Minggu, 23 Oktober 2011

Ekonomi Islam Sebagai Solusi


Oleh karena kegagalan berbagai macam ideologi dan sistem ekonomi dunia tersebut, maka sejak beberapa dakade yang lalu muncul gelombang kesadaran baru pakar ekonomi dunia untuk menemukan sistem ekonomi baru yang bisa mewujudkan kemakmuran dan keadilan. Sistem baru itu kini diarahkan kepada sistem ekonomi Islam. Gerakan intelektual untuk mengaktualisasikan kembali ekonomi Islam mulai muncul pada dakade 1970-an.
Kajian Ilmiah tentang Sistem Ekonomi Islam marak di mana-mana dan menjadi bahan diskusi di  kalangan akademisi di berbagai Universitas, baik di Amerika, Eropa maupun Asia. Hasil kajian tersebut dalam tataran aplikatif mulai menuai hasilnya dengan didirikan Islamic Development Bank di Jeddah tahun 1975 yang diikuti dengan berdirinya bank-bank Islam dikawasan Timur Tengah, Amerika, Eropa, Asustralia dan banyak negara Asia. Kajian ekonomi Islam tidak saja dalam aspek lembaga keuangan, tetapi telah meluas ke sektor ekonomi mikro lainnya. Juga ekonomi makro. seperti kebijakan fiskal, moneter,  model pembangunan ekonomi dan instrumen-instrumennya.
Pada mulanya, keraguan banyak pihak tentang eksistensi Sistem Ekonomi Islam sebagai model alternatif sebuah sistem tak terelakkan, pandangan beberapa pakar mengatakan Sistem Ekonomi Islam hanyalah akomodasi dari Sistem Kapitalis dan sosialis, dan itu cukup  nyaring disuarakan, tetapi hal tersebut terbantahkan baik melalui pendekatan historis dan faktual karena dalam kenyataanya, terlepas dari beberapa kesamaan dengan sistem ekonomi lainnya, terdapat karakteristis khusus bagi Sistem Ekonomi Islam sebagai landasan bagi terbentuknya suatu sistem yang berorientasi terhadap kesejahteraan masyarakat yang penuh keadilan
Sistem Ekonomi Islam tidak terlepas dari seluruh sistem ajaran Islam secara integral dan komphensif. Sehingga prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam mengacu pada saripati ajaran Islam. Kesesuaian Sistem tersebut dengan Fitrah manusia tidak ditinggalkan, keselarasan inilah yang menimbulkan keharmonisan tidak terjadi benturan-benturan dalam Implementasinya,
Kebebasan berekonomi terkendali (al-hurriyah) menjadi ciri dan prinsip sistem ekonomi Islam, seperti kebebasan memiliki unsur produksi dalam menjalankan roda perekonomian. Kebebasan ini merupakan bagian penting dalam ekonomi Islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas di kendalikan dengan adanya kewajiban setiap indivudu terhadap masyarakatnya, atas perintah Allah, melalui zakat infaq dan sedeqah. Keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif inilah menjadi pendorong bagi bergeraknya roda perekonomian tanpa merusak sistem sosial yang ada.
Manusia memiliki kecenderungan untuk berkompetisi dalam segala hal. ”Persaingan bebas” menjadi ciri Islam dalam menggerakan perekonomian, pasar adalah cerminan dari berlakunya hukum penawaran dan permintaan yang direpresentasikan oleh harga, tetapi kebebasan ini haruslah ada aturan main sehingga kebebasan tersebut tidak cacat, pasar tidak terdistorsi oleh tangan-tangan yang sengaja mempermainkannya; Larangan adanya bentuk monopoli, kecurangan, dan praktek riba adalah jaminan terhadap terciptanya suatu mekanisme pasar yang sehat dan persamaan peluang untuk berusaha tanpa adanya keistimewaan-keistimewaan pada pihak-pihak tertentu.
Salah satu kekhasan dan keunggulan sistem ekonomi Islam adalah kebersatuannya dengan nilai-nilai moral dan spiritual Tanpa filter moral., maka kegiatan ekonomi rawan kepada perilaku destruktif yang dapat merugikan masyarakat luas. Tanpa kendali moral, kecendrungan penguatan konsumtivisme, misalnya   akan muncul. Praktek riba, monopoli dan kecurangan akan menjadi tradisi.
Kesadaran akan pentingnya nilai moral dalam ekonomi telah banyak dikumandangkan oleh para ilmuwan ekonomi. Fritjop Capra dalam bukunya, ”The Turningt Point, Science, Society, and The Rising Culture, menyatakan, ilmu ekonomi merupakan ilmu yang paling bergantung pada nilai dan paling normatif di antara ilmu-imu lainnya. Model dan teorinya  akan selalu didasarkan atas nilai tertentu dan pada pandangan tentang hakekat manusia tertentu, pada seperangkat asumsi yang oleh E.F Schummacher disebut ”meta ekonomi” karena hampir tidak pernah dimasukkan secara eksplisit di dalam ekonomi kontemporer. Demikian pula Ervin Laszlo dalam bukunya 3rd Millenium, The Challenge and the Vision mengungkapkan kekeliruan sejumlah premis ilmu ekonomi, terutama resionalitias ekonomi yang telah mengabaikan sama sekali nilai-nilai dan moralitas. Menurut mereka kelemahan dan kekeliruan itulah yang antara lain menyebabkan ilmu ekonomi tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia. yang terjadi justru sebaliknya, yaitu ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara berkembang (yang miskin) dengan negara-negara dan masyarakat kaya. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa untuk memperbaiki keadaan tidak ada jalan lain kecuali dengan merobah paradigma dan visi, yaitu melalukan satu titik balik peradaban.
