab kalau ia akan membawanya berobat. Kutanya lagi kepadanya, ke mana dia akan mendapatkan uang untuk berobat, ia tersenyum mendengar pertanyaanku, kemudian menjawab,’Allah bersama kami….,Yusuf! Sudah saatnyalah kamu kembali merengkuh rahmat-Nya!’
Dug! Jantungku berdegup kencang. Dari mana dia tahu nama kecilku? Dan kalimat yang diucapkannya itu……
Tak selang beberapa lama kemudian, mereka pun pergi dan hilang ditelan kegelapan malam. Aku hanya diam terpaku melihat kepergian mereka. Hujan pun turun dengan sangat derasnya. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi melihat mereka. Beberapa kali aku bolak-balik ke gubuk tersebut, tapi tidak ada tanda-tanda adanya mereka kembali ke sana, seakan-akan mereka hilang ditelan bumi.
‘Allah bersama kami.’
Kalimat inilah yang membuat hatiku tak karuan. Bahkan masih terngiang-ngiang di telingaku sampai saat ini. Atau…..aku memang tak pernah menyadari kalau Allah yang mereka maksud itu selalu melihat seluruh perbuatan bejatku? Apa yang sedang terjadi denganku?
“Lu nangis ya Cup?” Tanpa sepengetahuanku Icong sudah ada di depanku.

0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?