Sekarang ini fenomena degradasi moral dalam sektor bisnis dan finansial masih terus berlangsung baik skala mikro maupun makro. Maraknya keinginan yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan material dan pemuasan keinginan merupakan fenomena kapitalisme modern. Sebaliknya, terlalu sedikit upaya memenuhi kebutuhan spiritual, manusiawi, atau kebutuhan akan pemerataan distribusi di kalangan anggota masyarakat.
Upaya mencapai kepuasan diri atau kesuksesan hidup melalui pertumbuhan ekonomi yang “tinggi” telah menjadi ciri pokok kehidupan masyarakat “modern” saat ini. Seluruh upaya, secara langsung ataupun tidak langsung, diarahkan untuk memenuhi keinginan ini, tanpa mempedulikan apakah keinginan seperti itu memang mendesak dalam rangka memenuhi kebutuhan manusiawi yang hakiki. Akibatnya, hedonisme, materialisme dan konsumtivisme melanda hampir seluruh anggota masyarakat.
John K. Galbraith, dalam bukunya The New Industrial State (hal.153), menyatakan bahwa, “konsumsi barang telah menjadi sumber kenikmatan yang paling besar, dan tolok ukur prestasi manusia yang paling tinggi”. Dengan demikian, yang kini tengah terjadi adalah: simbol-simbol gengsi yang dipromosikan secara besar-besaran, begitu pula keinginan manusia dibuat agar tak terbatas, tidak pernah terpuaskan dibanding kebutuhan manusiawi yang sesungguhnya.
Hasilnya: setiap orang berjuang dan bekerja keras memburu materi sehingga tidak lagi mempunyai cukup waktu untuk memenuhi kebutuhan spiritual, membina anak, dan membangun solidaritas sosial. Bahkan untuk itu, banyak yang terpaksa melakukan korupsi, cara-cara yang tidak fair, atau rela mengorbankan hak yang diberikan Allah kepada orang lain.
Peningkatan kesejahteraan ternyata tidak diikuti oleh pemerataan. Jurang sosial ekonomi antara yang kaya dan yang miskin telah semakin lebar. Di antara kebutuhan dasar orang-orang miskin, makanan, pakaian, pendidikan, fasilitas kesehatan dan perumahan tidak terpenuhi secara layak. Banyak masalah baru sesungguhnya tengah diciptakan bagi si miskin melalui inflasi (sehingga harga-harga semakin tak terjangkau) dan perusakan lingkungan yang cenderung lebih berpengaruh besar terhadap mereka. Ide dasar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan demikian patut dipertanyakan.
Realitas menunjukkan, fenomena peningkatan volume barang dan jasa belum memberikan sumbangannya bagi kebahagiaan manusia. Hal ini karena sesungguhnya, kebahagiaan pada hakikatnya merupakan refleksi kedamaian jiwa, yang tidak sekedar merupakan fungsi material tetapi juga keadaan spiritual. Distribusi pendapatan yang tidak adil yang disertai dengan perbedaan tingkat kehidupan yang mencolok membuat orang terus menerus menderita dan tidak bahagia.
Orang tidak pernah puas dan tidak pernah mampu ataupun tidak pernah mau memenuhi kewajiban terhadap orang lain. Akibatnya, solidaritas sosial melemah dan masyarakat mengalami degradasi. Dewasa ini, menurut E.J.Mishan dalam bukunya The Cost of Economic Growth (hal 204), ada tanda-tanda peningkatan simptom anomali seperti stress, depresi, frustasi, kehilangan kepercayaan, alinasi antara orangtua dan anak, perceraian dan tindakan anarkhis. Ketegangan dimana-mana lebih terasa daripada keharmonisan, ketidakadilan lebih kentara daripada keadilan.
Selama ini, sistem kapitalisme modern yang muncul -menurut Daniel Bell- dengan kombinasi tiga kekuatan utama, yaitu: ‘kerakusan borjuis’, ‘masyarakat politik demokratis’ dan ‘semangat individualistis’, telah gagal menjawab semua problema di atas. Marxisme pun tidak mampu menawarkan penyelesaian, karena sebab yang sesungguhnya dari masalah manusia bukanlah perjuangan kelas, tetapi degradasi moral. Dan tidak diragukan lagi, bahwa Marxisme memainkan peranan penting dalam meremehkan moral, sama dengan peranannya dalam mendorong kecenderungan konsumtif. Dengan demikian, sistem kolektif tersebut gagal memecahkan hampir semua masalah yang dihadapi oleh kapitalisme. Berdasarkan paparan-paran di atas dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan sistem ekonomi yang menjadikan moral sebagai  dasarnya. Itulah sistem ekonomi Islam.
Sumber            : http://www.agustiantocentre.com
Artikel ini ditulis oleh Agustianto selaku Sekjend DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia


0 komentar:

Posting Komentar

apa komentar anda tentang bacaan ini?